View AllProses Kreatif

Dakwah

Redaksi

Postingan Terbaru

Tuesday, March 21, 2023

Proses Kreatif | Isi Kepala Penulis Tidak Melulu Menyoal Jualan Buku

Oleh Encep Abdullah



Dalam sebuah pertemuan para penulis cerita anak dwibahasa di Hotel Puri Kayana Serang, Mbak Anita (panitia dari Kantor Bahasa Prov. Banten) nyeletuk di hadapan saya.


"Di sini yang hadir para penulis. Tapi kenapa nggak ada yang jualan bukunya sih?" 


Pertanyaan ini mendadak bikin saya kaget dan sadar. Loh, iya juga ya. Lalu, saya jawab saja kepadanya bahwa stok buku (pribadi) sedikit. Begitu juga dengan Ade Ubaidil serta kawan lain.


Jujur, saya tidak kepikiran. Harusnya saya cetak lagi beberapa buku untuk kepentingan dagang dalam acara ini. Saya kepikiran selepas Mbak Anita ngomong begitu. Saya bilang kepada Sul Ikhsan, rekan penulis yang terpilih juga dalam acara di hotel itu, "Sul, kenapa kita nggak bawa buku-buku terbitan #Komentar ya? Kita bazarin di depan. Tapi, siapa yang nunggu juga ya." Saya bertanya sendiri dan malah menjawab sendiri.


Sebelum kegiatan ini, saya juga diundang menjadi narasumber di kampus FKIP Untirta Ciwaru. Saya diminta membahas tentang copywriting. Beberapa jam sebelum kegiatan, saya kepikiran bawa banyak buku buat dibazarkan. Tapi, siapa yang jaga bazar? Itu yang saya pikirkan juga.


Saya termasuk orang yang malas menjual buku saat saya diundang menjadi narasumber. Malah saya bagi-bagi buku gratis. Setiap saya jadi narasumber, minimal 5 buku saya siapkan untuk dorpress para peserta atau sebagai hadiah para rekan narasumber lain dalam kegiatan tsb. Bagi saya itu ruang kebahagian tersendiri buat saya. Kadang saya anggap bahwa honor menjadi pembicara adalah hasil saya bagi-bagi buku gratis itu. Jadi, anggap saja saya tidak dibayar sebagai pembicara. Saya tidak perhitungan honor yang diterima dengan harga buku yang saya bagikan.


Harusnya saya meniru para penulis lain, mungkin Tere Liye, Golagong, A. Fuadi, dst. Setiap perjalanan mengisi acara pelatihan atau menjadi narasumber, saya lihat mereka menjadikan tempat itu kesempatan untuk berjualan buku. Bahkan, penerbit mengintili ke mana pun penulis pergi. Oh, iya, dalam acara ini juga ada Mbak Achi TM, penulis kondang novel Insyaallah Sah! Kenapa tidak bawa buku-bukunya dan jualan juga ya?


Untuk kegiatan pelatihan atau menjadi narasumber, rasanya berat sekali saya untuk berjualan buku. Makom saya kenapa tidak sampai ke sana, ya. Saya tidak tahu. 


Sekali dua kali saya pernah bikin bazar buku di sekolah. Memang diniatkan hanya untuk bazar, bukan sebagai narasumber atau mengisi pelatihan menulis. Saya fokus jualan. Dan, alhamdulillah dapat lebih dari cukup. Ternyata, bakat dagang buku itu sudah saya lakukan sejak mahasiswa. Dulu saya gelar lapak buku di kelas. Bolak-balik rumah kampus, nenteng-nenteng buku sekarung di angkot jurusan Pontang-Serang. 


Malu? Tidak ada sedikit pun rasa malu. Buku-buku itu digondol dari Rumah Dunia. Terima kasih Mas Golagong, Abdul Salam, dkk. Alhamdulillah laris manis. Saya dapat 700 rb dari jualan buku itu selama sepekan-dua pekan di kampus. Itu capaian yang luar biasa bagi saya sebagai penjual amatir yang kali pertama berbisnis buku. Hingga kini, saya mendirikan sebuah komunitas dan penerbitan buku. Semua itu adalah proses dan perjalanan. Tidak semena-mena lahir dan jadi.


Kembali kepada pertanyaan Mbak Anita di awal. 


" ... kenapa (para penulis) nggak ada yang jualan bukunya (di lokasi kegiatan kepenulisan)?"


Kalau Anda penulis? Mohon berbagi jawaban.


Kiara, 21 Maret 2022


_________

Penulis


Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku proses kreatif terbarunya berjudul Diet Membaca, Ketiban Inspirasi (Maret 2023). Bisa dipesan via WA penulis, 087771480255.


Monday, March 20, 2023

Pemajuan Kebudayaan Banten melalui Buku Cerita Dwibahasa

 


NGEWIYAK.com, SERANG -- Kepala Kantor Bahasa Provinsi Banten, Asep Juanda, membuka secara resmi kegiatan "Penyusunan Storyboard Buku Cerita Dwibahasa" di Hotel Puri Kayana, Kota Serang, Banten (20/3). Asep menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus atas partisipasi 14 ilustrator dan 42 penulis yang hadir pada acara tersebut. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka mempertemukan para ilustrator dan penulis untuk menyusun storyboard buku cerita dwibahasa yang bertema kebudayaan di Provinsi Banten. 


Imtiazul Urfa Ramadhan, selaku narasumber dalam kegiatan tersebut, menyampaikan kepada peserta kegiatan, khususnya ilustrator, agar memerhatikan kesesuaian ilustrasi dengan target pembaca. Dalam kesempatan tersebut, ia juga berbagi informasi terkait kiat-kiat atau hal-hal yang perlu diperhatikan saat membuat ilustrasi agar hasilnya menarik.


Kegiatan ini merupakan tahapan ketiga dari kegiatan Pelaksanaan Penerjemahan tahun 2023. Tahap pertama adalah koordinasi antarinstansi ke delapan kabupaten/kota di Provinsi Banten yang telah dilaksanakan pada 14 Februari s.d. 10 Maret 2023. Tahap kedua adalah seleksi ilustrator dan penulis yang dilakukan sejak Januari s.d. Maret 2023.



Pada acara tersebut diawali dengan pembukaan dan pembacaan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara para ilustrator, penulis, dan Kantor Bahasa Provinsi Banten. Dilanjutkan dengan penandatanganan PKS dan surat pernyataan keaslian karya dari para penulis cerita. 


Penyusunan storyboard dilakukan selama kurang lebih empat jam dalam suasana diskusi yang hangat antar ilustrator dan penulis. Acara ditutup pada pukul 16.00 WIB.


Menurut Anitawati Bachtiar, selaku panitia, selama tiga pekan ke depan akan dilakukan pemantauan terhadap perkembangan pembuatan storyboard lanjutan melalui rapat virtual antara ilustrator, penulis dan tim Kantor Bahasa Provinsi Banten. 


"Kami berharap 42 buku cerita dwibahasa bertema kebudayaan Banten dapat diluncurkan pada Puncak Bulan Bahasa dan Sastra bulan Oktober 2023 mendatang," pungkas Anitawati pada penutupan acara tersebut.



(Redaksi/Encep)


Sunday, March 19, 2023

Open PO Buku "Pemilu Kasih Sayang" Karya Ali Faisal

 



Assalamualaikum wr. wb.


Halo, sahabat semua!

Penerbit #Komentar Open PO buku 


Judul: Pemilu Kasih Sayang

Penulis: Ali Faisal

Penerbit: #Komentar

Terbit: 2023

Tebal: 258 hlm.

Ukuran: 14 x 20


Kata Mereka


Pemilu Kasih Sayang mengajak kita semua agar memandang lebih arif dan bijaksana setiap digelarnya proses elektoral, baik pemilu ataupun pilkada dengan kacamata kemanusiaan. Kita dapat memperjuangkan semua maksud dan kepentingan melalui berbagai cara, peran, dan fungsi untuk mencapai tujuan, tetapi tetap harus selalu berpijak pada aturan hukum, etika, dan nilai kemanusiaan.

(Rahmat Bagja, S.H. L.L.M., Ketua Bawaslu RI)


Membangun Banten harus bersandar pada dua hal penting, yaitu pembangunan fisik yang berupa aneka infrastruktur dan pembangunan nonfisik yang meliputi nilai, moralitas, akhlak, dan keadaban sebagai basis dari cara pandang dan cara kerja untuk mencapai visi, misi, dan tujuan. Upaya Saudara Ali Faisal menulis buku dengan substansi pemilu yang berkaitan erat dengan dimensi sosial dan kemanusiaan perlu mendapatkan apresiasi. Semoga dapat menjadi salah satu referensi yang bermanfaat.

(Dr. Al Muktabar, M.Sc., Pj. Gubernur Banten)


Sebagian buku ini menghentak kesadaran kita bahwa tanggung jawab sukses pemilu adalah tanggung jawab bersama, termasuk masyarakat sebagai pemilih, terlebih partai politik sebagai piranti penting dalam pemilu.

(Andra Soni, Ketua DPRD Provinsi Banten)


Buku ini menggambarkan potret pemilu di Indonesia yang sebenarnya, yaitu pemilu yang berjalan dengan penuh kasih sayang, terlaksana bersama masyarakat yang demokratis dan humanis.

(Irjen Pol. Dr. Hilman, S. I.K., S.H., M.H., Kabinda Banten)


Kumpulan tulisan dalam buku ini bisa menjadi referensi yang mencerahkan bagi pembaca. Juga salah satu perspektif cita-cita mulia dalam upaya secara bersama-sama membangun demokrasi yang semakin berkualitas dari waktu ke waktu untuk kemajuan bangsa Indonesia tercinta.

(Prof. Dr. Ir. H. Fatah Sulaiman, S.T., M.T., Rektor Untirta)


Yuk, dipesan! Tunggu apa lagi. Mumpung harga promo, nih!


___________

Pemesanan:

https://wa.me/6287771480255 (Penerbit)


Friday, March 17, 2023

Puisi-Puisi Hendri

Puisi Hendri




Ketika Masa Beresonansi


Dua puluh tahun yang lalu

Bocah kecil bertubuh mungil

Hidup menyatu dengan lumpur

Tubuhnya sawah, ladang-ladang

Hijau dan hamparan ilalang


Dua puluh tahun sudah berlalu

Sekarang, bocah kecil bertubuh mungil

Sudah dewasa. Sudah makan uang

Pajak. Menyatu dengan pejabat

Tapi tetap merakyat


Dua puluh tahun yang akan datang

Bocah kecil bertubuh mungil

Kira-kira akan jadi apa ya?

Mungkin jadi penyair. Mungkin juga

Akan kembali menjadi sawah

Menyatu dengan tanah. Ditanami

Dan diziarahi


Kota Serang,  Maret 2023



Cinta di Ujung Cahaya


Bintang, aku ingin pinjam

cahayamu malam ini


Esok aku akan berjumpa

dengannya


Supaya kutemukan

namaku

di dinding gelap hatinya


Bintang, terima kasih ya!

kukembalikan nanti cahayamu

berdua bersamanya


Bila aku tak kembali

tandanya cahayamu mati

bersama cintaku ini


Kota Serang, Maret 2023



Aku Butuh Susu, Bukan Kopi


Pagi-pagi sekali

Secangkir kopi meratapi sepi

Aku tinggalkan manisnya

Di lantai keramik

Setelah semalaman

Angin bertarung dengan hujan

Memperebutkan siapa yang layak

Singgah dilekatnya dedak


Sedangkan seorang perempuan

Muda. Pakaiannya terbuka

Datang memamerkan dada dan paha

"Om sudah ngopi malam ini?

Kasian rokokmu butuh teman ngobrol."

"Aku butuh susu, bukan kopi," kataku

"Sialan!" sambil meletakan secangkir kopi


Kemudian wanita itu pergi bersama hujan

Meninggalkan kopi. Bukan susu yang

Bergelayut di balik mega-mega

Khatulistiwa. Sumber mata air kehidupan


Dan kopi yang disajikan

Tetaplah sunyi. Tak dijamah

Atau dicumbui oleh penikmat sepi

Karena yang kubutuhkan susu

Bukan kopi


Kota Serang, Maret 2023



Belajar di Dalam Mimpi


Ibu guru datang terlambat

ke sekolah

kecantikannya tertinggal

di atas ranjang

mungkin semalaman

habis berperang. Dar der dor

bersama nuklir dan lendir


Kelas sudah rusuh

buku-buku pelajaran protes

turun ke jalan untuk berdemonstrasi

menuntut hak literasi bukan hak asasi


Ibu guru langsung ke kelas

meredam huru-hara

khawatir ada korban jiwa

akibat aksi masa yang didalangi oleh

tumpukan buku dan siswa-siswi

yang lapar akan ilmu


Kemudian kelas sepi

di papan tulis ada instruksi : 

kerjakan halaman 10 dan dikumpulkan

sekarang juga


Setelah itu, Ibu guru duduk dan 

melanjutkan ngorok


"Stttttttttt. Jangan berisik. Guru

kita masih ngantuk karena lelah 

semalaman. Mungkin

habis berperang. Atau mungkin

banyak pelatihan," kata salah satu

siswa


"Kalau begitu, mari kita lanjutkan 

demonstrasi di dalam mimpinya," 

timpal siswa yang lain


"Ssssssttttt. Jangan berisik."


"Lihat! Tidurnya ngiler. Di sana ada

masa depan kita. Sangat indah," siswa

yang paling cerdas mengintipnya.


Kelas pun sunyi

Mereka semua belajar dalam mimpi


Kota Serang, Maret 2023



Penyair Tua


Seorang pria berpakaian senja

Sedang asyik memetik kata

Bersama cerutu

Dan topi pet yang sudah renta


Ia duduk di pinggir sungai

Pandangannya jauh

Dengan latar pegunungan

Hijau dan terbuka


Ada buku kecil di tangannya

Pena yang ujungnya terluka

Siap menuliskan tentang wanita

Yang kecantikannya terselip

Di setiap halaman

Dan catatan-catatan cinta


Seorang pria berpakaian senja

Kemudian pulang memanggul bahasa

Sebuah buku dilahirkannya

Dari benih senja yang ia perkosa


Kota Serang, Maret 2023



Kutitipkan pada Hujan


Aku titipkan cintaku

Pada derasnya hujan

Setelah lama rindu ini

Terpaku menjadi batu

Sepi. Tanpa derasnya

Sungai-sungai kesejukan


Kepada ibuku

Duduklah dengan manis

Langit akan menjatuhkan

Butiran kata-kata

Tajam dan dingin

Kemudian kau maknai

Sebagai isi perasaan


Istirahatlah di atas ranjang

Bila kedatanganku belum juga

Memanggul senyuman

Yang diantarkan gerimis dan

Pekikan halilintar


Lewat hujan

Aku akan menyeret bianglala

Ke pakuanmu. Supaya rindu ini

Terbayarkan

Dan hujan akan kembali pulang

Untuk merajut kerinduan


Kota Serang, Maret 2023


_______

Penulis


Hendri, guru Bahasa Indonesia di SMPN 6 Kota Serang. Alumnus FKIP Diksatrasia (kini PBI) Untirta tahun 2005.


Kirim karya ke

redaksingewiyak@gmail.com


Jurusan PBI FKIP Untirta Undang Alumni dalam Pelatihan Kewirausahaan bagi Mahasiswa

 


 NGEWIYAK.com, SERANG -- Ruang Aula Gedung A Lantai 3 FKIP Untirta Ciwaru, Kota Serang, pada Jumat (17/3) dipenuhi mahasiswa semester II Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia (PBI). Para mahasiswa hadir memenuhi undangan "Pelatihan Kewirausahaan Copywriting dalam Bisnis bagi Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Untirta" sebagai penguat mata kuliah Kewirausahaan yang diampu oleh Ibu Dosen Mulya Tiara Fauziah, M.Pd. atau akrab dipanggil Ibu Putri.


Menurut Putri, kegiatan ini sengaja diagendakan agar mahasiswa bisa mengambil ilmu dari para praktisi kewirausahaan langsung. 


"Para mahasiswa harus tahu bahwa banyak alumni yang sukses di bidang wirausaha. Mereka harus mengambil ilmu dari mereka," ujarnya.


Senada dengan Putri, Ketua Jurusan PBI FKIP Untirta, Farid Ibnu Wahid, M.Pd. mengatakan dalam sambutannya bahwa menjadi mahasiswa PBI tidak mutlak harus menjadi guru. 


"Bisa juga jadi penulis, pengusaha, seperti kakak-kakak kelas kalian. Biar sukses seperti mereka maka jangan jadi mahasiswa kupu-kupu, kuliah pulang-kuliah pulang. Tapi harus kreatif sejak mahasiswa," ujar Farid.


Kegiatan ini dibuka langsung oleh Dekan FKIP Untirta, Dr. Dase Erwin Juansah, M.Pd. Ia sangat bangga diundang untuk membuka acara ini. 


"Saya senang berada di sini. Saya seperti kembali menjadi dosen PBI, sebelum kini saya sibuk menjadi dekan. Waktu saya terbatas untuk mengajar di Jurusan PBI," ujarnya.


Dosen yang dulu mengampu mata kuliah Pragmatik itu juga mengatakan bahwa semua pembicara dalam kegiatan ini adalah mahasiswanya dulu.


"Saya tahu persis mereka. Mereka ini sangat aktif di organisasi kampus. Mereka berproses sejak mahasiswa. Tirulah mereka," ujarnya lagi di hadapan mahasiswa.


Pembicara dalam pelatihan kewirausahaan ini adalah Arif Rahman Muliawan (Owner Kedai Desain), Arif Sodaqoh (Prosus Intens), dan Encep Abdullah (Penerbit #Komentar). Dalam pelatihan ini para pembicara menyampaikan banyak hal, terkait pengalaman dan suka-duka berwirausaha, serta memberikan tips bagaimana agar pelanggan tertarik dengan produk yang ditawarkan.



Arif Rahman Muliawan, Owner Kedai Desain, mengatakan bahwa ia mulai merintis usaha sejak menjadi mahasiwa semester II. Walaupun ia tidak menjadi guru, ilmu mendesainnya didapatkan dari kreaktifnya berorganisasi di kampus, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Diksatrasia (kini PBI).


"Saya masuk himpunan mahasiswa dan di situ saya belajar mendesain spanduk dll. Sampai akhirnya saya buat bisnis sampai sekarang ini. Bisnis saya fokus di bidang percetakan seperti pembuatan undangan, pin, baju, souvenir, buku Yasin," ujar lelaki asal Cilegon itu.


Lain halnya dengan Arif Sodaqoh atau akrab dipanggil Ambon, alumnus yang dulu bergiat di Teater Kafe Ide. Selain sebagai pengajar di bimbel Prosus Intens, ia juga sebagai pengelola yang memanajeman bimbel tersebut. Ambon mengatakan bahwa untuk berwirausaha harus pandai memanajemen organisasi.


"Kuncinya, jadikan rekan kerja itu sebagai keluarga. Itu yang paling utama. Selebihnya akan mudah dalam mengatur kewirausahaan," ujar Ambon.


Encep Abdullah, selaku pembicara terakhir, menguatkan bahwa promosi produk harus punya strategi khusus, terutama dalam segi bahasa.


"Penggunaan bahasa iklan sangat berpengaruh terhadap produk yang ditawarkan. Kemasannya harus unik. Kalau dalam dunia penulis dan perbukuan, judul dan kover buku harus unik. Selain itu, gunakan bahasa persuasif. Dikuatkan dengan gambar atau video yang menarik. Juga endors orang-orang yang berpengaruh. Kita tidak bisa menjual produk hanya dengan gambar. Penguatnya adalah kata-kata. Nah, itu yang harus diperhatikan dalam berwirausaha," jelas Ketua Komunitas Menulis Pontang-Tirtayasa (#Komentar) yang sudah sudah malang-melintang dalam dunia kepenulisan dan perbukuan.



Para peserta selain mendapatkan banyak ilmu, juga merasa terhibur dengan acara ini. Para pembicara menyajikan materi dengan penuh canda-tawa sehingga tidak membuat para mahasiswa mengantuk dan jenuh.


Selain 100 mahasiswa yang hadir, acara yang dimulai pukul 08.00 hingga menjelang Jumatan itu, juga dihadiri para dosen, salah satu yang hadir dan tampil lebih awal mendampingi para mahasiswa adalah Ibu Dosen Ilmi Solihat, M.Pd.


"Selamat datang Bapak-Bapak, silakan duduk," ujarnya kepada narasumber.


(Redaksi)

Tuesday, March 14, 2023

Proses Kreatif | Menulis Cerita Anak

 Oleh Encep Abdullah



Saya sebetulnya tidak suka baca buku cerita anak. Saat saya melihat penulis idola saya, Niduparas Erlang, baca buku fantasi Neil Gaiman berjudul Untunglah, Susunya, saya kok tertarik beli. Nidu membacakan cerita itu kepada anaknya. Namanya penulis idola, apa yang dia kerjakan, pasti saya ikuti. Lalu, dapatlah saya buku itu, saya baca sampai selesai. Wah, anjir, keren sekali ceritanya. Jujur, baru kali ini saya baca buku cerita (novel) anak sampai habis. Biasanya hanya potongan kisah yang ada dalam buku pelajaran anak sekolah.


Setelah saya menikah dan punya anak, saya kepikiran membelikan anak saya buku. Padahal usianya masih dibilang bayi. Saya baru tahu kalau buku anak-anak (bayi, balita) bisa setebal itu. Maklum, zaman remaja saya gaulnya hanya dengan buku-buku dewasa. Sebelumnya saya pernah lihat, pegang, dan baca buku cerita anak milik Aisyah waktu saya masih betah di kampus. Dan, itu cikal bakal saya sampai saat ini.


Maksud saya, cikal bakal itu terjadi saat saya punya anak pertama. Saya beranikan beli beberapa buku di Bazar Buku Terbesar di AEON BSD. Belinya sih tidak banyak, paling cuma 20 biji. Setelah itu jarang beli lagi. Kalau bukan bazar, saya agak sumeh beli, karena buku anak itu muahaaal. Haha. Ya wajar, bukunya tuebel.


Sore tadi saya bercanda sama istri sambil gladi ngabuburit puasa naik motor. Saya bertanya kepada dia,


"Tahu nggak kenapa buku anak itu tebal?" 


"Kenapa?" 


"Biar kalau ibunya lagi kesel, bukunya nggak mudah rusak kalau digigitin ibunya."


"Kok, ibunya?"


"Lah, anak bayi mana bisa baca. Dia (buku) dibikin buat emaknya, bukan cuma anaknya. Emaknya yang baca. Bukan bayinya yang bacain buat emaknya," ujar saya.


Istri saya tertawa.


Kebanyakan, kita menganggap bahwa membeli buku anak berarti hanya untuk anak. Padahal bukan. Itu buku buat dibaca emak-bapaknya. Makanya tebal. Jadi, kalau kesel sama anak, buku tidak mudah disobek. Dibanting juga tidak mudah rusak. Atau bisa multifungsi buat nimpuk kambing yang masuk pekarangan rumah Anda. Haha.


Intinya saja ya. Setelah saya membacakan anak saya buku, hampir setiap malam, saya jadi tahu tahapan bikin cerita anak, ya walau tidak tahu-tahu amat. Gampang kayaknya. Tapi, susah juga kayaknya. 


Suatu hari, tepat sekali ada info lomba menulis cerita anak saat itu, kalau tidak salah tahun 2019. Saya iseng daftar. Saya mencari rekan untuk membuat ilustrasi gambarnya karena wajib bergambar. Saya kontek salah satu teman saya, Pak Muhalisofi kalau tidak salah. Dia mau. Dengan kesepakatan bagi 2 hadiahnya kalau menang. Hadiahnya 7 juta. 


Saya sih mikirnya begini, menulis cerita anak usia pra-membaca, itu pendek sekali. Satu halaman kalau tidak salah maksimal 3 kata. Kalau tidak salah juga ditulis kisaran 12--14 hlm. Saya bikin cerita itu hanya 5 menit. Ya, wong sudah terlatih membacakan cerita buat anak saya walaupun ya bukunya itu-itu saja, bahkan saya hafal di luar kepala. 


Menulis ceritanya cepat, ilustrasinya berminggu-minggu. Dan, tak disangka saat pengumuman, saya masuk sebagai pemenang I. Wah, saya bangga dong walau juga merasa aneh. 


"Seorang Encep menang lomba cerita anak? Kok, bisa ya?"


Saya menggerutu sendiri. Tapi, ya, begitu. Lama-lama saya sadar juga. Oh, iya saya menang. Saya dapat uang. Haha. Dibagi 2. Kadang ada rasa tidak adil dalam diri ini. Saya menulis sebentar, sedangkan teman saya bikin ilustrasi butuh banyak waktu, gorengan, dan kopi. Tapi, ini sebuah kesepakatan. Keputusan harus ditegakkan. Saya tetap bagi hasil setengah-setengah dari total hadiah itu.


Empat tahun berlalu. Kantor Bahasa Banten mengadakan lomba serupa, menulis cerita anak. Bedanya kali ini temanya mengangkat kebudayaan yang ada di Banten dan ditulis menggunakan dwibahasa (Indo-Sunda/Indo-Jaseng). 


Wah, saya berpikir, siapa yang menulis cerita anak macam itu di Banten. Pasti jumlahnya tidak banyak. Naskah yang dicari yaitu 42 biji. Masa iya, saya tidak masuk dari jumlah sebanyak itu. Namun, saya selalu bertanya, siapa 42 orang di Banten yang mau menulis dwibahasa. Lomba menulis satu bahasa saja sedikit yang berminat. Ini dwibahasa. Cerita anak pula. Karena bagi saya, menulis cerita anak buat mereka yang tidak terbiasa membaca buku cerita anak, akan sangat rumit mengikuti kaidah, keberterimaan, dan tetek bengek lainnya menyoal anak-anak.


Saya saja yang rajin menulis, rajin membaca, masih gakgok menulis. Lalu, bagaimana dengan mereka yang langsung begitu saja menulis cerita anak? Dikira gampang. Setelah saya baca naskah teman-teman di komunitas, saya paksa biar mereka ikut lomba ini dan masih banyak juga kesalahan teknis. Mereka menulis layaknya pembacanya adalah orang yang sudah jenggotan. Kalimatnya panjang-panjang. Sudah jelas dalam lomba ini aturannya diperuntukkan buat anak usia B2 (7-9 tahun). Tapi, bahasa mereka tingkat tinggi. Tokohnya memakai bahasa yang negatif. Judulnya terlalu nyastra. Isinya perdebatan yang tak lazim. Sebagian dari mereka merevisi, sebagian lagi cuek. Sesuai prediksi saya, siapa saja nama yang bakal masuk, ternyata benar. Nama Sul Ikhsan masuk, sesuai dengan analisis saya. 


Saya bukan dukun apalagi juri. Tapi, saya pembaca. Saya punya anak. Saya tahu anak usia 7-9 tahun itu bagaimana. Saya tahu ukuran keterbacaan naskah itu sebagus apa, walaupun bagus belum tentu menang ya. Tapi, naskah Sul Ikhsan layak. Benar-benar dia revisi total setelah saya kasih saran. Dan benar. Saya bilang di grup WA: "Jangan sepelekan arahan dari seorang guru!" 


Mereka manut. Lalu, siapa guru saya? Tentu saja guru saya adalah pengetahuan dan pengalaman saya membaca buku-buku anak, persinggungan dengan anak-anak, dan bikin anak. Haha.


Selain Sul Ikhsan, puji syukur saya juga masuk. Betapa malu saya kalau saya yang memberi arahan kepada Sul Ikhsan, lalu dia masuk, sedangkan saya tidak. Tuhan Maha Baik. Tuhan Maha Adil. Plis, kepada Anda jangan sepelekan keberadaan guru menulis Anda. Kalau tidak punya guru, plis jangan sepelekan bacaan Anda, pengalaman hidup Anda, dan pergulatan yang terjadi dalam pikiran dan jiwa Anda. Barangkali, itu cikal bakal kemudahan jalan menulismu di masa mendatang.


Tidak ada sesuatu yang datang tiba-tiba tanpa proses. Setiap akibat pasti ada sebab. Bila sebab ada, akibat tidak sesuai yang diharapkan, itu sudah bukan ranahmu, itu ranah Tuhan. Tugasmu hanya bersabar dan menerima segala ketentuan-Nya.


Masyaallah. Kenapa saya jadi kiai begini.


Teruslah menulis. Jangan menganggap menulis sebagai pekerjaan yang sia-sia. Kelak, bisa jadi ia sebagai wasilah jalan keberuntunganmu di dunia dan wasilah jalan keselamatanmu di akhirat. 


Tabik.  


Kiara, 14 Maret 2022


_________


Penulis


Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku proses kreatif terbarunya berjudul Diet Membaca, Ketiban Inspirasi (Maret 2023). Bisa dipesan via WA penulis, 087771480255.


Saturday, March 11, 2023

Puisi-Puisi Muhammad Dzunnurain

Puisi Muhammad Dzunnurain




Renungan Puan di Ruang Kesunyian


Dalam sekejap waktu

Kuukir tubuhku

Keadaan kian sedang ambigu

Nestapa loka dalam aksara

Memikirkan kehidupan yang dulu


Puan, jangan menjauh

Di tubuhmu detak jantung waktumu masih berdetak

Terasa dalam benakku yang berorientasi di cakrawala

Dalam ruang kesunyian


Puan, aku menunggu lagu sajakmu

Kemarin yang kamu susun

Di istana waktu

Bersama para penyair yang sedang menunggu-nunggu


Puan, terima kasih

Seiring waktu kamu selalu membimbingku

Untuk tidak selalu berkonotasi buruk

Tuan sekarang yakin bahwa penantian membutuhkan waktu

Karena waktu itu fana

Aku harus merangkai setangkai bunga untuk diabadikan di kemudian hari



Menikmati Kopi di Saat Lampu Mati


Manis;

Seperti janjimu yang tidak terkunjung terkikis

Walau hujan deras

Menghabiskan tangisan

Dari hulu hingga hilir

Pahit;

Ucapmu ketika orang mengganggumu

Dari sudut serinu pulau

Tenggelam bersama matahari

Terbit bersama purnama diiringi alunan seruling bintang kejora

Panas dan dingin;

Ketika sirnamu kehabisan energi

Melihat cahaya dari belakang pintu

Membawa seuntaian mutiara

Menghias tiara berdua



_______

Penulis


Muhammad Dzunnurain, kelahiran Kota Keris Sumenep, 30 Juni 2003. Mahasiswa biasa saja menghabiskan waktu dengan membaca. Salah satu karya puisi, opini dan esai pernah dimuat di media online dan cetak, di antaranya Majalah Sidogiri Edisi 179, Warta Ubaya Edisi 335, antologi puisi Patah (2022), Negeri Kertas (2022), Nolesa (2022), Rumah Baca Tv (2022), Rumah Literasi Sumenep (2022), Kompasiana (2022), Koran Harian Bhirawa (2022), Tiras Time (2022), Idestra (2023), Riau Sastra (2023). Bisa menghubungi langsung lewat surel muhammaddzunnurain63@gmail.com.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Friday, March 10, 2023

Cerpen A. Djoyo Mulyono | Balada Babi Jadi-jadian

Cerpen A. Djoyo Mulyono



Sudah berlalu satu bulan, keributan dengan adanya rumor Babi Jadi-jadian itu terjadi di Desa Nyupang. Desa yang masih kurang dari sentuhan infrastruktur negara dan pendidikan agama itu, menjadi ladang klenik yang merajalela ketika masalah alam dan perekonomian melanda jiwa-jiwa yang lemah. Maka tak heran, jika musim paceklik tiba, kejahatan serta tipu dayalah yang mewarnai penduduk layaknya kabut serta pohon belukar yang masih banyak dijumpai di desa tersebut.


Selain banyak warga yang merasa kehilangan lembaran uangnya, keberadaan Babi Jadi-jadian itu sangat meresahkan hingga membuat warga menjadi tidak aman. Orang-orang warga Desa Nyupang sudah banyak yang memahi, kalau perbuatan tersebut sebenarnya adalah ulah warga desanya sendiri yang ingin hidup berkecukupan dengan cara instan. Maka beberapa warga yang kesal, bersedia untuk mengusut tuntas siapa pelaku sebenarnya.


***


Sore itu, sore yang wingit, bagi Basir, hidup dan mati akhir-akhir ini seperti tidak ada bedanya, justru sepertinya mati telah menjadi angan yang sangat diimpikan lantaran tampak tenang terbebas dari masalah. Semua ini berawal dari Suti, istrinya yang bermulut seperti kaleng rombeng itu mengoceh setelah melihat tetangganya yang baru membeli kalung emas. Tapi ia sadar betul apa yang kemudian disarankan oleh istrinya tempo hari itu adalah jalan yang sangat dibenci oleh Tuhan. Hal itu ia sadari setelah mendengarkan pengajian Kiai Saduli, kiai pendatang yang konon telah kondang empat kecamatan di daerah asalnya.


Hidup di tengah kampung yang di mana lebih banyak orang mengadili orang lain dengan cara sendiri bukanlah hal mudah untuk dijalani, terlebih lagi Basir hanyalah pekerja serabutan yang pemasukannya datang untung-untungan. Jika musim panen tiba, Basir akan ikut orang untuk menjadi buruh tani, lepas menjadi buruh tani menjadi buruh bangunan, lepas menjadi buruh bangunan menganggur, lepas menganggur, menganggur lagi, dan selamanya menghidupi anak istrinya dengan cara seperti itu.


Di tengah pemasukan yang sempit, Basir malah dibebani pikiran oleh Suti yang merengek kepanasan ketika melihat tetangganya satu-per satu mendapatkan kesenangan yang beragam. Ada yang baru membeli kalung emas, barang perabot baru, atau motor baru. Jika sudah seperti itu, setiap pagi Basir menyaksikan istrinya mengoceh menuntut nasib yang sama seperti yang dialami tetangganya.


Pada mulanya, keinginan Suti untuk menjadi kaya dan mengajak Basir tidaklah terlalu menggebu-gebu seperti sekarang, namun setelah anak keduanya lahir, kehidupan rumah tangga yang dilaluinya bersama Basir mulai mengalami masa sulit –lebih tepatnya sulit dibuat sendiri. Lalu, barangkali karena itulah Suti sering menekan Basir, untuk hidup papak, setara dengan kehidupan tetangga lainnya yang sejahtera.


***


Besoknya, menjelang tengah malam dengan isi kepala yang sama –pusing, entah sedang ditemani setan macam apa, Basir membenarkan ajakan istrinya. Ia telah memikirkan segala macam kemungkinan yang akan terjadi ketika melakukan cara hina itu, paling yang terjadi mula-mula hanya memanen tuduhan yang sifatnya sulit diungkap jika main rapi. Basir juga telah menimbang baik buruknya dan kemungkinan apa yang paling terburuk ketika ia benar melakoninya. Antara mati sebelum bertobat atau kaya dulu lalu bertobat.


Di bawah langit yang tak begitu mendung, di depan rumahnya, dengan keretek yang masih menyantol di mulut, Basir mengingat banyak peristiwa di masa lalu mengenai riwayat orang-orang yang telah melakukan hal serupa. Mang Suten, ia tidak akan kaya jika dulu tidak melakukannya. Kemudian dua tahun setelah itu, terdengar kabar jika Mang Suten meninggal terkena sengatan listrik bertegangan tinggi. Basir merinding mengingatnya, namun segera ia tepiskan dan menganggap bahwa Mang Suten sendirilah yang tidak berhati-hati dalam bekerja sebagai buruh bangunan di rumah baru.


Setelah mengembuskan asap kereteknya ke udara, Basir kemudian bergeser dengan mengingat Kaji Gofur, orang terkaya yang pernah ada di Desa Nyupang. Basir juga kelak mengetahui Kaji Gofur seperti Mang Suten setelah Kaji Gofur mengidap penyakit stroke, bahwa Kaji Gofur juga menjadi kaya hidup berkecukupan karena telah melakoninya juga, dan konon puluhan dukun di Desa Nyupang mengatakan bahwa penyakitnya itu adalah keberuntungannya karena tidak sampai mati seperti yang sudah-sudah. Basir tiba-tiba lebih mantap untuk terjun melakoni apa yang dulu juga Kaji Gofur lakukan, ia meyakini jika tidak seperti itu mungkin Kaji Gofur tidak akan menjadi orang kaya selama hidupnya.


Pertimbangan panjang itu ia tanggung sendiri di malam yang dingin, serta mulai menyiapkan perkakas yang dibutuhkan sebagai syaratnya, seperti kedupan, nampan kecil, dan beberapa perkakas praktik yang dulu ia miliki. Pada dasarnya orang tua Basir adalah orang yang memiliki elmu yang mampu mendatangkan kebaikan, namun anak cucu keturunannyalah yang sekarang menyalahgunakan pengetahuan tersebut untuk hal yang tidak baik dengan dalih perkembangan zaman yang selalu membuat orang terpepet dengan keadaan ekonomi.


Menurut Basir, hal ini juga ia lakukan atas rasa tanggung jawabnya sebagai suami untuk memenuhi hak anak istri, yaitu menyejahterkannya dengan mencukupi segala kebutuhan sehari-hari, seperti sandang, pangan, dan papan. Dengan lebih mantap lagi, juga mendandani dirinya untuk kemudian menjejakkan kaki memanggil jin yang dikehendaki, Basir mulai mencari target pertama malam ini. 


Setelah semua syarat itu telah terpenuhi, serta mantra yang masih teringat betul di dalam kepalanya dirapal, Basir menundukkan diri dengan jubah hitam yang ia miliki dahulu sebagai barang koleksinya. Lantas, tak sampai tiga tarikan napas, Basir mulai menguik perlahan memecah heningnya malam penanggungan itu.

 

Akan tetapi, tidak sampai fajar menampakkan wujudnya, Basir telah kembali ke kamar dengan dada yang berdegup kencang. Menjadi Babi Jadi-jadian di musim paceklik memanglah bukan keputusan yang tepat, karena di mana-mana baik orang kaya maupun orang susah sedang meningkatkan waspada menjaga hartanya.


Untunglah, Basir tidak tertangkap. Jika tertangkap, selain Basir akan mati dirajam massa, tapi juga identitasnya akan terungkap bahwa dirinya melakukan cara yang paling rendah di antara tipu daya yang pernah dilakukan di desanya.


“Bila saja aku tahu kamu telah mengiyakan saranku, biar aku bantu menjaganya di rumah, Mas,” ujar Suti sedikit kesal.


“Aku berencana hanya untuk sekali dan memberikannya untukmu sebagai kejutan.”


“Kenapa hanya sekali, bukankah itu suatu keputusan yang tanggung?” katanya dengan sedikit menaikkan suaranya. “Lihatlah, dengan hasil yang ragu-ragu kita hanya mendapatkan sedikit uang!”


“Sudahlah, Suti, segitu kiranya cukup untuk menambal mulut tetanggamu itu!”


“Aku tidak mau tahu, nanti malam kau harus berdandan kembali!”


Belum saja ketakutannya pergi dari dadanya, Basir telah mendapatkan tekanan kembali dari Suti karena sudah kepalang diketahui. Dari banyak riwayat, menjadi hewan jadi-jadian, apa pun itu wujudnya, jika selama perjalanan masih memiliki rasa berdosa –ragu, pastilah akan celaka, jika tidak mati di jalan, sudah dipastikan pulang dengan badan yang memar-memar.


Keraguan yang dialami Basir sangatlah besar sampai rasa itu menjadi takut yang berlebihan. Jika bukan demi memenuhi napsu serakah istrinya, mungkin dipaksa dengan alat berat pun Basir tidak akan mau melakoni hal tercela itu. Sebagai mantan dukun muda yang lumayan berbakat, Basir tahu betul risiko apa yang harus ditanggungnya nanti, tidak hanya dirinya yang dipertaruhkan, tapi anak istrinya juga dipertaruhkan jika sedikit saja salah perhitungan. 


Selain itu, Basir juga sebenarnya secara nasab, telah terdidik agama meskipun tidaklah terlalu mendalam ilmunya. Bapaknya, yang merupakan terlahir dari kalangan keluarga paranormal terpandang, telah bijaksana dalam setiap mengamalkan elmunya untuk menjadi banyak disegani oleh orang lantaran kebaikan-kebaikannya selalu membantu masyarakat terkena teluh dan dendam yang tidak terlihat. Dengan begitu, Basir banyak menerima nasihat-nasihat baik, kalau orang yang bapaknya sembuhkan adalah orang yang telah mempersekutukan Tuhannya dan berani berurusan dengan bangsa kin.


Melalui kejadian itu semua, Basir juga dinasihati oleh bapaknya, bahwa bapaknya menjadi dukun semata untuk amal. Di saat orang lain menggunakannya untuk menyakiti, namun Bapaknya menggunakan elmunya untuk turut bantu mengobati. 


“Kita tidak pernah tahu, Ngger, amal manakah yang diterima oleh Alloh,” katanya sambil mengembuskan asap kereteknya ke udara. “Oleh karena itu, teruslah berbuat baik!”


Basir ingat betul perkataan yang satu itu. Bahkan sampai di napas terakhirnya pun, Bapaknya masih mengingatkan Basir dengan nasihat yang sama.


Apa yang dilakoninya telah jauh menghianati dari nasihat bapaknya untuk hidup tetap di jalan yang benar. Sekarang, boro-boro hidup dengan tetap di jalan yang benar, berbuat baik pun, setelah ia menikah dengan Suti, kehidupannya jauh dari kata baik, segala apa yang didapatkan rasanya tidak pernah puas di mata sang istri, hal itulah yang kemudian membebani Basir hingga saat ini.    


***


Malam-malam berikutnya, Basir dan Suti telah bersama menyiapkan beberapa perkakas untuk memulainya kembali. Segala yang sebelumnya dipikirkan seperti menguap setelah istrinya kembali merajuk dengan dalih anak bungsunya membutuhkan susu, hatinya seperti teriris-iris jika sebagai suami Basir tidak dapat membelikan hanya barang susu formula.


Tepat tengah malam, seperti biasa, sebagian warga Desa Nyupang telah tertidur dari segala kecurigaan Basir yang mulai menuai tuduhan menjadi Babi Jadi-jadian. Basir juga masih menunda pertanyaan, mengapa rapalan yang diwariskan oleh bapaknya sebagai dukun bijaksana itu malah berwujud hewan kotor dan berisik semacam babi. Tapi apalah sebuah wujud, yang terpenting aksinya malam ini mulus tanpa hambatan.


“Guik! Guik!” 


Suara itu sudah mulai terdengar dari moncong Basir yang mulai memanjang. Sedang istrinya tampak tersenyum dan berharap menikmati hasilnya malam ini.


Mengendus pelan, mulai tercium bau uang dari rumah-rumah warga yang telah disatroni Basir dengan wujudnya yang sudah tak dikenali. Basir menarik napas di depan rumah tersebut dan lembaran uang ratusan ribu lenyap per satu lembar dalam setiap ikatannya.


Tapi tiba-tiba, setelah dua tiga rumah selamat disatroninya, beberapa warga merangsek dan membabi buta dengan tali dan parang yang dibawanya untuk mendapatkan babi itu dalam keadaan hidup atau mati. Lemparan tali serta jaring tak kuasa menahannya, beberapa kali tali-tali itu dirobek dengan taringnya yang mencuat keluar mulut. Hingga pada akhirnya, sebuah lemparan besi runcing tepat mengenai paha babi itu dan terjungkal menguik kesakitan.


“Guik! Guik! Guik!”


Basir tertangkap. Babi Jadi-jadian itu meneteskan air mata di tengah-tengah kerumunan warga yang mulai memukulinya dengan berbagai macam benda tumpul. Basir juga memaki dalam hatinya, kenapa malam pada aksinya ini bisa sampai sial tertangkap oleh warga desanya sendiri. Padahal, sebelum berangkat, Basir dan Suti sudah memperhitungkan hari dengan benar, memadukan hari dan tanggal lahir keduanya sebagai tanda apakah ada rezeki dalam rumah tangga mereka pada malam ini.


Namun, Basir terlupa, bahwa ada satu yang masih belum diperhitungkan, Kitab Naga Dina yang diwarisi bapaknya belum sempat ia buka. Di dalamnya, ada tiga hari pantangan yang tidak dapat dilakukan untuk berbuat, yaitu Boing, Tuge, dan Mawon. Tiga hari itu merupakan hari yang tidak baik untuk berbuat kemungkaran. Basir menyadarinya.


Di tengah-tengah warga yang penuh napsu memukuli Babi Jadi-jadian itu, Kiai Saduli kemudian datang menghentikannya. Babi itu masih menguik keras kesakitan dengan wajahnya yang sudah mulai berwujud manusia. Mengetahuinya siapa, Kiai Saduli menyayangkan;


“Bukankah sudah saya sampaikan padamu, Sir, bahwa menjadi Babi Ngepet adalah jalan yang sangat dibenci oleh Alloh!”


Surabaya, 29 Januari 2023



Catatan: 

Naga Dina : Primbon mengenai hari baik dan buruk.


________

Penulis


A. Djoyo Mulyono, kelahiran Cirebon, 1999. Tinggal di Surabaya menulis fiksi dan nonfiksi, menjadi mahasiswa Pascasarjana Unesa, dan Pengajar di SMA Hang Tuah 4 Surabaya. Penulis bisa disapa melalui akun instagramnya di @agungdjoyo.



Kirim naskah ke 

redaksingewiyak@gmail.com


Thursday, March 9, 2023

Komunitas Kembali Siap Gelar Matra Pawon di Kecamatan Pontang


NGEWIYAK.com, KAB. SERANG -- Komunitas Kembali Indonesia akan menggelar pertunjukan seni bertajuk Matra Pawon, pada  11 -12 Maret 2023 pukul 16.00 s.d. 21.00 di Lapangan Kantor Kecamatan Pontang, Jalan Ciptayasa, Kubang Puji, Pontang, Serang, Banten. Matra Pawon adalah rangkain kerja seni yang dilakukan oleh Komunitas Kembali Indonesia yang bekerjasama dengan Kemendikbud Ristek dan LPDP Kemenkeu RI. 


Matra Pawon diawali dengan melakukan riset dan observasi tentang peristiwa Adang di wilayah Kabupaten Serang (khususnya Pontang, Tirtayasa, dan Carenang). Adang merupakan kegiatan memasak dalam acara pernikahan. Tradisi ritual Adang dalam upacara pernikahan pada masyarakat Serang sangat berperan penting. Hal ini dikarenakan berada pada posisi strategis dalam menyiapkan konsumsi, yakni dalam menanak nasi, lauk pauk, dan lainnya sebagai hidangan dan sajian serta jamuan yang diberikan kepada tamu undangan pada acara pernikahan. Dari fenomena ini, Komunitas Kembali Indonesia mengemas peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam ritual Adang menjadi sebuah seni pertunjukan teater dan film dokumenter.


Tradisi Adang merupakan tradisi yang jejaknya cukup panjang, khususnya di wilayah Serang, Banten. Tradisi yang juga bersinggungan dengan kultur Agama Islam di Banten, Adang menjadi sebuah mekanisme sosial yang masih berlangsung hingga hari ini. Hal ini terkait dengan model solidaritas sosial di antara sesama warga ketika mereka sedang mengadakan hajatan. Adang sendiri bisa diartikan sebagai 'menanak', atau 'memasak', yang bisa ditafsirkan secara luas sebagai hal-hal yang berhubungan dengan memasak dan persiapan menyiapkan makanan. Tidak heran tradisi Adang masih bertahan hingga hari ini. Tradisi yang kental dengan peran ibu-ibu yang bersolidaritas membantu dalam hal masak-memasak bagi warga yang sedang mengadakan hajatan. 



Pertunjukan Teater Matra Pawon


Matra Pawon merupakan ide yang diangkat dalam pertunjukan teater. Hal ini digagas dari peristiwa yang terjadi ketika persiapan, pelaksanaan, dan setelah kegiatan adang dilakukan. Semua tidak terlepas dari doa-doa dan pepatah leluhur. Kegiatan Adang ini menjadi penting dan memiliki konteks sosiologi sehingga adang menjadi salah satu alat untuk memperkuat solidaritas sosial masyarakat. Termasuk menciptakan situasi kerukunan, gotong royong, dan toleransi dalam masyarakat, serta saling membantu secara bergiliran dalam menyukseskan upacara hajat pernikahan. Tradisi ritual Adang masih sering dilaksanakan oleh masyarakat Serang pada umumnya, juga mendahulukan komponen sosial yang tinggi dengan tujuan mempererat kebersamaan dan alhasil membangun masyarakat yang kuat.


Imaf M. Liwa selaku sutradara mengatakan bahwa Matra Pawon merupakan pertunjukan tafsir atas interelasi Adang dalam tradisi hajat pernikahan di wilayah Serang Utara. 


"Pertunjukan ini mencoba menarik beragam koordinat dan korelasi antar spasial objek-objek di dalam dapur hajatan pernikahan, membelah dan mendekonstruksi struktur baku adang dengan menampilkan peristiwa panggung secara acak, dinamis dan blabar," ujar Imaf lagi.


Dalam pertunjukan ini penonton diingatkan bahwa orang timur selalu berkutat dengan mitos, leluhur, legenda, gotong royong, toleransi, dan saling membantu untuk kebersamaan. Matra Pawon adalah wahana dan media untuk merenungkannya bahwa sesama manusia sesungguhnya saling mengenal, menyayangi, menghormati, dan menghargai antarsesama. Ini penting di tengah era globalisasi dan modern yang mengajak dan membawa manusia kepada sikap individualis dan egoistis.


Pertunjukan teater Matra Pawon yang akan digelar 11 Maret 2023 pukul 16.00 s.d. 21.00 di Lapangan Kantor Kecamatan Pontang, Jalan Ciptayasa, Kubang Puji, Pontang, Serang, Banten. Kegiatan ini melibatkan banyak elemen, yakni mahasiswa, pesilat, masyarakat Pontang, dan pelaku Adang. Adapun aktor yang terlibat adalah Ali Akbar, Fidelis K., Attarik, Mila Karisma, Ali Akbar, Novi Roudotuzzahroh, Wulan Deasari, Ilham, Amir, Ibu Mahpudah, Ibu Maryam, Ibu Sanawiyah. Bidang artistik oleh Dindin dan pemusik oleh Badrussalam, Tb Tarnaya, Makhroji. Bidang dokumenter oleh Akbar Yumni, Angga Neza, Novi Hermawati. Terakhir stage manager oleh Rizki Ramlah. 



Pemutaran Film Dokumenter Adang


Sebagai sebuah tradisi, Adang sendiri bukan sekadar mengandaikan solidaritas semata, namun juga ada ritual-ritual khusus di bagian-bagian prosesi Adang yang berhubungan dengan budaya agama Islam. Dan ritual-ritual khusus tersebut mengandaikan semacam ‘dalang’ atau juru Adang yang menjadi jangkar terhadap para warga yang berpartisipasi di dalam proses Adang. Juru Adang pulalah yang biasanya membacakan bacaan khusus, seperti doa dalam Islam, yang mengiringi masing-masing prosesi memasak di dalam tradisi Adang. 


Sebagai sebuah peristiwa, proses Adang banyak mengandaikan peristiwa proses memasak dalam menyiapkan hidangan para tamu dalam sebuah hajatan. Impresi dari prosesi memasak di dalam Adang sendiri selain semangat solidaritas warga dalam bahu membahu dalam menyiapkan hidangan dalam sebuah hajatan, juga mengandaikan suasana sensori sebagai sebuah ciri khas suasana di dalam proses Adang, seperti asap di dalam memasak, bau makanan, kelelahan, sampai dengan hal-hal yang ekspresi solidaritas yang tercermin di dalam tubuh dan wajah para partisipan Adang. 


Etnografi sensori dalam pendekatan film dokumenter yang dilakukan oleh Komunitas Kembali Serang ini merupakan usaha memberikan ‘pengalaman’ dan hal yang ‘real’, ketimbangan sebuah proses representasi yang bersifat informasi semata. Pendekatan etnografi sensori adalah usaha memberikan ‘pengalaman’ dan peristiwa yang ‘real’ kepada penonton, dengan berusaha memberikan hal-hal yang detail terhadap peristiwa-peristiwa di dalam proses Adang. 


Berangkat dari memberikan impresi ‘pengalaman’ dan hal yan ‘real’ diharapkan memberikan pengalaman solidaritas pada Adang kepada para penonton, dan melihat sisi lain dari peristiwa Adang sebagai peristiwa yang berhubungan dengan memasak yang penuh dengan pengalaman sensori. Melalui hal yang sensori inilah diharapkan akan menjadi transformasi pengalaman kepada penonton, untuk menjadikan Adang sebagai sebuah tradisi yang penuh daya tarik dan kebersamaan dari para subjek dan objek yang hadir dalam tradisi yang jejaknya panjang di dalam masyarakat Serang.   


Film dokumenter ini dikemas apik oleh Akbar Yumni, Angga Nesa, dan Novi Hermawati. Segala peristiwa Adang dikemas melalui gambar yang dapat memberikan pengalaman dan situasi yang sebenarnya kepada penonton. Sebagai film dokumentasi, Adang diharapkan menjadi artefak bagi generasi penerus yang sedikit banyak sudah melupakannya. Pertunjukan Film dokumenter ini digelar pada hari kedua (terakhir), yaitu 12 Maret 2023, pukul 16.00 s.d. 21.00 di Lapangan Kantor Kecamatan Pontang, Jalan Ciptayasa, Kubang Puji, Pontang, Serang, Banten. 


Hari kedua pertunjukan seni ini akan dimeriahkan pagelaran pencak silat dari padepokan Langlang Buana dan ditutup dengan pertunjukan Band RBG, band yang memiliki kegelisahan dengan keadaan dirinya, desanya, dan bangsanya. Gaya bermusik yang khas akan menutup kerja seni Komunitas Kembali. Hidup seni semoga kita akan Kembali.



Informasi terkait kegiatan ini bisa hubungi

https://wa.me/628176961532


(Redaksi)

Wednesday, March 8, 2023

Puisi Jawa Banten | Nursiyah Faa

Puisi Jawa Banten (Jaseng) Nursiyah Faa




Gegelati


Ning sejerone wengi

Kite cume menuse sing akeh ragu-ragu

Tetakon dewek tentang kabare

Wis lawas ure kependak

Wis lawas ure tuker uruk salam

Ape deweke sehat? Sibuk ape sikine?

Ape inget karo kite? 

Pertakonan ure peragat gegelati jawaban


HP kite muni, dade ngederegdeg durung siap

Nerime kenyataan dudu deweke

Kite dewekan gegelati deweke ning siku-siku wengi


Serang, Maret 2023



Luwih Ngebelangsak


Lake sing luwih ngebelangsak

Pintere meminteri

Lake sing luwih ngebelangsak

Miskine dunye ditambah kemalesanane urip


Lake sing luwih ngebelangsak

Sugihe nyenyolong

Napsune mangan duit umat


Lake sing luwih ngebelangsak

Napsu wirahi dituntasaken

Ning dudu sehalale


Lake sing luwih ngebelangsak

Loro warisan Nabi

Ure dicekel tekang mati


Lake sing luwih ngebelangsak

Sing pinteri nyalahi setan

Ure ngengace akhlak dewek nyerupani setan


Serang, 23 Januari 2023



Catetan Awal Maret


Sembarang Februari

Udan ngeriyek 

Kali banjir lan jembatan kelem

Kite wedi nyebrangi

Ure kedeleng endi dedalan melaku

Endi dedalan banyu

Sekabeh dedalan kerurub banyu


Saban dine udan ngeriyek

Banyu mili sing udik ning ilir

Sawah-sawah kelem

Pari-pari kenang bebeluk

Gabah-gabah bosok ure keipe

Beras-beras munjuk ning deduhuran

Wong musakat pade bebentingan


Serang, Maret 2023


_______

Penulis

Nursiyah Faa, ibu rumah tangga beranak siji.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com