View AllProses Kreatif

Dakwah

Redaksi

Postingan Terbaru

Friday, October 18, 2024

Puisi-Puisi Yoga Dzulkarnain

Puisi Yoga Dzulkarnain



Secangkir Cappucino 


di perjumpaan yang dingin

aku pesan secangkir cappuccino

di sebuah rooftop

dekap sunyi yang begitu akrab

tak ada kebisingan yang mampir

kecuali angin yang terus berdesir

menggelitik telinga

berbisik doa-doa

aroma cappuccino perlahan datang

dari bawah tangga

membawa udara baru ke hadapan

bak udara nafasmu yang tertinggal di kamar kosan

secangkir cappucino telah tiba

ia begitu manja di atas meja

memberi tahu bahwa dirinya adalah kekasih

yang sering lupa aku seduh dalam sedih

aku dan secangkir cappucino

saling berbagi kisah dan kasih

dalam ruang yang terus meraung kegalauan

kesepian ini telah lama binal

semenjak kepergiannya yang sudah tanggal


Sumenep, 2024



Montase Tubuh Ijen


di setiap lekuk tubuhnya

Tuhan menitipkan roh sorga di sana

menyuguhkan lembayung dan tarian burung-burung

menyapa para penyair yang sibuk memotret potongan-potongan tubuhnya

dari kaki hingga ke pundak gunung itu

tercium masakan alam yang diracik Tuhan dari dapur ibu

sungai-sungai mengalir tenang membawa doa petani ke hulu

dan sesekali membasuh dosa yang berlumut di batu-batu

pohon-pohon berjajar berdiri dan beberapa menjulang tinggi

tegak serupa alif di setiap kalam-Nya yang suci

di ujung keningnya

kami tiba dengan tabah

membawa keringat dan rasa penat yang penuh rahmat

dari-Nya

pada tubuh Ijen ini

kami meluapkan takjub tak henti-henti

Tuhan, izinkan kami untuk memontase hidangan-Mu ini


Malang, 2024



Montase Tubuh Hujan 


Di setiap lekuk tubuhmu

aku melihat sorga Nya, di sana

menggoda merayu para lajang

mencoba mengasuh para jalang

namun sejauh ini, tak ada Filsuf, Penyair maupun Raja

bahkan Nabi pun belum sempat menjamahnya

sebab, kau punyaku

dan hanya aku yang berhak mendekap lama,

di sana—di setiap lekuk tubumu—yang

begitu jumawah merawat kalam-kalam Nya

Di tubuhmu juga, sungai Kautsar mengalir deras doa-doa

membasuh bebatuan yang berlumutan dosa-dosa kepala

rindang pohonan dan ilalang menjelma tempat teduh

bagi sajak-sajakku

Matahari yang terbit di matamu dan tengelam di mataku

seketika malam menyapa, menimang tubuhku dengan tubuhmu

sambil menyanyikan lagu yang dibawakan angin dari mulut Tuhanmu

lalu kita nyenyak bersama, terlelap tanpa ada cakap yang terucap

hening, tinggal sunyi yang membising

Pada tubuhmu aku ingin baka sebaka-bakanya

bahkan aku ingin menisankan diri di sana,

di tubuhmu di mana montase tubuh Tuhan memanggilku.


Bandung, 2024



Di Meja Penyair


Di atas meja itu huruf-huruf berlayar

menjala rindu di laut nestapa

tersisah doa yang terus bergemuruh

di langit-langitnya

Hening membungkam ruang

menjarah kata dari buku yang terlelap nyenyak

Di meja itu aku diantarkan ke pintu subuh

menjemput amin di setiap tangan yang mulai dingin

syair-syair bertaburan kepada-Nya

tak ada titik, tak ada koma di sana

Di meja itu aku meracik tembakau

yang terbuat dari galau dan risau

lalu membakarnya dengan api yang menyala di kepala

menyalalah, menyalalah hingga fajar ikut menyapa


Bandung, 2024



Tanah Lapang


di tanah lapang

anak-anak menumbuk waktu

kadang mereka saling mengejar

dengan cintanya yang kelabu

tak ada penat di setiap henti

peluh hanyalah kata yang ia kubur di telapak kaki

mereka hidup dalam

bingkai keserumpunan tanah lapang

di mana cinta, rindu dan kepiluan

mereka masak di atas tungku waktu

tempat itu, bukanlah sekedar tempat

yang mereka buat benteng-bentengan

atau ladang petak-umpet

bukan destinasi atau tempat hiburan

apalagi tempat pelarian

tempat itu, tempat ibadah tersuci

di mana mereka bertuhan pada angin

pada pohonan dan ranting-ranting

semua terlapangkan di sana

berlarian, berpanjatan, berlompatan,

dan berlayang-layang di ubun-ubun fajar

sampai musim memanggilnya pulang

suatu saat sebatang kayu panjang

di tangan ibu melambai-lambai

merubah raut wajah tanah lapang itu

murung kepalang dan lesuh berpeluh keluh

hening,

mereka dan tanah lapang

kembali merenggut dingin masing-masing

dari ranting dan dedaunan yang berjatuhan

tanah lapang bakal tetap jumawah

sampai nisan-nisannya mematung di kepala.


Bandung, 2024



________


Penulis


Yoga Dzulkarnain, mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pemuda kelahiran Sumenep Madura. Alumni PP. Annuqayah Lubangsa. Salah satu Kontributor Puisi pada Antologi Puisi Nusantara (Indonesia-Malaysia-Singapura) Identitas, Kemanusian, Kampung Halaman (2023), dll. Karya-karyanya dapat dijumpai di beberapa media online, majalah, surat kabar/koran harian dll. 

Instgram: @mh.dzlkrnn_

Facebook: Yoga Dzulkarnain


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Cerpen Santama | Petaka, Raibnya Mayat, dan Syak Wasangka

Cerpen Santama




Dari pohon yang besar menjulang laksana raksasa, di malam yang jahanam ini, saya mendengar gagak berkoak-koak, terasa tergelak; sedang di atas sang raksasa tampak rembulan yang bulat kemerah-merahan. Saya pandang titik-titik cahaya obor dan lentera di kampung saya, di sebelah selatan: semoga para warga selamat di sana. Kampung saya itu seperti kampung mati, sunyi mencekam, warga berbondong-bondong memburu pintu kayu surau, dan sebagiannya berlindung di rumah saya; ada Wa Juhud yang, dengan anggukan, bersedia saya sumpah melindungi mereka di sana. Lelaki tua itu pastilah terhenyak dan kalut, mesti melakoni tanggung jawab yang berat, karena itu tatapannya begitu kosong dan tak keluar dari mulutnya barang sepatah kata pun. Kami berlindung dari sosok makhluk yang sedari bakda Magrib muncul mengundang celaka. Makhluk itu tak sebesar kerbau tapi lebih besar dari kambing, bersayap hitam lebar seperti sayap kelelawar, sekujur merah terbakar, taring, kuku-kuku runcing. Saya telah lama tahu makhluk itu dari mendiang Nenek, yang mana makhluk itu juga berkaitan dengan kematian bapak saya yang konon seorang tentara.


Suatu hari di bulan Muharam, ketika saya masih kecil, Nenek mengajak saya mencari kayu api. Sepulang dari suatu lembah yang, kata Nenek, menyerap darah-darah, kami meniti hati-hati batu hitam yang tertumpuk, kuyup dan kukuh meningkah sungai yang mengarus, licin tumpuan setelah pejal pematang. Tuntas menyeberang, setelah beranjak dari hutan dan melewati persawahan kecil dan kembali terperangkap hutan, samar-samar saya ingat Nenek bercerita tentang suatu peristiwa kelam di masa silam, yang terjadi di lembah yang menyerap darah-darah itu. Kuduk saya lantas merinding, bak ada tangan tak kasatmata tengah menggerayang ria. Sementara Nenek terus bercerita, saya sibuk melirik ke deretan pohon yang dihantam angin petang, yang daun-daun tuanya bergetar lalu luruh dari ranting-ranting yang ramping sebelum melayang menghambur tanah. Saya juga kerap berbalik, melangkah mundur, takut kalau-kalau ada sesosok makhluk yang menguntit.


"Orang-orang bersenjata, sebelumnya pasti memburu mereka," terang Nenek, dan mereka yang dia maksud mengacu ke orang-orang dalam suatu peristiwa yang diceritakannya.


Peristiwa tersebut berlangsung ketika ibu saya hamil tua, menjelang kelahiran saya. Suatu peristiwa di masa yang genting sekali, kata Nenek. Kekacauan politik, kata orang-orang terpelajar. Ketika itu, barang siapa yang tak berdosa bisa tiba-tiba merasa berdosa, jadi ketakutan sendiri, dan yang jelas-jelas berandil besar atas kecamuk di masa tersebut, punya peran penting, pasti jauh lebih parah ketakutannya, lantas minggat selagi bisa.


Tapi entah siapa sebenarnya mereka, menurut Nenek, orang-orang asing yang dibantai di lembah itu.


Suatu hari, di saat-saat menjelang Magrib, ada dua orang warga yang akan pulang dari gunung. Saat masih melangkah turun: dari arah lembah sekonyong-konyong mereka mendengar suara tembakan yang beruntun, tak terhitung, dan mereka yakin benar itu bukanlah ulah para pemburu babi hutan. Sontak mereka tiarap, ngeri setengah mati. Setelah cukup lama, dan sempat berpikir bahwa yang barusan adalah ulah jahil mambang, dengan nyali yang tipis mereka kembali meneruskan perjalanan. Singkat cerita, di lembah mereka melihat sisa kebiadaban: lima mayat terkapar bersimbah darah. Setelah sampai di kampung dengan lintang pukang dan terengah-engah dan muka pucat, mereka mengabarkan horor itu, dan khalayak yang menyimak tak langsung percaya, tapi melihat roman dua pewarta itu mereka menangkap kesungguhan. Demikianlah, beberapa warga akhirnya berbondong-bondong memeriksa dan benarlah penemuan mengerikan tersebut bukan cakap angin. Lalu, berkat bujukan salah seorang sesepuh kampung di antara rombongan, kata Nenek, warga akhirnya sudi membuat empat liang lahat, tak lagi mempertimbangkan jati diri orang-orang tak dikenal yang dibunuh seolah-olah binatang itu, yang mereka pikir kalau matinya seperti itu pastilah orang-orang tersebut adalah orang-orang yang jahat dan pantas mati dalam cara demikian. Dan sang sesepuh kampung tak ingin mayat-mayat itu berbagi celah di makam tunggal besar.


"Mengapa hanya empat?" potong saya, mendapati keganjilan.


Itulah anehnya, kata Nenek. Dua orang warga yang pertama kali menemukan mayat-mayat itu, dengan setengah yakin, mengatakan bahwa mereka melihat lima mayat, tapi nyatanya hanya ada empat mayat, yang satunya mungkin mati suri. Atau mungkin sebenarnya memang hanya ada empat mayat, dua orang warga yang pertama kali menemukannya hanya salah lihat, suara terbanyak bersepakat atas kemungkinan terakhir.


Cerita Nenek belum lagi rampung ketika kami melintas di depan pabrik kopra, bangunan teramat sederhana tempat disiapkan banyak-banyak daging kelapa bakal minyak. Tempat itu, semasa saya kecil, terletak berbatasan dengan hutan, itu artinya kami telah sebentar lagi sampai di perkampungan. Tak ada isyarat apa pun bahwa Nenek kelak lanjut bercerita sewaktu-waktu, dan saya tak memastikan itu kendati saya tahu betul dia belum memungkasinya. Saya sebelumnya sempat memendam kesal lantaran Nenek bisa ringan hati berbagi cerita demikian ke bocah seusia saya. Lalu, dari pengungkapannya sendiri, mafhumlah saya apa maksud Nenek bercerita. Dasar orang tua.


"Sekarang kau sudah tahu lembah dan hutan di sana menyeramkan, bocah bengal. Awas kalau masih suka keluyuran tak kenal waktu."


Malam harinya, ketika kampung nyaris diamuk badai, di rumah kami berkumpul di ruang tengah. Di luar angin menyapu menderu-deru, Ibu yang tengah mengupas satu-satu kulit buah melinjo sesekali berkomat-kamit, sementara saya memainkan bayangan tangan yang dihasilkan cahaya lentera. Jemu, saya beringsut mendekati Nenek yang tengah mengunyah sirih. Tanpa saya perlu mengutarakan niat, nenek saya lalu meneruskan ceritanya seraya sesekali meludah ke bejana.


"Empat mayat itu akhirnya dikuburkan," kata Nenek, seingat saya dengan suara yang dipelankan.


Nenek bilang selang dua hari Bapak pulang ke rumah kami, atau mungkin dengan berat hati harus saya sebut menjenguk, yang jarang sekali, ke tempat tinggal istri keduanya: ibu saya. Sepekan kemudian, tak pernah terbayangkan sebelumnya, muncul makhluk mengerikan. Gentayangan di kampung.


Sekonyong-konyong saya menjerit ketika pohon pisang tumbang di pekarangan. Nenek tertawa-tawa. Giginya merah bagai berlumur darah. Saya meringis. Sesaat setelah kembali bercerita rautnya lalu berubah, tepat ketika dia berkata makhluk mengerikan yang dia maksud merenggut nyawa empat orang warga. Mencuri dengar cerita itu, Ibu tertarik perhatiannya. Dia menatap Nenek. Sorot matanya menyiratkan sesuatu.


Makhluk itu, lanjut Nenek tak menggubris tatapan Ibu, membunuh orang-orang yang, oleh warga sendiri, dianggap miring dan berwatak tak elok. Di antaranya Mistar si tengkulak kikir, Rantak si tuan tanah yang dengan siasat culas kerap merampas tanah warga, Sero si bramacorah. Mereka serentak tiada di malam Selasa, sebulan sebelum saya lahir. Seorang warga memergoki Langlangpukat, kerabat Mistar yang seratus hari telah wafat, membunuh si kikir dengan golok. Langlangpukat yang dilihatnya itu lalu beralih wujud menjadi makhluk yang tak sebesar kerbau tapi lebih besar dari kambing, bersayap hitam lebar seperti sayap kelelawar, sekujur merah terbakar, taring, kuku-kuku runcing. Makhluk itu lalu hinggap dan menempel sejenak di batang besar pohon kecapi, sebelum terbang di langit kampung yang mendung.


"Tapi bapakmu, korban keempat, harusnya pengecualian, harusnya ... tapi entah kenapa ...."


Sejak itulah saya tahu Bapak wafat bukan di ranjang ataupun pertempuran.


Saksi mata kematian Mistar lalu mengirim suara kentungan yang bertalu-talu di antara gelegar guntur, dia berteriak menjelaskan musabab perkara sesanggup yang dia bisa. Telah jatuh titik-titik hujan yang pertama, ketika Bapak dan Rantak beserta anak buahnya terpanggil undangan kentungan yang dibunyikan, sementara makhluk terkutuk hinggap di atas rumah Sero, menyibak genting-genting. Si tuan tanah ketika itu menenteng bedil angin, yang lalu diserahkannya kepada bapak saya. Bapak mulai mengokang, tapi terlambat; dari dalam, dinding-dinding bilik rumah Sero meloloskan pekik memilukan penghuninya yang lelap, lalu makhluk itu kembali terbang menerjang atap, di antara kilat yang menyambar-nyambar. Mereka lantas bisa lebih jelas melihatnya. Dalam sekejap bedil angin yang mengoyak udara terbanting ke tanah, Bapak dan Rantak dan satu anak buahnya tumbang tanpa sempat mengerang. Hujan turun deras, memadamkan obor-obor. Sang saksi yang masih memegang kentungan terberak-berak, tapi beruntung dia selamat. Dari dialah kejadian mengerikan itu menjadi kenangan buruk di tiap benak warga kampung.


Kini sang makhluk ulang memampang durja. Menyambut petaka, di rumah saya, bermunculanlah syak wasangka.


"Dosa besar membangkitkan dia, si pengkhianat, melahapnya pun bumi tak sudi," kata seorang warga.


"Jangan berbual yang bukan-bukan," jawab yang lain, "bahkan orang tua-orang tua kita waktu itu tak tahu siapa dan apa dosa orang-orang yang mati di lembah. Harusnya diadili dulu. Dan kalaupun benar makhluk itu adalah satu mayat yang hilang, segalanya tak akan terjadi kalau tak ada pembantaian, bukan? Dan harusnya tak hanya satu yang terbangkit kembali."


Seorang lagi meyakini: petaka yang melanda kampung ini tak lain lantaran dulunya warga kampung dipengaruhi syak wasangka yang buruk, seolah-olah kematian orang-orang asing di lembah adalah kematian yang diharapkan.


"Barangkali mayat itu bangkit secara ajaib demi bisa bersaksi."


Ihwal mayat yang raib itu, saya lebih percaya darah di sekujurnya menguar diterbangkan angin lembah, terendus penciuman hewan-hewan belantara yang liar lagi lapar, itu pun kalau memang benar penglihatan dua orang warga yang dulu pertama kali menemukannya. Saya tak ingin memikirkan itu untuk sementara. Saat ini yang terpenting ialah bagaimana cara mengusir makhluk itu, bahkan membikinnya binasa kalau bisa, selagi dia, dalam kesaksian pertama kalinya dari seorang warga, gentayangan di suatu pojok kampung dan muncul-lenyap di antara pucuk-pucuk pohon kelapa.


Kemunculan kembali makhluk itu bersamaan dengan kepergian Kyai Jafar yang konon ke tanah Makkah. Bersama tiga pemuda, saya dalam perjalanan mengambil tongkat Syekh Abdul Majid, konon penangkal kejahatan gaib. Percaya tak percaya, saya tetap manut. Diterangi lentera, kami tersaruk-saruk ke makam keramat. Saat tengah bersila di samping makam Syekh bermaksud mohon restu, di antara lengking jangkrik dan dengung nyamuk saya mendengar sesuatu bergerak, menginjak hamparan daun kering dan semak-semak. Dari belakang punggung saya, cahaya tampak mengambang. Datanglah seseorang yang memegang obor. Wa Juhud! Kami yang di makam beradu tatap, kompak terperanjat. Tak mungkin Wa Juhud mengumpankan warga. Ini tipu muslihat: dialah makhluk itu!


Dengan golok terhunus, saya nekat merangseknya, dia berlagak kebingungan. Di antara lengking Takbir salah seorang saya pasti telah menebasnya, jika saja dia tak berteriak mengejutkan, "Lihat, saya sanggup memegang Mushaf! Edan, tak biasanya, sejak Zuhur saya pulas di ladang, dan beberapa saat baru terbangun sebelum pulang ...."


Sontak saya terhenyak, gemetar meneguhkan hati, keras berusaha yakin, atau berharap, bahwa warga yang ada di rumah saya adalah orang-orang yang baik, betapa pun kemunculan makhluk itu tak berarti lain kecuali ada yang akan mati. Sekejap kemudian saya kembali bertanya-tanya: mempertimbangkan korban-korbannya, mengapa makhluk itu harus ... Tidak, tidak, makhluk terkutuk itu telah membunuh bapak saya! 


________


Penulis


Santama, lahir dan tinggal di Pandeglang, Banten.


Kirim naskah ke 

redaksingewiyak@gmail.com 


Tuesday, October 15, 2024

Berita | BPK Wilayah VIII Jakarta dan Banten Menginisiasi Dialog Budaya dalam Bingkai Moderasi

 


NGEWIYAK.com, CILEGON -- Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah VIII Provinsi Jakarta dan Banten menginisiasi dialog kebudayaan yang mengusung tema "Keberagaman Budaya dalam Bingkai Moderasi". Dialog ini menghadirkan kurang lebih lima puluh peserta yang terdiri dari perwakilan tokoh lintas agama, pegiat budaya, institusi perguruan tinggi, OPD kota dan kabupaten se-provinsi Banten, juga komunitas atau forum kerukunan umat beragama. 


Kegiatan ini dilaksanakan pada 26 Oktober 2024 di Auditorium Training Center Dindikbud, Kota Cilegon, Banten. Dialog budaya dalam bingkai moderasi beragama dilakukan sebagai upaya menemu-kenali dan mengeksplorasi pandangan dari tokoh lintas agama di Provinsi Banten melalui pendekatan budaya. Tiga narasumber mengawali pandanganya melalui forum ini, di antaranya Dr. Helmy Fauzi Bahrul Ulumi (Peneliti di Laboratorium Bantenologi dan Akademisi UIN SMH Banten), Endang Retno Lastani (Presidium MLKI), dan H.A.M. Romly (Ketua FKUB Banten). 


Helmy mengatakan bahwa berdasarkan temuan-temuan arkeologis, Banten termasuk wilayah yang mengalami fase sejarah yang cukup panjang dimulai dari fase prasejarah hingga saat ini. 


"Banten adalah wilayah multikulturalisme yang merepresentasikan kehidupan masyarakatnya. Keberagaman di Banten dapat kita telusuri diberbagai dokumen sejarah seperti yang tertulis di Babad Banten," ungkap Helmy.


Helmi menambahkan bahwa karakter orang Banten yang heterogen dan bersifat inklusif atau terbuka menandakan kehidupan sosial masyarakat Banten yang moderat dibuktikan dengan adat istiadat dan keberagamanya yang masih bisa dibuktikan hingga saat ini. 


"Beberapa etnis atau suku, baik di masa lalu maupun masa sekarang, mereka sudah tinggal di Banten dalam waktu yang lama. Mereka adalah Etnis Baduy, Etnis Sunda Banten, Subetnis Jawa-Banten, Etnis Bugis, Etnis Lampung, Etnis Tionghoa, dan Etnis Betawi Oral," pungkasnya. 


Retno Lastani memberikan pandangan yang menarik bahwa dialog ini adalah upaya merawat dan melestarikan warisan budaya leluhur sebagai kekayaan sejarah dan peradaban di Banten. Ia menambahkan bahwa penghayatan kepercayaan di Banten sudah mulai tumbuh sejak lama. 


"Meskipun Banten dalam beberapa survei masih menjadi wilayah dengan tingkat penyuplai paham ekstremis yang cukup rentan, dialog budaya yang bertajuk moderasi ini sangat relavan dilakukan karena kunci untuk menjaga kerukunan lintas agama dan kepercayaan," imbuhnya.


H.A.M Romly, Ketua FKUB Banten mengatakan bahwa kerukunan umatnberagama atau hubungan antarumat beragama yang harmonis adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya. 


"Juga kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945," ungkapnya. 


Dialog budaya dalam perspektif moderasi beragama yang dilaksanakan oleh BPK Wilayah Delapan ini berjalan cukup interaktif. Beberapa peserta menyampaikan pemahamanya sesuai dengan latar sosial-kultur di lingkunganya masing-masing. Melalui kegiatan ini diharapkan menjadi titik berangkat untuk membangun dan bergandengan tangan menjaga dan memanifestasikan kehidupan harmonis melalui penguatan nilai-nilai multikulturalisme terutama di Provinsi Banten.


(Redaksi)


Friday, October 11, 2024

Cerpen Herdiana Randut | Ritual Suci di Selasar Desa

Cerpen Herdiana Randut



Bunyi gong dan gendang berkumandang pada selasar desa. Seluruh warga berpakaian hitam pertanda hati yang sedang berkabung. Perempuan-perempuan desa mendengungkan kidung duka untuk desa yang lara. Anak-anak sedang memikul bakul berisi hasil bumi. Kepala suku membawa sesajian dalam rupa minyak, kayu cendana, dan tanah sejumput. Wangi dupa, lantunan kidung duka, dan alunan musik menyatu dalam uraian-uraian doa. Saat ayam berkokok dan anjing melolong suatu sore itu, aku melihat sejumlah warga tunduk bersujud pada tanah yang dipijaki. Aku ikut bersujud dan memanjatkan doa untuk desaku tercinta. Sesajian dihantar menuju sumber mata air. Seluruh warga berarak-arakan diiringi lantunan musik dan kidung duka. Saat tiba pada sumber mata air tersebut. Sesajian disimpan dalam bakul rotan dan diletakkan pada permukaan air. Kepala suku dan ayah berdoa dengan bahasa yang tak dimengerti warga. Bersahut-sahutan seperti para peratap Israel menyanyikan kidung kematian.


Dua jam lamanya ritual dilakukan, dua jam kesyahduan, dua jam penuh khidmat. Tak ada hambatan atau pun rintangan. Warga kembali ke rumah masing-masing membawa segala harapan agar desa lekas pulih. 


***

 

“Selasar desa adalah pintu masuk ke desa ini. Arak-arakan harus diringi musik dan kidung duka agar Kakek Waimin mengetahui kedatangan kita. Saat kita berada di selasar desa, musik harus mulai dibunyikan dan kidung dilantunkan. Musik dan kidung memberi tahu para leluhur bahwa kita sudah berada pada selasar desa ini. Seperti undangan dan panggilan untuk mereka,” Ayah menguraikan satu persatu rentetan ritual suci yang terjadi kemarin. 


“Mengapa sesajian diberi kepada Kakek Waimin?” aku bertanya kepada Ayah. Rasa ingin tahuku semakin menggebu-gebu ketika Ayah mulai bercerita.


“Dia adalah leluhur desa ini,” Ayah menjawab singkat. Aku melihat Ayah sedang berpikir. Aku hanya bersangka kalau Ayah sedang berpikir hal apa lagi yang akan diceritakan padaku saat itu.

 

“Aku tak bisa melihat seperti apa sosok Kakek Waimin itu. Kepala Suku kitalah satu-satunya orang yang bisa melihatnya. Sejak ritual suci kemarin, aku diberitahu oleh Kepala Suku kalau dugaanku selama ini benar. Kakek Waimin adalah makhluk lain. Ia bersemayam pada mata air itu,” Ayah menambahkan ceritanya.

 

“Tetapi masyarakat tak tahu itu. Mereka mengira jika Kakek Waimin dikubur pada selasar desa. Tempat pertama kali ia menginjakkan kaki di desa. Karena hal tersebut, kita wajib memulai ritual suci apa pun di desa ini pada selasar desa.” 


“Lantas Ayah, mengapa masyarakat tidak diberitahu tentang Kakek Waimin itu? Lalu, bagaimana ia bisa membangun selasar desa?” aku bertanya dan terus bertanya. Aku yakin jika Ayah bisa menceritakan kepada warga tentang Kakek Waimin.


“Tidak, hal itu tidak penting anakku. Yang terpenting ialah warga tidak melakukan pencemaran pada selasar desa dan sumber mata air kita. Kita patut menghormati kewibawaan tempat-tempat ini serta menghargai kepercayaan warga desa tentang Kakek Waimin, ” ayah berbicara dengan tegas dan lugas. Ia tak mau mengganggu kepercayaan warga desa jika Kakek Waimin adalah manusia.


“Ia menjelma sebagai manusia biasa. Lalu, membangun selasar desa. Kemudian ia membangun sebuah gubuk bambu tak jauh dari sumber mata air itu. Ia sering duduk dan bercerita bersama warga dari desa lain yang memiliki lahan di sekitaran wilayah ini. Setahun kemudian, beberapa orang pindah dan membangun rumah pada desa ini.”


Aku mengangguk-ngangguk mendengar pernyataan ayah. Selasar desa menjadi pusat musyawarah dan berlangsungnya peristiwa-peristiwa penting dalam desa.


***


Seminggu yang lalu Ayah tidur di ladang. Ayah khawatir ladang kami ditumbuhi ilalang dan rumah bagi belalang. Sebab ia baru saja menanam padi ladang sebidang. Ia juga harus menjaga lumbung padi. Apalagi menghadapi musim lapar. Ya, banyak warga mengeluh kekurangan beras.


Hari itu Ayah memutuskan tidak ke ladang. Ia duduk depan teras rumah sambil merokok ditemani secangkir kopi hangat. Jika ia tidak ke ladang, begitulah ia mengawali harinya. Terkadang Ayah menengok ayam-ayam peliharaan kami di kandang belakang rumah. Kendati ia jarang memberi makan ayam, namun ia selalu menyempatkan diri bertengok ke kandang. Hanya ibu yang pandai merawat ayam. Jika aku libur, aku selalu membantu ibu. Memerhatikan binatang peliharaan dan sesekali ke ladang menemani Ayah. Ia senang bercerita. Ia seringkali mengisahkan sejarah bangsa, cerita rakyat, dan kisah-kisah budaya lainnya. Ayahku menjadi guru desa, berkeliling dari kampung ke kampung, mengajarkan tatanan budaya dan hidup sosial kepada masyarakat desa. Hal itulah yang membuat Ayah cukup disegani di desa kami.

 

Konon kata Ayah dahulu kala desa kami adalah desa yang subur, Makmur, dan aman. Hasil panen yang tak pernah gagal, sumber air tak pernah mati, dan kehidupan masyarakat desa yang cinta damai. Hampir tak ada pertikaian atau percecokan antarwarga desa. Aparatur desa selalu bekerja dengan baik dan bertanggung jawab. Waimin nama desa kami. Ayah berkata asal muasal desa ini diberi nama Waimin. Katanya karena ditemukan oleh Kakek Waimin. Kakek Waimin dianggap leluhur oleh warga. Bagi Ayah sulit menjelaskan kepada warga tentang kepercayaan ini.


Dua tahun terakhir warga mengeluh kekurangan air pada ladang, berharap hujan akan datang. Beberapa kali, tapi tak berlimpah.. Hujan beberapa kali itu, belum cukup untuk menghidupkan padi, jagung, dan kacang-kacangan. Sumber mata air desa tempat satu-satunya untuk bersandar pun semakin sedikit memberikan air. Warga desa terus mengeluh. Padi pada lumbung-lumbung mereka hampir habis, sedangkan hidup masih terus berlanjut. Untuk anak cucu yang terus bertumbuh, segala cara dilakukan oleh segenap warga.

 

“Mungkin kita akan melaksanakan ritual itu lagi, ” Kepala Suku menutup pertemuan siang itu bersama aparatur desa. 


“Mari pikirkan kapan sekiranya ritual itu dilakukan lagi, ” ia mengajak aparatur agar memikirkan waktu yang tepat. 


***


“Apakah yang sedang kau cemaskan? ” tanya Ayah kepada Kepala Suku sore itu selepas pertemuan berakhir.


“Sebulan yang lalu kita duduk berembuk agar ritual itu dilakukan. Sebulan sudah setelah ritual itu, aku melihat tak ada tanda-tanda hujan datang dan kondisi mata air masih seperti semula. Warga menanti dengan penuh harap. Tapi, penguasa langit belum menjawab. Aku kira penguasa langit sedang menguji kita.”

 

“Aku sepakat denganmu. Tak ada cara lain selain ritual suci itu dilakukan lagi. Jika hujan tak datang setelah ritual kedua dilakukan, ritual yang sama dilaksanakan lagi, ketiga kali,” Ayah memberikan tanggapannya kepada Kepala Suku.

 

Ayah selalu optimis jika hujan akan datang dan kelaparan akan berakhir. Baginya ritual di selasar desa itu akan menghantar warga kepada kemakmuran seperti sedia kala. 


“Leluhur adalah orang-orang yang dekat dengan penguasa langit. Mereka mengetahui ratap tangis warga. Mereka hidup bersama kita di dalam desa ini. Sudahlah, kau tak perlu cemas berlebihan. Ini bukan kesulitanmu saja, kan? Aku tahu warga pasti akan datang pada kita. Biarlah semesta menyampaikan sujud kita dan leluhur mengirim energi itu sehingga penguasa langit menyampaikan kabar yang dinanti-nantikan,” Ayah menepuk bahu Kepala Suku dan menatapnya penuh optimis.

 

***


Malam hari, tepat pukul tujuh, ritual suci itu dimulai untuk kedua kalinya. Aku ingat ayah pernah bilang pada ritual yang kedua “semesta bersama kita”. Bunyi gong dan gendang berkumandang. Kidung duka dilantunkan lagi. Pada selasar desa seluruh warga berkumpul, bersujud sembah di atas tanah yang dipijaki. Sebagian warga menangis, bersujud, menengadah, dan saling berpegangan tangan. Air mata permohonan ikhlas nan tulus diungkapkan malam itu. Tak kuasa aku hanyut dalam isak tangis warga yang sungguh merintih kelaparan.

 

Ayah dan Kepala Suku kembali mengumandangkan doa, bersahut-sahutan diiringi gong dan gendang. Sesajian dalam bakul disimpan pada permukaan air. Asap dupa membubung ke langit dan wangi sesajian tercium mengalahkan kegelapan malam suci itu. Dua jam pun selesai. Warga kembali dalam kesunyian malam. Ke rumah tempat menanak nasi dan merawat anak cucu. 


Pukul tiga dini hari, ayah terbangun saat mendengar petir dan angin kencang. Saat ia hendak membuka pintu depan, rintik-rintik hujan perlahan-lahan menumpahkan diri, kemudian hujan semakin deras. Ayah tersenyum dan kembali menutup pintu. Ia membangunkan Ibu dan aku. 


“Penguasa langit mendengar doa-doa kita. Terjawab sudah ritual suci di selasar desa. Kita harus bertemu warga di selasar desa esok hari mengubah kidung duka lara menjadi kidung puji-pujian kepada penguasa langit dan leluhur,” Ayah bertutur dini hari sambil bersyukur kepada penguasa langit.


______

Penulis

 

Herdiana Randut, kelahiran Januari 1994. Menyukai puisi dan cerpen. Beberapa puisi dan cerpen pernah dimuat dalam buku antologi cerpen Rembulan (2024) dan antologi puisi Trauma (2024). Anggota Komunitas Sastra Saung Karsa, Komunitas Puandemik Indonesia dan Woke Asia Feminist, sekarang menjadi Ketua Komunitas Puan Floresta Bicara serta kolumnis dan editor di media krebadia.com


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com


Puisi-Puisi Faris Al Faisal

Puisi Faris Al Faisal




Sinar


Masih mencari sinar dari Samudra Hindia

Lintas di kaki langit  

di hadapan maut, meliuk mengikuti banyak cerita

yang melimpah 


Selama pencarian kuratapi pancaran 

yang hilang, 

pekerjaan menjadi berat 

ditusuk ngeri, ditusuk ngeri

mengoleksi tangis


Sirip-sirip ikanku menyusuri 

Pesan-pesan kukirimkan, berlari mengejar informasi     

laut menghitam, dukacita kelam

hati tak boleh menyerah, 

mengambil bunga-bunga, mawar laut



Tutup


Pada cangkang moluska, tutup seluruh tubuhku.

Sembunyi dari bolak-balik matamu, 

menumpuk sedih.

Kaki siputku akan berjalan, 

entah kapan 

sampai. Lama, rencana-rencana tumbang.

Tongkang mengambang.

Apa coba?   

Tiba, tapi kondisi mungkin sudah berbeda.

Rumah-rumah spiral, 

keras.

Aku tetap melunak, 

dalam ketertutupanku.



Shower


Setelah satu siraman, menyelesaikan semuanya.

Kelembutan busa sabun pergi, yang tertinggal wangi 

berwarna-warni.  

Selembar handuk mengangkat banyak hal,

kering ke asal.

Pancaran itu, kembalikan semangat 

yang berpeluh, berkeluh.

Kepala yang diguyur, 

tangan yang dicuci,

kaki yang dibasuh.

memperlihatkan kerja air

terus mengalir.

Seperti ibu merawatku dulu, 

dengan air mata. 



Telur     


Pagi ini aku menetaskan telur

Hanya lima butir dan setelahnya tak pernah bertelur lagi

Meski tidur di jerami berbulan-bulan, 

tahun ke tahun

Terjadilah!

Kehendak Tuhan, telur-telur itu 

jadi bocah   

mungil; kecil  

Seperti ayam berkokok membuka hari

Jalunya meninju keheningan

Ekornya mengangkat cerita

Cairkan ribuan soneta

Ambil bunga rimba

Nyanyikan merdu dunia

kepadaku, 

yang anggapnya surga



Seni


Seni menginap di kamarku

menetap hinggap 

jadi jiwa

Aku menyukainya—para pencipta gila

Mengisi kepalaku

Ide liar 

sifat artistik

dari dunia dan kata

menghendaki resital puisi

di pagi buta

di siang bolong

di sore senja kala  

di malam gulita

keajaiban

kutemukan pintu

membuka hal-hal yang menyenangkan


______

Penulis


Faris Al Faisal, penyair. Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Indramayu dan Ketua Lembaga Basa lan Sastra Dermayu.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Berita | MGMP Bahasa Indonesia SMP Kota Serang Rayakan Puisi "Aksara-Aksara Lugu" Kubah Budaya

 


NGEWIYAK.com, KOTA SERANG - Pengurus dan Anggota MGMP Bahasa Indonesia SMP Kota Serang antusias mendengar penyampaian materi puisi dalam ”Peluncuran Buku Puisi dan Pembacaan Puisi”. Kegiatan ini berlangsung di SMPIT Widya Cendekia (Wicend), Lingkungan Muntil, Kec. Serang, Kota Serang pada Jumat (11/10).

Buku yang diluncurkan dalam kegiatan tersebut berjudul Aksara-Aksara Lugu karya para penyair Kubah Budaya Banten. Narasumber yang diundang adalah Wahyu Arya (jurnalis) dan Sulaiman Djaya (penyair).


Wahyu mengatakan bahwa puisi jangan dipahami sebagai teori, tapi utamakan dari pengalaman.


”Ambil diksi yang dekat dengan kita. Ajak siswa keluar kelas untuk menangkap ide,” ujarnya.


Ketua Kubah Budaya periode awal tersebut juga menambahkan bahwa siswa yang berhasil menulis puisi karena di belakangnya ada guru yang hebat.


”Guru juga harus menjadi role model bagaimana menghasilkan puisi yang baik,” ujar Wahyu lagi.


Narasumber kedua, Sulaiman Djaya, menjelaskan konsep puisi dari Al-Qur’an. Ia pun membacakan potongan surat An-Najm. Menurutnya Al-Qur'an memiliki kekuatan sastra yang luar biasa.


”Al-Qur’an bisa dihafal karena ada harmoni, mukjizat bahasanya, keindahannya. Kita bisa belajar sastra dari Al-Qur’an,” ujarnya.


Disela-sela diskusi, Sulaiman juga berkelakar bahwa PUISI itu akronim dari Penyair Umumnya Imajinasinya Selalu Inspiratif.  Para peserta pun tersenyum mendengar definisi dari narasumber yang berprofesi sebagai petani tersebut.


Para peserta dalam ruangan sangat antusias bertanya-jawab dan saling berbagi kepada narasumber. Salah satunya Khaeriyah, guru SMPN 9 Kota Serang. Ia bercerita tentang pengalamannya mengajarkan puisi kepada anak-anak didiknya yang tentu saja mempunyai kepribadian yang berbeda.


”Karena berbeda, guru harus memberikan banyak pancingan, misalnya menayangkan gambar, video, atau objek yang anak sukai sehingga mereka terinspirasi,” ujar Khaeriyah.


Ketua MGMP Bahasa Indonesia SMP Kota Serang, Yati Suryati, mengatakan bahwa kegiatan semacam ini sangat penting dilakukan, terutama bagi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia.


”PR kita bersama adalah kita sebagai guru, tidak hanya mengajari anak-anak menulis. Kita juga perlu belajar menulis puisi dengan baik, salah satunya dengan kegiatan hari ini. Semoga kita bisa mendapatkan banyak ilmu, juga ke depannya bisa menghasilkan karya berupa buku, khusus karya guru-guru MGMP ini,” pungkasnya.

(Redaksi)

Friday, October 4, 2024

Cerpen Fauzan Murtadho | Monolog Sayur dan Bumbu Seblak

Cerpen Fauzan Murtadho



Aku dan istriku sedang menatap langit yang terang oleh bulan dan berhias bintang-bintang. Duduk di teras berdampingan. Berpelukan. Angin malam hari ini membuat kami bergairah untuk menyantap makanan yang lezat dan berkuah. Terbayang ketika menyeruput kuah dari makanan itu membikin seluruh badan hangat dan sensasi nyaman yang tak tertandingi. Memang malam ini kami sedang berbincang merencanakan untuk masak sesuatu yang menghangatkan.


“Bagaimana kalau mi?” tanyaku kepada istriku.


“Aku bosan. Kalau yang lain?” 


“Seblak?”


“Boleh juga tuh. Tapi Mas yang masak ya? Sayuran dan bumbu-bumbunya sepertinya ada di kulkas,” pinta istriku.


Mau tidak mau, aku coba turuti apa pun keinginan istriku. Aku khawatir ia akan berbuat macam-macam lagi. Karena pernah suatu ketika, ia minta dibelikan sekotak donat yang berisi dua belas. Sedang kami hanya berdua di rumah. Tidak ada sesiapa lagi.


“Kita hanya berdua, kenapa enggak beli yang setengah lusin saja? Dua belas itu kebanyakan,” pintaku kepadanya.


“Ya sudah. Gak jadi,” jawabnya dengan nada ketus dengan air muka yang mengesalkan.


Apa? Emang kenapa, sih? Apa ada yang salah? Kenapa perempuan itu selalu merumitkan segala hal yang sepele. Siapa yang mampu menghabiskan dua belas donat oleh dua orang? Itu masuk akal. Terlebih, aku adalah orang yang tidak terlalu suka dengan makanan yang manis. Dan istriku tahu itu.


Beberapa teman tongkoronganku pernah mengeluhkan perihal yang sama tentang istri-istri mereka. 


“Aku pernah memberikannya sebuah jam dan harganya lumayan. Masa aku suruh kembalikan karena merasa jam itu tidak berguna,” ujar temanku yang pertama. Aku dan temanku yang lain mentertawakannya.


“Itu masih mendingan. Aku pernah membuat semangkuk masakan untuk kami makan berdua. Karena rasanya tidak sesuai dengan selera istriku, akhirnya kami bertengkar hebat dan ia meminta cerai kepadaku,” ujar temanku yang kedua. Kami terdiam. Mengambil kopi dari meja dan berpura-pura menyeruputnya. Seketika suasana hening.


***


Aku beranjak menuju dapur, meninggalkan istriku sendirian di teras. Pikiranku sedikit kacau. Tidak yakin dengan hasil makanan yang akan aku hidangkan nanti. Dalam hati aku bertanya.


“Apa aku bisa memasaknya?”


Sampailah aku di depan pintu kulkas. Yang di dalamnya terdapat banyak sekali bahan makanan. Aku ingat, istriku menyimpan buku resep masakan di atasnya. Aku coba mencarinya. Setelah mendapatkannya, aku mencari lembaran kertas yang menjelaskan bagaimana cara memasak seblak.


“Di buku tertulis, ada dua resep seblak yang bisa dibuat. Ada yang manis gurih dan ada yang asin gurih,” aku berpikir keras. Sangat bertentangan sekali. Istriku senang dengan masakan yang manis dan gurih. Sedangkan, aku suka masakan yang asin dan gurih. Jadi, seharusnya aku masak seblak dengan selera siapa? Aku atau istriku? Ah, sial. Belum masak saja begitu memusingkan kepala.


Aku coba kumpulkan lebih dulu beberapa barang yang tertulis di buku resep. Namun, ada beberapa barang yang asing di depan mataku.


“Sawi, ada. Kol, ada. Kerupuk juga sudah ada. Kencur? Yang mana kencur?” aku menatap dengan ragu tiga akar yang berada tepat di depan mataku. Kalau dilihat dari tampilannya memang masing-masing memiliki detail dan aroma yang berbeda-beda. Yang satu, berukuran agak besar dari yang lainnya dan memiliki aroma yang khas. Yang satunya lagi memiliki ukuran lebih kecil dari yang pertama, harumnya juga sangat aromatik dan memiliki warna yang sangat pekat. Satunya lagi, ukurannya lebih kecil dari yang pertama dan kedua, harumnya juga aromatik.


“Nah, sekarang aku tahu, kalau yang ini kunyit. Terlihat dari warnanya yang kuning pekat.” gumamku. 


Jadi, tersisa dua akar yang berada di depanku. Tapi, aku masih belum mengetahui yang mana yang kencur. Tiba-tiba khayalan dalam benakku muncul. Barang-barang itu berbicara kepadaku. Pikiranku bertarung.


Akar Paling Kecil


"Heh, kenapa kamu masih ragu? Pilih aku! Istrimu pasti bakal klepek-klepek deh. Siapa yang nggak suka dengan rasa manis gurih?"


Kerupuk


"Seblak tanpa aku? Itu sama saja dengan hidup tanpa cinta! Ayo, masukkan aku, dan seblakmu akan jadi istimewa!"


Akar Paling Besar


"Ah, kalian berdua ini! Aku yang paling penting! Hangatku bisa mengusir semua masalah. Siapa tahu, setelah makan, istrimu malah ngajak kamu berciuman!"


Sawi


"Ciuman? Haha! Pasti ciuman pahit kalau dia salah pilih! Sayuran seperti aku yang bikin seblak jadi segar. Tanpa sayuran, seblakmu bakal kering dan hambar!"


Kerupuk


"Eh, kalian semua sibuk berdebat, tapi yang terpenting adalah rasa! Kalau kamu pilih salah satu dari kita, bisa-bisa kamu berurusan dengan pengacara perceraian, lho!" 


Sial, pikiranku tidak mau berdamai. Ditambah lagi, cerita dari teman-temanku yang sangat mengkhawatirkan itu masih melekat jelas dalam ingatanku. Aku takut kalau istriku tidak berselera memakan masakanku. Sudahlah, yang penting aku coba dulu.


Pertama, aku akan menghaluskan bumbu-bumbunya. Bahan-bahannya adalah bawang putih, bawang merah, kemiri, cabe rawit, cabe merah dan kencur. Namun, dalam benakku akar-akar itu berbicara lagi.


“Apa kamu cuma mau memasukkan satu akar saja? Jangan salahkan aku kalau seblakmu rasanya hambar!” ujar Akar Paling Kecil itu.


Baiklah, aku akan memasukkan semua barang, termasuk dua akar itu. Tapi, apa ini akan terasa pedas atau tidak ya? Katanya, seblak kalau tidak pedas itu tidak nikmat. Baiklah, aku masukkan saja segenggam cabe rawit.  Setelah bumbu-bumbu itu halus, tumis sebentar. Setelah aku siapkan wajan. Menuangkan minyak ke dalamnya dan memanaskannya di kompor. Suara renyah pun keluar saat aku tuangkan bumbu itu kedalam wajan.


“Uhuk-uhuk. Wah, ini sepertinya terlalu pedas,” aku mengeluh dalam hati, sambil mengipas-ngipas asap yang keluar dari wajan menghampiri hidungku dengan tangan.


Setelah beberapa detik aku menumis bumbu, selanjutnya aku tuangkan air secukupnya. Setelah itu, kerupuk dan sawi dimasukkan. Aku masukkan gula dan penyedap rasa supaya menambah cita rasa yang menggiurkan. Aku tambahkan tanpa mengicipinya. Satu sendok, dua sendok, sampai tiga sendok gula aku masukkan. Karena istriku suka makanan yang manis.


Ketika semua telah selesai, dan seblak siap dihidangkan. Aku mengambil sendok dan mencoba untuk mencicipinya.


“Ah, sial. Terlalu manis! Ini seblak apa manisan kerupuk? Rasanya juga tidak jelas!” hatiku protes.


Aku tidak yakin bahwa istriku akan suka dengan masakan ini. Aku coba mencari pelastik untuk membungkusnya dan berniat membuangnya.


***


Aku keluar menghampiri istriku dengan tangan hampa. Duduk kembali di sebelahnya.


“Lho, seblaknya mana?” tanya istriku keheranan.


“ Hmmm. Bagaimana kalau kita ngebakso aja? Aku malas memasaknya,” kataku sedikit ragu.


"Jadi, kamu ingin beralih dari masakan berisiko ke masakan aman? Ingat, bakso ini juga bisa menjadi sumber drama kuliner kita berikutnya!" ujarnya. Aku hanya bisa tersenyum, menyembunyikan kejadian di dapur, sambil membayangkan bakso yang tiba-tiba melompat dari panci dan membuat kekacauan.


Serang, 2024

______

Penulis


Fauzan Murtadho, lahir di Serang pada Tanggal 18 Juni 1998, telah menempuh pendidikan S-1 Jurusan Teknik Informatika. Ditunjuk sebagai ketua dalam grup WA Klinik Menulis. Bekerja sebagai tenaga pendidik dan kependidikan di Pondok Pesantren Darussalam Pipitan sejak tahun 2019. Pernah menulis puisi meskipun tidak diterima oleh guru karena dianggap kurang memadai. Tinggal bersama istri, anak, mertua dan adik-adik ipar di Kp. Pipitan RT/RW 004/002 Kel. Pipitan Kec. Walantaka Kota Serang.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Puisi-Puisi Syamiel Dediyev

Puisi Syamiel Dediyev



Tuhan, Aku Gila


Ketika cintaMu menerpaku 

Aku bingung, aku gila

Semua terlihat sama

Hanya ada namaMu saja


Mahkota raja, wanita cantik, jebakan harta

Semua tak terlihat menggoda

Ke mana pun arah mataku tertuju

Yang terlihat hanya Kamu


Di mana pun aku sembunyi

Di ganasnya hutan

Di gersangnya gurun 

Di dalam gelapnya goa

Yang teringat namaMu saja


Tuhan, apakah aku segila itu?

Hingga semua yang indah cuma Kamu

Hingga setiap saat aku kangen hadirMu


Tuhan, apakah aku segila itu?

Aku yang dulu rapuh oleh cinta makhlukMu

Menjadi kokoh nan penuh oleh cintaMu

Tuhan tolong jangan tinggalkan aku lagi


2024



CintaMu Candu


CintaMu seperti candu

Selalu resah penuh rindu

Jika tak bertemu, gelisah

Jika telah bertemu, ketagihan parah


CintaMu hadir penuh 

Hujan air Rahman yang mengalir deras

Sulit bagiku menampungnya

Hingga rasa itu perlahan merambat meluas


CintaMu perlahan menyiksaku

Bila kita terputus oleh celah lalai

Dalam faqir dalam kaya

CintaMu kembali hadir memelukku manja


2024


______

Penulis


Syamiel Dediyev, dilahirkan di  Serang 2 September 1983. Tamat kuliah Undip 2009. Jatuh cinta dengan Kahlil Gibran tahun 2002. Pekerjaan merawat manusia yang sakit. Cita-citanya menjadi penulis tanda tanda kasih sayang Allah di bumi.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Puisi-Puisi Terjemahan | Eka Ugi Sutikno

Puisi (Terjemahan) Eka Ugi Sutikno



Puisi Dunya Mikhail

Saat Sibuk

 

Kemarin aku kehilangan negara.

Saat itu pula aku sibuk,

dan tak sadar betul negaraku telah runtuh

seperti patahan ranting pohon yang lalai.

Kumohon, kalau saja ada orang yang lewat

atau tersandung ketika menyeberang,

mungkin saja kopernya

terbuka dan mentap angkasa,

maupun terukir di batu

seperti luka yang mengaga,

atau terbungkus

ke dalam selimut emigrant,

atau dibatalkan

seperti kalah main lotere,

atau terabaikan

di dalam Api Penyucian,

atau terburu-buru tanpa arah

seperti pertanyaan anak-anak,

atau beranjak bersama asap perang,

atau menggulung dengan helm di atas pasir

atau stoples curian Ali Baba,

atau menyamar dengan seragam polisi

yang menggerakan para tahanan

untuk melarikan diri,

atau berjongkok di kenangan perempuan

yang mencoba untuk senyum,

atau tersebar

seperti mimpi

para imigran baru di Amerika.

Kalau ada yang menemukannya,

tolong kembalikan padaku.

Tolonglah, pak. Kembalikan.

Tolonglah, bu. Kembalikan.

Ini negaraku...

Aku tergopoh-gopoh

ketika kehilangan negaraku.

 

 

Puisi Oscar Wilde

Paskah

 

Suara trompet-trompet perak itu memenuhi Kubah:

Orang-orang berlutut dengan rasa takjub:

Lalu aku memperhatikan pundak orang-orang itu,

Seperti ada Tuhan yang agung, ada Tuhan Roma yang Kudus.

Tampak seperti pendeta, ia mengenakan jubah yang lebih putih dari busa,

Dan, seperti raja yang membungkus dirinya dengan warna merah kerajaan,

Tiga mahkota emas itu menjulang tinggi di atas kepalanya:

Dalam kemegahan juga cahaya, Paus pulang ke rumah.

Hatiku kembali melintasi hamparan tahun yang meruak

Kepada Dia yang mengembara di laut yang sunyi,

Sia-sia sudah mencari tempat istirahat:

“Setiap rubah punya liang, pun burung punya sarangnya,

Aku, hanya aku, harus mengembara dengan lelah,

Dan meremukkan kakiku, dan meminum anggur asin dari air mata.”

 

 

Puisi Robert Frost

Pohon di Jendelaku

 

Pohon di jendelaku, sebuah jendela pohon,

Ketika bingkai jendelaku luruh di malam tiba

Dan dibiarkan tak bertirai

Yang berjarak adalah kau dan aku

 

Mimpi yang suram itu menyembul dari tanah,

Sisanya membaur ke awan,

Tak semua lidah ringanmu itu

Mampu berbicara dalam.

 

Tapi pohon itu, aku telah melihatmu direnggut dan dilempar

Jika saja kau memperhatikanku tidur,

Kau telah melihatku dibawa dan disapu,

Lalu sirna semua.

 

Ketika itu ia menyatukan kepada kita,

Takdir memiliki imaji mengenai dirinya,

Kepalamu mempedulikan dunia luar

Tapi kepalaku hanya mempedulikan cuaca di dalam diriku.

 

 

Puisi William Shakespeare

Soneta 130: Matahari bukan mata kekasihku

 

Matahari bukan mata kekasihku;

Ranum bibirnya tak semerah batu koral;

Jika salju itu putih, mengapa payudaranya cokelat;

Jika rambut adalah kawat, maka kawat hitam itu tumbuh di kepalanya.

Aku pernah melihat mawar yang dihiasi kain damask, warnanya merah juga putih,

Tapi aku tak pernah melihat mawar seperti di pipinya;

Beberapa parfum ada yang lebih menyenangkan

Daripada napas yang tercium dari kekasihku.

Aku suka mendengarnya berbicara, tetapi aku tahu betul

Musik memiliki suara yang jauh lebih merdu;

Aku tahu, aku tidak pernah melihat seorang dewi pergi;

Kekasihku, ketika ia berjalan dan menginjak tanah.

            Tapi, demi surgaloka, kupikir cintaku seganjil

            Yang didustakannya dengan kiasan palsu.

 

 

Puisi Walt Whitman

Wahai Diriku juga Kehidupan!

 

Wahai Diriku juga Kehidupan! Dari pertanyaan-pertanyaan yang berulang ini,

Dari kereta-kereta yang tak berujung, dari orang-orang yang tak beriman, dari kota-kota yang dipenuhi orang-orang bodoh,

Dari aku yang selalu mencela diri, (karena siapa yang lebih bodoh dariku, dan siapa yang lebih tak beriman?)

Dari mata sia-sia mendamba cahaya, dari objek-objek yang berarti, dari perjuangan yang selalu diperbarui,

Dari semua hasil yang buruk, dari kerumunan yang lamban dan kumuh di sekelilingku,

Dari hampa dan tak bergunanya tahun-tahun tersisa, lalu menyisakan jalinan pada diriku,

Pertanyaan, Wahai Diriku! pertanyaan berulang yang sangat menyedihkan: Wahai Diriku juga Kehidupan, apa gunanya keberadaan di antara ini?

 

Jawaban.

Dengan keberadaanmu di sini bahwa kehidupan adalah tanda juga ada,

Juga drama yang hebat ini kian berlanjut dan kau dapat menambahkan sebuah sajak.

 

________

Penulis 

 

Dunya Mikahil (March 19, 1965) adalah penyair Irak-Amerika Serikat. Karya yang terkenal dari perempuan yang pernah mendapatkan United Nations Human Rights Award for Freedom of Writing adalah The War Works Hard yang diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Elizabeth Winslow. Puisi di atas diterjemahkan oleh Eka Ugi Sutikno dari judul I was in Hurry di buku The War Works Hard.

 

Oscar Wilde atau Oscar Fingal O’Fflahertie Wills Wilde (16 October 1854 – 30 November 1900) adalah penyair, penulis drama, prosais, dan kritikus sastra Irlandia. Karya yang terkenal dari penyair era Viktoria ini adalah The Picture of Dorian Gray dan The Importance of Being Earnest. Puisi di atas diterjemahkan oleh Eka Ugi Sutikno dari judul Easter Day di buku Complete Works of Oscar Wilde (Collins Classics) (2003).

 

Robert Lee Frost atau lebih dikenal sebagai Robert Frost (March 26, 1874 – January 29, 1963) adalah penyair Amerika Serikat. Ia pernah mendapatkan Pulitzer Prize sebanyak empat kali untuk buku New Hampshire: A Poem With Notes and Grace Notes (1924), Collected Poems (1931), A Further Range (1937), dan A Witness Tree (1943). Puisi di atas diterjemahkan oleh Eka Ugi Sutikno dari judul Tree at my Window di buku Complete Poems of Robert Frost (1964).

 

William Shakespeare (23 April 1564 – 23 April 1616) adalah seorang penyair, penulis drama, dan aktor Inggris. Sastrawan yang hidup di zaman Ratu Elizabeth I ini menelurkan drama-drama fenomenal seperti Othello, Macbeth, Hamlet, King Lear, dan Midsummer Night’s Dream. Puisi di atas diterjemahkan oleh Eka Ugi Sutikno dari judul Sonnet 130: My mistress' eyes are nothing like the sun di The Oxford Shakespeare: The Complete Sonnets and Poems (Oxford World's Classics) (2008).

 

Walter Whitman Jr. (31 Mei 1819 – 26 Maret 1892) adalah penyair, easis, dan wartawan Amerika Serikat. Ia kerap disebut sebagai bapak Free Verse Amerika Serikat dan bukunya yang berjudul Leaves of Grass mendapatkan perhatian khusus karena di dalamnya terdapat puisi-puisi sensual. Puisi di atas diterjemahkan oleh Eka Ugi Sutikno dari judul O Me! O Life! di buku The Complete Poems (2005).


Berita | Peluncuran Perdana Buku "Aksara-Aksara Lugu" di DPK Provinsi Banten



NGEWIYAK.com, KOTA SERANG -- Komunitas Perubahan untuk Budaya (Kubah Budaya) meluncurkan buku antologi puisi Aksara-Aksara Lugu di ruang baca lantai 1 Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Daerah Provinsi Banten, Pakupatan, Kota Serang, Banten (4/10).


Ketua Kubah Budaya, Yudi Damanhuri, mengatakan bahwa Kubah Budaya hiatus sangat lama. Awal membuat antologi bersama pernah digarap pada tahun 2009 dengan judul Candu Rindu. 


Menurut Yudi, puisi merupakan salah satu medium kritik sosial, kenangan, dan sejenisnya untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan. Ia juga mengungkapkan keberadaan puisi di zaman Gen Z.


"Pertanyaan besar muncul di saat banyak orang sibuk dengan gawai yang hanya mengunyah hiburan semata. Apa penting puisi dicetak-bukukan hari ini di tengah banalitas tindakan orang yang punya kuasa terhadap kaum yang lemah, dan seterusnya dan sebagainya. Dengan senarai repetisi pertanyaan dan rigiditas pergaulan modern puisi selalu ada menyelinap melampaui zaman. Lebih jauh, sering kali dalam demonstrasi, puisi Peringatan karya Wiji Thukul kerap menjadi gaung yang menggelegar," jelas Yudi yang juga seorang guru di Pesantren Al-Bayan Anyer tersebut.


Narasumber kedua, Wahyu Arya, menceritakan pengalamannya tentang menulis puisi. Ia mengatakan dirinya sudah terlalu jauh dengan puisi karena kesibukannya yang sangat padat di salah satu media online terbesar di Banten.


"Saya terlalu jauh dari puisi. Mungkin terlalu lama jadi wartawan. Buku ini lahir dari kegelisahan saya, apakah hari ini masih relevan menulis dan membaca puisi?" ujarnya.


Di hadapan 40-an peserta dari berbagai kalangan, Wahyu juga menambahkan perihal stigma bahwa puisi seolah harus ditulis dalam keadaan lengang dan sepi. Hal itu menurutnya keliru.


"Sekarang kita gaduh dengan medsos dan sebagainya. Kita gelisah dalam keriuhan," ujar Ketua Kubah Budaya periode awal tersebut.


Selain peluncuran dan diskusi buku, kegiatan ini pun dimeriahkan dengan pesta puisi oleh para peserta dan penulis. Suasana menjadi semakin hangat dan akrab.




(Redaksi)


Dakwah | Kenapa Kita Tidak Mau Bertaubat dan Beristighfar

Oleh Ust. Izzatullah Abduh, M.Pd.



Bismillah walhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala rasulillah. Amma ba’du.


Sebagai seorang insan tidak dimungkiri bahwa dalam menjalani kehidupannya pasti pernah terjatuh pada perbuatan dosa dan maksiat. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sikapnya setelah itu? Karena perlu diketahui bahwa setiap dosa dan maksiat itu memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan, baik menyangkut pribadinya maupun lingkungan sekitarnya.


Tidak ada dosa sekecil apa pun melainkan ada konsekuensi setelahnya. Sebab akibatnya itu ada. Inilah yang perlu dipahami oleh setiap kita, apalagi kita sebagai seorang Muslim. Demikian agar kita berhati-hati, mawas diri, dan tidak gampangan, serta meremehkan setiap perbuatan dosa dan maksiat.


Bilal bin Sa’d rahimahullah pernah berkata, “Janganlah kamu memandang remeh suatu dosa, tapi lihatlah kepada siapa kamu berbuat dosa.”


Dan seorang salaf rahimahullah pernah berkata, “Aku pernah berbuat maksiat, lalu sungguh aku dapati akibatnya ada pada perangai buruk istriku dan anak-anakku, bahkan hingga tikus-tikus yang masuk ke dalam rumahku.”


Dan juga Ibnu Sirin rahimahullah dikisahkan bahwa beliau pernah berbuat suatu dosa, lalu beliau menunggu-nunggu akibatnya, hingga berselang beberapa tahun, usahanya menjadi bangkrut oleh sebab seekor tikus yang masuk ke gentong madu miliknya, lantas beliau berkata, “Inilah akibat dosa yang pernah aku perbuat dahulu.”


Inilah pandangan orang-orang shalih terdahulu di dalam memandang perbuatan dosa. Dan ini senada dengan firman Allah subhanahu wata’ala di dalam Al-Qur’an,


ظَهَرَ الۡفَسَادُ فِى الۡبَرِّ وَالۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ اَيۡدِى النَّاسِ لِيُذِيۡقَهُمۡ بَعۡضَ الَّذِىۡ عَمِلُوۡا لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُوۡنَ


“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum : 41)


Ayat ini menjadi peringatan bahwa segala sesuatu yang kita lakukan memiliki konsekuensi, dan Allah memberikan sebagian dari akibatnya sebagai bentuk pelajaran agar manusia menyadari kesalahannya dan kembali kepada jalan kebenaran.


Dan kata “al fasad” kerusakan di ayat ini merujuk pada segala bentuk kerusakan yang terjadi di muka bumi, baik fisik maupun moral.


Dalam ayat yang lain Allah subhanahu wata’ala berfirman,


كَلَّا‌ بَلۡ ۜ رَانَ عَلٰى قُلُوۡبِهِمۡ مَّا كَانُوۡا يَكۡسِبُوۡنَ


“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS Al-Muthaffifin : 14)


Ayat ini mengabarkan akibat yang lebih parah daripada sekadar kerusakan bumi karena perbuatan dosa dan maksiat, yaitu kerusakan hati. Kebiasaan mereka berbuat dosa telah menyebabkan hati mereka jadi keras, gelap, dan tertutup laksana logam yang berkarat. Semua itu menutupi hati mereka sehingga tidak mampu membedakan antara yang hak dan batil.


Maka hendaknya setiap kita rajin mengintropeksi diri dan mengevaluasi diri, dosa dan maksiat apakah yang sudah dikerjakan, namun belum ditaubati dan diistighfari?


اَفَلَا يَتُوۡبُوۡنَ اِلَى اللّٰهِ وَيَسۡتَغۡفِرُوۡنَهٗ‌ؕ وَاللّٰهُ غَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ


“Mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya? Padahal Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah : 74)


Ibnul Qayyim rahimahullah pernah berkata, “Tidaklah bala (bencana) itu turun, melainkan oleh sebab perbuatan dosa, dan tidaklah ia diangkat (dihilangkan) melainkan dengan taubat dan istighfar.”


Dan terdapat kisah yang menggugah daripada seorang ulama bernama Hasan al Bashri rahimahullah, bahwa beliau pernah didatangi tiga orang dengan membawa permasalahan hidup masing-masing; yang pertama mengeluhkan tentang belum dikaruniai anak keturunan, yang kedua mengeluhkan tentang kefakiran serta lilitan hutang, dan yang ketiga mengeluhkan tentang kebunnya yang kekeringan.


Lalu, apa solusi dan jawaban yang diberikan oleh beliau? Beliau memberikan jawaban yang sama, yaitu “Beristighfarlah, memohon ampunan kepada Allah!”


Ketika beliau ditanya, kenapa permasalahan yang berbeda, namun diberikan jawaban yang sama. Beliau pun membacakan firman Allah subhanahu wata’ala,


فَقُلۡتُ اسۡتَغۡفِرُوۡا رَبَّكُمۡؕ اِنَّهٗ كَانَ غَفَّارًا


“Maka aku berkata (kepada mereka), 'Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun',”


يُّرۡسِلِ السَّمَآءَ عَلَيۡكُمۡ مِّدۡرَارًا


“Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu,”


وَّيُمۡدِدۡكُمۡ بِاَمۡوَالٍ وَّبَنِيۡنَ وَيَجۡعَلۡ لَّـكُمۡ جَنّٰتٍ وَّيَجۡعَلۡ لَّـكُمۡ اَنۡهٰرًا


“Dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu." (QS Nuh : 10-12)


Segala permasalahan hidup, solusinya adalah istighfar, memohon ampunan kepada Allah subhanahu wata’ala. Ini mengajarkan kepada kita bahwa ketika kita ditimpa kesusahan, cobaan hidup, dan digoncang dengan ujian ini-itu, maka hendaknya kita melihat ke dalam diri. Coba tanyakan pada diri, “dosa apa yang telah aku perbuat”. Menyadari akan kesalahan adalah awal kebaikan yang akan menghantarkan seseorang kepada pintu taubat dan istighfar. Inilah sejatinya yang diwariskan oleh Nenek Moyang pertama kita, yaitu Adam dan Hawa ‘alaihimassalam tatakala keduanya berbuat kesalahan, lalu menanggung akibat dengan dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi, keduanya pun berucap,


قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَاۤ اَنۡفُسَنَا وَاِنۡ لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَـنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَـنَكُوۡنَنَّ مِنَ الۡخٰسِرِيۡنَ


“Keduanya berkata, Ya Rabb kami, kami telah menzhalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi'." (QS Al-A’raf : 23)


Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengingatkan kepada kita semua, bahwa terhalanginya seorang hamba dari rezeki, nikmat, dan sebagainya, tidak lain tidak bukan, itu disebabkan oleh perbuatan dosa yang ia lakukan. Semakin terjerumus ke dalam dosa dan maksiat, semakin kuat penghalang itu, semakin jauh ia dari Rahmat dan karunia-Nya. Wal’iyadzu billah.


 إنَّ العَبدَ ليُحرَمُ الرِّزقَ بالذَّنبِ يُصيبُه، ولا يَرُدُّ القَدَرَ إلَّا الدُّعاءُ، ولا يَزيدُ في العُمُرِ إلَّا البِرُّ


“Sesungguhnya seorang hamba terhalangi dari rezeki oleh sebab dosa yang ia lakukan, dan tidaklah merubah takdir kecuali doa, dan tidaklah menambah umur kecuali perbuatan baik.” (HR Ibnu Majah, Ahmad)


Bahkan perbuatan dosa seseorang bisa berdampak kepada masyarakat luas. Seperti dalam kisah Israiliyat, bahwa Nabi Musa ‘alaihissalam dan kaumnya pernah diuji oleh Allah dengan kemarau dan kekeringan, sehingga Nabi Musa mengumpulkan kaumnya untuk bersama berdoa kepada Allah agar diturunkan hujan. Tapi Allah berfirman, “Wahai Musa sesungguhnya di antara kaummu ada seseorang yang berbuat dosa selama 40 tahun, namun ia belum bertaubat dan memohon ampun kepada-Ku. Oleh sebab ia, aku tahan hujan.”


Nabi Musa pun kemudian menyampaikan kepada kaumnya, tiba-tiba tidak berselang lama, hujan pun turun. Allah subhanahu wata’ala berkata kepada Nabi Musa, “Dia telah bertaubat dan beristighfar.” Nabi Musa berujar, “Wahai Rabbku, tunjukanlah kepadaku siapa orangnya?” Allah berkata, “Wahai Musa, saat dia berdosa, Aku rahasiakan, apakah saat Aku sudah mengampuninya, Aku kabarkan siapa dia?”


So, marilah menjadi hamba yang pandai mengintropeksi dan mengevaluasi diri, lalu bercermin pada ayat,


اَفَلَا يَتُوۡبُوۡنَ اِلَى اللّٰهِ وَيَسۡتَغۡفِرُوۡنَهٗ‌ؕ وَاللّٰهُ غَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ


“Mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya? Padahal Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah : 74)


Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah teladan, role model yang terbaik bagi kita semua di dalam bertaubat dan beristighfar. Beliau manusia paling mulia, dijanjikan surga, pemimpinnya para Nabi dan Rasul, Imamnya para muttaqin. Namun demikian, beliau tidak pernah luput dari taubat dan istighfar.


وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي اليَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً


"Demi Allâh, sungguh aku beristighfar dan bertaubat kepada Allâh setiap harinya lebih dari tujuh puluh kali." (HR Bukhari)


Dalam riwayat lain,


إِنَّهُ لَيُغَانُ عَلَى قَلْبِي، وَإِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللهَ، فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ


"Sungguh terjadi gejolak dalam hatiku, dan aku sungguh beristighfar kepada Allâh dalam sehari seratus kali." (HR Muslim)


Bukankah kita lebih pantas dan layak untuk lebih banyak bertaubat dan beristighfar kepada-Nya?


Demikian, semoga bermanfaat. Barakallahu fikum jami’an.


________

Penulis


Izzatullah Abduh, M.Pd., Kepsek INIS.