View AllProses Kreatif

Dakwah

Redaksi

Postingan Terbaru

Sunday, March 16, 2025

Biodata 15 Penulis Terpilih (dan Juara) Lomba Cerpen "Pagar Laut" NGEWIYAK.com 2025

  


PARA PEMENANG


JUARA I

Nanda Winar Sagita adalah pengajar sejarah dan penulis lepas. Dia aktif di komunitas Komplotan Bandit Warung Kopi dan terpilih sebagai salah satu Emerging Writer di Ubud Writers & Readers Festival 2024. Karyanya berupa esai dan cerpen telah dimuat di berbagai media. Domisili di Takengon, Aceh Tengah. Akun media sosial FB (Nanda Winar Sagita) dan IG (@nanda.winar.sagita).


JUARA II

Ilham Wahyudi, lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia salah seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur. Selain menjadi seorang Fundraiser di Adhigana Fundraising, ia juga dikenal sebagai tukang mabuk. Beberapa cerpennya ada yang dimuat dan banyak yang ditolak redaksi. Buku kumpulan cerpennya “Kalimance Ingin Jadi Penyair” tidak akan ia diterbitkan.


JUARA III

Dhimas Bima Shofyanto, lahir di Jombang, 12 November 2002. Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sebelumnya, tergabung dalam Teater Mutiara Hikam dan terlibat dalam beberapa pementasan—sebagai aktor, juga penulis naskah. Kini bergiat di Jejak Imaji. Menjadi pemenang dalam beberapa lomba seperti Sayembara Cerpen Tutur Tumurun Taman Budaya Yogyakarta 2024, dan Sayembara Puisi Nasional Payakumbuh Poetry Festival 2024. Beberapa karyanya berupa prosa dan puisi dapat ditemui di berbagai media daring seperti Koran Tempo, sastramedia.com, dan selainnya. Instagram : @bimaaseena 

 

PENULIS TERPILIH LAINNYA

Reyhan Ferdiansyah adalah pelajar asal Ngantang, Malang, yang telah memenangkan lomba cerpen tingkat nasional dengan tema Kecewa. Ia memiliki ketertarikan mendalam pada budaya, kritik sosial, isu lingkungan, serta cerita fiksi dan legenda. Dengan visi untuk mengenalkan budaya daerah ke khalayak luas, Reyhan menjadikan tulisannya sebagai medium untuk merayakan kearifan lokal dan nilai-nilai kehidupan. Selain gemar membaca, ia memegang teguh nilai-nilai tradisional seperti menghormati guru (dilarang menyingkur), disiplin, dan menggunakan bahasa krama inggil saat berbicara dengan orang tua. Ia percaya bahwa melestarikan budaya dimulai dari hal-hal kecil yang dilakukan sehari-hari. Akun IG Ig: @reyhanyoungg


M. Ghaniey Al Rasyid adalah Penulis Lepas, Pengkliping dan Penikmat Sastra yang Berasal dari Pesisir Batang Jawa Tengah.


Selvia Wyona Nasalita br Tarigan, tinggal di Medan, Kabanjahe, jln. Katepul, no. 37A. 


Aulia Fatihatu Zulfanisa, mahasiswa Pendidikan Sastra Indonesia, Universitas Diponegoro. 

Riki Utomi kelahiran Pekanbaru 19 Mei. Alumnus Prodi. Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Islam Riau. Menulis puisi, cerpen, esai, dan novel. Sejumlah karyanya pernah tersiar di Kompas, Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Suara Merdeka, Lampung Post, Banjarmasin Post, Inilah Koran, Riau Pos, Batam Pos, Kendari Pos, Bangka Pos, Padang Ekspres, Rakyat Sumbar, Haluan Kepri, Haluan Riau, Metro Riau, Koran Riau, Serambi Indonesia, Tanjungpinang Pos, Radar Banyuwangi, RuangLiteraSIP, Magrib.id, Buletin Jejak, Apajake, Ngewiyak, Sastramedia.com, Nusantaranews.co, Riau Realita, Tiras Times, Harian Detil, Majalah Sabili, Majalah Sagang, Majalah Tanjak, Majalah Elipsis. Bukunya yang telah terbit: Mata Empat (Cerpen, 2013), Sebuah Wajah di Roti Panggang (Cerpen, 2015), Mata Kaca (cerpen, 2017), Anak-Anak yang berjalan Miring (cerpen, 2020), Menjaring Kata Menyelam Makna (esai, 2021), Belajar Sastra Itu Asyik (nonfiksi, 2011), Jelatik (novel, 2021).  Bekerja sebagai pendidik dan bermukim di Selatpanjang, Riau. 


Abror Y. Prabowo, lahir di Gunung Kidul, 15 Desember 1978. Menempuh Pendidikan di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni. Karya cerpen dan puisinya telah dipublikasikan di berbagai media. Karya puisinya terangkum dalam manuskrip antologi “Lagu Tembang Nyanyian”. Buku kumpulan cerpennya "Anjing dengan Luka di Tengkuk”, dan “Maaf, Aku Membaca Diary Ungumu”. Selain itu juga menulis naskah drama dan menyutradarinya, di antaranya, “Sih”, “Lolong”, dan “Gincu” yang dipentaskan di Yogyakarta bersama Teater KSP Indonesia (dulu bersanggar di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa). Bersama keluarga tinggal di Perumahan Taman Arum Sari Blok M, Cokro Konteng, Sidoarum, Godean, Sleman, DI Yogyakarta, 55264. Penulis dapat dihubungi kapan saja melalui telepon pribadi atau akun media sosial https://www.facebook.com/abror.prabowo. 


Adriansyah Subekti, kelahiran Banyumas, Jawa Tengah, 2001. Menulis beberapa puisi dan cerpen yang dimuat di berbagai media. Salah satu cerpennya dimuat dalam buku Kiamat Baru: Antologi Esai, Puisi, dan Cerita Generasi Terburuk Sastra Indonesia (Talas Press, 2024). 


Mohammad Lutfi Maula, lahir di Jakarta 08 Februari 2000. Pembaca buku. Menulis esai, cerpen, dan resensi. Bisa dihubungi di Instagram @mochlutfimaula atau surel mohammadlutfimaula@gmail.com . 


Mualif Hidayatulloh, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari STKIP PGRI Ponorogo. Tinggal dan Aktif berkarya di komunitas Sutejo Spektrum Center (SSC) Ponorogo dan Himpunan Mahasiswa Penulis. Cerpennya berjudul Aku Menyesal, Puisi Kembali berhasil merebut peringkat kedua penulis terbaik di ajang Antologi Jejak Kasih yang diselenggarakan oleh Lumiere Publishing. Kenali dirinya lebih mesra melalui IG: @mualif_hida.


Yoga A. Pratama, kelahiran Sumedang, 22 Januari 1995. Cerpennya “Tragedi di Sudut Kafe” masuk dalam antologi cerpen Mengurai Kisah Hujan di Warna Biru Jilid I yang diterbitkan Detak Pustaka pada Desember 2022. Dua puisinya, “Kang Ojol Nangkring di Pinggiran Lubang Donat” dan “Wajah Waktu yang Selamanya Hijau”, masuk dalam antologi puisi Jarak Tuhan dan Penyair yang diterbitkan oleh funbahasa pada Desember 2022. 


Rian Kurniawan Harahap, M.Pd. merupakan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Kota Pekanbaru. Menerbitkan novel Kelambu Waktu dan kumcer Api Rimba


Sujatrini Liza suka menulis sejak SMA. Nama penanya, Miayazlin. Dia senang membaca dan menonton film. Novel ketiganya, Summer Rain, diterbitkan BIP pada 2018, dan beberapa cerpennya telah diikutsertakan dalam antologi dan majalah. Miayazlin kini senang mengikuti ajang-ajang menulis, memotret sesekali, dan sangat menikmati duduk tenang di sudut kafe sambil menyeruput secangkir kopi. 


UNDUH DOKUMEN BIODATA PENULIS

BACA CERPEN MEREKA DI SINI!

Saturday, March 15, 2025

Pengumuman 15 Karya Terpilih dan Juara I, II, III Lomba Cerpen "Pagar Laut" NGEWIYAK.com



Fiksi Suatu Jalur Lain

(Catatan Penjurian Lomba Cerpen “Pagar Laut")


Agak susah membaca cerpen-cerpen dalam bundelan lomba kali ini. Mungkin karena beban tema yang meng-aktivisme-kan para pengarangnya, yakni kondisi yang memaksa mereka harus ambil bagian. Tema “pagar laut”, tampaknya, justru “memagari” eksplorasi peserta.


Memang tidak ada cara tunggal untuk aktivisme—demonstrasi, mogok kerja, jahit mulut, boikot, kampanye daring, aksi seni, dll. Di luar itu corak masalah pun amat banyak: kesetaraan gender, hak asasi, kesetaraan ras, gerakan iklim, keadilan sosial, dll. Pelaku-pelakunya pun beragam: sipil dalam arti umum, mahasiswa/pelajar, awam, pemberontak, reformator, feminis, seniman, budayawan, akademisi, agamawan, dll. 


Menulis karya sastra yang ambil bagian memang salah satu “kewajiban” pengarang. Tetapi pengarang, (1) jangan melupakan aspek kesusastraannya, justru celaka jika aspek utama tersebut dikorbankan oleh gelegak aktivisme. Juga jangan melupakan bahwa (2) sastra tidak dapat bekerja dengan segera menyelesaikan masalah apa pun. Fungsi sastra dalam merespons gajala-gejala sosial politik menurut kami tetaplah suatu jalur lain. Sudut pandang, strategi literer, rancang bangun, adalah bagian-bagian pokok di jalur lain tersebut. 


1. Melukiskan kondisi Laut X yang awal mulanya sorga buat para nelayan dan menjadi neraka gara-gara kerakusan penguasa yang membuat pagar laut, sudah dapat kami bayangkan akan menjadi bagian paling banyak diceritakan. Bentuk ini merupakan jurnalisme dan pandangan umum yang disamarkan ke dalam fiksi belaka, semacam kliping berita terkini dengan sedikit improvisasi pada seting, penokohan, dan dramatisasi yang agak canggung. 


2. Cerpen-cerpen Indonesia menurut kami memang masih dibesarkan oleh tradisi cerpen media massa dalam hal penyapaan pembaca terbatas. Tradisi cerpen media massa membuat pengarang membayangkan semua pembaca tahu apa yang dimaksudkannya. Cerpenis tidak membayangkan pembaca tingkat dunia yang tidak tahu apa-apa mengenai pagar laut di Indonesia. Kesadaran terakhir, jika dipupuk subur, akan menghasilkan tradisi penulisan cerpen-cerpen detail dan penuh kesabaran. (Bahkan sebenarnya, jangankan pembaca dunia, generasi setelah kita pun mungkin tidak pernah tahu isu pagar laut. Pembaca harus dibayangkan sebagai pembaca sastra belaka, bukan pembaca situasi dan kondisi negeri)


3. Tokoh-tokoh hitam-putih tidak benar-benar menguntungkan fiksi dalam bundel lomba ini. Tokoh hitam bersetuju dengan pembangunan, dan tokoh putih bersikeras dengan kelestarian laut. Makin hitam-putih tokoh-tokoh dalam banyak cerita, makin jadi ajaranlah cerita-cerita itu. Tradisi sastra tidak mengajari dengan hitam-putihnya manusia.


4. Usaha-usaha “pelarian” pengarang dari tema amatlah penting. Pelarian yang amat penting tentu tidak benar-benar lepas dari temanya, dan cerpenis yang baik dapat memanfaatkan pembaca sastra, bukan pembaca jurnalisme-yang-cari-alternatif sehingga dapat memaksimalkan pelarian tematiknya tersebut.


5. Porsi menjelaskan diri tokoh, situasi tokoh, dunia tokoh, adalah problem laten fiksi. Fiksi tidak menjelaskan, apalagi membagi informasi. Fiksi yang mentradisi dalam kesusastraan dunia bersifat menggambarkan. Dengan cara itu pengarang dan pembaca berbagi dunia dan bahkan dapat bertukar dunia.


6. Sejumlah besar karya bahkan masih memiliki begitu banyak gangguan teknis. Penulisan ejaan, kata depan dan imbuhan yang belum terbedakan (dalam bahasa Indonesia ini biasa terjadi pada “di-/ke-” dan “di/ke”), tanda baca, mengganggu pembaca dan menjadi penanda pengarang tidak amat menguasai hal teknis, kesalahan pengetian, dll. Teknis bukan pokok, tetapi menjadi tanda tradisi membaca dan penguasaan ilmu bahasa yang kurang baik.


7. Kami melihat tidak ada pengarang yang menawarkan bentuk dan daya tutur yang khas. Ini agak mengkhawatirkan. Pengarang sepertinya menginstrumenkan bahasa untuk konten pesan cerita belaka, dan melupakan bentuk sebagai pesan juga. Dialog bentuk dan isi adalah dialog paling keras dalam sastra dan tidak kami temukan pengarang dengan pencarian kekhasan tersebut. Kami mengira keindahan lukisan bukan sekadar dari apa yang dilukiskannya (konten), tetapi bagaimana lukisan itu hadir sebagai lukisan (bentuk). Perkembangan sastra sejatinya bukan dari tema sastra tersebut, melainkan upaya keras para pengarangnya menghadirkan bentuk-bentuk ucap baru.


8. Bahkan jika mencoba berfokus pada konten, pada nilai dan ajaran yang hendak ditawarkan pengarang, kami juga tidak menemukan sesuatu yang khas dan mencolok. Semua cerita tampil dengan suara yang sama; memosisikan manusia—dalam hal ini nelayan atau masyarakat pesisir—sebagai korban tunggal. Padahal percobaan untuk memberi “suara” pada “yang tak bersuara”, adalah pendekatan tematis yang memungkinkan untuk dijajaki. Sebab tumbuhan dan binatang, atau spesies non-manusia lain dari ekosistem laut, juga sama terdampak. Namun, hanya ada 3 judul (dari 400 lebih) yang memiliki kepekaan itu, dan sayangnya masih kewalahan pada aspek-aspek mendasar dari seni penulisan.     


Setelah kami menyisir seluruh cerpen dalam lomba kali ini, kami memutuskan 15 besar adalah; 


1. Teluk Bintang Jatuh (Naskah 18)

2. Sejumlah Peristiwa Penting Sebelum dan Sesudah (Naskah 35) 

3. Beton Pesisir (Naskah 39) 

4. Lelaki Tua yang Mencintai Flor de Mar (Naskah 45)

5. Perjalanan yang Tidak Sempurna (Naskah 55)

6. Saya Mati di Laut (Naskah 66) 

7. Laki-laki Aneh yang Menangis (Naskah 93)

8. Sembilan Butir Kepala Berkalung Naga (Naskah 101) 

9. Biyung Selalu Menaburkan Bunga (Naskah 184) 

10. Ia Berharap Hujan Tidak Turun Sore Ini (Naskah 187) 

11. Instrumen Lo-fi, Gemercik, dan Baja Ringan (Naskah 339) 

12. Tutorial Menjadi Pengecut II (Naskah 362) 

13. Suara dari Laut (Naskah 409) 

14. Teritip Tak Pernah Ingkar Janji (413) 

15. Tongkat Musa (Naskah 415) 



Dengan Juara I, II, III sebagai berikut; 


Juara I

Lelaki Tua yang Mencintai Flor de Mar  


Juara II

Sejumlah Peristiwa Penting Sebelum dan Sesudah


Juara III

Tongkat Musa 




Banten, 15 Maret 2025

Dewan Juri,


Arip Senjaya & Muhammad Nanda Fauzan



Cerpen Lomba - Saskira - Apakah Laut Kita Dipenjara

 


Suara deburan ombak laut pagi ini cukup mengisi keheningan di antara aku dan Bapak yang tengah sibuk mempersiapkan perahu kami untuk berlayar. Setiap hari Minggu aku selalu ikut bersama Bapak untuk mencari ikan. Bapakku seorang nelayan kecil yang mencari ikan sendiri untuk dijual kepada pedagang-pedagang di pasar sana. Aku sangat ingin menjadi nelayan seperti Bapak, aku mencintai laut, aku juga mencintai ikan.  Meskipun Ibu terkadang tidak mengizinkanku untuk ikut bersama Bapak pergi ke laut, tapi aku selalu berhasil menyelinap setiap Minggu pagi untuk ikut mencari ikan dan beruntungnya Bapak hanya pasrah saat aku memaksa ikut bersamanya.

            “Ido cepat naik ke atas perahu!” aku segera naik ke atas perahu, kaki kecilku agak tertatih karena tinggi perahu Bapak hampir dua kali tinggi badanku. Setelah aku naik, Bapak mendorong perahu menuju perairan yang lebih dalam, kemudian Bapak naik dan mulai menyalakan mesin. Setiap kali perahu mulai berjalan aku merasakan perasaan gembira yang membuncah dalam hatiku. Ku hirup dalam bau laut, bau udara pagi, serta sedikit bau amis ikan dari jala milik Bapak.

            “Eh, kenapa ada bambu di laut? Memang bambu bisa tumbuh di laut?” aku bergumam heran, seingatku minggu lalu tidak ada bambu disini.

            “Ya tidak bisa lah, bambu hanya tumbuh di darat, tapi sudah lima hari bambu ini ada di laut, mungkin ada orang yang menancapkannya,” aku makin terheran, mengapa laut harus ditancapi bambu, bentuknya juga aneh sekali.

            “Apakah laut kita di penjara?” aku sering melihat film di televisi dan bentuk penjara mirip seperti bambu-bambu yang berjejer di laut ini, hanya saja mungkin penjara di dalam film menggunakan besi hitam.

            Kegiatan berpikirku harus terganggu saat perahu kami seperti menabrak sesuatu, terdengar bunyi cukup keras dari arah depan perahu. Bapak segera bergeser posisi ke depan dan aku mengikutinya. Aku melihat perahu kami menabrak salah satu bambu itu, kemudian aku bisa mendengar Bapak mendesah keras.

            “Menyusahkan sekali, sudah 3 kali perahuku menabrak bambu, mengapa juga ada bambu di laut, nelayan jadi kesulitan berlayar,” aku mendengarkan Bapak mengomel kesal. Aku membantu Bapak untuk membetulkan posisi perahu agar kita bisa berlayar kembali. Sepertinya benar, laut ini sudah di penjara, tapi laut berbuat salah apa sampai ia di penjara, berapa lama kira-kira laut akan di penjara, aku kasihan jika setiap berlayar perahu nelayan harus menabrak penjara laut ini.

            “Sudahlah merepotkan, tangkapan ikan juga berkurang banyak sekali, ide siapa memasang bambu sepanjang ini di laut, memang ini laut mereka, seenaknya saja menyusahkan nelayan,” Bapak masih bergumam kesal, aku juga ikut merasa kesal. Aku melihat beberapa hari ini tangkapan ikan Bapak tidak sebanyak biasanya, aku kira ikannya sedang tamasya ke laut lain, ternyata karena ada penjara di laut, mungkin ikan ketakutan jika mendekat ia juga akan di penjara makanya ia menjauh.

            Singkat cerita kami lanjut berlayar, Bapak sudah menebar jala miliknya, kami menunggu beberapa saat, kemudian menarik kembali jalanya bersama-sama. Lagi-lagi aku hanya mendapati ekspresi kecewa Bapak, sedikit sekali ikan yang didapatnya. Beberapa jam berlalu akhirnya kita memutuskan untuk pulang saja daripada menambah kecewa karena tak kunjung mendapat ikan banyak. Saat perjalanan pulang aku terus mengamati bambu penjara laut itu, aku masih bingung apa kesalahan laut sampai ia di penjara dan menyusahkan nelayan. Aku akan bertanya pada Ibu, Ibu seorang guru jadi Ibu pasti tahu karena Ibu pintar.

            “Ibu, dimana? Aku ingin bertanya sesuatu,” sesampainya di rumah aku berlari mencari Ibu mengabaikan Bapak yang membawa bak ikan sendirian.

            “Ada apa Ido?” ternyata Ibu ada di belakang rumah sedang mencuci piring. Aku duduk di sebelahnya, mulutku terbuka beberapa kali, aku bingung menyampaikan pertanyaanku.

            “Ibu, apakah laut bisa di penjara?” Ibu menoleh dengan tatapan aneh.

            “Hah? Tidak ada yang namanya laut di penjara, aneh-aneh saja,” Ibu melanjutkan kegiatannya. Aku merasa sedikit kesal, mengapa semua orang tidak tahu apa yang terjadi di laut. Fungsi bambu-bambu yang ada di laut itu untuk apa sebenarnya, tidak bermanfaat malah menyusahkan.

            “Bambu-bambu di laut itu loh Bu, tadi perahu Bapak menabrak bambu itu, menyusahkan sekali,” sepertinya nada perkataanku terdengar kesal kali ini.

            “Oh itu, Ibu dengar-dengar dari Pak Kades itu akan dibangun proyek reklamasi, Ibu lupa kemarin memberitahu Bapakmu,” apa lagi ini, reklamasi? Aku tidak pernah mendengar itu dimana-mana, di sekolah juga tidak.

            “Reklamasi itu apa Bu? Tapi laut kita tidak benar-benar di penjara kan?” aku masih terus bertanya, dapat ku rasakan Ibu mulai kesal dengan pertanyaan penjara laut yang tidak ada habisnya.

            “Aduh ibu tidak tahu, tanya saja sendiri sama Pak Kades, kamu ini ada saja pertanyaan aneh, Ibu juga tidak faham reklamasi seperti apa maksudnya, sudah Ibu harus mencuci bajumu setelah ini, kamu mandi sana!” Ibu berdiri meninggalkanku di belakang rumah dengan rasa penasaran yang belum terjawab.

            “IBU, AKU PERGI DULU SEBENTAR,” aku berteriak keras, kemudian berlari memutar ke depan rumah, aku harus ke rumah Pak Kades bertanya apa itu reklamasi, jika tidak terjawab hari ini pasti aku tidak bisa tidur. Aku terus berlari hingga sampai di rumah Pak Kades yang hanya berjarak beberapa gang dari rumahku. Kebetulan sekali Pak Kades sedang duduk di teras rumahnya. Aku segera menghampirinya, aku butuh jawaban.

            “Pagi Pak Kades, saya ingin bertanya sesuatu boleh?” tanpa basa-basi aku langsung berdiri di hadapan Pak Kades, ekspresi sedikit kaget terbentuk di wajahnya.

            “Eh, kamu ini Ido ya? Anaknya Pak Wawan yang rumahnya di gang belakang,” sepertinya tidak susah mengingatku karena aku memang sering bermain di sebelah rumah Pak Kades yang juga merupakan rumah temanku.

            “Betul Pak, jadi saya mau bertanya tentang reklamasi, Kata Ibu tadi penjara bambu di laut itu akan dibuat reklamasi, nah reklamasi itu apa? Saya tadi bertanya pada Ibu tapi Ibu menyuruh bertanya sendiri pada Pak Kades jadilah saya sekarang disini,” Pak Kades tersenyum tipis, kemudian menyuruhku untuk duduk di kursi sebelahnya.

            “Itu bukan penjara bambu Ido, mana bisa laut di penjara, lucu sekali. Nah, jadi reklamasi nanti akan dibentuk daratan di laut, keren bukan? Nanti kamu bisa bermain-main disana bersama temanmu,” aku menganggukkan kepalaku pelan, jadi nanti laut akan diubah jadi daratan.

            “Eh tapi Pak Kades, berarti lautnya hilang dong? Bapak dan nelayan lain kalau mau cari ikan bagaimana jika tidak ada laut?” aku baru menyadari hal ini, berarti tidak ada laut, tidak ada ikan, mungkin saja tidak ada nelayan.

            “Ya tidak dong, laut itu luas, Bapakmu dan nelayan lain masih bisa cari ikan di bagian lain,” aku mendengar Pak Kades menjawab sedikit kesal.

            “Tapi kan-“

            “Ah sudah-sudah, Pak Kades mau ada kegiatan dulu, kamu lebih baik pulang saja Ido, nanti Ibumu mencari,” belum selesai aku bicara tapi Pak Kades sudah memotong, mungkin Pak Kades memang harus pergi kegiatan. Kepala desa kan harus mengurus banyak hal.

            Aku segera pamit kemudian berjalan keluar dari teras rumah Pak Kades lalu melewati halaman rumah Pak Kades yang sedikit luas. Saat di depan gerbang aku berpapasan dengan Pak Yitno, aku menyapanya hanya dengan senyum kecil. Kami saling bertolak, aku keluar dari rumah Pak Kades dan Pak Yitno masuk ke rumah Pak Kades. Sedikit aneh, tumben sekali tadi Pak Yitno tidak berlayar juga, biasanya aku dan Bapak berpapasan dengan Pak Yitno di laut tapi hari ini tidak. Aku tetap berjalan lewat gang samping rumah Pak Kades dan aku mendengar sayup-sayup percakapan Pak Kades dan Pak Yitno, akhirnya aku memutuskan berhenti dan menguping.

            Aku tidak terlalu faham apa yang mereka bicarakan, sepertinya itu pembahasan orang dewasa. Tapi aku dengar mereka berbicara tentang bambu, reklamasi, ikan, nelayan dan kebijakan, mungkin. Semakin aku mendengar, aku semakin tidak faham, tapi sepertinya percakapannya tidak baik karena nada bicara Pak Kades maupun Pak Yitno berapi-api. Apakah mereka juga membicarakan tentang penjara bambu di laut itu.

            “Kalau begitu kami nelayan akan kehilangan pekerjaan, itu laut milik kami, milik kita semua, bukan milik seorang saja,” aku mendengar Pak Yitno berucap semakin marah, perasaanku ikut terhanyut, tidak baik jika di dunia ini tidak ada nelayan. Sepertinya laut disana sedang benar-benar di penjara sehingga tidak boleh ada nelayan lagi yang datang untuk mencari ikan.

            Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus membebaskan laut dari penjara bambu itu. Lagipula menurutku laut tidak pernah punya salah, laut itu berjasa, untukku, untuk Bapak, untuk nelayan, untuk kita semua. Aku harus berpikir bagaimana cara membebaskan laut. Mungkin dengan mencabut saja penjara bambu itu? Tapi sepertinya itu susah untuk ku lakukan sendiri.          “Saya dan para nelayan tidak akan diam saja Pak Kades, kami melawan, kami akan terus melawan sampai bambu-bambu itu dicabut dan laut kembali seperti semula,” aku sedikit terlonjak sebab terdengar suara bantingan pintu keras setelah suara Pak Yitno yang penuh kemarahan itu bergema.

            Sepertinya Pak Yitno juga berusaha agar laut tidak di penjara, aku harus bergabung dengan Pak Yitno membebaskan laut. Apapun akan aku lakukan, meski aku hanya bocah 10 tahun tapi aku juga harus berjuang untuk lautku, laut kita semua para nelayan dan warga. Betul-betul tidak bisa dibiarkan jika seseorang memenjarakan laut meski laut tidak bersalah, juga membuat Bapak dan nelayan lain kesusahan berlayar mencari ikan. Jika tidak ada laut, maka tidak ada ikan, tidak ada pula nelayan, dan jika tidak ada nelayan aku tidak punya impian lagi di masa depan.


Cerpen Lomba - Latatu Nandemar - Lelaki Karang yang Dihanyut Maut

 



Subarkah tak pernah mengira, laut maha luas yang menghampar di dekat rumah kecilnya itu kini telah dipancang tiang-tiang dari bambu yang di susun berjajar sepanjang puluhan kilo meter dan dijadikan sebagai pagar pembatas untuk melarang siapa saja yang akan melintas.

Jika saja itu terjadi di daratan, mungkin Subarkah tak akan merasa seheran ini. Dahulu, dia selalu yakin bahwa membuat pagar di lautan adalah sebuah tindakan yang mustahil untuk dilakukan. Tetapi kini dia sadar, hal yang mustahil untuk dilakukan itu ternyata bisa dilakukan hanya dengan modal satu, yaitu keserakahan.

Dia dan juga para warga lainnya tak pernah tahu jika pagar bambu itu akan menjadi belenggu untuk kebebasan para nelayan seperti dirinya dan yang lainnya untuk menangkap ikan-ikan laut sebagai sumber penghidupannya. Kini, tak ada pilihan lain baginya dan nelayan lainnya selain melakukan perlawanan.

“pergilah melaut saja, Pak! Tak usah ikut-ikut melawan seperti yang lain.” Marni mengingatkan suaminya malam itu ketika akan berangkat keluar tetapi bukan untuk melaut, melainkan akan datang ke lokasi pertemuan dengan pihak yang mematok laut untuk melakukan diskusi, dan dia siap meski nanti diskusinya akan berlangsung sepanas apa pun nantinya, dengan mereka yang mencaplok hak para nelayan. Jadi dia pergi untuk memperjuangkan apa yang dulu tak pernah terbatasi oleh yang namanya hak kepemilikan.

“kau sendiri merasakan, apa yang kita dapatkan semakin hari semakin berkurang,” Subarkah menjelaskan untuk  ke sekian kalinya. “Mereka harus membongkar pagar itu, laut bukan milik seorang, laut milik semua orang!” Ada sedikit nada geram yang bukan ditujukan pada istrinya itu ketika Subarkah berkata-kata tadi.

“Aku khawatir terjadi apa-apa nantinya.” Jelas ada kegusaran di dalam lontaran suara Marni, “Bagaimana kalau terjadi apa-apa padamu nanti, pada kita.” Selepas berkata itu, Marni membelai perutnya yang tengah mengandung lima bulan usia calon anak mereka.

“Jika kau tak ingin terjadi apa-apa, maka tak akan ada yang terjadi, tetapi agar tak terjadi apa-apa, maka kita jangan melakukan apa-apa, dan itu tak bisa. Jika kita berharap tak ada yang terjadi, mereka akan semakin menjadi-jadi.”

Marni memang belum lama menjalani hidup bersama dengan suaminya, tetapi dia tahu sifatnya memang sekeras karang laut. Tak pernah ada kata surut ketika harus memperjuangkan apa pun sekalipun taruhannya adalah maut.

“Kita syukuri saja yang sedikit itu, mereka orang-orang kuat. Kita tak akan sanggup melawan.” Marni mencoba lagi meski dia tahu itu tak akan ada hasil.

Subarkah tak menjawab. Dia hanya meminta diambilkan jaket usangnya yang biasa dia pakai untuk menahan angin laut agar tubuhnya tidak terkena tamparan angin secara langsung ketika mencari ikan. Meski Subarkah tahu Marni menuruti permintaannya dengan berat, dia tetap saja berangkat.

Tetapi, sebelum benar-benar pergi, Subarkah mendekatkan wajahnya ke wajah istrinya yang baru ia nikahi tujuh bulan yang lalu itu, “Aku akan pulang, tenanglah. Dan akan kubawakan ubi rebus kesukaanmu itu.” Marni menatap sepasang mata suaminya, mata yang tak pernah membohonginya, dan dengan melihat mata itu, keraguan Marni lenyap menguap ke tempat yang Marni tak tahu.

“Ini harus diakhiri!” Di lokasi perlawanan Subarkah berkata dengan suara menantang dan wajah garang. “Bagaimana mungkin kalian bisa menguasai laut? Jelas kalian bukan Dewa Laut! Ini bukan daratan yang boleh diperjual belikan!” Semua yang mencari nafkah di laut setuju dengan Subarkah. Tetapi tidak semua  berani menentang sekeras seperti dirinya.

Kata-kata Subarkah begitu keras. Bahkan tak kalah oleh deru angin dan ombak malam di mana mereka melakukan pertemuan itu.

Mereka yang berada di pihak pemagar laut jadi begitu mudah mengingat wajah Subarkah. Tanpa Subarkah sadari, lima sampai enam orang berbadan tinggi dan besar yang seumur-umur tak pernah dilihat oleh Subarkah di lingkungan itu berdiri memperhatikan dirinya.

Beberapa pihak pemagar mencoba memberi argumen dan memberi penjelasan. Mereka juga mengatakan bahwa mereka tak pernah berniat menjadikan lautan sebagai milik mereka.

“Bohong...!” Subarkah kembali marah ketika mendengar kata-kata dusta itu. “Saya sendiri merasakan langsung kalian mengusir saya dan yang lainnya ketika kami tengah mencari ikan dan memasuki kawasan pagar bambu itu!” Subarkah berkata dengan keras. Sementara mereka yang di belakangnya mengangguk-angguk mendukung apa pun yang dikatakan Subarkah, sosok yang akhirnya mereka anggap sebagai pemimpin perlawanan.

Malam itu tak berakhir dengan penyelesaian. Subarkah hanya kembali mendapatkan janji-janji bahwa apa yang mereka sampaikan akan didiskusikan. Itu hanya jawaban basa-basi busuk yang mengambang seperti bulan yang mengambang di langit malam itu, indah namun terlihat menakutkan.

Selepas pertemuan itu, Subarkah memacu langkahnya untuk pulang. Dia memang tak memiliki kendaraan darat, uang tabungannya sudah dia pakai untuk membeli perahu agar ia tak terus menjadi nelayan yang tak memiliki kendaraan laut untuk mencari ikan.

Sebelum pulang Subarkah menyempatkan untuk membeli ubi rebus sebagai bentuk penuntasan janji kepada istrinya di rumah, itu sebabnya dia berbelok terlebih dahulu ketika langkahnya tiba di sebuah pertigaan. Tetapi dia tak pernah sadar bahwa malam itu ternyata dia akan berbelok arah untuk selamanya.

Setelah dia berhasil mendapatkan apa yang dia cari, Subarkah berjalan kembali menuju arah pulang, tetapi sepasang lengan menyergap Subarkah ketika dia melewati pohon besar yang dilupakan cahaya lampu dan juga dilupakan cahaya bulan. Pemilik lengan itu terlalu kuat untuk bisa Subarkah berontak, menyeretnya ke suatu tempat yang lebih gelap lagi. Di sana sudah menunggu beberapa orang yang tadi hadir di tempat Subarkah dan yang lainnya menentang keberadaan pagar laut.

Mereka membekap mulutnya. Dan kemudian, untuk meredam suara Subarkah, mereka membelit mulutnya dengan lakban, menganiaya sejadi-jadinya. Di bawah siksaan itu Subarkah tak bisa apa-apa.

Teriakannya bahkan tidak sampai pada tenggorokannya. Tubuhnya meronta tetapi tak bisa lepas. Entah sudah berapa luka menganga di tubuhnya? Subarkah tak sempat menyadari itu. Dia terkulai lebih dulu.

Kantung plastik berisi ubi rebus yang akan dia berikan kepada istrinya terkena noda darah dan terjatuh ke atas tanah. Salah satu dari mereka menginjak hingga koyak bungkusan tersebut dengan sepenuh kebencian yang dimilikinya.

“Kita bawa mayatnya ke tempat tadi dia menentang kita, biarkan  mayatnya mengambang di tempat yang mudah terlihat, biar semua yang menentang tahu, inilah akhir bagi siapa saja yang berani menentang pagar laut bos kita.” Salah seorang yang paling mendominasi memberi instruksi. Yang lainnya menyambut dengan mengangguk.

Malam itu, malam di mana mayat Subarkah diangkut menuju tempat di mana mereka melihat Subarkah untuk pertama kalinya di lokasi diskusi tadi, di sebuah rumah mungil yang masih jauh untuk dikatakakan sederhana, Marni masih duduk menunggu di atas kursi kayu. Menunggu suaminya yang akan membawakannya ubi rebus kesukaannya.

Dia sangat yakin suaminya akan datang, karena selama ini Subarkah, suaminya, tak pernah berbohong kepadanya. Telapak tangan kanannya terus-menerus membelai perutnya yang tengah mengandung anak mereka.


Cerpen Lomba - Abiyyu Harist - Dendy dan Pagar Laut

 


Suatu hari di sebuah pesisir pantai terdapat pantai yang sangat indah dan menawan yaitu Pantai Tanjung Pasir.Filosofi Pantai Tanjung Pasir dapat dilihat dari berbagai perspektif yang mengandung makna mendalam, baik dari sisi lingkungan, budaya, maupun kehidupan manusia. Berikut adalah beberapa aspek filosofis yang dapat diambil dari Pantai Tanjung Pasir:

 

 Pantai Tanjung Pasir sering kali dikelilingi oleh keindahan alam, laut yang tenang, pasir putih, dan pepohonan yang rindang. Filosofi di balik alam yang harmonis ini adalah pentingnya menjalin hubungan yang baik antara manusia dan lingkungan. Alam yang bersih dan terjaga mencerminkan hidup yang berkelanjutan, di mana manusia harus menjaga kelestarian alam demi generasi mendatang. Seperti halnya pantai yang bisa menjadi tempat rekreasi dan relaksasi, kita juga perlu menjaga keseimbangan dalam hidup.

  

 Cerita tentang pagar laut ini menjadi buah bibir di kalangan anak-anak. Mereka bercerita bahwa konon ada seorang penjaga pagar yang akan muncul saat bahaya mengancam. Suatu ketika, ketika badai besar melanda, anak-anak melihat sosok misterius berdiri di samping pagar, mengawasi lautan dengan tatapan tajam. Mereka berlari pulang ketakutan, dan orang tua mereka hanya bisa tersenyum, menganggapnya hanya khayalan anak-anak.

  

Suatu hari terdapat seorang anak yang muda walaupun usia pun masih muda sekitar 14 tahun banget yaitu bernama Dendy Supardi biasanya dipanggil Dendy.Dia tinggal  di sekitar pesisir tanjungIa sering banget bermain di atas batu besar dan memandang laut,membayangkan petualangan yang bisa dia lakukan jika dia berani melangkah lebih jauh.Dendy pun suka merasa terhubung dunia di seberang dan mempunyai penuh keajaiban.

 

 Di balik pagar laut itu, ada sebuah tempat yang indah dan tak terduga. Pasirnya lebih putih dan lembut, bahkan sampai ada terumbu karang, airnya berwarna biru cerah, dan ada banyak ikan berwarna-warni melompat-lompat di permukaannya. Namun Saat kemudian Dendy pun merasa tidak sadar merasakan ada yang aneh dan seharusnya tidak terjadi saat itu

  

Tiba-tiba, dari celah-celah papan kayu, Dendy mendengar suara yang sangat gemuruh dan takut,lalu ada seseorang berkata“Anak muda, lihatlah ke laut. Badai sedang mendekat. Awas.” Suara itu terdengar lembut tapi tegas kata seseorang.

 

Dendy terkejut. “Benarkah itu suara pagar?” pikirnya. Namun, rasa takutnya membuatnya terdiam. Dalam sekejap, dia berdiri dan melihat jauh ke arah laut. Ombak mulai menggulung, dan gelap mulai menutupi cakrawala.

 

“Dendy!” teriak seorang nelayan berlari menuju arahnya. “Sebaiknya kau cepat pulang! Badai datang!”kata seorang yang teriak. Dan malam pun tiba Dendy terjaga dengan semangat. Ia tidak menghiraukan peringatan tentang konsekuensi. Baginya, kesempatan ini begitu berharga. Sesaat setelah matahari tenggelam, ia pergi ke pantai, mengikuti suara ombak yang menghanyutkan harapannya.

 

Dengan keberanian yang membara, ia melangkah ke air. Ketika kakinya menyentuh gelombang, cahaya keemasan mulai memancar dari kedalaman laut. Dendy tidak ragu. Ia melanjutkan langkahnya, dan tiba-tiba, dunia sekitar berubah. Ia berdiri di sebuah pulau yang berbeda, dikelilingi oleh warna-warni yang tak pernah dilihatnya sebelumnya.

 

Dengan memberanikan diri, Dendy melangkah melewati celah pagar. Dalam sekejap, dunia di sekitarnya berubah. Animo yang cerah dan tenang seketika tergantikan oleh cahaya warna-warni yang berkilau dan suara alunan musik lembut. Dia berada di sebuah dunia yang tidak pernah dia impikan sebelumnya. Tanahnya berwarna perak, dan pepohonan tampak seolah terbuat dari kristal.

 

Di tengah keindahan itu, Dendy melihat sosok-sosok makhluk yang sangat aneh yang sepertinya penduduk sekitar tempat tinggal Dendy. Mereka memiliki penampilan yang memukau dan ramah, dengan senyuman yang hangat. “Selamat datang di dunia Alam Fantasi!” mereka menyambut.

 

Dendy merasa terpesona. Dia diajak berkeliling dan diperkenalkan dengan berbagai keajaiban. Ada bunga-bunga yang bisa bernyanyi, sungai yang mengalirkan air berwarna pelangi, dan burung-burung yang dapat berbicara. Setiap momen di dunia ini terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan.

 

Namun, seiring berjalannya waktu, Dendy pun tiba tiba  merasa ada sesuatu yang hilang. Semua keajaiban ini sangat menyenangkan, tetapi dia juga merindukan rumahnya—desanya, keluarganya, dan sahabat-sahabatnya. Meski dunia ini indah, hatinya tetap merindukan tempat yang ia sebut rumah.

 

Saat Dendy sedang duduk di tepi sungai pelangi, seorang makhluk kecil dengan sayap berwarna cerah mendekatinya. “Kau terlihat bingung,” katanya. “Apakah ada yang salah?”

 

“Aku senang ada di sini, tapi aku juga merindukan rumahku,” jawab Dendy

 

Makhluk kecil itu tersenyum bijaksana. “Kau punya dua pilihan, Annisa. Kecantikan dunia ini mungkin bisa memikatmu, tetapi tidak ada tempat yang lebih berharga daripada rumahmu. Jika kau ingin pulang, kau harus mencari Jalan Kembali.”

 

“Di mana aku bisa menemukannya?” tanya Dendy sendang mengangguk.

 

“Kau harus menemui Penjaga Alam, yang mengetahui bagaimana cara kembali. Dia tinggal di puncak Gunung Harapan, tapi jalannya tidaklah mudah. Banyak rintangan yang harus kau hadapi,” makhluk itu menjelaskan.

 

Dengan cara Dendy pun lalu bersiap siap untuk perjalanan menuju Gunung Harapan. Dia melewati lembah-lembah, melawan arus sungai, dan menantang angin yang kencang. Setiap langkah memberikan tantangan, tetapi keinginannya untuk pulang membantunya melewati semua rintangan yang memakan waktu tempuh sangat lama.

 

Akhirnya, setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, Dendy tiba di puncak Gunung Harapan. Di sana, dia menemukan Penjaga Alam, seorang sosok yang bijaksana dengan wajah penuh keriput. “Selamat datang, Annisa. Apa yang membawamu ke sini?” ia bertanya.

 

“Aku ingin pulang,” jawab Dendy dengan sangat tegas. “Aku merindukan rumahku dan orang-orang yang kucintai.”

 

Penjaga Alam tersenyum. “Keputusan itu datang dari hatimu. Setiap orang memiliki tempat yang harus mereka tuju. Untuk kembali, kau harus berjanji akan menghargai semua yang telah kau pelajari di sini dan membagikannya kepada orang lain.”

 

Dendy mengangguk, berjanji dalam hati. “Aku akan menghargai setiap pelajaran,” katanya dengan penuh rasa percaya diri.

 

Dengan itu, Penjaga Alam mengangkat tongkatnya, dan sebuah cahaya terang muncul. “Sekarang, kau bisa kembali ke dunia asalmu.”

 

Dalam sekejap, tiba tiba Dendy merasakan angin berhembus kencang, dan saat dia membuka matanya, dia telah kembali di depan pagar laut tua. Ia merasa lega dan bahagia, tetapi juga membawa kenangan indah dari dunia yang telah dia jelajahi.Dalam sekejap, Annisa merasakan angin berhembus kencang, dan saat dia membuka matanya, dia telah kembali di depan pagar laut tua. Ia merasa lega dan bahagia, tetapi juga membawa kenangan indah dari dunia yang telah dia jelajahi.

 

Kembali di desa, Dendy pun merasa lebih bijaksana daripada sebelumnya. Dia memberitahu orang-orang tentang pengalamannya, tentang pentingnya keberanian dan rumah yang sejati. Dia mengajarkan anak-anak desa untuk tidak takut menjelajahi dunia, tetapi juga untuk mencintai dan menghargai tempat di mana mereka berasal.

 

Sejak hari itu, pagar laut bukan hanya sekadar pagar tua yang terbuat dari kayu. Ia menjadi simbol keberanian bagi Dendy dan desa. Orang-orang kini tidak hanya melihat pagar sebagai batasan, tetapi juga sebagai jembatan menuju petualangan dan penemuan diri. Annisa tahu, di dalam hatinya, bahwa setiap orang punya jalan mereka sendiri, dan kadang-kadang, kita harus melangkahi batas untuk menemukan apa yang benar-benar berarti.

 

Dengan senyuman di wajahnya, Dendy segera meneruskan hidupnya, menyebarkan keindahan cerita, dan terus menjelajahi apa yang dunia tawarkan—baik di luar pagar, maupun di dalam hati.


Cerpen Lomba | Kania Haura | Misteri Pagar Laut


Disebuah desa kecil yang terpencil, ada sebuah mitos yang dipercaya turun temurun. Konon, di ujung laut, ada pagar tak kasatmata yang memisahkan dunia manusia dan dunia laut. Tidak seorang pun boleh melewati batas itu, atau sesuatu yang buruk akan terjadi.

Mitos itiu hanya dianggap dongeng bagi sebagian orang, tetapi tidak bagi rahmat, seorang nelayan muda yang sering melihat hal aneh di lautan. Suatu malam, saat ia melaut sendirian, lampu kapalnya meredup tiba-tiba. Ombak yang semula tenang mulai bergelombang. Di kejauhan, ia melihat bayangan pagar raksasa berkilauan di bawah cahaya bulan. 

“Apakah itu...pagar laut?” gumamnya.

Namun, yang lebih mengejutkan, ia melihat sesosok perempuan berdiri di atas air, tepat di depan pagar itu. Wajahnya tidak jelas, tetapi gaunnya seperti ombak yang bergulung.

"Jangan mendekat," suara perempuan itu terdengar samar.

Rahmat membeku. Tubuhnya ingin mundur, tetapi rasa penasarannya terlalu kuat. Ia mendayung perlahan, melewati batas yang selama ini dianggap mitos. Dan saat itulah ia melihat sesuatu yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.

Di balik pagar laut, ada dunia lain. Kota-kota bercahaya berdiri di dasar laut, dihuni oleh makhluk-makhluk yang tak pernah ia bayangkan. Namun, yang paling mengejutkan adalah sosok-sosok yang mengambang di antara karang... manusia-manusia yang hilang di laut. Mata mereka kosong, tubuh mereka transparan seperti air.

"Siapa mereka...?" bisik Rahmat ketakutan.

Perempuan tadi menoleh padanya. "Mereka yang melewati batas tanpa izin. Mereka yang menantang lautan dan melupakan keseimbangannya."

Rahmat merasa napasnya sesak. Air laut di sekelilingnya mulai naik, seakan ingin menelannya hidup-hidup. Ia berusaha mendayung mundur, tetapi perahu kecilnya tak bergerak.

"Kau harus memilih," kata perempuan itu. "Tetap di sini dan menjadi bagian dari laut... atau kembali, dengan janji tidak akan pernah melupakan batas ini."

Tanpa ragu, Rahmat memilih kembali. Seketika, ia terbangun di kapalnya sendiri, mendekati pantai dengan tubuh gemetar. Sejak malam itu, ia tak pernah berani melewati batas laut. Namun, setiap kali ia melaut, ia selalu bisa merasakan sesuatu yang mengawasinya dari kejauhan. Ombak, angin, bahkan bisikan halus dari laut seakan terus mengingatkannya akan malam itu.

Suatu hari, saat Rahmat duduk di tepi pantai, seorang nelayan tua mendekatinya.

“Kau melihatnya, bukan?” tanya lelaki itu tanpa basa-basi.

Rahmat terkejut. “Melihat apa, Pak?”

Nelayan tua itu tersenyum tipis. “Pagar laut.”

Rahmat menegang. Ia tidak pernah menceritakan kejadian itu pada siapa pun. “Bagaimana Bapak tahu?”

“Sebab aku juga pernah melihatnya,” jawab lelaki itu lirih. “Bertahun-tahun lalu, aku adalah orang sepertimu… nekat melewati batas.”

Rahmat menelan ludah. “Apa yang terjadi pada Bapak?”

“Sama seperti kau, aku diberi pilihan… dan aku memilih kembali.” Nelayan itu menghela napas panjang. “Tapi itu belum berakhir, Nak. Mereka tidak hanya menjaga batas… mereka juga mengawasi kita.”

Rahmat bergidik. Ia menoleh ke laut, ke batas yang tak kasatmata itu. Angin berembus lebih dingin dari biasanya, dan suara ombak terdengar lebih berat.

Malam itu, Rahmat sulit tidur. Dalam mimpinya, ia kembali berada di tengah laut. Bayangan pagar raksasa itu kembali muncul, dan di depannya, sosok perempuan bergaun ombak menatapnya dalam diam.

“Keseimbangan terganggu,” suara perempuan itu terdengar. “Seseorang telah melewati batas…dan kali ini, mereka tidak kembali.”

Rahmat terbangun dengan napas memburu. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Di luar, angin laut bertiup lebih kencang, membawa bisikan yang hanya bisa didengar olehnya.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Rahmat menyadari satu hal pagar laut bukan hanya pelindung… tapi juga peringatan.

Dan kini, sesuatu telah berubah.


Cerpen Lomba | Yeni Fadilah | Misi Dr. Stefon dan Harta Karun Laut Indonesia

 

    Osean, seorang Mahasiswi ilmu kelautan dari Universitas Southampton, Inggris, duduk di taman kampus dengan wajah kusut. Laptopnya terbuka, menampilkan gambar-gambar lautan. Buku-buku tebal dan kertas catatan berserakan di sekitarnya, mencerminkan wajahnya yang frustasi.

“Dr. Stefon selalu saja memberikan tugas yang aneh-aneh!” gerutu Osean, mengusap pelipisnya yang berdenyut. “Masa iya, disuruh mencari ‘sesuatu yang berharga’ dari negara maritim? Apa maksudnya?

Tiba-tiba, seorang pria tinggi dengan rambut pirang dan mata biru duduk di sebelahnya. “Hai, Osean. Tampaknya hari ini berat sekali?” sapanya ramah.

Osean menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar laptop. “Ronald? Ya, begitulah. Dr. Stefon memberiku tugas yang bikin pusing.”

“Tugas apa kali ini?” tanya Ronald, menyesap kopi dari paper cupnya

“Dia menyuruhku pergi ke negara maritim dan membawakan ‘sesuatu yang berharga’. Itu ambigu sekali. Apa dia mau mutiara langka? Atau mungkin sekantong garam laut?” Osean menghela nafas. “Aku bingung.”

Ronald tertawa kecil. “Mungkin garam laut Indonesia? Siapa tau rasanya istimewa.”

“Garam ya tetap garam, rasanya ya asin. Ini bukan hal baru, Ronald. Beberapa bulan lalu, dia menyuruhku mencari benda bersejarah di laut. Aku menyelam ke Selat Solent dan membawakannya kayu kapal Mary Rose. Tapi apa?  Hanya nilai B yang kudapat.” Osean menghela nafas lagi, kekecewaan terpancar jelas di wajahnya.

“Wow, Mary Rose! Itu luar biasa!” Ronald kagum.

“Tapi hanya B! Sekarang apa lagi yang harus aku temukan? Kamu punya saran negara maritim yang menyimpan sesuatu yang berharga?”

“Kenapa tidak ke Indonesia, negara asalmu?” saran Ronald. “Mungkin ada sesuatu yang berharga di sana,” ia tau betul bahwa kedua orang tua Osean berasal dari Indonesia, walaupun mereka tinggal di Inggris.

“Indonesia? Aku tidak yakin. Ku dengar banyak konflik, pendidikannya juga belum maju. Aku takut.”

Ronald menyesap kopinya lagi. “Sesuatu yang tampak buruk, mungkin menyimpan hal yang berharga. Seperti kerang yang menghasilkan mutiara.”

Osean terdiam, merenungkan kata-kata Ronald. Keesokan harinya, Osean sudah dalam pesawat menuju Indonesia. Tujuannya adalah sebuah desa nelayan di Maluku. Setibanya di sana, Osean terkejut. Tidak ada hotel. Dia berdiri di tepi pantai, kebingungan.

“Hallo, Osean. Apa kamu sudah sampai Indonesia?” tanya seseorang di seberang telepon.

“Hallo, Ronald. Aku baru saja sampai,” jawab Osean sambil mengelap keringat di pelipisnya.

“Bagaimana laut di sana?” tanya Ronald.

“Kau tau, laut yang aku liat benar-benar sangat menakjubkan. Pantainya sangat alami dan bersih, pasir putih dan air laut yang tenang membuatku ingin tinggal di sini,” kata Osean.

“Itu bagus. Aku jadi ingin ke sana dan melihatnya. Tapi, aku hanya ingin mengingatkan bahwa perjalananmu ke sana bukan untuk liburan, tapi untuk membawakan Dr. Stefon sekantong garam laut yang istimewa atau sesuatu hal berharga lainnya.”

Ronald benar. Sejauh ini, ia belum tau apa yang akan ia bawa untuk memenuhi tugas dari Dr. Stefon. ‘Sesuatu yang berharga’ itu membuatnya harus berpikir keras. Kali ini, Osean benar-benar  ingin memberikan hasil tugas yang bagus. Tapi, waktunya terbatas. Mungkin, kalau ia tidak menemukan sesuatu hal yang berharga itu, ia akan benar-benar membawakan Dr. Stefon sekantong garam laut saja.

“Kau benar. Aku harus segera menemukannya. Kita bicara lagi nanti, bye!”

“Baiklah. Jaga dirimu baik-baik, Osean. Jangan nekad masuk kedalam laut hanya untuk mencari mutiara. Bawakan saja Dr. Stefon sekantong garam atau seekor bulu babi yang mudah di dapat.” 

Setelah menutup telepon, mata Osean menatap para nelayan yang sedang berlayar mengarungi lautan. Perhatiannya kemudian teralihkan kepada seorang anak kecil yang menenteng ember. Ia hanya memakai celana selutut, kulitnya cokelat kehitaman, badannya kurus, dan rambutnya sedikit keriting. Anak itu mendorong sampannya sendiri menuju laut.

Lalu, anak itu tampak mengangkat benda berbentuk kerucut yang terbuat dari bambu. Itu adalah bubu, alat penangkap ikan tradisional. Namun, bubu itu tidak berisi ikan, melainkan beberapa ekor udang. Udang-udang yang ia dapatkan kemudian dimasukkan ke dalam ember kosong. Lalu, ia menaruh bubu itu ke laut lagi dan berlayar menuju lokasi lainnya. Tampak ia mengangkat bubu lagi. Kali ini, ia mendapatkan lebih banyak udang. Setelah selesai, ia membawa perahunya ke darat dan menambatkannya di tiang supaya tidak hanyut. Osean takjub dengan kegigihan dan kerja keras anak itu. Lalu, ia bergegas berlari kecil menghampirinya.

 “Hai,” sapa Osean.

Anak itu mendongak menatap Osean yang lebih tinggi darinya. “Hai, Kak. Ada apa?” 

“Aku lihat kau menangkap udang sendiri? Kamu tidak takut berlayar di laut? Di mana orang tuamu?” tanya Osean.

“Aku sudah terbiasa melakukannya sendiri. Lagipula, aku hanya menangkap udang di perairan dekat pantai. Kalau orang tua, aku sudah tidak punya orang tua,” jawab anak itu sambil mengambil beberapa udang yang berserakan di sampannya.

Osean terkejut. “Lalu, kamu tinggal bersama siapa?” 

“Aku tinggal bersama bibi. Kakak  sedang liburan di sini, ya?”

“Ah. Tidak. Aku ke sini untuk tugas kuliah. Siapa namamu?” 

“Oh. Kakak mahasiswa. Namaku, Alwy.” Alwy menatap koper yang dibawa Osean. “Ngomong-ngomong, untuk apa kakak membawa koper ke pantai?”

“Namaku Osean. Sebenarnya, aku belum menemukan tempat penginapan.”

“Di sini desa nelayan, Kak. Tidak ada penginapan atau hotel. Tapi, kalau kak Osean mau, ada rumah kosong yang disewakan warga.”

Itu kabar baik. Setidaknya ia bisa menemukan tempat tinggal. Setelah menyetujui saran yang diberikan Alwy, Osean memilih untuk menyewa dan menginap di rumah yang ditunjukkan oleh Alwy.

Setiap hari, Osean rajin pergi ke pantai untuk mencari sesuatu yang berharga yang mungkin bisa digunakan untuk tugasnya. Namun, ia tak kunjung menemukannya. Setiap hari, setelah matahari berada tepat di atas kepala, ia hanya melihat Alwy yang sedang menangkap udang, sesekali mengumpulkan kerang dan kadang membawa seember rumput laut. Anak itu benar-benar rajin dan pekerja keras. Osean sempat mengambil beberapa foto Alwy yang sedang mengumpulkan kerang. Alwy bahkan memberinya beberapa kerang yang sangat cantik.

Empat hari berlalu, Osean menatap laut dengan perasaan gusar. Pagar-pagar laut dari bambu dengan pemberat berupa karung berisi pasir telah terpasang memanjang di sepanjang laut selatan Maluku itu. Para nelayan di sana tidak bisa lagi menangkap ikan. Perahu-perahu mereka tidak bisa berlayar seperti biasanya. Akhirnya, para nelayan sepakat untuk pergi ke kantor kecamatan dan melakukan demonstrasi, memprotes pemasangan pagar-pagar laut yang menghalangi mata pencaharian mereka. Yang mengejutkan Osean adalah Alwy, anak itu ikut berdemo. Padahal ia masih bisa menangkap udang di perairan dangkal, mengumpulkan kerang atau rumput laut seperti biasa. Pagar laut itu tidak menghalangi mata pencaharian Alwy.

Berhari-hari para nelayan itu terus melakukan demonstrasi. Alwy, anak itu masih setia ikut berdemo bersama para nelayan.

 “Alwy tunggu!” panggil Osean ketika Alwy hendak berangkat demonstrasi bersama warga lainnya.

“Kak Osean? Ada apa, Kak?” tanya Alwy. 

“Kenapa kamu harus ikut berdemo? Kamu masih bisa menangkap udang dan mengumpulkan kerang di dangkalan laut,” ujar Osean, hatinya merasa kasihan melihat anak itu.

“Ini bukan tentang aku saja. Aku peduli pada semua warga nelayan di sini. Mereka sudah seperti keluargaku. Mereka menangkap ikan secukupnya dan tidak merusak ekosistem. Mereka merawat laut, mengumpulkan sampah yang dibawa turis-turis agar tidak mencemari lingkungan, dan menanam pohon mangrove untuk menjaga lingkungan pesisir pantai. Tapi sekarang, ada pagar laut ilegal yang merusak terumbu karang dan mangrove, menghalangi para nelayan untuk mencari ikan. Aku tidak terima. Apalagi kalau pagar laut itu untuk kepentingan pribadi saja!”

Osean terdiam, hatinya tersentuh oleh kata-kata Alwy. Dia tidak menyangka anak itu memiliki kepedulian sebesar ini. Air mata menetes di pipinya. “Kenapa kamu begitu peduli dan ingin membantu orang lain?” 

Alwy menunduk. “ Bibiku bilang, kita ini seperti teko. Untuk terus diisi air, air lama harus dikeluarkan. Sama seperti manusia, kebaikan harus terus dialirkan ke orang lain. Supaya kita terus mendapat kebaikan yang baru. Orang yang hanya menyimpan kebaikan untuk diri sendiri seperti teko yang menahan air. Tidak pernah dikelurakan, lama-lama bisa rusak sendiri. Termasuk orang-orang yang memasang pagar laut ilegal ini, mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri. Mereka menahan kebaikan untuk diri mereka sendiri dan tidak memperdulikan orang lain.”

Angin berhembus perlahan. Membawa daun-daun kering terbang ke angkasa. Osean baru saja mendapatkan sesuatu yang berharga. Ia ada dalam diri Alwy serta semua warga di sana yang selalu berbuat baik. Ia kemudian memeluk Alwy. Osean telah menemukan harta karun laut Indonesia.

Perjalanan Osean dipenuhi dengan refleksi. Dia terus memikirkan kata-kata Alwy dan kebaikan hatinya. Beberapa hari setelah para nelayan dan Alwy berhasil membuat pemerintah mencopot pagar laut itu, Osean pulang ke Inggris dan menghadap Dr. Stefon dengan seekor kerang pemberian Alwy.

“Kau pergi jauh ke Indonesia, dan membawakanku seekor kerang?” tanya Dr. Stefon.

“Ya, hanya itu yang ku dapat.”

“Bagaimana jika aku hanya akan memberimu nilai C untuk kerang ini?”

“Nilai C atau A tidak jadi masalah. Yang terpenting, aku mendapat pelajaran berharga yang tak bisa dinilai dengan angka di kertas. Aku mengerti  bahwa nilai sejati bukan hanya tentang angka. Dan sesuatu yang berharga bukanlah benda, tapi kebaikan yang ada dalam hati.”

Dr. Stefon tersenyum. “Akhirnya kamu sudah menemukan sesuatu yang benar-benar berharga.”

-Tamat-

Biodata Penulis:

1735466501313.jpg