Friday, October 1, 2021

Cerpen Kiki Sulistyo | Orang Gila

 Cerpen Kiki Sulistyo

 


Hampir tengah hari. Langit benar-benar lapang dan biru. Marlon membiarkan sinar matahari menyaput tubuhnya. Sesekali dia mendongak sambil menadahkan tangan, merasakan cahaya panas di telapak tangannya. Bila di kejauhan melintas seekor burung, Marlon komat-kamit seperti berbicara dengan dirinya sendiri. Di kali lain dia berdiri dan menoleh ke arah atap-atap seng sembari membayangkan dari dalam deretan rumah itu keluar orang-orang gila yang akan menculik dan memakannya. Bayangan itu membuat waktu berjalan lebih lambat. Marlon gusar. Untuk mengusir perasaan tak nyaman itu, dia menyapukan pandangan ke sekeliling tanah lapang sembari menajamkan telinga, berharap temannya segera datang atau, paling tidak, ada anak-anak lain yang mau bermain di sana. 



Harapan yang terakhir itu sebetulnya tak betul-betul diinginkannya, sebab—sebagaimana yang dikatakan temannya pada pertemuan mereka sebelumnya—pertemuan mereka bisa disebut pertemuan rahasia. Temannya hendak menunjukkan sebuah benda dan tak boleh ada orang lain yang tahu. Dalam diri Marlon bercampur rasa penasaran dan gusar, keduanya agak menyiksa, dan kegiatan mendongak ke langit atau menadah cahaya atau menyapukan pandangan ke seantero tanah lapang tak bisa mengusir campuran perasaan itu. 


Akhirnya, Marlon memutuskan memperhatikan hal-hal di dekatnya dengan lebih teliti. Saat itu dia melihat seekor cacing tanah merayap di antara semak, batu-batu, dan bohlam yang sudah pecah. Marlon teringat pada suryakanta yang dibawanya. Dengan riang dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan suryakanta itu. Ditimang-timangnya sebentar sebelum membuka lipatannya. Sekali lagi Marlon sedikit ragu, tapi tangannya seperti bergerak di luar kehendak, mengarahkan suryakanta ke arah cacing tanah. Suryakanta menyerap sinar matahari dan menembakkannya kembali dengan lebih tajam ke arah cacing tanah. Binatang itu menggeliat kepanasan— pemandangan yang menimbulkan perasaan yang lebih riang pada diri Marlon. Cacing tanah kelojotan, tubuhnya terbakar, asap tipis mengepul dari tubuh itu. Marlon senang meski jauh dalam dirinya ada suara yang berkata-kata agar dia menghentikan perbuatannya.


Beberapa saat kemudian Marlon memang menghentikan perbuatannya, tapi bukan karena suara dalam dirinya, melainkan karena seseorang menepuk punggungnya. “Haaaaaa!” seru orang itu. Sedetik Marlon berpikir itu adalah suara orang gila yang akan menculik dan memakannya. Namun ketika menoleh, dilihatnya seorang anak mengenakan kaus bergambar boneka si Unyil sedang tertawa-tawa senang. 


“Kamu mengagetkan saya!” seru Marlon sambil memasukkan suryakanta ke kantung celananya. Anak itu masih tertawa-tawa. “Saya kira orang gila,” lanjut Marlon. Mendengar kata orang gila, anak itu segera menghentikan tawanya dan menoleh ke arah atap-atap seng yang menyilaukan. Wajahnya seketika tegang, tapi dia segera berkata, “Orang gila itu ndak keluar siang-siang. Nanti dekat-dekat magrib baru mereka cari mangsa.”


“Kata siapa?” tanya Marlon, dia belum pernah mendengar informasi itu. Si anak tidak menjawab, dia malah memperhatikan kaus yang dipakai Marlon. “Aih, baju kita sama,” katanya. Seakan baru menyadari kenyataan itu, Marlon bolak-balik memperhatikan kaus si anak dan kausnya sendiri. “Iya. Sama. Warnanya saja yang beda.” 


“Iya. Kamu merah, saya hijau,” ujar si anak. Mereka tertawa-tawa sebentar, lantas seakan baru teringat pada urusan mereka, Marlon berkata, “Mana?” Si anak menghentikan tawanya. Dengan wajah serius dia menarik tangan Marlon dan mengajaknya ke sudut lapangan. 


“Awas, banyak pecahan beling. Nanti kamu kena tetanus,” sergah Marlon sembari memperhatikan langkah. Si anak tak begitu peduli, dia terus menyeret Marlon.


Sesampainya di sudut lapangan, sembari celingak-celinguk, anak itu mengeluarkan sebuah bungkusan dari belakang kausnya.“Ini,” katanya dengan nada ditekan. Marlon hendak menyentuh benda di tangan anak itu, tapi si anak segera menarik tangannya. 


“Aih, kamu pelit sekali, Elvis!” 


“Bukan begitu. Saya takut nanti kamu celaka. Boneka ini ada hantunya.”


“Kata siapa?” tanya anak yang dipanggil Elvis.


“Bentuknya biasa saja. Kamu dapat di mana?”


“Biasa saja? Memang kamu pernah lihat boneka kayak gini? Ini boneka Jepang. Saya dapat dari gudang dekat pantai.”


“Siapa yang bilang ada hantunya?”


“Nenek saya. Itu katanya waktu saya menunjukkan boneka ini. Kamu tahu? Nenek saya ketakutan. Dia sampai nangis. Untung saya langsung pergi.”

     

“Terus mau kamu apakan boneka ini?” tanya Marlon. Dalam hati dia merasa agak kecewa, karena tak seperti yang diceritakan Elvis sebelumnya, boneka itu tampak biasa-biasa saja di matanya. Sebuah boneka kayu dengan bentuk panjang di bagian badan dan bulat di bagian kepala. Memang boneka itu tak mempunyai kaki dan tangan, tapi wajah boneka itu kelihatan lucu: matanya sipit, pipinya tembam seperti pipi bayi.

     

“Saya belum tahu,” jawab Elvis. “Tapi kalau saya bisa berteman dengan hantu dalam boneka ini, saya bisa memintanya melindungi saya.”

     

“Apa hantu itu bisa melindungi kita dari orang gila?”

     

“Pasti. Sudah saya bilang, Nenek saya saja sampai nangis.”

     

“Tapi, kok ndak kelihatan? Coba kamu keluarkan hantunya!”

     

“Aih, jangan! Nanti kamu juga nangis, terus semua orang jadi tahu.”

     

“Saya kan masih kecil. Belum tua kayak nenekmu.”

     

Elvis tak menanggapi Marlon. Dibungkusnya lagi boneka itu lalu diselipkannya di bagian belakang kausnya.

     

“Sssttt! Ada orang,” katanya tiba-tiba.


Ditariknya tangan Marlon untuk merapat ke tembok. Seperti para pengintai di perang dunia, kedua anak itu mengintip dari bagian tembok yang sudah runtuh. Mereka melihat ke seberang, ke arah deretan rumah beratap seng. 

“Iiiih, orang-orang gila itu mau keluar. Mereka akan menculik dan memakan kita!” seru Marlon. 


Mereka melihat di depan pintu salah satu deretan rumah itu seorang anak laki-laki membawa sangkar burung. Anak itu mengangkat sangkar burungnya sembari menjentikkan jari-jari.


“Kikki, kikkki,” ucapnya. 


Burung dalam sangkar melompat-lompat tampak tak senang. 

     

“Aih, itu kan si Chairil,” kata Elvis.

     

“Chairil Anwar? Kok dia bisa di situ?” tanya Marlon. 

     

“Saya juga ndak tahu. Berarti dia juga orang gila, ya?”

     

“Iii ... saya takut,” bisik Marlon. “Tapi lihat, bajunya sama kayak kita.” 


Kedua anak itu tiba-tiba dihinggapi perasaan senang mengetahui Chairil Anwar juga memakai kaus bergambar si Unyil.

    

“Iya, cuma warnanya saja yang beda. Kamu merah, saya hijau, dia kuning,” kata Elvis. 


Lalu kedua anak itu —seolah telah melupakan semua ketakutan yang tadi datang—tertawa lepas. Suara tawa mereka melompat dan berputar-putar di udara sebelum sampai ke telinga Chairil. Anak itu langsung menurunkan sangkar burungnya dan menatap ke seberang. Elvis bergerak menjauh dari tembok. 


“Aduh!” serunya. 


Kakinya yang tak bersandal menginjak pecahan beling, darah mengucur, membasah tanah.


“Astaga. Kamu akan kena tetanus,” ucap Marlon. 


Hampir menangis, Elvis menggeliat seperti cacing tanah, sebelum kemudian mengeluarkan boneka Jepang-nya. Saat itu, terdengarlah suara azan.


Mataram, 17 April 2021               

  

       


____

Penulis


Kiki Sulistyo, lahir di Ampenan, Lombok. Dua kumpulan cerpennya akan segera terbit, Bedil Penebusan, dan Muazin Pertama di Luar Angkasa. Sehari-hari bekerja di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat. 





Kirim naskahmu ke

redaksingewiyak@gmail.com