View AllProses Kreatif

Dakwah

Redaksi

Postingan Terbaru

Friday, March 15, 2024

Puisi-Puisi Andi Wirambara

Puisi Andi Wirambara



Mencatat Rindu dari Magetan


jikalau rindu perlu notula

maka pada tipis kabut, 

kucatatkan untukmu

deru klise tersebut 

pada garis jumpa

tengah dan timur

di mana celah hutan-hutan

dengan pipi semu tersipu

meminta pagi

tak pernah terbit ragu-ragu


kamu bisa menjadi hutan,

kamu bisa menjadi kabut 

kamu juga bisa menjadi seutuh-utuh 

rindu yang menempias 

di sunyi hutan dan kabutku. 


(Magetan, 2018)



Sebelum Tubuhku Benar-benar Ambruk


aku terbangun dalam keadaan benang

di otakku menyala-nyala 

berwarna-warna dalam remang cuaca 


bau minyak kayu putih menguap ke atas langit

kemudian menjatuhkan pelukan-pelukan

sebagai hujan yang meniru hangat

senyummu yang genahar


nanti, atau barangkali esok 

jika tubuhku benar-benar ambruk

demi remuk guling dan kusut selimut 

biarlah kutumbalkan segala puisi rindu

pecah di lantai

dan merekat kepingnya satu-satu

menjadi mataku dan matamu


sebagai sepasang antibiotik 

dan paracetamol 

yang saling memandang.


(Malang, 2014)



Surat dan Ketukan Pintu


Katakan, bahwa segala ketukan pintu di hatiku adalah sia-sia. 

Dan gagang pintu telah usang. Mendebukan namamu.


Sekarang, kubuka lagi jendela 

tempat pertama pagi mengenalkanku kepadamu. 

Kepada kekosongan di pagi-pagi lain.


Jendela itu, katamu, tempat terbaik melihat terbit pagi. 

Namun belakangan, aku tahu, pagi melihatmu sebaliknya.

Hingga malam turun, aku hanya mampu memanggil

dan memanggul tatapanmu di muka daun-daun basah.


Daun yang ditumbuhi embun kemudian merayap ke jendela

namun kala kusibak tirainya, kau sudah tak ada.


Di balik jendela ini, layar ponselku mematikan sinyalnya sendiri. 

Barangkali, seperti kau. Jika aku yang datang.


Maka kupecahkan jendela ini. Lalu wangi bulan berbondong 

masuk ke kamarku. Bulan pun. Ke pangkuan dan berkisah, 

mendongengiku tentang pangeran yang pergi ke istana, 

namun tak pernah singgah.


Sekadar melesakkan panah berisi surat-surat 

yang kubaca dengan braille air mata. Kusesap dengan keheningan.


Sambil menantimu kembali. Untuk kukembalikan surat ini. 

Sebagai panah balasan, yang akan mampir di dadamu.

Dan tentu kau takkan pernah membalasnya lagi


(2023)


_______


Penulis


Andi Wirambara, lahir 24 September di Ambon dan berdomisili di Malang. Praktisi hukum yang menyenangi sastra. Karya-karyanya telah dimuat di sejumlah media nasional dan lokal baik cetak maupun daring. Karyanya juga terhimpun pada sejumlah buku antologi bersama. Buku tunggalnya yang telah terbit: kumpulan puisi Harmonika Lelaki Sepi (2010), kumpulan cerpen Sekeping Tanda (2011), kumpulan puisi Lengkung (2012), dan kumpulan cerpen Tentang Pertemuan (2014).


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Cerpen Ken Hanggara | Hari Pembalasan yang Mustahil

Cerpen Ken Hanggara



Aku membayangkan sejak ratusan tahun lalu bumi membangun suatu sistem yang jauh berbeda dengan hari ini; tiap orang boleh membunuh siapa pun yang mereka ingin habisi.


Tak ada hukum yang dapat membuat manusia-manusia dalam sistem ini terjebak dalam sel tahanan. Membunuh tidak dianggap sebagai dosa atau perbuatan jahat karena membunuh tergolong cara membuat orang-orang berbahagia. Satu-satunya yang paling penting di sini hanyalah bagaimana dapat bertahan. Sungguh tak ubahnya hukum rimba.


Aku kerap membayangkan itu setelah ditinggal pergi Lusiana, seorang wanita yang kutemui di kedai kopi mewah di pinggiran Kota S. Lusiana lahir tujuh tahun setelahku; usia kami tidak terlalu terpaut jauh, tapi jika kami berjalan dan orang-orang yang tidak kami kenal melihat kami bergandengan, mereka pasti mengira lelaki yang bersamanya adalah seorang paman atau lelaki paruh baya yang cabul. 


Aku tahu mungkin itu pikiranku saja, tapi Lusiana tak pernah nyaman bertemu atau mengobrol denganku dan dia selalu saja merawat jarak di antara kami; baik secara fisik maupun nonfisik.


Kami tak pernah bergandengan tangan. Aku sekadar membayangkan saja. Memang aku menyukainya. Bukan hanya karena wajahnya yang nyaris terlihat seperti gadis yang baru menginjak masa puber, melainkan juga tubuhnya yang lumayan gepeng dan nyaris seperti tanpa isi; aku telah bosan mengenal perempuan bertubuh mekar atau yang dapat dibilang seksi dalam pendapat umum para pemuda di Kota S yang gemar menghabiskan waktu di kafe-kafe pusat prostitusi terselubung. Lusiana sangat jauh dari gambaran yang ideal tentang seorang wanita yang ingin seorang lelaki tiduri, tapi aku sangat berambisi untuk mendapatkan dirinya.


Tentu pikiran tentang fisik Lusiana bukanlah satu-satunya yang aku andalkan. Aku memang mulai mencintainya setelah kunjunganku ke kedai kopi mewah itu, di mana ia bekerja selama beberapa bulan terakhir. Aku malah terpikir untuk menikahinya dan aku juga mengangankan memiliki banyak anak darinya. Kubayangkan anak-anak kami yang baru lahir itu menyusu padanya yang bertubuh gepeng. Kubayangkan setiap malam dan bahkan mungkin tiap jam, kudekap tubuh kurusnya untuk memberinya kehangatan yang sangat sensual dan penuh cinta.


Demi situasiku berkat pertemuan dengan Lusiana, aku bahkan menghentikan kebiasaan buruk yang diam-diam kunikmati selama hampir sebelas tahun terakhir, yakni merancap dengan menggunakan foto-foto gadis yang tidak kukenal dari segala penjuru bumi. Aku juga benar-benar berhenti dari sekadar bermain ke kafe remang yang di masa lalu menjadi tempat pertaruhan harga diri bersama teman-teman satu asrama; persoalan seperti ini barangkali hanya dapat dipahami orang-orang bertubuh bugar seperti kami.


Sayangnya, Lusiana terlihat tak pernah tertarik padaku. Selama nyaris empat bulan usahaku tak pernah membuat kami benar-benar keluar berdua; sekadar makan atau pergi ke bioskop. Di suatu malam yang penuh salju, ia terlihat kencan bersama seorang lelaki. Mereka memasuki motel kelas bawah yang tak pernah kusinggahi karena uangku cukup untuk menyewa kamar yang baik dan nyaman untuk meniduri seorang wanita. 


Demi perasaanku padanya, aku membuntuti mereka sampai keduanya tiba persis di depan pintu kamar 160; aku belum ingin menyergap sampai memastikan apa yang Lusiana dan lelaki itu lakukan. Beberapa menit kemudian, dengan tubuhku yang kekar, kudobrak pintu dan kulihat tubuh gepeng gadis yang kudamba selama beberapa bulan terakhir, gadis yang kubayangkan menyusuiku dan anak-anak kami selamanya, berada dalam dekapan lelaki yang terlihat seperti tumpukan lemak.


Tentu kuhajar lelaki itu sampai babak belur. Lusiana mengumpat dan sempat melukai jidatku dengan asbak yang terbuat dari marmer sampai kelopak mataku terbasahi oleh darah yang mengucur. Aku tak tahu pergi ke mana gadis bertubuh gepeng itu; setahuku kami tak lagi bertemu. Kedai kopi itu tak lagi mempekerjakannya sebab ia mengundurkan diri. Aku hanya tahu aku membuat rontok gigi orang yang melucuti pakaian gadis yang lama kudamba.


Sejak itu hidupku benar-benar hancur. Lusiana memblokir jalanku ke tubuh dan pikirannya. Aku tak bisa mendapatkan informasi tentangnya. Aku tak tahu harus mencari ke mana lagi jejaknya?


Pada akhirnya satu-satunya yang tersisa tentangnya, yang adalah sebuah foto, kusimpan. Dengan foto itulah aku berlayar kembali ke masa lalu; mengurung diri dalam kamar dan merancap sembari membayangkan wajah perempuan yang menolakku tanpa ampun!


***


Jika sistem kehidupan manusia di muka bumi saat ini menghendaki hukum rimba, sosok yang pertama kubunuh adalah Lusiana.


Aku memang harus menghabisinya sebab dialah yang mengubah hidupku; aku tak lagi fokus bekerja dan orang-orang di sekitarku seakan menertawaiku untuk sesuatu yang memalukan. Tak seharusnya pria yang jelas-jelas tidak diinginkan seorang perempuan mendobrak kamar motel di mana perempuan itu hendak bersetubuh dengan lelaki lain sedemikian rupa demi harga diri. Justru karena itu harga diriku tercoreng. Setidaknya begitulah yang kemudian seorang teman katakan.


“Semua orang tahu soal kejadian di motel itu, Bung. Bukankah kamu juga sempat dipanggil polisi?” katanya.


“Mereka belum benar-benar menikah.”


“Tapi mereka sudah berpacaran lebih dari enam bulan. Sejak kapan kau naksir dia? Empat bulan yang lalu?”


“Omong kosong. Dia tak pernah bilang punya hubungan dengan siapa pun.”


“Atau dia enggan membiarkanmu tahu.”


Sejak obrolan itu, aku menjauh dari siapa pun. Aku tak lagi bergaul dengan orang-orang kedai; bahkan mengutuk dan bersumpah tak akan lagi kembali ke sana.


Jika saja Lusiana telah mati di tanganku, yang berikutnya mendapat giliran tentu adalah tiap orang yang mencoba menyembunyikan Lusiana. Orang-orang yang menertawaiku juga layak mati, termasuk teman yang menyudutkanku dengan dalih gadis itu sudah menjalin hubungan dengan lelaki lain.


Seluruh kejadian ini barangkali terlalu sederhana untuk memicu sebuah hasrat jauh dalam diriku untuk menjadi seorang pembunuh yang bebas berkeliaran tanpa harus ada hukum yang mengekang.


Mungkin tak perlu tindakan seekstrem itu untuk membalas apa yang Lusiana perbuat; membunuh seluruh orang yang kukehendaki mati di permukaan bumi ini, sedang sebagian dari mereka belum tentu tahu perkara Lusiana yang tidak sudi menerimaku? Yang benar saja!


Sesosok setan suatu malam singgah di jendela dan berbisik, “Tidakkah akan jadi lebih baik seandainya kamu dan Lusiana saja yang mati? Kamu habisi dia, lalu tembak kepalamu sendiri. Bagaimana?”


“Bagaimana kalau aku masih berharap menemukan sekali lagi perempuan berdada gepeng yang bersedia menjadi pasanganku sampai kiamat?”


“Membunuh perbuatan dosa yang menyenangkan. Membunuh setiap orang di bumi itu tak mungkin. Tapi, kamu bisa memilih sembarang korban, acak, atau seperti yang sempat terlintas padamu: membunuh orang-orang keparat yang membuat masalah denganmu.”


Kubayangkan itu benar-benar terjadi. Maksudku, membunuh semua orang yang tak kusukai. Benar-benar membunuh semua orang yang tak kusukai. Apa yang akan terjadi?


Jika saja hukum rimba berlaku, aku akan berangkat saat ini juga. Aku bisa menghilangkan nyawa dengan hanya bermodal tangan kosongku. Aku punya banyak uang; aku bisa membeli senjata untuk membunuh seseorang dari jarak jauh, dan aku tak perlu ketahuan. Bahkan, jikapun ketahuan, toh hukum yang berlaku adalah hukum rimba.


Hanya saja, utopia bagi kekacauan kepalaku jelas tak bakal terwujud. Aku paham bumi akan berlaku seperti ini sampai barangkali ratusan tahun ke depan; manusia akan tetap terjerat oleh kekangan hukum supaya tak banyak yang bisa berbuat seenak mereka. Tak semua orang layak mendapat hal-hal yang mereka inginkan, bukan? Seperti halnya diriku.


Aku tidak layak mendapat semua hal yang kudamba dan layak memperoleh apa yang memang ditakdirkan untukku; aku tak layak menikahi wanita bertubuh gepeng, tapi layak meniduri tiap pelacur yang dengan senang hati menyerahkan tubuh mereka untuk uang yang kubayarkan. Benar-benar keparat.


Bagaimana seandainya aku yang membangun sendiri sistem itu, dalam kepalaku? Biarlah utopiaku itu berada di kepalaku belaka dan orang-orang yang membuat masalah denganku mati oleh tanganku, sementara kelak penegak hukum bakal memburuku yang kabur entah ke mana. Bagaimana kalau itu saja yang layak terwujud? Bagaimana kalau itu yang semestinya aku upayakan?


Aku seharusnya tak cemas akan penjara. Di sana aku menetap untuk bertahun lamanya, dan mungkin saja bakal berakhir dengan hukuman mati. Aku terus membayangkan tentang itu berhari-hari, berminggu-minggu, sampai satu kali kubakar foto Lusiana untuk menyudahi kebiasaan buruk yang membuatku merasa kian tak berguna saja.


Menatap foto Lusiana yang terlahap oleh liukan api membuatku menyesali banyak hal. Aku tak bisa mengakui sebagian dari itu. Aku hanya bisa mengakui bahwa aku bisa saja mewujudkan seluruh pikiranku setelah ini atau menunda itu untuk beberapa waktu atau bahkan sama sekali tidak melakukannya dan hanya menjatuhkan diriku dari balkon setinggi ratusan meter untuk menemui setan dan membuat perhitungan dengannya sebab menganggapku takut untuk sekadar mati.


Lagi pula semua sudah tidak lagi penting. 


Gempol, 2019--2023



________

Penulis


Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), Buku Panduan Mati (2022), dan Pengetahuan Baru Umat Manusia (2024).


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com



Monday, March 11, 2024

Karya Siswa | Puisi-Puisi Kellyn

Puisi Kellyn




Wujud Doaku


Aku tak pernah tahu

mengapa aku bisa jatuh- sejatuh jatuhnya padamu

pada gemilang matamu yang membuat terpaku

pada senyuman yang indah selalu

pada gaya bicaramu yang membuatku candu

pada parasmu yang begitu menawan


Bila memang kau adalah wujud dari doaku

akan kupastikan cintaku tak pudar seiring waktu

meski banyak rintangan menerpa kita selalu.


Hentikan pikiran kau tentang bagaimana bisa

diriku mencintaimu

Setelah aku memilih kau untuk tempat berlabuh,

kupastikan kau menjadi satu-satunya

sekalipun waktu dan jarak memisahkan kita.



Tanpa Cinta


Benarkah masih ada cinta 

yang tulus di dunia?

yang barangkali

dapat aku singgahi

oleh redupnya hatiku 

yang terlanjur sakit

berkali-kali.


Pantaskah perempuan sepertiku

mendapat cinta yang tulus dan utuh itu?



Lengkara 


Kepada tanah yang pernah kupijak,

pada kenangan yang sudah melekat di kepalaku.

Kepada waktu yang terus berlalu,

aku selalu mengingatmu.


Aku mengucap syukur ketika mengingatmu.

Di kala aku berpikir kita tak akan pernah terpisah sampai Tuhan 

menutup usiaku.

Nyatanya, kau seperti asa yang menjadi lengkara.


Kau nyata yang terasa fatamorgana

tetapi membawa kenangan yang begitu amerta

di kepala.


_______


Penulis


Kellyn lahir di Jakarta, 5 September 2008. Siswa X AKL 1 SMK Buddhi. Ia bertempat tinggal di Legok, Tangerang. 



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com



Sunday, March 10, 2024

Novel | Salim Halwa (#4) | Syamiel Dediyev

Novel Syamiel Dediyev



#4


Sabtu pagi, hujan sejak semalam masih saja awet. Tidak mau beralih posisi sedikit menjauh dari kampungku. Rupanya awan hitam masih betah tinggal lebih lama di langit kampungku. Sepertinya hari ini agak sulit jika harus boncengan. Aku telepon Halwa. 


"Awa udah berangkat? Pagi ini kayaknya kita gak bisa naik motor. Hujan kali ini gak ada capeknya," ujarku.


"Oh, iya lupa. Maaf Sam, aku udah berangkat dari tadi. Hari ini aku diantar naik mobil oleh seseorang," jawab Awa yang terdengar riang sekali. 


"Oh, ya udah kalo gitu. Oke sampai ketemu di sekolah," ujarku.


"Ia hati-hati dijalan," balas Halwa.


Dingin sekali hujan dari semalam. Awet tak memberi kesempatan aku untuk pergi. Sedingin apa pun, sederas apa pun, aku harus tetap berangkat, berharap dengan jas hujan biar dingin tak terlalu menusuk tubuh. Rasa semangatku tak menyurutkanku untuk pergi ke sekolah.


"Masa anak motor takut sama air hujan. Malu dong. Mau ditaro di mana wajah ini?" gumamku.


Sedikit nekat, kuhadapi segala badai meski sesekali harus kena cipratan mobil yang tak kenal sopan santun. Hingga akhirnya sampailah di SMA dengan kecepatan hampir tak bisa lewat lebih dari 40 km/jam. Gila, dingin banget pagi ini, lirihku.


"Selamat pagi Sam," sapa Halwa.


"Eh, Awa sudah nyampe dari tadi?" tanyaku.


"He-eh. Hayuk, buruan, takut telat masuk," ajak Halwa.


"Iya sebentar, celanaku agak basah," ujarku.


"Nanti, istirahat, aku ingin cerita sesuatu," kata Halwa.


"Seneng banget keliatannya kayak orang kasmaran. Gak seperti kemarin, murung. Emang ada apaan sih?" tanya Sam penasaran.


"Pokoknya ada deh, nanti juga kamu tahu," jawab Halwa yang bikin Sam tambah penasaran. 


"Aku gak dapat sarapan nih ceritanya?" tanyaku.


"Astagfirullah, lupa, maaf," jawab Halwa.


"Gak apa-apa. Aku cuma bercanda. Lagian juga sejak kapan orang kasmaran inget temen. Haha," ucapku bercanda.


"Hayuk, masuk, udah bunyi bel!” seru Halwa.


***


Bel istirahat pun berbunyi aku buru-buru ke toilet. Dinginnya hujan ini membuat kantung kemihku tidak mampu menampung urin lebih banyak. Sedikit-sedikit mengajakku ngapelin toilet. Tanpa sadar kulihat Fani sudah menungguku tak jauh dari toilet. Akhirnya kudekati dia yang wajah putihnya seperti mutiara yang tersimpan dengan baik.



"Hei, Salim, boleh minta tolong gak," ujar Fani.


"Tolong apa dulu nih?" aku balik tanya.


"Anter aku ke toko buku Intermedia di Bunderan Cicieri. Ada beberapa alat tulis yang pengen kubeli."


"Emang gak dijemput kayak biasanya?"


"Gak. Udah aku bilang mamah gak usah jemput, biar kamu nanti yang anterin pulang."


"Waduh, gimana ya?"


"Soalnya tadi aku lihat kamu sendirian. Biasanya sama Halwa. Makanya aku pikir minta tolong sama kamu. Please, mau ya! Udah baca suratku kan?"


"Iya, bener sih tadi Awa ada yang nganterin. Ya udah, coba kita lihat aja nanti ya."


"Ok, sip. Udah makan belum? Ini ada roti bakar."


"Ah, ngerepotin terus."


"Gak apa-apa. Aku seneng kok ngasih kamu roti. Apalagi roti kemarin yang kukasih, kamu makan habis."


"Haha, roti itu,” jawabku sambil ketawa karena yang ku tahu kemarin ilham yang menghabiskan roti itu.


"Kenapa gitu?"


"Gak apa-apa Fani. Terima kasih ya rotinya."


Kami pun perlahan saling mengobrol ke sana kemari, ngalor ngidul entah ke mana. Yang kutahu jantung ini tidak bisa tenang sedikit. Derapnya begitu kencang entah tanda apa ini. Fani adalah idola sekolah. Jangan tanya cantiknya. Semua laki-laki dijamin jantungnya tiba-tiba soak kalau dekat dengannya. Kulihat Halwa perlahan mendatangiku.


"Hei, aku cari-cari ternyata kamu di sini Sam. Makan apa?" 


"Ini roti bakar buatan si Fani. Aku laper banget."


"Oh, ya udah aku ke kelas duluan ya Salim. Sampai ketemu nanti," ujar Fani.


"Akrab banget, saya curiga," ujar Halwa memandangku sinis.


"Curiga apaan? Udah sih."


"Oh, iya, aku mau cerita."


"Tahu gak siapa yang mengantarku tadi?


"Gak tahu."


"Ery."


"Ery pacar kamu SMP?"


"Yup, betul sekali."


"Pantes keliatan seneng banget kayaknya."


"Aku kaget, tadi malam tiba-tiba dia telepon. Nanya aku. Ternyata dia lagi liburan semester. Ngobrol banyak hal. Ternyata keren ya kuliah kedokteran, bisa ketemu prof ini prof itu. Bisa tahu sakitnya apa, obatnya apa."


Halwa hari ini lebih semringah penuh tawa bahagia. Rupanya pacar pertamanya yang antar dia berangkat sekolah tadi, seorang calon dokter muda yang sekarang kuliah di FK UMY. Dia masih kakak kelasku juga meski beberapa anak tidak terlalu suka dengan sikapnya yang cenderung arogan.


Aku hanya mendengar cerita Halwa dengan dengan kecut. Dari dulu si Ery memang kakak kelas yang terkenal temperamental. Kalau bicara, selalu besar kepala, ketimbang otaknya yang rumit. Otot mulutnya terlatih untuk berargumen meski kadang sulit diterima akal sehat. Kadang aku berpikir kenapa dulu Halwa mau dengan dia. Aku dan teman-teman hanya bisa geleng-geleng kepala dengan penuh heran. Demikianlah cinta, hal yang mustahil bisa saja terjadi.


"Kayaknya aku ikut kamu deh kuliah di Jogja," ujar Halwa.


"Ikut saya atau ikut dia?" tanyaku balik.


"Dua-duanya. Seneng sekali rasanya. Karena, kalian sangat berarti buat hidupku," ujar Halwa, sedangkan aku bengong. "Hei, kok ngelamun? Kamu tadi nyimak aku gak sih? Sebel deh. Ya udah kalo gak mau ngomong sama aku, sana ngobrol aja sama si Fani gebetan kamu itu," ujar Halwa marah. "Oh, iya Sam, nanti jangan nunggu aku ya kalau mau pulang," ujar Halwa lagi.


"Dijemput lagi?" tanyaku.


"Betul," jawab Halwa.


"Oh, ya udah deh kalo gitu," ujarku.


***


Jam 15.00 WIB.


"Belum balik?” tanyaku.


"Belum, masih nunggu jemputan.”


"Hai, Halwa, belum pulang?" tanya Fani.


"Masih nunggu jemputan katanya," jawabku.


"Ini helmmu," ujarku ke Fani sambil kuberikan helmku yang biasanya dipakai Halwa.


"Iya, makasih, ini ada earphone-nya?"


"Iya, itu intercom headset biar bisa ngobrol sambil jalan."


"Oh, asyik dong gak bete di jalan."


"Loh, kalian berdua?"


"Kenapa gitu? Katanya tadi aku disuruh sama Fani aja?"


"Ga kayak gini juga. Berarti kemarin sore kamu bohongin aku dong?"


"Gak bohong. Cuma Fani minta tolong diantar ke toko buku di Bundaran Ciceri. Karena jok belakangku kosong, jadi sekalian aja aku anterin. Toh, kamu juga udah ada yang jemput, kan?"


"Ya, tapi, kan?"


"Udah ah, kami jalan duluan ya Awa, takut keburu hujan. Have a nice day. Selamat bermalam minggu," pamitku ke Halwa.


"Duluan ya Halwa," ujar Fani.



(Bersambung)



Friday, March 8, 2024

Puisi-Puisi Malkan Junaidi

Puisi Malkan Junaidi



DEMOKRATIA

 

suara                rakyat

       suara tuhan

suara                hantu

 

suara gemerisik

kertas terlipat dibuka

suara jarum ditusukkan

menembus tubuh tipisnya

 

suara darah menetes

di kotak aluminium

suara kelingking dicelup

ke sebotol kental luh

mereka yang tak pernah

diacuhkan rintihnya

 

suara ragu

menggerayangi udara

suara mengutuk

mencemari suasana

suara sendawa

di pesta kemenangan

suara kaca pecah

saat malam meringkus

serombong homo sapiens

 

telah diberikan

     dari pagi hingga siang

telah diproyeksikan

     di sebentang HVS

     seputih tulang

suara sah dan

suara tidak sah

di luar

suara yang tak sudi diseret

ke depan soal pilihan ganda

 

setelah dilayat

dimandikan

dikafani

dan dengan disaksikan

si bisu

si buta

si tuli

suara-suara itu dikirimkan

dalam tabela aluminium

 

kepada yang maha lucu              rakyat

kepada yang maha seru               tuhan

kepada yang maha ragu              hantu

 

(15-02-2024)

 


MALAM DIRTY VOTE

 

Dengan tubuh lunglit,

Kurang lemak dan darah,

Adikku wira-wiri, keluar

Masuk rumah sejak pagi,

Sibuk memainkan peran

Sebagai ketua KPPS heroik,

Penuh rasa tanggung jawab.

 

⸺Tidak ada hari tenang;

Orang terus berkampanye,

Memuji-melaknat surga dan

Nerakanya masing-masing⸺

 

Dua lampu LED mengguyurkan

Cahaya putih dan keemasan

Ke ruang tempatku duduk

Mengunyah anggur dari kulkas

Dan pertanyaan yang belum

Usai dilolohkan kegelapan,

Saat di luar yang remang

Amplop-amplop berpindah

Dari satu ke lain tangan.

 

“Harus kutampikkah?

Kau tahu aku cuma ingin

Berkelit dari mata julid,”

Bisik wanitaku pelan.

 

Kubenamkan mukaku

Ke kaca meja. Mungkin

Di balik ngiau parau

Kucing Thukul itu, ada

Remah suara Tuhan

Bisa kutemukan untuknya.

 

⸺Tidak ada hari tenang;

Orang terus berkampanye,

Memuji-melaknat surga dan

Nerakanya masing-masing⸺

 

“Bimbing dirimu menuju

Obor nuranimu sendiri dan

Bakar habis bimbangmu di sana.

Kita tak memiliki kecuali

Kuil kemiskinan ini. Jangan

Biarkan ia terenggut hingga

Hilang tempat kita bersujud

Memohon ketenangan.”

 

(14-02-2024)

 

 

APATISME

 

Seorang penyair terkemuka

Suatu hari mem-WA-ku:

 

“Disebabkan algoritmakah

Hingga berandaku sunyi

Dari pekik untuk Palestina,

Bangsa yang tengah sibuk

Dihapus dari Google Maps itu,

Ataukah memang jemari

Para sastrawan negeri ini

Telah lumpuh dan kebas,

Tak berdaya menggemakan

Tangis mereka yang ditindas,

Dipaksa untuk tak pernah ada?”

 

Tak kutanggapi pertanyaan ini

Dan penyair itu pun mengirim

Pesan sama di Messenger.

     .

     .

     .

Dia tak benar-benar

Bertanya, kiraku, dan

Aku tak benar-benar

Punya jawaban untuknya

 

Israel dan Palestina

Hanyalah sebuah konon,

Yang tenggalam dan timbul,

Seperti ceracau burung

Pagi hari di kampungku;

 

Seluruh Israel adalah

Bani Nadzir dan Quraidhah

Yang diusir Nabi

Keluar dari Madinah;

Mereka licik dan mematikan

Seperti ular beludak.

Demikian sekali tempo

Juru dakwah berseru.

 

Dan benteng-benteng didirikan

Di atas cakrawala macam ini,

Sekelompok massa fanatik

Dicipta dengan template ini.

Seperti kalau orang diyakinkan

Untuk lebih memilih Pandawa

     Ketimbang Kurawa,

Tanpa pernah didorong

Untuk memahami keberpihakan

                    Drona dan Bisma.

 

Ketik puisi palestina

Di kotak pencarian,

Dan akan kautemukan

Berlimpah tulisan

       Atas nama cinta

       Atau seni merangkai kata.

Periksa daftar pertemanan,

Dan akan kautemukan

Berlimpah foto profil

Bergambar semangka.

 

Namun “Nach Auschwitz

Rin Gedicht zu schreiben

Ist barbarisch,” Kata Adorno.

Namun alangkah ngeri

Menyaksikan para penyair

Mengenakan kalung mewah

Dari air mata korban perang.

 

Namun pernyataan dukungan,

Seperti ungkapan berduka,

Sering jadi basa-basi,

Sejenis membungkuk

Di hadapan orang yang

Tak sungguh kauhormati.

 

Keberadaban semu.

Orang-orang, seperti katamu,

Sebenarnya quite insular

Tak sungguh memedulikan

Kecuali diri mereka sendiri.

 

Dan jika kaunyalangkan pandang

Akan tampak yang bakal abadi:

                          Kutukan

              Ketakberdayaan

Dan orang-orang,

Saat ribuan nasar

Membayangi langit Gaza,

Akan cuma jadi gema lagu Iwan:

 

“Waktu kita asik makan

Waktu kita asik minum

Mereka haus

Mereka lapar

Mereka lapar

Mereka lapar...”

 

(10-02-2024)

 


150 RU

 

Te

    Tes

Keringat

Membasahi jarak

Antara tiga ember

Padi berkecambah

Ke 150 ru hamparan

Daun ijo royo-royo

Meliuk diterpa

Angin selatan yang lembab

 

Ngos

        Ngos

Sengal napas

Antara ayun cangkul

Dan deru Kubota

Menyisir petak sawah

          Ru demi ru

Membolak-balik tanah

Sebelum penghancuran

Oleh 9 mata garu

Masih terdengar jelas

Di kuping ingatan

 

Mangkuk langit

Sebiru kerinduan

Kafilah mendung

Mendesirkan hanya harapan

Tentang suatu hari ketika

Te

    Tes

Keringat

Kembali digulirkan

Dari kening dan pipi

Akrab dengan bahasa matahari

Ketika rumpun demi rumpun

Penuh bulir sintal

                               Dijagal

          Lalu diusung

Ke mesin perontok

Di tepi pematang

 

Dan bila benakku

Berhenti mobat-mabit

Dan kulekatkan pandang

Jauh ke ufuk barat laut

Di mana Gaza meraung

          Tampaklah

Sebuah tangga kristal

Berdiri di lintasan Buraq

Adam di lapis langit pertama

Melambaikan tangan

Senyumnya ditafsirkan pipit

          Di cabang mahoni:

 

Sebelum seba mengko sore

150 ru ini harus sepenuh

Kemesraan kauikhtiari

 

(08-02-2024)

 

 

_______


Penulis


Malkan Junaidi lahir di Blitar, 12 Maret 1981. Merupakan penyair, penerjemah, petani, dan pekerja bangunan. Karyanya yang telah terbit: Lidah Bulan (2011), Di Bawah Cahaya yang Terpancar dari Ingatan terhadapmu (2016), Chelsea Islan Terbang ke Bulan (2018), Rumah Daging dan Pikiran (2023), Terjemah novel Paradise karya Abdulrazak Gurnah (2023), dan Lanskap Freudian (2023).

 


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com