View AllProses Kreatif

Dakwah

Redaksi

Postingan Terbaru

Friday, January 17, 2025

Cerpen A. Warits Rovi | Dua Hati yang Bertemu di Tapal Batas

Cerpen A. Warits Rovi



Sejak dulu, semasih aku kecil, ketika masih gemar kencing berdiri sambil mengarahkan cucuran air pesing itu ke lubang-lubang serangga, kampung ini sering dijaga prajurit berseragam yang gemar menggendong senjata. Jika mereka lewat di depanku, aku sering menatap sepatunya yang bagus, sepatu yang tidak pernah kulihat di pasar kampung ini. Kata Aba, mereka pengaman tapal batas. Petugas keamanan itu memang ada sejak aku belum lahir, bahkan sejak Aba belum lahir juga, silih ganti dari generasi ke generasi, bertugas dengan disiplin menjaga tapal batas.


“Jika bukan prajurit tangguh yang sudah lihai berperang, tidak mungkin ditugaskan di tapal batas,” kata Aba kepadaku saat itu. Aku diam saja karena tidak mengerti.


 “Tapal batas?” tanyaku dalam hati.


Aku jadi teringat gedung menjulang yang di puncaknya ditancapi bendera. Gedung itu ada di lereng hutan, di tepi jalan utama kampung yang meliuk dengan aspal pecah-pecah. Pangkal gedung itu dilingkari pagar besi yang dipenuhi ilalang. Sekali waktu, ketika aku dan Zainab sedang asyik bermain bunga ilalang di sekitar tempat itu, tiba-tiba Ibu Zainab menggendongnya dan membawanya pergi, tak peduli meski Zainab meronta sambil menangis.

 

“Di sana bukan negaramu. Tapal batas itu garisnya,” suara Ibu Zainab sangat nyaring, seperti dibentak-bentakkan ke telinga anaknya yang masih tak tahu apa-apa itu. Aku hanya berdiri, sedih memandanginya sambil memegang setangkai bunga ilalang. Sebentar kemudian, aku melangkah untuk mengejar Zainab. Aku ingin bermain di rumahnya karena hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumahku dan dari rumah masing-masing, kami bisa saling pandang.


“Hai, Azam, jangan ke sana! Negaramu di sini, bukan di sana,” ibuku seketika memanggil dari belakang.


“Kamu hanya bisa bermain di wilayah yang lurus dengan tapal batas itu,” Ibu menunjukkan gedung tinggi bertancap bendera itu lagi. Aku pun menghentikan langkah sambil bermuram. Saat itu, aku benci gedung itu. Ia telah merampas kebersamaanku dengan Zainab. Kenapa harus ada gedung itu? Kenapa harus ada batas? Bahkan kenapa pula harus dijaga segala? Itu kan hanya gedung, bukan emas. Tak mungkin ada pencuri tertarik kepada gedung itu, kecuali hanya yang sinting.


Gedung tapal batas itu seolah kekuatan gaib yang mengotakkan tetanggaku dengan tetangga Zainab. Kami seolah dikotakkan pada peti merah dan peti biru, yang biru tak boleh mencampuri urusan yang merah, begitu sebaliknya, padahal banyak di antara kami yang masih satu nasab sebagai keturunan Ki Katuk Amar dan Nyai Arumsari. Sebelum ada tapal batas itu, Ki Katuk Amar dan Nyai Arumsari sering pergi ke hutan, mereka menikah dari sebab dipertemukan nasib karena sama-sama bekerja mencari kayu, dan di sela waktu kosong, keduanya mengumpulkan getah dan dikeringkan di selembar daun pisang dengan aneka bentuk untuk dijadikan aksesori rumah. Dari sepasang suami-istri itu kemudian lahirlah tetua kampung ini dan kampung Zainab.


Menurut cerita, tetua kampung ini mulanya hidup rukun, saling membantu dan menghargai, satu sama lain hidup seperti satu tubuh. Apabila yang lain duka, dukalah semuanya dan apabila semua suka, sukalah semuanya. Tapi itu berlangsung sebelum ada tapal batas.


Setelah tapal batas itu dibangun, tetua kami terkotak oleh aturan-aturan, sebagian bernegara Koman dan sebagian lain bernegara Sintu. Sejak saat itu tetua kami mulai tidak rukun, lupa bahwa berasal dari nenek moyang yang sama. Makam Ki Katuk dan Nyi Arum yang ada dalam cungkup di sebelah timur hutan jadi luluh berantakan karena diperebutkan tetuaku dan tetua Zainab. Tidak hanya itu, negaraku dan negara Zainab sejak ada tapal batas itu selalu saling mencurigai dan sering saling tikai.


Kata Aba, sewaktu dirinya masih kecil, hampir setiap hari ia melihat prajurit berperang di sekitar gedung tapal batas itu. Suara peluru berdesing, mengusik ketenangan warga setiap siang dan malam. Mayat-mayat bergelimpangan. Tanah berbedak darah. Beruntung beberapa tahun setelah itu, atau ketika umur Aba remaja, ada pasar yang bisa saling dikunjungi oleh dua warga negara itu, namanya Pasar Cinta. Nama pasar itu memengaruhi pikiran orang-orang sehingga ketika masuk ke pasar itu, semua harus damai, seperti sepasang kekasih yang saling mencintai.


Pasar itu terletak di bagian barat hutan, lokasinya membentang pada dua negaraku dan negara Zainab, separuh ada di negara Koman dan separuhnya lagi ada di negara Sintu. Pasar itu dibangun oleh dua orang yang mencintai kedamaian. Dua orang itu bernama Bunta dan Ribak. Sejak kecil keduanya berteman karib hingga masing-masing berkeluarga dan tinggal di dua negara berbeda, rumah mereka dekat di sekitaran tapal batas itu. Keduanya sadar, bahwa setiap warga negara memang wajib menjaga wilayahnya masing-masing hingga tetes darah penghabisan, tapi jalan untuk menjaga wilayah tidak melulu harus dengan berperang, melainkan harus ada kesadaran pada kesepakatan batas wilayah, lalu menyebar rasa toleransi. Hal kecil yang bisa dilakukan oleh dua sahabat karib itu adalah mengajak para pedagang untuk berjualan di tapal batas yang memungkinkan dua warga negara itu bisa berbaur dalam kedamaian. Mulanya, transaksi dilakukan dengan cara barter atau saling bertukar barang antara pedagang dan pembeli. Hal itu dilakukan karena dua negara itu berbeda mata uang. Saat itu, pasar Cinta hanya ditempati beberapa pedagang makanan pokok, lalu bertambah dan terus bertambah hingga di suatu waktu transaksi jual-beli pun bisa dilakukan setelah dua warga dari dua negara itu sudah terbiasa menukar mata uang masing-masing. Pasar itu pun seperti menjelma tangan gaib yang bisa menghapus segala bentuk permusuhan dan perlahan menganyam hidup dua warga itu menjadi damai.


Nenek, Kakek dan Aba juga berjualan di pasar itu. Kabarnya, mereka berjualan palawija yang dipanen langsung dari ladang di belakang rumah. Orang-orang dari dua negara itu mulai saling membutuhkan. Sebentar saat itu, wajah tapal batas seperti ditutupi keindahan pasar. Tapi itu hanya berlangsung sekitar dua tahun. Ketegangan kembali terjadi setelah suatu pagi yang gerimis, gerobak seorang pedagang sayur dari negara Sintu menyenggol lapak Kakek hingga palawija dagangannya berserakan di tanah. Kakek naik darah, ia langsung mengobrak-abrik sayur di gerobak itu. Kakek dan pedagang sayur itu adu mulut dan saling menyalahkan. Orang-orang berdatangan mendekatinya. Sebagian mencoba mendamaikan keduanya, tapi keduanya tetap panas hingga terjadi adu jotos. Beberapa orang melerai, tapi sebagian yang lain malah terlibat, hingga perkelahian pagi itu menjadi perkelahian massal. Pasar jadi ribut. Para perempuan dan anak-anak kecil menangis histeris sambil berlarian. Peluru pasukan kedua negara pun berdentaman di udara. Tapi orang-orang tetap bertengkar, saling lempar dan saling pukul. Barang dagangan berhamburan di tanah, ditinggal pergi penjualnya. Hanya dalam waktu hitungan menit, pasar itu kemudian dijalar api. Api itu seperti sengaja dikobarkan oleh sekelompok orang.


Sejak pasar itu terbakar, habis juga riwayat kedamaian di antara dua negara itu. Tapal batas kembali dijaga dengan ketat, bahkan tak jarang terdengar desing peluru pasukan dua negara yang saling menembak dari pos penjagaan. Dalam situasi semacam itu, entah kenapa tiba-tiba aku mencintai Zainab dan Zainab juga mencintaiku. Semua itu berawal ketika kami sering bertemu di sungai Apparo saat kami sama-sama mencuci. Obrolan sederhana ketika kami mengucek pakaian di atas batu ternyata mampu melekatkan rasa pada masing-masing hati kami.


Menjalin hubungan asmara di antara dua negara yang sedang konflik sama halnya dengan meluruskan kaki pada ratusan batu rintang. Tapi Zainab mengaku siap menghadapi rintangan itu. Dia yang selalu menemukan cara untuk saling mengirim kabar melalui kata-kata yang ditulis di selembar daun dan diselipkan pada ceruk sebuah batu. Kami terpaksa melakukan cara kuno itu karena kami tidak bisa saling berbagi kabar melalui ponsel setelah masing-masing dari badan informasi negara Koman dan Sintu memblokir hubungan telekomunikasi di antara keduanya. Aku pun tak bisa kontak dengan Zainab.


Sore itu langit lembap, dilabuhi kabut tipis, berarak pelan searah angin. Sorot cahaya matahari kekuningan melumasi punggung daun. Aku dan Zainab duduk di belukar akar sebatang pohon besar yang berdaun rindang mirip payung. Kami baru bercakap setelah memastikan keadaan sekitar aman.


“Aku yakin batasan antarwarga di tapal batas melebihi aturan batas sebenarnya yang tertuang dalam undang-undang, sehingga setiap waktu selalu terjadi ketegangan,” mata dingin Zainab melirikku.


“Kamu jangan sok tahu, bisa dipenjara lho sama negara. Aturannya ya memang harus ketat begitu,” jawabku sesuai getar hati.


“Ketat yang semacam itu hanya membuat sebagian warga jadi korban.”


“Ah, kok bisa?”


“Ya bisa lha!”


“Contohnya?”


“Ya, kita ini. Harus bertemu sembunyi-sembunyi.”


“Hahaha.”


Kami terus bercakap, membahas banyak hal, meniadakan tapal batas di antara hati kami, sesekali mengamati keadaan sekitar. Bunga-bunga pohon yang memayungi kami berjatuhan ke lebat rambut, menebar wangi yang lembut. Beberapa kali Zainab memungut dan menciumnya. Dan ujung semua cakap itu membuat kami diam seperti patung: setelah kami tahu melalui cerita kami berdua bahwa Zainab cucu dari pedagang sayur yang dulu pernah berkelahi dengan Kakek dan membuat hubungan negara Koman dan negara Sintu memanas kembali.


Aku menatap Zainab, di matanya seperti ada tumpukan palawija Kakek yang dulu jatuh berhamburan di pasar itu. Mungkin Zainab juga menatap mataku, ada sayur kakeknya yang diobrak-abrik kakekku hingga berantakan juga di pasar itu. Tapi kami berjanji untuk memadamkan api buruk masa lalu dan tak ingin memberi tapal batas pada hati kami berdua.


Aku tersenyum. Zainab juga tersenyum, beberapa saat sebelum sepasukan orang berseragam menghujani kami dengan peluru.



_______


Penulis


A. Warits Rovi, lahir di Sumenep Madura, 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel memenangkan beberapa sayembara dan dimuat di berbagai media, Memenangkan beberapa lomba karya tulis sastra. Buku cerpennya yang telah terbit Dukun Carok & Tongkat Kayu (Basabasi, 2018). Buku puisinya adalah Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki (Basabasi, 2020), Bertetangga Bulan (Hyang Pustaka, 2022). Sedangkan buku puisinya yang berjudul Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela memenangkan lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020. Ia mengabdi di MTs. Al-Huda II Gapura dan berkesenian di Sanggar 7 Kejora, juga di Komunitas Damar Korong. Berdomisili di Jalan Raya Batang-Batang PP Al-Huda Gapura Timur Gapura Sumenep Madura, email: waritsrovi@gmail.com.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Puisi-Puisi Imam Khoironi

Puisi Imam Khoironi



Balon Udara


Di negeri rimba

Bukit-bukit memasang pasak

Hutan berteriak meminta hujan

Di perbatasan

Perempuan berhenti dari perjalanan

Seusai melempar rindu

ke dasar jurang

di pangkal senja

Sambil meniupkan angin

Di daunan yang runtuh ke padang


Ia menulis stanza yang pada baris terakhir

Menghapus dirinya sendiri

Karena kaki-kakinya patah

tak kuat menyangga makna

Di kenafian itu

Ia enggan berjalan pulang


Ia memilih maju dan menembus

awan di daerah rawan

Meski senapan dilarang berbicara

Dan pekik luka di tanah perang

sudah berakhir


Setelah berkemas, ia setia menyaksikan

Waktu menghidupkan api

Karena setiap detik

Terbang dengan percuma

Di perbukitan berselimut mimpi

Di langit hampa penuh balon udara


Di sana, ia bertanya

Apakah mimpi bisa pulang

saat ia terjaga?

Di Cappadocia?


Bandar Lampung, Agustus 2022



Ramalan Cuaca


Ternyata, ada yang lebih buruk

Dari ramalan nasibku

Menurut pawang hujan

Badai akan melintas, karena

Di tempat ia lahir, politikus sedang berpesta


"Bagaimana bisa wakil Tuhan percaya padanya?"

Tapi menurut kalender, istriku ingin melahirkan

Jadi, aku mencoba beriman pada Affandi

badai tak mungkin mengerami angin

kamusnya tak semalas itu


“Lagipula ini mei, Jun”

Ucap istriku

Trotoar masih berdebu dari awal bulan

Ketika ia menggerakkan buruh-buruh

dan meninggalkan pekerjaan bagimu


Benar, tak ada ramalan cuaca

Bagi yang nasibnya seperti badai


Bandar Lampung, Oktober 2022



Belajar Membaca Engkau


Kuterima sabda yang tiba

Sebagai jawab dari jalan buntu

Pertanyaan yang lancar mengulur sulur

Apakah pada tiap-tiap malam

Matamu terpejam tanpa menikmatiku?


Lelapku hanya mengurai engkau

Menjadi serat-serat lembut

menuju kesadaran paling dalam

Mengikatnya menjadi simpul,

meruwatnya, lalu menebarnya di perigi tua


Ingatanmu memutarku di bangsal gelap

yang penuh jebakan

penuh kecewa

Salah langkah sekali kalah selamanya


Pernahkah kau bersaksi pada gaib yang raib?

Adakah hikayat turun temurun berkisah tentangnya?

Kau terlalu mustahil untuk mengurai tanya-tanya

Dan aku masygul menyemai jawabannya


Lampung, April 2022



Jika Aku Jadi Debu


Jika aku jadi debu, maka kau adalah angin

yang membawaku singgah

ke dedaunan

menerbangkan tubuhku

hingga berlabuh ke tembok geribik

menyimak percakapan ibu

yang sedang menenangkan perut bayinya

yang kelaparan 


Jika aku jadi debu, maka kau adalah jalanan

yang sibuk mengalirkan

pilu ke seluruh tubuh kota

meninabobokan aku setiap malam

meredam mimpi buruk

yang tiba-tiba datang


Jika aku jadi debu, maka kau adalah terik

yang mengobarkan nyala api

di kepala anak adam

melangsamkan denyut nadi dalam dadaku

menegasikan kematian yang buru-buru


Jika aku jadi debu, maka kau adalah tanah basah

tempatku pulang dan rebah

menerima ajal dengan tabah


Bandar Lampung, September 2023



Aku Dawam Padamu


Setelah dua puluh delapan ribu langkah

kita terbiasa

melantunkan lagu sendu

diiringi birama satu perempat

dalam daftar putar favorit

untuk memulai hari berkabung

Adakah cinta yang terpendam

di lubuk pilu, detak jantungmu?


Setelah sembilan ratus kali purnama

Setelah kapal-kapal melayari samudera

meriam-meriam memadamkan apinya

senapan memilih redam suara

Lagu sedih itu tetap diperdengarkan

kadang, anak-anak tanpa ragu

ikut riang menyanyikannya

Begitu pula mayat-mayat di selokan

yang tersumbat popok tanpa kain kafan


Setelah tiga puluh sembilan kemarau

angin yang singgah di pelabuhan hijrah

ke negeri jauh, mencari ujung dunia

tapi aku tetap di sini

Menikmati hujan, menghirup aroma daun kering

sesekali mendengarkan lagu sedih

yang diputar menjelang pesta


Setelah tigapuluh delapan titik perhentian

Aku pasrah dan mengamini segala doa

dari jalan-jalan yang panjang dan sunyi

dari rimbun pohon yang berselawat

menentang tumbang

dari padi-padi yang menolak tunduk

dari nyanyian yang bersandar pada air mata


Sebelum seabad kita bercengkrama

Ada hal dalam palung rinduku

Aku dawam padamu

pada duka-duka, luka-luka, yang riuh mengguruiku

Aku dawam padamu

pada terik-hujan, pada anyir-busuk bau kata-kata

Aku dawam padamu

pada fajar dan senja, pada pantai dan lanskapnya.

Aku dawam padamu


Bandar Lampung, Agustus 2023



________

Penulis


Imam Khoironi, lahir di Desa Cintamulya, 18 Februari 2000. Mahasiswa S-1 Pendidikan Bahasa Inggris UIN Raden Intan Lampung. Pemenang 3 Duta Bahasa Provinsi Lampung 2024. Suka nulis puisi, kadang-kadang cerpen, juga esai. 


Buku puisinya berjudul Denting Jam Dinding (2019). Karya-karyanya pernah dimuat di pelbagai media online dan cetak. Puisi-puisinya juga terhimpun dalam beberapa buku antologi puisi bersama.


Ia bisa disapa melalui laman Facebook : Imam Imron Khoironi, Youtube channel: Imron Aksa, Ig : @ronny.imam07 atau sila kunjungi www.duniakataimronaka.blogspot.com.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Monday, January 13, 2025

Karya Guru | Cinta di Utara | Cerpen Siti Maria Ulfah

Cerpen Siti Maria Ulfah



Hujan turun, aku berdiri di dekat jendela, mengamati derasnya air hujan. Terendus khas aroma tanah kemarau. Aromanya menenangkan. Hidupku didikte usia hingga hujan tak lagi menjadi teman. Hujan membawaku pada perjalanan menyusuri lorong-lorong kenangan. Tiba-tiba bunyi ponselku menjerit tak karuan. Biarkan saja, kehadirannya sudah merenggut sebagian kedamaian hidupku. Anehnya tanganku lebih reflek dibandingkan otak dan sumsum tulang belakangku hingga kututup segala kenangan dan meninggalkan hujanku sendirian. Dengan berat hati kurapatkan jendela karena angin semakin besar membawa hujan masuk ke ruangan. 


“Aya, kamu mau yah besok mewakili aspirasi masyarakat menolak PIK dua,” ujar Aji. 


Aku terkejut dengan tawarannya lewat lubang-lubang kecil ponselku ini. Kalau tawarannya tahu bulat, langsung saja aku ambil, apalagi hujan begini. Aji memang memilih menjadi "budak" desa, sedangkan aku penikmat desa.


“Halo Gemini, apa dampak positif dan negatif pembangungan PIK Dua di Banten?” Tak sungkan-sungkan pertanyaan ini aku lontarkan pada AI Gemini. Sudah tiga bulan ini aku angkat menjadi sekretaris pribadiku, yang bisa kapan saja aku ganggu waktunya dan menjawab setiap pertanyaan dengan informasi yang cukup detail. Aku rebahkan badan beserta kaki-kakinya di atas ranjang. Kornea mata memandang atap-atap kamar dengan hangat yang menyajikan rumah pohon tempatku berkeluh kesah, dengan air selokan yang mengalir di bawahnya. Kadang pandanganku beralih pada aktivitas Ibu dan Bapak yang asyik berdua menanam padi dengan gaya mundurnya. Terkadang berhenti sejenak untuk mengusap keringat akibat terik matahari yang menyengat tajam menembus pertahanan topi rokok mereka. Dengan tegukan air mineral sedikit menyegarkan badan mereka untuk tetap berstamina. Mereka memang pasangan terpopuler bergengsi pada masanya.


“Astaga kompor belum aku matikan,” segera kuhentikan bayang-bayang kenangan. Berlari menuju dapur yang sedikit jauh dari kamarku. Air di teko mengering dan hampir membakar tuannya. Kepalaku berbelok ke kanan dan ke kiri, ternyata ada Bapak yang sedang asyik dengan kopi hitam dan cerutu yang hampir membakar tangan kanannya. Syukurlah aku bisa menyedu cokelat hangat yang hampir diserbu rombongan semut di atas cangkir bening pemberian Ibu. Aku aduk-aduk cokelat dengan sembilan adukan. Pikiranku masih terbelenggu tawaran Aji. Selama ini di usiaku yang setengah muda dan setengah dewasa belum ada kontribusi untuk desaku apalagi seluas Banten ini. Entahlah nyaliku tak sebesar "budak" desa itu.


Sebentar lagi akan ada panen raya. Panen raya selalu menjadi momen terindah para petani terkhususnya aku yang masih seatap dengan petani. Dulu masa kecilku hanya dihabiskan untuk bermain setelah pulang sekolah tentunya. Membuat rumah-rumahan kecil dari jerami, perang jerami bersama teman-teman kecilku, mencari jamur ditumpukan jerami yang sudah dibakar sebelum musim hujan datang untuk kemudian diolah kembali dan ditanam mundur. Pesta layangan dan goangan pascapanen raya, menjadi tontonan yang menyenangkan untuk anak-anak, ibu-ibu, dan semua usia kala itu. 


Hujan berhenti setelah membasahi tanah yang hampir dehidrasi.


Bladide kuuuy Noooook, bladiiid!” teriakan Mang Sarmin memang terdengar khas ditelingaku.


“Mang masih jualan bladid aja,” ujarku sambil mengorek-orek bladid Mang Sarmin di keronjong biru.  


“Kalo bukan Mang Sarmin, Nok gak bisa orek-orek bladid sampe berantakan begini,” aku terkeukeuh malu karena misiku bukan untuk membeli bladid, melainkan mencari klomang di kerumunan bladid


“Tapi kan Ibu membeli bladid, Mang,” sahutku yang tak mau kalah dengan serangan Mang Sarmin. Bukan Aya kalo gak bisa serang balik, hahaha. 


Mang Sarmin terlihat berbeda hari ini. Mukanya sedikit terlipat kaku. Biasanya langsung geguyon setelah seranganku yang mematikan lawan. Aku teringat ajakan Aji kepadaku, mungkin ini salah satu dampak rencana pembangunan PIK dua di Banten, membuat kecemasan para nelayan dan pedagang bladid seperti Mang Sarmin.  Ah ini tidak bisa dibiarkan, masyarakat harus berani menyuarakan keresahan dan kekhawatirannya. Dan aku harus berani menyuarakan aspirasi masyarakat kecil.


Tengah malam, aku masih bersama AI untuk berdiskusi mengenai dampak postif dan negatif dari PIK. PIK pertama menjadi kaca perbandinganku malam ini. Bagaimana kehidupan warga di sekitar PIK sebelum adanya PIK dan setelah adanya PIK di Jakarta. Jakarta memang terlihat kaya, apalagi para investor pemilik saham terbesar dan para pendatang yang memiliki banyak uang. Kesenjangan di Jakarta antara rakyat penghasilan menengah ke bawah dengan rakyat penghasilan menengah ke atas menjadi fokus utamaku malam ini. AI saja kesulitan menemukan persentase yang tepat mengenai kesenjangan penghasilan antara keduanya dengan berbagai alasan yang dipaparkannya. Tapi setidaknya ada beberapa studi dan laporan menunjukkan bahwa kesenjangan sosial di kawasan PIK merupakan masalah yang serius karena perbedaan yang mencolok antara kawasan elite di PIK dengan pemukiman warga di sekitarnya. Langsung saja aku berlari ke penelitian akademis, LSM, BPS, dan media massa.


Jarum jam sudah berlari di angka tiga, mata sepertinya sudah meminta haknya. Video YouTube yang mempertontonkan kawasan elite dan permukiman warga sekitar berhasil melobi mataku sekarang. Perumahan elite, bangunan menjulang tinggi, adanya jembatan penyeberangan yang menghubungkan dua sisi PIK 2, menengok ke  kawasan perdesaan yang sebagian jalan masih terperangkap genangan air karena saluran mampat, berlubang dan lain sebagainya. Padahal jalan itu penghubung antardesa dan jalan utama warga Salembaran Jati ke Muara di Kabupaten Tangerang (YouTube Harian Kompas). Aku lanjutkan pada berita Kompas oleh Fransiskus Wisnu Wardhana Dany yang memotret fenomena dua dunia dalam satu kawasan antara PIK 2 dengan warga Kampung Melayu Timur, Teluknaga, dan Desa Salembran, Kosambi di Tangerang. PIK dua dengan segala kemewahan, sedangkan warga sekitar mengeluhkan kondisinya yang terusir dari rumah sendiri sehingga kehilangan pekerjaannya (13/11/2024). 


Niatku semakin kuat dengan data dan informasi yang sudah aku dapat. Di gedung kecamatan, semua pihak berdatangan. Warga sepertinya antusias dan bergerak berdampingan. Namun, sangat mengejutkan gerbang dikunci rapat, padahal undangan sudah lebih dulu merapat dan dijamu dengan senyum para pejabat. Hari ini warga dikejutkan dengan kebisuan kantor pengaduan. Kekuatan petani dan nelayan tidak bisa diragukan, kekecewaan menguasai pikiran. Gerbang tinggi menjulang dengan mudah digulingkan. Semua warga masuk menerobos tak sudi membiarkan aspirasi terus terbungkam dan dipaksa diam. 


“Kau kira kami bodoh dan lemah. Keluar kau penghianat,” teriakanku semakin liar. Diikuti oleh semua warga. Ngiung ngiung ngiung, suara di balik mobil yang berderet memasuki lapangan. Dengan seragam hitam dan tameng di tangan. Berdiri seakan siap menerkam. Mengeluarkan gas air hingga kabur segala pandang. Pandanganku hilang, napasku mulai sesak, dada terasa berat, hingga badan bersandar pada rerumputan. Cahaya terang membuat mataku terbelalak. Wajah wanita tua tersenyum menutupi cahayanya. 


“Astaga, ini jam berapa?” 


Kaki beranjak dari tempat tidur dan bersiap-siap untuk menghadiri undangan itu. Ibuku bilang Aji sudah berangkat duluan, karena dia pikir aku memang sengaja ingin menghabiskan hari libur seperti biasanya, rebahan sampai matahari tepat di tengah-tengah. Aku lupa memberitahu Aji semalam karena sibuk mencari informasi ditambah lagi mimpi buruk menyerang lebih awal. 


Aku segera mengeluarkan kuda besiku dari kandang, berlari kencang tanpa hambatan. Akhirnya gedung putih dan pagar besi hitam sudah di depan mata. Tapi aneh, tidak kutemui siapa-siapa kecuali satpam. Mungkin acara sudah berlangsung di dalam. Sapaku pada Pak Satpam. Pandanganku beralih pada jarum jam yang masih berjalan tenang. Sepertinya saya datang terlalu siang, acaranya selesai. Aku enggan masuk ke dalam. Dan benar saja acaranya benar-benar sudah selesai satu jam yang lalu. Pak Satpam yang memberitahuku dengan menahan giginya yang hampir terpampang lebar. Dia memberiku secarik kertas, katanya tergeletak begitu saja digedung pertemuan. 


Tentangmu

Tentang kita

Tentang apa-apa yang tak lagi kita perdengarkan 


Tentangku

Tentangmu

Tentang jarit usang penuh lusuh

Penuh rebut jari tuk basuh keluh


Tentangmu 

Tentang kita

Tentang apa-apa dalam utara

Cinta kita tak terima paksa

Cinta kita bukan dongeng Juliet penuh romansa


Cinta di utara

Cintanya para petani pada sebiji padi

Cinta di utara

Cintanya para nelayan pada seutas jala

Hening rindunya adalah perang dan teriak perlawanan

Cinta di utara adalah tindak

Cinta di utara tidaklah cinta yang melulu diutarakan

Cinta kita penuh diam

Lalu belaiannya penghambatan


Kali ini cinta benar-benar tidak ditawar

Kami tawan segala obral


(Puisi Oki Khaeri Rojab, Singarajan 14 Desember 2024)



_________


Penulis


Siti Maria Ulfah lahir di Serang 20 Juni 1999. Kesibukan kesehariannya belajar bersama anak-anak usia dini di SDIT Ibadurrahman Ciruas yang insyaallah saleh dan salihah, membaca karakter anak-anak dan guru-guru yang random serta unique untuk diambil pelajarannya. Kesibukan terakhirnya menulis ke-random-an yang terjadi hari ini.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Friday, January 10, 2025

Puisi-Puisi Imam Budiman

Puisi Imam Budiman




Setengah Dekade Menjadi Juru Balagah

dan Ia Sangat Mencintai Pekerjaannya


semestinya, ia ditunjuk menjadi pemandu labirin anak-anak kalimat di kepala jemaat—yang paham

dan mengerti bagaimana muslihat bahasa bekerja.


makna tiada lahir dari kekosongan

maka terjadilah semacam fatwa kecil:


pertama:

isti’arah mencari alasan logis—dengan perangkat

alaqah dan qarinah dari tingkatan-tingkatan metafora


kedua:

tasybih pada mulanya beroperasi dengan empat rukun

yang utuh dan hilang ketika bermain menjadi simile


ketiga:

aqliy adalah kaifiat menghidupkan seisi kamar, segala yang disebut benda, dalam jurus terakhir personifikasi


ia selalu punya alasan untuk pergi lebih lekas ke ruang kelas, menciumi meja dan kursinya, untuk mengulas hal makna baris kitab suci—serta syair klasik sembilan ratus tahun silam. menyaksikan kata-kata menekuni kaidah

menyusun jisimnya menjadi keindahan yang lain.


dengan bahasa dan puisi— begitu penuh dirinya

ia selalu merasa terkoneksi dengan para penyair

—manusia-manusia luhung yang dicintai nabi.


dan ia merasa bahagia melihat jemaat tumbuh:

menjadi puisi yang membaca dirinya sendiri.


2024



Membeli Kesedihan


Ia manekin keseribu di pasar itu—yang kepalanya

copot di antara copet dan bau matahari. sejak kapan

sebuah toko menjual kesedihan, ketika segalanya

bisa menjadi komoditas dan layak dibanderol.


Apakah ikan-ikan pernah diajarkan

mencintai keranjang pelelangan.


Apakah sayuran sempat pamit

kepada tanah tempat dilahirkan.


Tetapi, air mata tak absah menjadi alat tukar.

Mungkin Ia masih bisa membeli langsung

dengan sepotong kesialan yang terampuni.


2024



Membaca Website


Kubirukan sebuah pranala dari dalam tubuhku

agar kau dapat mengakses kapan pun hal-hal lain

yang kusembunyikan selama ini. selama ini.


Sinyalmu stabil dengan paket bulanan, kautemui

di pojok kanan bawah pranala itu berupa perasaan

yang sudah kedaluarsa, buku-buku belum terbaca

atau langit yang tak berubah: selalu abu-abu.


Kunonaktifkan rubrik yang sengaja tak pernah terisi

dari sepenggal tubuhku yang tersisa. koneksi terputus.


Kau mungkin mengklik berulang kali dan hanya

muncul satu notifikasi yang menghubungkanmu

ke sumir masa lalu—sedang aku tak ada di situ.


2024


_______


Penulis


Imam Budiman, kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur. Biografi singkat tentang dirinya termaktub dalam buku: Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017); Ensiklopedia Penulis Sastra Indonesia di Provinsi Banten (Kantor Bahasa Banten, 2020); dan Leksikon Penyair Kalimantan Selatan 1930–2020 (Tahura Media, 2020).


Beberapa karyanya tersebar di berbagai media cetak nasional seperti: Tempo, Media Indonesia, Republika, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Nusa Bali, Majalah Sastra Kandaga, dll. Pemenang terbaik pertama dalam sayembara cerita pendek pada perhelatan Aruh Sastra 2015 dan Sabana Pustaka 2016.


Pada tahun 2017 mendapat Penghargaan Student Achievement Award, kategori buku sastra pilihan, dari Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta ia meraih beasiswa kuliah singkat Klinik Menulis Fiksi di Tempo Institute tahun 2018.


Buku kumpulan puisinya: Kampung Halaman (2016) serta Salik Dakaik; Mencari Anak dalam Kitab Suci (2023). Saat ini, mengabdikan diri sebagai Guru Bahasa dan Sastra Indonesia serta Ketua Tim Perpustakaan—Literasi Pesantren Madrasah Darus-Sunnah Jakarta.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Cerpen Ilham Wahyudi | Pertanyaan-Pertanyaan Aelfric Wicaksono

Cerpen Ilham Wahyudi



Aelfric Wicaksono atau yang biasa dipanggil Wicaksono akhirnya memutuskan masuk kelas menulis. Pilihan itu ia tempuh setelah nyaris lima tahun menulis puisi. Namun, tak kunjung jua puisinya diterbitkan surat kabar, majalah, atau media online. Sebenarnya ia sudah ingin resign atau mungkin pensiun dari dunia tulis menulis puisi. Tetapi kekasihnya, Gabriel Morla Wati, sambung-menyambung membakar kayu semangat Wicaksono agar terus marak berkobar dan tentunya pantang pula padam.


“Sayang, aku pernah mendengar temanku bercerita, yang cerita itu dia dengar pula dari temannya yang punya teman seorang teman penulis puisi, bahwa banyak penulis puisi atau penyair hebat-hebat yang membuka kelas menulis puisi.”


“Lalu?”


“Cobalah ikuti kelas seperti itu, mungkin karyamu akan lebih bertaji; lebih bergigi! Dan yang paling penting, setelahnya kau pun pasti akan langsung diakui sebagai seorang penyair.”


“Wah, ide menarik, Sayang. Apakah kelas serupa itu berbayar?”


“Sudah pasti, Sayang. Tapi kau jangan khawatir, soal biaya aku yang tanggung. Terpenting, kau serius belajarnya, Sayang!”


Maka, mendaftarlah Aelfric Wicaksono pada kelas menulis puisi seorang penyair hebat yang konon katanya, semua murid-murid kelas menulisnya sukses menjadi penyair yang menelurkan buku-buku puisi bestseller.


Seminggu setelah mendaftar, Wicaksono mendapat kabar kalau namanya masuk salah satu murid yang diterima dalam kelas menulis puisi. Sungguh gembira Wicaksono. Ia sebenar tidak menyangka, sebab sebelum diterima, Wicaksono mestilah diwajibkan mengirim tiga puisi sebagai bentuk uji kelayakan ikut dalam kelas menulis puisi tersebut.


Pada hari pertama kelas menulis puisi itu, pendiri kelas menulis yang tak lain adalah penyair hebat, tidak bisa hadir karena sedang diundang dalam sebuah perhelatan sastra internasional. Sehingga beliau pun terpaksa diwakili oleh murid kesayangannya yang telah pula masyhur di jagat tulis menulis puisi.


“Baiklah murid-murid peserta, hari ini kelas menulis puisi akan kita mulai. Mohon terus serius menyimak dan jangan malu pula bertanya sekiranya belum paham!” kata si mentor. Melihat semua murid mengangguk paham (termasuk Wicaksono), ia pun melanjutkan khotbahnya, “Hari pertama kelas ini, kita akan membahas perihal menulis secara mendasar dan menyeluruh. Harapannya dengan kita berikan ilmu tersebut, murid-murid sekalian memiliki dasar yang kuat tentang tulis menulis yang tentu saja dapat dipraktikkan saat menulis puisi. Nah, judul materi yang akan kita bahas hari ini adalah Menulis: Pengertian, Tujuan, Fungsi, Manfaat, dan Teknik Menulis.”


Wicaksono mengeluarkan buku dan penanya. Khusyuk ia menyimak semua penuturan dari sang mentor yang sedang berdiri di hadapannya. Begitu pula peserta yang lain. Hari itu sekitar lima belas orang mengikuti kelas menulis puisi tersebut. Dan bila dilihat dari tampang semua peserta, wajah Wicaksono-lah yang tampak paling tua. Ya, saat mengikuti kelas itu, umur Wicaksono memang nyaris empat puluh tahun. Namun, adakah ukuran usia bagi seseorang untuk sukses dalam dunia tulis-menulis puisi?


“Menulis adalah sebuah proses menciptakan suatu catatan, informasi, atau cerita yang menggunakan aksara. Menulis bisa dilakukan pada media kerja dengan menggunakan alat-alat seperti pena atau pensil. Tapi awalnya, menulis dilakukan menggunakan gambar seperti tulisan hieroglif zaman Mesir Kuno. Pada akhirnya, tulisan aksara pun muncul sekitar lima ribu tahun lalu. Orang-orang dari Irak juga menciptakan banyak simbol-simbol pada tanah liat. Simbol-simbol itu mewakili bunyi, berbeda dengan huruf-huruf hieroglif yang mewakili kata-kata atau benda. Menulis juga proses menuangkan kreativitas atau gagasan ke dalam bentuk bahasa tulisan, yang biasanya disebut dengan karangan. Karena menulis adalah kerja mengungkapkan isi pikiran, ide, pendapat atau keinginan seseorang melalui tulisan tersebut. Namun murid-murid, begitupun pengertian menulis, juga memiliki banyak makna. Dan hal ini dikembalikan kepada setiap orang atau ahli-ahli dalam mengartikannya. Sampai di sini paham?” tanya mentor kelas menulis itu.


Murid-murid serentak mengangguk kecuali Wicaksono. Penasaran melihat Wicaksono yang tidak mengangguk, mentor itu pun bertanya, “Kamu paham, Wicaksono?”

 

“Sedikit, Pak.”

           

“Lalu, apa yang belum banyak?”

           

“Materinya, Pak.”

           

Mentor itu tersenyum. Tentu saja belum banyak, kelas saja baru mulai, bisik batin mentor itu.

           

“O, itu maksud kamu. Ya, kalau begitu, tetaplah fokus dan semangat menyimak pelajaran hari ini, Wicaksono!”

           

Wicaksono mengangguk. Kelas pun lanjut kembali.

        

“Sebelum kita teruskan pembahasan tujuan dari menulis, saya ingin bertanya. Menurut kalian apa tujuan menulis? Tentu saja setelah kalian paham pengertian menulis tadi,” tanya mentor itu lagi. 


Semua murid diam tak ada yang menjawab. Begitu pula Wicaksono. Tetapi diam-diam dalam hati ia berseru: agar mendapatkan uang banyak sebab sudah keluar uang banyak untuk belajar menulis.

           

Melihat murid-murid semua diam, mentor itu pun melanjutkan penjelasannya, “Baiklah, karena tak ada yang menjawab, maka akan saya terangkan saja apa tujuan dari menulis. Perhatikan baik-baik, ya!” Mentor itu menarik kursinya kemudian duduk seraya melanjutkan, “Menulis itu bukan hanya sekadar merangkai kata-kata. Seorang penulis semestinya haruslah paham tentang tujuan menulis sebelum akhirnya tercipta sebuah karya tulisan, dalam hal ini tentu saja puisi, sebab murid-murid kan sedang mengikuti kelas menulis puisi. Selain itu, tulisan juga merupakan media komunikasi antara penulis dan pembacanya. Sehingga, oleh karenanya, penulis haruslah menentukan dahulu tujuan dari si penulis: untuk menambah wawasan atau untuk hiburan semata. Sampai di sini paham?”

            

“Paham,” jawab murid-murid serentak kecuali Wicaksono.

            

“Tapi kalau tujuannya berbeda dari keduanya bagaimana?” Wicaksono tiba-tiba saja menyemburkan tanya.

            

“Seperti apa misalnya?” tanya mentor itu balik.

            

Wicaksono terdiam. Sebenarnya ia pun bingung kalau ditanya contoh apa yang lain dari kedua hal itu. Hanya saja, kalau ia mengingat-ingat tentang semua puisi yang pernah ia tulis, sepertinya sudah mengandung kedua unsur tujuan yang disampaikan oleh mentor itu. Tapi mengapa puisinya tak satu pun yang dimuat media. Tak tahu mau menjawab apa, Wicaksono sekenanya saja berujar, “Belum terpikirkan. Tapi maksudnya kalau ada tujuan yang tidak sama dari kedua tujuan itu, apa masih boleh menulis, lebih spesifik lagi menulis puisi tentunya?”


“Oh, saya pikir boleh-boleh saja.”

  

“Kalau begitu tujuan menulis selain itu adalah apa pun yang kemudian dipikirkan oleh setiap penulis kemudian. Benarkan, Mas?”

            

Sekarang gantian mentor itu yang bingung mau menjawab apa. Namun, sebagai penulis puisi bestseller dan murid terbaik pula dari penyair hebat, ia pun mudah saja melanjutkan pekerjaannya.

            

“Baiklah, karena hal yang ditanyakan oleh Wicaksono belum jelas, kita lanjutkan pelatihan kita hari ini,” kata mentor itu sambil berdiri dan berjalan mengelilingi murid-murid pelatihan menulis puisi.

 

Komposisi duduk peserta pelatihan itu memang serupa komposisi sebuah peristiwa belajar-mengajar di sekolah, yang mana posisi guru berada di depan murid-murid. Sambil berjalan mendatangi meja murid-murid pelatihan menulis puisi, mentor itu melanjutkan materinya, “Nah, setelah kita membahas perihal tujuan menulis, sekarang kita akan membahas soal fungsi menulis. Seperti sebelumnya, saya juga ingin bertanya. Menurut kalian apa fungsi menulis?”

            

Semua kembali terdiam. Dan Wicaksono kembali ingin menjawab. Sesaat ia mempertimbangkan niatnya. Ia berpikir, kalau terlalu aktif takutnya nanti ditandai oleh mentor kelas menulis puisi itu. Syukur kalau sebagai yang baik, kalau sebaliknya? Kan bisa berabe. Niatnya untuk mendapatkan ilmu mungkin saja akan terganggu. Tetapi kalau diam saja, rugi rasanya sudah membayar mahal. Apalagi yang mengajar bukanlah seperti yang sudah dijanjikan. Duh, Wicaksono dikurung bimbang.

            

Melihat semua murid diam, mentor itu pun melanjutkan materinya, “Fungsi menulis sendiri adalah sebagai alat komunikasi tak langsung antara penulis dan pembacanya. Sebab, tulisan pada prinsipnya dapat menyampaikan pesan dari penulis kepada pembacanya.”

            

“Kalau tulisan tidak ada pesan bagaimana?” kata Wicaksono yang akhirnya tak tahan juga—meski ia bukan menjawab pertanyaan malah memberi pertanyaan. 


Sejenak mentor itu memperhatikan wajah Wicaksono. Sepertinya dia sedang menyelami Wicaksono—yang sebenarnya mau bertanya atau sedang menguji? Suasana kelas pun seketika menjadi hening, lalu kemudian, “Saya pikir tidak ada satu tulisan pun di dunia ini yang tak memiliki pesan apalagi puisi. Serusak atau sehancurnya sebuah tulisan, pasti memiliki pesan. Hanya saja, pesan itu apakah penting atau tidak. Begitulah murid-murid.”

            

Wicaksono manggut-manggut. Tapi ia malah semakin penasaran dan bertanya kembali, “Kalau begitu apa ciri dan tanda sebuah pesan pada tulisan dan tentu saja dalam hal ini puisi, bisa dikatakan penting?”

            

Sang mentor mulai merasa terusik dengan pertanyaan-pertanyaan Wicaksono. Ia pun mulai berpikir kalau Wicaksono seharusnya tidak ikut dalam kelas itu, sebab kapasitas otaknya yang kurang mampu mencerna, tuduh pikiran mentor itu. Namun karena setelah kelas itu, ia pun masih memiliki jadwal untuk kelas lain, yang dia buat sendiri, dia pun tak menggubris pertanyaan Wicaksono dan langsung saja melanjutkan materinya.

            

“Murid-murid, agar kelas kita ini bisa berjalan sesuai rencana dan tepat waktu, saya pikir pertanyaan-pertanyaan bisa nanti saja disampaikan setelah semua materi saya sampaikan. Setuju?” kata mentor itu sambil kembali duduk di kursinya.

           

“Setuju!” jawab murid-murid serentak, kecuali Wicaksono yang tampak kecewa sebab pertanyaannya tidak berbalas dengan jawaban. Padahal tadi si mentor mengatakan boleh bertanya bila belum paham. Jengkel, ia pun memasukan buku dan penanya ke dalam tas. Mungkin ia sudah siap-siap kabur dari ruang kelas belajar menulis puisi itu.

           

“Kita lanjut lagi. Sekarang kita akan membahas soal manfaat menulis. Seperti sebelumnya...,” mendadak mentor itu tidak melanjutkan rencananya yang ingin bertanya juga seperti sebelumnya. Ia pikir, nanti Wicaksono akan bertanya lagi dan akan membuat konsentrasi dia buyar. Maka, ia pun langsung saja menjelaskan materinya, “Jadi manfaat menulis adalah memberikan manfaat kepada pembaca. Namun, manfaat itu ternyata bukan hanya hadir atau timbul pada pembaca, melainkan kepada penulis juga. Sebab dengan menulis, penulis akan terlatih untuk melahirkan dan menciptakan ide. Paham murid-murid?”

           

“Paham!” jawab murid-murid serentak termasuk Wicaksono. Mentor itu tampak lega, karena melihat mulut Wicaksono juga berucap kata paham. Tapi ada apa dengan Wicaksono? Mengapa ia tidak bertanya? Apa ia sudah benar-benar paham, atau memang sudah malas mau bertanya? Ah, sudahlah! Lagi pula mentor itu sudah pula buru-buru melanjutkan materi kelasnya yang tinggal menjelaskan bagian terakhir dari pembahasan menulis, yakni teknik menulis.

          

“Sampailah kita pada pembahasan terakhir dalam sesi pembahasan soal menulis. Dan pembahasannya ialah perihal teknik menulis,” kata mentor itu sambil kembali tegak dan kembali mengelilingi meja murid-murid.


Ketika mentor itu berdiri tepat di depan meja Wicaksono, Wicaksono berdiri kemudian dengan sedikit berbisik berujar, “Mas, boleh tidak saya pulang saja. Saya tidak akan minta uang pelatihan menulis puisi ini dikembalikan. Yang penting, setelah kelas menulis puisi ini selesai dan karya para murid-murid akan dibukukan, tolong masukan karya saya juga. Sebab kalau tidak, pacar saya akan mencak-mencak memarahi saya. Soalnya uang pelatihan ini, ia yang bayar.”


“Loh, tidak seperti itu cara kerjanya, Wicaksono. Kamu ya harus ikut sampai selesai, kemudian menulis sebuah karya baru, barulah karya itu bisa dibukukan,” jawab mentor itu dengan wajah serius.


Wicaksono sebal. Tak tahan dengan cara mentor itu mengajar, ia pun memutuskan kabur. Saat meninggalkan kelas, ia pun berteriak, “Pelatihan nggak jelas. Lihat saja, akan aku buat puisi yang menceritakan ketidakjelasan pelatihan ini. Lihat saja nanti!” 


Keesokan hari, bahkan sampai kelas belajar menulis puisi itu usai, wajah Wicaksono tak sekalipun tampak batang tengkuknya. Dan ketika buku antologi puisi para murid terbit, karya Wicaksono pun tak tampak dalam buku. Sedangkan janji Wicaksono yang ingin menulis puisi perihal kekesalannya juga tak terlaksana, sebab sehari setelah memutuskan kabur dari kelas menulis puisi, kekasihnya Gabriel Morla Wati memutuskan hubungan mereka. Dan kini, menurut kabar yang tersiar, Wicaksono dalam kondisi koma setelah mencoba bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya sehari pasca diputuskan oleh kekasihnya. 


Akasia 11CT, 2024


________


Penulis


Ilham Wahyudi, lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia salah seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur. Selain menjadi seorang Fundraiser di Adhigana Fundraising, ia juga dikenal sebagai tukang mabuk. Beberapa cerpennya ada yang dimuat dan banyak yang ditolak redaksi. Buku kumpulan cerpennya Buku Latihan Menulis Cerpen tidak akan diterbitkan.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Friday, January 3, 2025

Puisi-Puisi Muhammad Sholeh Arshatta

Puisi Muhammad Sholeh Arshatta 



Fragmen Ngeri di Negeri Serba Futuristik


bung, biar kukidungkan lagi halo-halo bandung

pada manusia-manusia tanpa busana

di ujung gang jalan sana

mataku menyala hidu bau amis campur lendir-lendir khas yang nganga

dipajang sepanjang remang lampu taman

benar-benar telah jelma lautan pencuci mata 

lengkap dengan hijab penyempurna ball room distopia di ranah ramah tamah hanya tempat singgah pelepas hajat sesaat


bung, lihatlah negeri ini dipeluk segala bala

tak perlu picing netra, dalam kedip mata

segala tersaji gala dinner

disantap sembarang orang

dengan lembar-lembar hasil lembur bondong-bondong insan sekuler

memuja-muji peri-peri penyandang multitalenta 

seakan rayakan pesta dini hari tiap lini situasi

dipayungi oleh oknum penerima jatah sisa-sisa 

buaya lampiaskan nafsu sesap 


bung, di masa jaya futuristik ini 

ribuan mata berburu partisipasi telanjang

campur adukkan ambisi politik

seiring pemuas hasrat buas semata


bung, aku masih belia

hanya pura sok-sok dewasa berkaca-kaca lantunkan doa-doa 

berharap tuhan berikan sembuh pada bangkai-bangkai berseragam elegan

aku pun sembari melihat lamat-lamat dengan kacamata tanpa hasrat

walau pada akhirnya, aku tergiur juga, liurku mampir memamah biak membujuk bijak

merekonstruksi kekebalan iman di hati dengan konsolidasi palsu yang berujung kaku 

—menjual laku aku sendiri


Pekanbaru, 31 Oktober 2024



 

Malam-Malam yang Kautakuti

: Ibu Menanti Buah Hati 


di gelap bertabur rasi bintang hiasi hari

ada sekelebat bayang jelma hantu

debar-debarnya adalah detak 

senantiasa gentayang di ronda matamu

berkecamuk bersama kecambah rindu

yang pelik akan dekap peluk

pelupuk bilik dadamu

yang degubkan nyala kota 

juga nyanyah nyanyian pengamen jalanan 


di ranjang lembur berteman nukilan dinding

bertema tiada waktu tidur di ranjang

ranum senyum pudar dipendar sejuta khawatir 

kendaraan gelabah lalu lalang di labirin benakmu

seperti trotoar menanti hal pasti kelak

walau udangnya kian bertambah hari ke hari


dan saat-saat kendur dengkur 

toddler menjaga ketiakmu

bergelayut diasuh sapih asi sapi

berharap belai tangan tak kaubagi

pada sesiapa asing lain baginya

walau di rahimmu kelak adalah teman

sepermainan preman-premanan


aku yang bertabur rancu

juga jauh dari jaga warna bibirmu 

terbiasa mendapat cibir berbumbu sindir

hanya kebagian usap sisa air kata

dan teman pelepas baby blues-mu

siyaga dampingi titik-titik di bening

rintik kepingan renjana matamu 

yang terbaring di sepanjang malamku


Pekanbaru, 18 November 2024


 

Memasang Dada Waspada


di kanal matamu 

serupa prefiks pembentuk adverba

tumbuh kawah jaga penuh was-was

ketika epigraf november bukan igau semata

adalah manja genting paling septima

kutugal dari kantung imaji rekreasi 

migrasi dari waspada ke keping hati-hati 

mengultimatum kita menikahi siang–malam

jelma makelar yang tiada kelar

menjalar sepanjang ronda degup dada


lalu aforisme 

berdialog pada titik temu dini hari

tentang rencana apa sebencana ngarai

badai-badai yang belum berdamai

belum dijamah berjamaah

hingga binar netra benar-benar siaga 

berharap tiada terlewat di jam-jam lelap

yang melipir mengutip luka beralinea-alinea


Pekanbaru, 30 Oktober 2024

 


Memendam Dendam di Dada 


di keping hatiku yang remuk separuh

badai tak kunjung temu damai

berkecamuk segerombol dendam

berdialog riuh sepanjang malam 


syair-syair syirik

tembang-tembang munafik

terbang gerogoti bingkai kebaikan lalu

mencangkul gala makam sendiri

menyulut api di balik bilik kilat mataku


senoktah trombosit mendidih 

berlaga lewati jalur metabolik

seolah gila bergejolak berontak

hendak hentikan alveolus di dadamu

dengan belati lidah mengutus lisan

hendak antar kelar segala kelakar 

nanar hatimu yang nanah 

di tepi nisan terakhir 


tapi biarlah kupendam

diam—sampai padam


Pekanbaru, 15 Oktober 2024


 

Rentak Pengusir Aral Melintang 


bila akar kancil 

tiada mampu menjadi jamu

pengusir ruh-ruh penyihir kafir

belahlah lagi mayang pelepah pinang

lengkap perapian kemenyan dan bunga-bunga

yang diempukan kumantan kepada adam

barangkali mutakhir tolak bala 

melepas nista segala aral

hilang jauh-jauh 

sejauh tursina berada


Pekanbaru, 22 September 2024


______

Penulis


Muhamad Sholeh Arshatta, lahir 04 Desember 1995. Berdomisili di Pekanbaru-Riau. Sehari-hari bekerja di PT Nestle Indonesia sebagai Medical Nutrition sembari menjalani hobi menulis yang menjadikannya sebagai mentor di kelas puisi Asqa Imagination School sejak Agustus 2023 dan mentor di Symprerifora Publisher sejak Juli 2024. Peraih Anugerah COMPETER 2023 ini, tunak di COMPETER Indonesia sejak 2016.  Alumni menulis puisi AIS 26 tersebut menjuarai berbagai event,  Juara 1 kategori Kutipan dalam Festival Menulis Ellunar IX Desember 2023, Juara 1 Asqa Book Award XIX 2024 dan baru-baru ini naskah teaternya berhasil meraih juara 1 dalam Gelora Teater Riau 2024. Puisi-puisinya terbit di media online dan tergabung di dalam puluhan buku antologi bersama. Buku solonya berupa antologi puisi berjudul Kepingan Renjana Matamu terbit pada bulan Mei 2023, solo novel terbit berjudul Arok Tan Lika-liku Menjemput Surga terbit Mei 2024. Instagram: @muhammadsholeharshatta.



Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com


Cerpen Aris Kurniawan | Orang Gila yang Kutemui

Cerpen Aris Kurniawan



Aku celingukan di pojok pasar yang sepi itu. Melihat lapak yang telah kosong, serakan sisa sayuran busuk di kolong lapak yang ditinggalkan pemiliknya. Hari memang sudah sore. Pasar ini bahkan sudah ditinggalkan penjual dan pembeli sejak lepas zuhur. Aku bergerak lebih ke dalam, masuk ke los-los pasar, menyisir kolong-kolong lapak. Berharap mendapati orang gila itu tidur di kolong salah satu lapak, atau duduk memeluk lututnya yang ditekuk. Yang kulihat hanya seekor anjing yang sedang melamun. Dia tak mungkin kuajak bicara tentang orang gila. Aku merasa sangat perih.


Sejak berminggu-minggu yang lalu aku melihat orang gila itu duduk di lapak ini setiap aku melintas di jalan depan pasar ini saban menjemput anakku ke sekolah. Namun, berminggu-minggu pula aku selalu mengabaikannya. Mengurusi telur-telur sampai ke tangan pelanggan dengan baik, menyelamatkan masa depan anak-anak, dan segunung urusan rutin lainnya telah menyita perhatianku dari orang gila itu.


“Ayah, lihat orang gila itu,” kata anakku dari atas motor saat kami lewat pasar itu.


“Iya, biarkan saja, Nak.” Aku hanya sekilas memandang seorang laki-laki berambut mulai gimbal karena lama tak tersentuh air, dan celana kumal, duduk di sisi lapak. Tetapi, apa yang aneh dengan orang gila di pasar. Hal yang biasa saja bagi kita orang dewasa, bukan? Bahkan orang-orang dewasa di kantor dinas sosial tidak memandangnya sebagai persoalan yang serius. 


“Dari kemarin dia keluyuran di pasar, Ayah. Seperti mencari sesuatu,” kata anakku. 


Aku tetap saja tak menganggap penting informasi itu. Apakah yang dianggap penting oleh orang dewasa? Kita tak sempat memikirkan untuk mendapatkan jawabannya karena kita tak boleh berhenti melakukan hal-hal rutin agar semuanya berjalan baik-baik saja seperti kemarin-kemarin, supaya besok dan besoknya lagi persis seperti hari ini. Jangan sampai keluar dari kebiasaan. Sesuatu yang tidak biasa sungguh bisa mengganggu kenyamanan, menimbulkan ketakutan. 


“Ibu, orang gila yang kuceritakan kemarin masih ada di pasar,” kata anakku kepada ibunya. Seperti orang dewasa lainnya, istriku tak terlalu merespons cerita anakku. Hanya menanggapi seperlunya, “Oh orang gila yang kamu bilang makan sisa sayuran dan buah busuk itu?”


“Kasihan dia, Bu,” kata anakku.


“Sudah sana ganti baju. Lalu makan. Ibu masak tongseng.”


Usai makan, anakku kembali bercerita, orang gila yang dia lihat di lapak itu, berjalan terseok lewat di depan pintu gerbang sekolahnya.


Waktu aku kecil aku juga melihat orang gila di pasar dan di jalanan. Bahkan aku pernah melihat orang gila berpakaian compang-camping tak sanggup menyembunyikan jembut dan kelaminnya yang terayun-ayun. Aku juga menceritakannya kepada Ayah dan Ibu, tetapi mereka tak menganggap penting cerita itu. Paling jauh mereka hanya berpesan supaya jangan dekat-dekat, jangan mengganggu mereka kalau kamu tidak mau diganggu. “Urus saja pelajaran sekolahmu,” kata Ibu dan Ayah. Itu pula yang kukatakan pada anakku waktu anakku bercerita tentang orang gila di pasar itu. Aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan.


“Kenapa ada orang yang menjadi gila, Ayah?”


Aku tidak bisa menjawab pertanyaan anakku. Bagaimanakah menjelaskan kepada bocah sepuluh tahun betapa banyak hal yang membuat orang menjadi gila?  


Kemarin, pertanyaan itu membuatku serius menanggapi cerita anakku, memikirkan orang gila itu, dan kenapa seseorang menjadi gila. Aku teringat seorang temanku, Mahdi—dan ingatan itu, telah menghentikan bahkan mengganggu rutinitasku, membuatnya berantakan seperti yang dia lakukan pada keluarganya puluhan tahun lalu. Ya, puluhan tahun lalu Mahdi pergi dari rumah orang tuanya, dan tak pernah kembali. Orang tua dan saudara-saudaranya sudah lelah mencari sampai akhirnya tidak peduli lagi, sibuk mengerjakan hal-hal rutin untuk menyelamatkan hidup masing-masing. Setiap pulang kampung libur semester aku masih rajin berkunjung ke rumah orang tuanya, menanyakan kabar Mahdi. Sampai kulihat mereka bosan menjawab untuk menjelaskan. Entah kesal entah sedih. Mungkin dua jenis perasaan itu campur aduk, hingga aku merasa tak enak sendiri dan memutuskan sebaiknya tak bertanya lagi kabar tentang Mahdi. 


Beberapa orang kampungku mengatakan pernah melihat Mahdi jadi juru parkir di sebuah mal di kota kabupaten. Beberapa orang yang lain bilang melihat Mahdi duduk di alun-alun dengan baju kumal dan mata menerawang seorang diri.


“Tak mengenaliku dia,” ujarnya.  


“Aku pernah membujuknya pulang. Dia malah lari menjauh,” kata yang lain.


“Kau melihat dia di mana?” tanyaku.


“Di dekat alun-alun, depan Masjid Attaqwa,” sahutnya.


Berdasar informasi itu diam-diam aku berangkat ke kota kabupaten naik angkutan umum. Langsung menuju ke Masjid Attaqwa. Aku kelilingi alun-alun sampai tiga kali, keluar masuk lorong sisi kanan yang penuh deretan warung. Tak juga kutemukan. Aku duduk di bawah pohon beringin di sudut alun-laun dekat persimpangan lampu merah. Menunggu dengan harapan Mahdi akan muncul. Hingga petang dia tak kelihatan. Selepas sallat Magrib di Masjid Attaqwa, aku kembali duduk menunggu di sana sampai lewat Isya. Tak kunjung muncul juga sampai perutku kembali lapar. Aku masuk ke warung makan dan memesan sepiring nasi, dan bertanya kepada Ibu Warung tentang orang gila yang sering duduk di alun-alun.  


“Kemarin Satpol PP mengangkut para gelandangan dan oran gila,” kata Ibu Warung.


“Dibawa ke mana mereka, Bu?” kejarku.


Tetapi tak kudapatkan keterangan berharga yang dapat kugunakan untuk melacak jejaknya. Aku nekat tak pulang malam itu dan menginap di emper Masjid Agung agar besoknya bisa langsung ke kantor pemda mencari Satpol PP. Aku berharap dari mereka aku dapat informasi. Tapi esoknya mereka hanya mengatakan para gelandangan dan orang gila dibawa ke dinas sosial.


“Mereka ditampung di panti-panti sosial,” katanya.


Aku mendatangi panti-panti dinas sosial satu per satu, mengecek para gelandangan dan orang gila yang ditampung di sana. Perasaanku berdebar-debar setiap melihat sosok yang mirip Mahdi. Namun debaran-debaran itu berkali-kali berakhir hampa. Aku tak menemukan Mahdi di antara mereka.


***


Waktu SD sampai SMA aku satu sekolah dengan Mahdi. Saat SMP bahkan kami sebangku selama tiga tahun penuh. Kami hampir selalu berangkat bareng ke sekolah, berboncengan mengayuh kereta angin. Pulang sekolah kadang Mahdi mampir ke rumahku, hingga petang. Sering sampai menginap. Aku kerap minta jawaban soal-soal pelajaran menghitung. Dia tidak hanya pintar pelajaran menghitung, tapi juga sejarah dan bahasa. Nilai ulangannya selalu bagus. Mahdi gemar mengarang, aku membaca karangannya di koran lokal yang ditempel di dinding sekolah. Seharusnya dia melanjutkan ke perguruan tinggi seperti yang dia cita-citakan. Tetapi dia batal mengambil beasiswa itu. Ayahnya, tukang cukur keliling, menyuruh Mahdi langsung bekerja mencari uang untuk membantu biaya sekolah adik-adiknya. Sejak itu Mahdi pergi dari rumah. Orang tuanya mengira Mahdi mencari kerja di kota. Namun hingga berbilang tahun dia tak pernah kembali.


Aku sibuk dengan rutinitas perkulihan supaya lulus tepat waktu, mendapatkan pekerjaan, menikah, punya anak, keluar dari pekerjaan, memulai usaha sendiri menjadi agen telur, larut dalam jebakan kerutinan mengurus keluarga yang seolah tak ada ujungnya, dan itu betapa membosankan. Tapi tak ada jalan keluar. Tepatnya aku takut mencari jalan keluar.


Sebuah buku dari rak lawas tempat aku menyimpan buku-buku kuliah dulu, itulah yang mengantar ingatanku pada Mahdi. Buku berisi beberapa lembar kliping koran yang memuat karya Mahdi. Buku  itu bukan hanya mengantar ingatanku pada Mahdi, tapi juga memunculkan ingatan betapa ada sesuatu yang  tersumbat dalam hidupku yang pucat. Buku itu seperti membuka kembali keinginan terpendamku keluar dari jebakan. Membiarkan segalanya lepas sebentar. Aku mengeluarkan motor. 


“Mau ke mana, Pak?” kataku istriku. Terdengar seperti sipir penjara yang selalu mengawasiku. 


“Ke pasar,” sahutku.


“Jam berapa sekarang?”


Aku memacu motorku. Keluar dari kompleks perumahan. Meluncur di jalan beraspal, berpapasan dengan kendaraan dari arah berlawanan, melewati kesibukan menjelang petang, menuju pasar.


“Mencari siapa, Wahab?”


Suara dari ujung lorong pasar mengejutkanku. Aku tak dapat melihatnya dengan jelas karena tubuhnya membelakangi cahaya di luar lorong. Dia terus melangkah mendekat. Aku berdiri menunggu sambil menebak-nebak...       


______


Penulis


Aris Kurniawan menulis cerpen, puisi, resensi, esai untuk sejumlah penerbitan. Buku cerpen terbarunya: Monyet Bercerita (Basabasi, 2019). Link medsosnya: @KepalsuanAris dan https://www.facebook.com/aris.kurniawan.35762/


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com



Thursday, January 2, 2025

Esai Heru Anwari | Mengubah Peradaban Dunia

Esai Heru Anwari


Usai perjalanan darat menggunakan mobil selama tiga jam dari  phoenix menuju Tucson Arizona yang berjarak sekitar 189 kilometer, sore itu sesampainya di halaman parkir penginapan Airbnb, teman yang lain masih sibuk menurunkan tas-tas mereka dan memilih kamarnya masing-masing. Saya masih sibuk dengan telepon genggam yang mungkin sudah tiga puluh menit melakukan percakapan


Sahabat saya menelepon melalui WhatsaApp Call. “Dedy Morning”, begitu saya memanggilnya. Mungkin ia sedang mendapatkan pencerahan semangat di pagi hari waktu Indonesia, bertepatan perbedaan jam Indonesia dengan Amerika 14 jam, kira-kira di Indonesia pukul 06.30 saat itu. 


Dedy mengungkapkan rasa kebanggaanya terhadap konsistensi yang sudah saya geluti di bidang sepeda Bmx selama 20 tahun. Ia masih belum percaya kalau saya adalah seorang anak remaja yang ia temui 14 tahun lalu di panggung kecil Taman Sari, Kota Serang. Saat itu Dedy masih di awal perjalanan kariernya dalam bidang clothing dan event organizer. Ia meminta saya untuk perform di kegiatan musik yang digarapnya. Ia ingin mengolaborasikan antara paduan musik band dan Bmx freestyle. 


Dalam percakapan telepon itu, saya katakan kepada Dedy, sungguh saya juga tidak terbayangkan sebelumnya jika saya harus berkeliling theatre ke theatre, kota ke kota, dan negara ke negara. Mungkin tahun ini saja sudah lebih dari 200 pertunjukan diselenggarakan. Dan jika sekali pertunjukan saja 2.000 audiens, sudah hampir 400.000 penonton luar negeri yang menyaksikan penampilan rider Bmx asal Indonesia. 


Yang membuat kita takjub sebenarnya adalah bagaimana mungkin negara Amerika yang 50 tahun lalu telah melahirkan budaya Bmx, dan pada saat budaya itu menyebar ke seluruh dunia, kini negara tersebut menyaksikan penampilan rider/atlet Bmx yang berasal dari negara jauh di timur Indonesia, untuk kembali mempertontonkan budaya yang dahulu dilahirkan di tanah Amerika. Dalam diskusi sore itu saya seperti mendapat pencerahan kesadaran, sebenarnya saya sudah melakukan berkesenian hampir 20 tahun. Namun berkesenian bersama sepeda Bmx, saya tersadar bahwa saya melakukan performing di theatre-theatre bahkan bukan hanya pertunjukan saja, tidak sedikit penyelenggara membuka sesi workshop ke sekolah hingga universitas di banyak kota, tidak cukup berbicara tentang olahraga, melainkan tentang performing art atau pertunjukan kesenian. Hampir keseluruhan theatre menjadi sebagai art center, performing art, tempat pertunjukan seni/ pusat kesenian. 


Seperti yang dijelaskan oleh Jakob Sumardjo, apa yang disebut ‘seni’ memang merupakan suatu wujud yang terindera. Karya seni merupakan sebuah benda atau artefak yang dilihat dan sekaligus didengar (visual, audio dan audio-visual), seperti lukisan, musik, dan teater. Tetapi, yang disebut seni itu berada di luar benda seni sebab seni itu berupa nilai. 360ALLSTARS merupakan pertunjukan fisik fenomenal yang mengeksplorasi semua bentuk rotasi putaran, seperti Bmx, bola basket, breaking, akrobatik, drum, musik, dan lighting. Pertunjukan ini menghubungkan street culture/seni jalan dengan elite untuk menghadirkan sirkus urban yang supercharged di panggung theatre.


Sebagian besar orang di Indonesia memahami tentang kesenian atau seni budaya selalu berkonotasi pada kesenian tradisonal yang terkesan jadul atau tak relevan di era modern saat ini, juga berfikir tidak mungkin untuk menciptakan kesenian baru dan budaya baru. Budaya terkonotasikan sebagai kebiasaan yang sudah turun-temurun atau yang terus dilakukan oleh masyarakat dari dahulu, tanpa melihat pada seni kontenporer modern seperti budaya baru yang lahir di negara lain, seperti Bmx freestyle atau skateboard, bahkan seni grafiti, coretan jalanan yang terlahir di Kota New York. 


Dalam perkembangannya, kata "buddayah" mengalami perubahan dan adaptasi di berbagai bahasa dan wilayah di seluruh dunia. Salah satunya adalah dalam bahasa Indonesia, di mana kata tersebut menjadi "budaya". Dalam bahasa Indonesia, "budaya" diasosiasikan dengan keseluruhan pola perilaku, kepercayaan, kebiasaan, adat istiadat, dan nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi.


Penting untuk menyadari bahwa konsep "budaya" tidaklah statis, melainkan bersifat dinamis dan terus berkembang seiring waktu. Setiap masyarakat memiliki budaya yang berbeda, yang membentuk identitas dan jati diri mereka. Budaya juga dapat memengaruhi cara pandang, perilaku, dan interaksi sosial seseorang atau kelompok dalam masyarakat.


Dalam konteks globalisasi saat ini, pertukaran budaya antarbangsa semakin meningkat dan memberikan pengaruh yang signifikan pada perkembangan budaya di berbagai negara. Penyebaran melalui teknologi informasi dan komunikasi juga memainkan peran penting dalam mempercepat pertukaran budaya di seluruh dunia. 


Seperti Bmx freestyle yang sudah berusia lebih dari 50 tahun dari masa kelahirannya. Sekitar akhir tahun 1960-an, sejumlah anak muda di California terinspirasi dari olahraga motocross. Mereka memodifikasi sepeda ukuran 20 inc dan melakukan balapan di lintasan tanah merah. Dari situ lahirlah bicycle motocross (Bmx).


Pada era tahun 1960-1970-an anak muda di Amerika terdampak gelombang semangat yang di bawa oleh Bruce Lee. Kepercayaan diri yang terbangkitkan oleh konsistensi latihan fisik dan kebugaran tubuh yang fokus, mempengaruhi mental kepercayaan diri terhadap satu keahlian atau satu keterampilan dan menjadikanya ahli.


Seperti quote-nya yang terkenal “Saya tidak takut pada orang yang berlatih sekali untuk 10.000 tendangan, tapi saya takut pada orang yang berlatih satu tendangan sebanyak 10.000 kali.” Bruce Lee yang mahir dalam bela diri, juga berkuliah di jurusan filsafat. Aksinya dalam dunia perfilman membuat semua yang ia keluarkan bisa menyebar dengan cepat di Amerika. Penggabungan teknik bela diri, filosofis dan industri film di negara adidaya mampu mengubah peradaban dunia. Hingga saat ini masih banyak memengaruhi cara berpikir anak muda yang ingin hidup seperti gaya Bruce Lee dengan kedisiplinannya menjadi ahli dalam satu bidang. 


Kita semua mengetahui bahwa Bruce lee merupakan murid dari Guru Ip Man yang pergi ke San Fransisco saat berusia 18 tahun dan membawa pengaruh besar bagi budaya di Amerika. 


Pada tahun 2016 Kota Serang mendapatkan kesempatan untuk menjadi tuan rumah Indonesia Open X-Sport Championship (IOXC) ke-6, event kejuaraan olahraga ekstrem berskala internasional yang diselenggarakan tiap tahun oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia. Saat itu event yang diikuti lebih dari 300 peserta, dari 11 negara hadir di Kota Kerang, seperti Australia, Chili, Canada, France dan negara Asia Tenggara lainnya. Saya sebagai rider tuan rumah harus memberikan persembahan yang bukan hanya gelaran event Bmx, namun suguhan budaya Indonesia yang harus dikenalkan ke wajah dunia.


Para peserta dari luar negara sangat tertarik tentang kekayaan seni dan budaya di negara lain, apalagi negara Indonesia yang amat kaya seni dan budaya. Saya pun membangun komunikasi dengan Pak Haji Opik dari padepokan pencak silat di Banten. Kami mendiskusikan terkait kolaborasi penampilan Debus Banten dan Bmx freestyle yang di kolaborasi menjadi satu pertunjukan pada acara opening ceremony. 


Untuk mengenalkan identitas Banten di mata dunia, opening ceremony dihadiri masyarakat Banten, para peserta dari berbagai kota di Indonesia dan luar negeri, sampai jajaran pemerintah dari walikota, dan Deputi Kemenpora RI. Mereka merasa puas dengan suguhan penampilan kesenian debus bersama Bmx sebagai simbol seni tradisional dan modern. Sampai ada bule dari Australia yang harus merasakan kebal dipotong golok Banten. 


Bebrapa waktu selama persiapan pertunjukan, saya berdiskusi intens dengan H.Opik pimpinan padepokan pencak silat. Beliau menceritakan bahwa ia pernah didatangi oleh para tamu yang sedang meneliti asal usul persilatan yang tersebar ke China. Mereka sedang meriset atau mencari asal muasal gerakan dan jurus-jurus bahkan aliran ”kung fu wing chun” yang di populerkan guru Ip Man, sampai mereka harus melakukan sparing untuk melihat gerakan dan jurus-jurus persilatan dari tanah Banten. Para peneliti tersebut bukan hanya datang ke tanah Banten, mereka menjelajahi perguruan-perguruan di Nusantara untuk mencari jejak bagaimana lahirnya jurus dan gerakan guru Ip Man yang tersebar ke China. 


Saya pun pernah mendengar kisah bahwa nama Guru Ip Man mungkin di ambil dari kata iman dalam Islam memiliki arti percaya dalam hati, terlihat dari gerakan-gerakan yang santai/kalem dalam menghadapi musuh, tanda sudah mengalahkan hawa nafsu, atau mampu mengalahkan nafsu dirinya sendiri sebelum mengalahkan orang lain. Bisa kita saksikan di film Ip Man 1 s.d. Ip Man 4, gerakan yang menggambarkan ke tenangan hati. Yang mungkin saja gerakan dan jurus tersebut di adopsi atau di dapatkan dari tanah Nusantara jauh sebelum adanya negara. 


Bagaimana tidak, negara Indonesia merupakan negara yang kaya raya bahkan tak mengenal kosakata miskin sekitar 500 tahun lalu, masyarakat Indonesia sudah berkesadaran berkecukupan dengan limpahan makanan alam semesta dari lautan dan peggunungan. Jadi, manusia Indonesia tidak lagi hanya memikirkan makanan dan tempat tinggal, tetapi juga mampu berpikir kreatif, menciptakan kesenian-kesenian dan melahirkan budaya-budaya yang akhirnya banyak menyebar ke seluruh plosok di dunia. 


Saat saya berjalan di jalanan gersang di bawah terik sengatan matahari 40 derajat, dari museum menuju theater tempat pertunjukan di negara Bahrain Timur Tengah, saya merasakan bahwa Indonesialah negara terkaya. Saya berbincang bersama Gene Peterson (director circus performer), negara Indonesia yang sangat mungkin peradabannya sangat kaya mampu melahirkan budaya dan seni banyak sekali bahkan di atas ribuan tahun lalu. Bagaimana tidak semua tergambar dari letak geografisnya yang sangat mendukung. 


Matahari Indonesia teratur 12 jam tanpa berganti-ganti cuaca. Kekayaan alam lautan dan gunung yang menyediakan limpahan kebutuhan manusia. Di area seperti itu sangat mungkin peradaban berkesenian bermunculan terus-menerus. Manusia kreatif bermunculan, melahirkan seni dan budaya baru tanpa harus memikirkan tempat tinggal dan makanan atau takut akan cuaca yang berganti musim. 


Jika teori bahwa dari tanah Nusantara yang mampu memengaruhi dan mengubah peradaban dunia, lalu menginspirasi cara kehidupan manusai hingga saat ini. Fenomena itu pasti mampu terulang untuk 50--100 tahun ke depan. Hanya yang diperlukan adalah kehadiran sosok yang tepat dan waktu yang tepat untuk perlahan mengubah ke arah yang lebih baik dan pada akhirnya society menerima dan mampu melanjutkannya. 


Ciomas Banten, Indonesia

Jumat, 15 Desember 2024


___________

Heru Anwari, Bmx Freestyler Indonesia. Berkeliling ke berbagai negara bersama sepeda.

Instagram: @heruanwari 

heruanwaribmx.com


Kirim naskah ke

redaksingewiiyak@gmail.com

Friday, December 27, 2024

Puisi-Puisi Firman Fadilah

Puisi Firman Fadilah





Tangga di Dalam Kepala


Kepalaku retak, ada dua tangga di sana

yang satu tangga mimpi, satunya lagi tangga kata-kata

keduanya ngajak main ular tangga, tapi ternyata tidak ada pemenangnya karena tangga itu melingkar ke tempat yang sama


Tangga mimpi melingkar naik-turun

menuju pintu-pintu luar yang tak pernah terbuka

Sedangkan tangga kata-kata meramu sesak harapan yang tak jadi nyata


Tiba-tiba aku jadi bingung, kenapa ada payung hitam

yang sering kulihat di upacara perkabungan

mendadak jadi banyak kenangan masa silam

jatuh berserakan

menciptakan retak yang memanjang,

akibat membayangkan yang bukan-bukan


Ternyata tangga tak harus ada ujung akhirnya

tak harus ada tujuannya

Aku duduk, meratap, diam dan berseru

Mungkin Tuhan nelangsa melihat aku berkali-kali rapuh oleh kesedihan

payung meneduhkan dari hujan air mata 


2024



Penjaja Kenangan


Ada perempuan menjinjing keranjang

menjajakan sesuatu dalam bentuk transparan

kenangan yang telah dibuang, tahun-tahun sebelumnya

ia punguti di bibir tahun yang hampir dilupakan


Ingatan mendadak berlesatan dengan bentuk

tak beraturan

kiat untuk melupakan jadi berantakan

Perempuan itu hanya menjual kenangan yang belum selesai

bagi orang-orang dengan satu gangguan;

hidup di masa kini tapi jiwanya ada di masa lalu


Ada perempuan menjinjing keranjang

suaranya parau menawarkan kenangan

Sebentar lagi hujan dan pergantian malam

Kenangan seperti sampah anorganik,

semakin menumpuk dan meringkuk, basah kuyup direndam kesendirian


Sekarang aku tahu, mengapa banyak orang yang mati-matian merawat kenangan

untuk menimang sisa kebahagiaan

lebih banyak lagi yang mati-matian melupakan kenangan

sebelum tubuhnya kaku terjebak rindu

2024


_______

Penulis


Firman Fadilah, tinggal di Lampung. Aktif menulis di grup Literasi Facebook. Karyanya berupa puisi dan cerpen pernah dimuat di berbagai media cetak dan daring. Salah satu penulis terpilih dalam Payakumbuh Poetry Festival (2023). Penulis terpilih Bung Hatta Anti-Corruptions Award (2023). Buku cerpennya Red Bus Menuju London Eye (2023). @firmanfadilah_00


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Cerpen Ken Hanggara | Dua Hari Sebelum Kapal Berangkat

Cerpen Ken Hanggara



"Kami tidak akan ke mana-mana. Di sini kami lahir. Di sini pula kami dibesarkan, bertumbuh, menjadi dewasa, sebelum kemudian mati. Kami dilahirkan dan dikubur di tanah yang sama. Begitulah tradisi semestinya terjaga," tutur Ali Samara tanpa tersirat sepetik pun kesedihan di wajahnya.


"Kau tidak perlu berpikir sejauh itu. Kau sangat muda, Nak. Kau bisa berkelana ke negeri jauh sebagaimana kawan-kawan bermainmu di sini," balas Kapten Tano.


"Tidak, Kapten. Orang-orang mungkin ditakdirkan memiliki sayap yang kuat dan besar di punggungnya. Namun, tidak dengan saya. Keluarga kami hanyalah orang-orang yang dihadirkan ke dunia untuk menjaga tanah ini."


"Bagaimana kalau kau mencoba pergi denganku? Dua atau tiga tahun? Lalu, tentu kita akan kembali kemari." Kapten Tano terlihat tak puas akan kepasrahan dan ketulusan Ali Samara. Menurutnya, pemuda seberbakat itu harus berkelana ke tempat-tempat jauh, mengumpulkan makna hidup untuk masa depan yang lebih baik.


"Sayangnya, saya lagi-lagi harus menolak. Dua atau tiga tahun terlalu lama untuk meninggalkan tanah kami tanpa dijaga. Orang tua dan para leluhur akan bersedih. Tidak ada yang merawat dan menjaga mereka. Sudah menjadi tugas saya untuk tetap di sini."


Kapten Tano menghela napas panjang mendengar keteguhan Ali Samara. Ia hanya tak habis pikir; bagaimana mungkin pemuda cerdas, gagah, rupawan, serta didambakan oleh banyak wanita itu memilih untuk bertahan dalam tempurungnya di sini?


Ya, sang kapten tak lebih hanya melihat gubuk tua dan reyot peninggalan keluarga Samara itu sebagai tempurung; sesuatu yang menutupi dan mengurung para penerusnya untuk tidak berkembang dan menemukan jati diri serta masa depan yang penuh kejutan. Di gubuk itulah tradisi tersebut diwariskan turun-temurun dari nenek moyang Samara, dan kini si pemuda yang mendapat giliran. Ia harus menjaga tanah leluhurnya, yang kini hanya berupa gubuk dengan halaman berhiaskan batu-batu nisan.


"Baiklah kalau begitu maumu," ucap Kapten Tano setelah terdiam beberapa saat. "Jika kau berubah pikiran, aku belum akan berangkat sampai besok lusa. Mungkin kau perlu waktu berpikir."


"Sekali lagi terima kasih, Kapten. Saya tak tahu harus membalas kebaikan Kapten Tano dengan apa," kata Ali Samara seraya berjalan mengikuti Sang Kapten ke ambang pintu gubuknya.


Kapten Tano, begitu menginjakkan kaki di halaman rumah keluarga Samara, untuk sejenak ia berhenti, memandangi batu-batu nisan di sekitar. "Kau tak perlu berterima kasih, Nak. Aku tidak memberi apa-apa."


"Kapten menawariku kesempatan dan itu suatu kebaikan di mata saya. Tapi, maaf. Sulit bagi saya mengubah apa yang telah digariskan."


Tidak ada suara dari mulut Kapten Tano yang kelu. Ia ingin meluapkan amarahnya, membentak Ali Samara, memaksa pemuda itu untuk berpikir jernih. Sebab, seperti yang semua orang tahu; tidak ada apa-apa di sini.


"Kau hanya menemani batu-batu nisan yang tak akan memberimu kehidupan! Kau ingin membusuk sendirian, sementara kawan-kawanmu meraih segalanya di luar sana?!" Serasa sang kapten ingin meluapkan ini ke Ali Samara.


Namun, demi menghormati orang tua si pemuda yang juga ia kenal, Kapten Tano tidak mau berkata-kata kasar. Ya, tentu Ali Samara tidak sendiri di gubuknya. Masih ada kedua orang tua yang mesti ia rawat. Bagaimanapun mereka memang harus dijaga. Batu-batu nisan itu tak perlu dijaga. Maka dari itu Kapten Tano punya pemikiran lain. Orang tua Ali Samara bisa mereka bawa dalam perjalanan menjelajah samudra untuk pergi ke negeri-negeri seberang. Bila cuma kedua orang tuanya yang membuat Ali Samara harus tertahan, sang kapten tidak keberatan membawa tiga orang ini sekaligus di kapalnya.


"Baiklah, Nak," ucap Kapten Tano sebelum benar-benar pergi. "Masih dua hari lagi. Terlalu cepat kau putuskan sekarang, meski tentu aku tidak akan memaksa apa pun nanti keputusanmu. Sebelum kapalku berangkat, kita bicara lagi."


"Baik, Kapten."


Maka, sang kapten pun pergi. Ia langsung menuju kapalnya, di mana di sana malam ini kawan-kawan bermain Ali Samara tengah sibuk memilih kamar masing-masing. Ya, selain Ali Samara, ada beberapa pemuda berbakat lain yang juga diajak oleh sang kapten. Mereka punya mimpi setinggi nirwana; sesuatu yang sebelumnya terasa sangat mewah, sangat jauh, terlalu utopis, karena bahkan pulau mereka adalah pulau terpencil, terletak di garis terjauh dari pusat negeri. Hanya dengan menumpang kapal Kapten Tano-lah, para pemuda mendapat peluang untuk memperbaiki nasib.


"Tak ada apa-apa yang bisa dikerjakan di pulau ini selain mencari ikan untuk dapur sendiri," ucap salah seorang pemuda. "Kapten Tano, juga mendiang ayahnya, dan tentu mendiang kakeknya, adalah pahlawan tanpa tanda jasa bagi kita. Hanya melalui mereka, kita bisa terbang ke tempat-tempat yang menakjubkan di ujung dunia."


"Bertahun-tahun tradisi itu tidak pernah berubah," pungkas Kapten Tano, yang kini telah kembali ke kapalnya, mendengar obrolan para pemuda itu. "Dan bertahun-tahun itu pula keluarga Samara tetap berpegang teguh pada pendiriannya."


"Oh, jadi Kapten gagal mengajak Ali Samara?" sahut salah satu pemuda.


"Dua hari lagi baru kapalku akan berangkat. Masih ada waktu," balas sang Kapten.


"Sungguh sia-sia yang Kapten lakukan," celetuk pemuda lain yang turut bergabung dalam obrolan itu. "Ali Samara tak akan pergi. Dan akan selalu begitu. Seperti ayahnya dahulu, juga kakeknya. Tidak seperti keluarga kami yang setidaknya satu atau dua anak lelakinya mau diajak berkelana oleh Kapten."


"Aku tak mengerti kenapa batu-batu nisan itu begitu berarti bagi mereka. Tidak ada hal lain seberharga masa depan dalam hidup. Dan anak itu memilih merelakan peluang yang kutawarkan," gumam Kapten Tano.


"Mereka keluarga yang kami hormati, Kapten. Tapi, kami juga tak mengerti alasan kenapa mereka harus menjaga tanah dan makam leluhur sampai seserius itu. Andai kami punya sedikit penjelasan," tukas salah satu pemuda itu.


Kapten Tano tak mengeluhkan soal Ali Samara lagi. Ia kembali ke kamar lalu tidur malam itu. Ia tetap akan kembali ke gubuk keluarga Samara besok, juga besoknya lagi. Sebelum kapal angkat sauh, masih ada waktu untuk membujuknya.


Namun, seperti yang sudah bisa diduga, besoknya sekali lagi Kapten Tano menelan kegagalan yang sama. Kali itu ia tidak bisa lebih lama dari terakhir kali menginjakkan kaki di gubuk keluarga Samara, sebab orang tua Ali turut menyambutnya selaiknya tamu. Mereka malah menyuguhkan makanan dan minuman untuknya.


"Tak perlu repot-repot. Saya ke sini hanya bicara sebentar," kata sang kapten.


"Kami tak mau menghalangi anak kami untuk pergi," ujar sang ayah. "Namun, ya, keputusan ada di tangan Ali. Kapten telah mendengarnya."


Kapten Tano terkejut akan ucapan ayah si pemuda. "Maksud Anda...?"


"Ya, Kapten. Kami memberi restu untuknya pergi," sahut sang ibu, tersenyum pahit. "Namun, tetap saja Ali Samara ingin tetap di sini."


Pemuda itu menyahut, "Tempat ini sangat berarti untuk keluarga kami, Kapten. Tak ada yang bisa saya lakukan selain menjaganya. Sungguh, ayah dan ibu saya memaksa saya untuk pergi juga setelah semalam mendengar obrolan kita."


Kapten Tano tak bisa berkata-kata.


"Namun, seperti yang sudah disampaikan oleh Ayah dan Ibu, saya mau untuk tetap di sini. Masih ada kehidupan di pulau ini. Kami tak kekurangan makanan. Tubuh saya juga cukup kuat untuk bekerja mencari ikan dan buah-buahan. Kami berkecukupan di sini, Kapten."


Hanya saja bagi Kapten Tano, sebelum kapalnya berlayar, bagaimanapun ia masih akan tetap membujuk Ali Samara. Apalagi kini ia tahu kedua orang tuanya memberinya restu.


"Mereka pasti akan bahagia jika bisa keluar dari pulau ini," pikir sang kapten dalam usahanya untuk melelapkan diri malam itu.


Esoknya, pagi-pagi buta, Kapten Tano memutuskan untuk langsung menyambangi gubuk keluarga Samara, mengabaikan seluruh urusan pribadinya terkait dokumen serta catatan pelayaran yang harus ia periksa. Dengan penuh semangat dan strategi yang baru, dia percaya kali ini Ali Samara akan sudi pergi dengannya. Ya, tentu, ia akan meminta terlebih dahulu agar ayah dan ibu pemuda itu mau pergi berlayar di kapalnya. Sehingga dengan begitu, Ali Samara pun akan mau pergi juga.


Hanya saja, apa yang tersaji di depan mata sang kapten jauh dari perkiraan paling gila sekalipun. Begitu ia berdiri di depan pagar tanah keluarga Samara, ia melihat orang-orang berduyun-duyun memasuki gubuk reyot itu.


"Permisi, Pak, ada apa? Kenapa orang-orang desa ke tempat keluarga Ali Samara?" tanya sang kapten ke seorang warga.


"Subuh tadi kedua orang tuanya meninggal, Kapten. Sangat disayangkan. Padahal, mereka orang-orang baik."


"Apa?"


"Ya, sudah lama mereka sakit, Kapten. Dan subuh tadi mungkin memang takdirnya untuk mereka pergi bersama."


Kapten Tano sontak menerobos kerumunan di depan gubuk keluarga Samara. Dia melihat Ali Samara menangis sesenggukan di depan jasad kedua orang tuanya. Tak ada yang bisa mengajaknya bicara atau apa; mereka biarkan pemuda itu melalui dukanya, sementara orang-orang desa sibuk mempersiapkan upacara pemakaman.


Tentu sang kapten menahan diri untuk tak mengusik pemuda itu. Kapten Tano tak bisa mendekat, namun tak pula bisa kembali ke kapalnya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Sesuatu yang terasa pedih tapi tanpa setetes pun darah ia keluarkan. Maka ia hanya berdiri di sudut ruangan, bersama orang-orang lain, entah menunggu apa. Kapten Tano bahkan tak tahu harus bilang apa bilamana nanti Ali Samara mengajaknya bicara.


Tepat usai matahari bertengger di atas kepala, si pemuda menyadari ada Kapten Tano di gubuknya. Ketika itu tangisnya mengering. Ia berdiri, berjalan ke sudut ruang. Orang-orang membuka jalan seperti paham betul situasinya. Mereka meninggalkan sang kapten dan pemuda itu berdua di dalam gubuk.


"Tak bisa, Kapten. Terlebih setelah mereka tiada, batu-batu nisan mereka masihlah baru. Dan selamanya saya akan tetap di sini," kata Ali Samara tanpa menunggu Kapten Tano membujuknya lagi.


Dan, sang kapten hanya mengangguk lesu sebelum berpaling pergi. 


Ngoro, 6 Desember 2024


________

Penulis


Ken Hanggara, lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, puisi, novel, esai, dan skenario sejak 2012. Karyanya tersebar di berbagai media tanah air. Buku yang ia tulis: Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), Buku Panduan Mati (2022), dan Pengetahuan Baru Umat Manusia (2024). Bisa dijumpai di FB 'Ken Hanggara' dan IG @kenhanggara.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Sunday, December 22, 2024

Esai Ana Herliana | Menjadi Ibu yang Merdeka

Esai Ana Herliana



Hari ini tanggal 22 Desember diperingati sebagai "Hari Ibu". Di masyarakat pada umumnya seorang ibu adalah perempuan yang sudah melahirkan dan mempunyai anak. Tetapi tak semua perempuan mempunyai kesempatan untuk mempunyai anak yang lahir dari rahimnya sendiri, saat ini banyak juga yang mengadopsi anak mengurusnya sama seperti anak yang lahir dari darah dagingnya sendiri dengan tulus, maka saya sebut ia juga ibu.


Dalam sejarahnya, terbentuknya "Hari Ibu" diawali pada penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia I pada 22 Desember 1928. Kongres Perempuan Indonesia I diselenggarakan selama empat hari, yakni pada 22--25 Desember 1928, di Gedung Dalem Joyodipuran, Yogyakarta. Dan hari ini diperingati ke-96 tahun perayaan "Hari Ibu" di Indonesia.


Menyandang gelar seorang ibu tidaklah mudah, tanggung jawabnya berat sekali, bahkan dari benih dalam rahim seorang ibu harus memastikan gizi yang memadai untuk calon jabang bayi. Pandangan masyarakat yang masih menganut sistem patriarki, seorang ibu adalah orang pertama yang bertanggung jawab ketika anaknya terjadi apa-apa. Seperti contohnya anaknya sakit, anak terjatuh, atau ketertinggalan tumbuh kembang anak. Padahal anak adalah tanggung jawab orang tua yang di dalamnya terdapat ibu dan ayah.


Menjadi seorang ibu tentunya akan mengalami banyaknya perubahan yang terjadi dalam dirinya. Mulai dari perubahan fisik akibat dari hormon yang berubah dan perubahan mood akibat dari suasana hati dan perubahan mental akibat dari kondisi yang ada di sekelilingnya. Dari semua hal tersebut menjadikan seorang ibu insecure terhadap penampila maupun regulasi emosi yang susah sekali untuk diatur. Oleh karenanya, pentingnya support system dalam keluarga agar perubahan tersebut dapat diterima oleh ibu agar fisik dan mentalnya terjaga dengan baik.


Di zaman sekarang kita dimudahkan mengakses informasi dan komunikasi, termasuk seorang ibu yang kini juga dengan mudah mendapatkan informasi dan komunikasi parenting untuk anaknya agar tumbuh dan berkembang dengan baik. Namun, terkadang banyaknya informasi yang didapat, baik itu dari internet maupun media sosial, seorang ibu tak percaya diri dengan parenting yang ia terapkan untuk anaknya karena membandingkan tumbuh kembangnya merasa tak sesuai dengan capaian orang lain. Bukan hanya dalam diri seorang ibu yang merasa kurang atas parentingnya, terkadang penilaian orang lain atas asumsi-asumsi maupun komentar-komentar parenting ibu-ibu lain juga membuat seorang ibu merasa serbasalah dan merasa tertinggal.


Dengan segala akses informasi yang seorang ibu dapat dan penilaian orang lain terhadap dirinya. Seorang ibu sudah seharusnya mempunyai kepercayaan diri, kebebasan (merdeka) bahwa parenting yang diterapkan kepada anaknya adalah hal yang sudah baik dan cocok karena seorang ibu yang mengetahui jelas bagaimana anaknya tumbuh dan berkembang. Tak membandingkan diri lagi dengan orang lain untuk pencapaian tumbuh kembang anak. Setiap anak mempunyai proses jalan yang berbeda, serta mempunyai kelebihan, kekurangan, dan keunikannya masing-masing. Yang harus dibandingkan adalah tumbuh kembang anak kita kemarin dan hari ini. Bukan hanya tumbuh kembang anak, sebagai orang tua juga pertumbuhan kita harus ikut berkembang, baik secara fisik agar lebih kuat dan sehat maupun perkembangan ilmu pengetahuan untuk menemani pertumbuhan anak agar sesuai dengan zamannya.


Momen membesarkan dan mendidik anak adalah tanggung jawab orang tua seumur hidup dengan segala konsekuensinya. Perubahan besar seorang ibu dialami saat si kecil new born karena masa penyesuaian dan pertama kalinya mengurus anak. Mulai dari memandikan, meng-ASI-hi, MPASI, memberikan stimulasi untuk anak belajar duduk, merangkak, berjalan, bercakap perkata dan lain sebagainya. Belajar bagaimana memberi, mengolah gizi anak dan pertumbuhan anak agar sesuai dengan grafik umurnya. Dengan segala kesibukkan seorang ibu dalam mengasuh, mengajari, dan mendidik anaknya, hal tersebut harus berbarengan dengan pemenuhan kebutuhan domestik atau urusan rumah tangga, yang saat ini hampir dalam masyarakat Indonesia masih didominasi oleh kaum perempuan khususnya para ibu. Hal inilah yang menjadi kurang maksimalnya seorang ibu dalam menemani tumbuh kembang anak sehingga seorang ibu rentan terhadap strs dan kurangnya waktu untuk mengurus dirinya sendiri.


Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat sebanyak 11.796 anak menjadi korban kekerasan sepanjang tahun 2024. Jumlah kekerasan pada anak ini tercatat dari 1 Januari hingga 7 September 2024. Dikutip dari laman Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), 11.796 anak menjadi korban kekerasan dari 10.652 kasus. Data menunjukkan bahwa rumah tangga menjadi tempat kejadian tindak kekerasan terbesar, 61,4 persen korban mendapat kekerasan di rumah tangga.


Dari banyaknya kasus di atas menunjukkan lebih dari 50% terjadi dalam rumah. Oleh karena itu, tugas mengasuh dan mendidik anak bukanlah hal yang mudah. Seorang ibu khususnya agar mempunyai kewarasan, fisik serta mental yang sehat agar setiap momen mendampingi anak menjadi menyenangkan.


Momen-momen tersebut memang rumit sekali ketika dijalani seakan menguras energi fisik maupun mental bagi seorang ibu. Namun sebagai orang tua terkhusus seorang ibu, kita sebisa mungkin menikmati momen yang tidak akan terulang kembali, membersamai tumbuh kembang anak dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang yang tulus.


Kehadiran anak adalah berkat Tuhan yang diberikan kepada setiap pasangan yang patut kita syukuri. Karena berkat kehadirannya bisa memberikan warna terhadap kehidupan rumah tangga kita, serta menjadikan kita manusia yang belajar bertanggung jawab atas peran yang diberikan Tuhan. Pikirkan lagi ketika kita jengkel atau saat emosi tak karuan terhadap anak-anak kita. Luruskan lagi tujuan kita mempunyai anak karena mereka hadir atas kemauan kita. Berarti secara kesadaran penuh siap bertanggung jawab atas segala kehidupannya.


Sebuah penelitian dari Institute for Social and Economic Research menemukan bahwa anak- anak yang ibunya bahagia dengan keluarganya merasa lebih puas dengan kehidupan keluarga mereka. Dengan cara apa seorang ibu bahagia, salah satunya adalah dengan cara menghidupkan kembali self love, mencintai diri kita kembali, mempedulikan kembali diri kita seutuhnya. Jika kita saja bisa mengurus suami, anak, dan rumah secara berbarengan, kita juga berhak mengurus diri kita agar menjadi lebih bahagia. Mengurus fisik kita agar tetap bersih, wangi, dan sehat, kesehatan mental juga tak kalah penting agar emosi dan perasaan-perasaan kira terjaga dengan baik. Ketika fisik, mental, hati dan pikiran kita tertata dengan baik damai dan tenang maka seisi rumah pun akan senang.


Selamat "Hari Ibu" untuk diri saya dan untuk seluruh ibu di Indonesia: ibu bahagia, keluarga bahagia.


_________

Penulis

Ana Herliana, seorang Ibu Rumah Tangga yang ingin berkarya lewat tulisan. Lahir di
Cilegon 11 Desember 1996 dan sekarang tinggal di Serang. Tulisan ini saya persembahan untuk penulis
dan seluruh ibu di Indonesia. 


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com