View AllProses Kreatif

Dakwah

Redaksi

Postingan Terbaru

Friday, February 7, 2025

Cerpen Heri Haliling | Balada Negeri Sine Qua Non

 Cerpen Heri Haliling


Tiga hari usai badai jamur api itu membumbung ke langit dan mengendap di stratosfer, udara susut ke titik terendah. Kelabu jelaga menjelma halimun mematikan kungkung Negeri Sine Qua Non. Sawung merangkak membuka puing kekalahan. Sesak jelaga kontan remas paru-parunya. Ia tongakkan kepala. Semua rata luluh lantak sejak getaran dahsyat yang mengandung zat radioaktif itu hancurkan bangunan kota. Sawung menyemai wajah tirusnya.


Di bawahnya, sang teman diam tanpa aksara. Terduduk bersandar beton berlumut dengan aroma busuk bangkai-bangkai sahabatnya. Sang teman menatap kaki kanannya yang buntung sebatas lutut. Masih ada serpihan besi atau kaca di dalamnya. Belum rampung dia cabuti serpihan itu sejak negara adidaya tekan picu yang lengkap dengan layar koordinat. 


Sawung turun dari pantauannya. Sebuah baju kebanggaan masih Sawung kenakan. Seselempang laras panjang serbu tipe Ak-47 ia sibakkan ke belakang. Sawung berjongkok.


"Hulu nuklir itu membuat negeri neraka untuk kita. Cih!" Sawung buang ludahnya. "Licik!"


Sawung merangkak dengan tubuh yang tak kalah luka bakaran. Mendekati jeriken air persediaan. Tinggal setengah. Ia cecap seteguk dengan pikiran menyumpah kepada penguasa adidaya yang tentu masih pesta akan kemenangannya. Manakala dirinya dan sahabat meminum air bercampur mikrobesi, pasti di sana mereka tertawa dengan wine-nya.


"Berapa lama?" tanya sang teman.


"Tambora meleburkan abu dan hancurkan setengah peradaban perlu setahun untuk Tuhan sinarkan panas. Aku yakin untuk benda terkutuk ini perlu satu sampai dua dekade."


Sang teman kembali beku. Udara dalam lorong bertambah sesak. Berapa kali Sawung harus menarik hawa itu dengan mulutnya. Lampu senter ia gunakan meski yakin bahwa ini siang.  Ia berjalan menyorot sekitaran menginjak sepleton teman yang gugur tanpa wibawa perang. Sumpah gerilya dari mereka semenjak pertama masuk akademi ialah rela mati di tangan musuh ketimbang binasa tanpa perlawanan. Kini apakah jiwa-jiwa mereka tenteram? Tak mungkin. Harga diri telah jatuh.


Kejadian begitu cepat saat mereka menjaga lingkungan perbatasan. Kabar siaga dari sang Pemimpin beredar. Semua sigap dalam posisi penjagaan. Tapi bedebah di sana gunakan cara pemusnahan massal. Sawung menggeretakkan giginya.


Sekejap mata Sawung melihat sesuatu bergerak. Seekor tikus dalam pendaran lampu. Tak ada hal yang bisa dimakan dalam radius pemusnahan begini. Perutnya sejak dua hari lalu mulai ia biasakan memakan daging tikus di sana. Pikir Sawung sungguh tak akan tega jika nanti sekerat demi sekerat daging sahabatnya yang harus ia santap. Sawung enyahkan itu dan kembali fokus pada buruannya.


Tak lama Sawung kembali menghampiri sang teman. Tangan kirinya menenteng kisaran lima ekor tikus besar. 


"Hanya ini yang ada. Naluri tikus itu tajam, Kawan. Dia sangat peka dengan udara. Kondisi sialan begini pasti insting mereka tak akan mau naik permukaan. Tikus akan bertahan dalam reruntuhan. Minum air yang mereka yakini tak mengandung bijih besi. Tikus hewan pintar. Kita hanya harus bertaruh tentang virus pes yang mendera di antara mereka," jelas Sawung sambil menguliti tikus dengan belati.


Sang teman terbatuk-batuk dalam pendar cahaya senter. 


"Aku tak sanggup lagi. Sungguh, Sawung!"


"Bukan begitu janji prajurit, Saudaraku!"


Sang teman tiba-tiba merangsek untuk merebut sangkur milik Sawung. Dengan refleks Sawung berkelit.


"Jangan jadi pecundang negeri, Saudaraku!"


"Cukup semua instruksi itu, Sawung. Tak akan ada mendali untuk ini. Biarkan sangkur itu menikam jantungku. Setidaknya aku bebas segera!"


Sawung merasakan kekacauan batin sahabatnya. Tapi satu hal yang ia teguhkan bahwa darah pejuang tak akan ternilai dengan harga. Darah pejuang melebihi darah biru. Darah pejuang adalah sejarah. Bagaimanapun Sawung tak akan lakukan teori putus asa. Dirinya bukan bagian dari budaya bermata sipit itu yang anggap bunuh diri sebagai ketaatan dan penghormatan.


"Kau punya keluarga?"


"Jangan tanyakan itu. Kumohon" jawabnya lirih dengan erangan. 


Meski kecil kemungkinan, Sawung tetap mencoba memberi tahu bahwa masih ada yang menunggu dari puing-puing reruntuhan yang lain. Evakuasi akan segera datang dan entah bagaimana mereka akan selamat. Sugesti positif itulah yang menjadikan dirinya tetap terkontrol.


Batuk-batuk kian menggila. Luka bakar tubuh Sawung terasa berdenyutan meski sebaian telah diperban. Tak mau berlama-lama dalam menikmati kebekuan yang mencekik, Sawung langsung membuat api untuk memanggang buruannya.


***


Pusat pemerintahan Negeri Sine Qua Non berkabung. Dari bangunan kokoh yang memang dipersiapkan sebagai tudung jikalau terjadi agresi demikian, Sang Pimpinan gusar. Beberapa jenderal yang hadir telah menjelma bagai penasihat. Mereka melawan ketegasan dan kekokohan sikap lalu melunak untuk memperoleh keyakinan seseorang.


"Ini dosa turunanku! Seharusnya aku tak bersembunyi di sini. Biarkan aku keluar bersama rakyatku. Bagai memakan daging saudaranya, sampai detik ini kalian malah menyiksaku!" 


"Kami mohon. Sekarang adalah masa di mana kita mendiskusikan siasat, Pak. Keluar dan berputus asa  merupakan hal yang sejak berhari-hari lalu mereka tunggu," kata satu jenderal berperawakan tegap dengan cambang kumis tebal lengkap bersama pakaian penuh bintang.


Sang Pimpinan berjalan menuju jendela kaca. Dari matanya yang kering dan nanar ia saksikan kepulan asap di mana-mana menyelimuti semua tempat. Radio aktif akan menebar kematian jangka menengah melaui anomali sel dalam tubuh manusia. Negeri Sine Qua Non tak lama lagi akan panen kanker tanpa perhitungan usia dan apa-apa yang dikenainya. Hatinya makin berantakan  manakala membayangkan pulau dengan titik jatuhnya nuklir. 


Perasaan sesal mendalam mengutuki jiwa Sang Pimpinan.


"Aku ingin kau lakukan evakuasi kali ini."


Jenderal tersebut maju menghadap.


"Dengan segala hormat, Pak. Kami telah susuri pulau itu lewat udara.  Semua rata tanpa sisa. Jika kita kerahkan pasukan darat, semua hanya akan jadi tumbal belaka. Pulau itu tak memungkinkan untuk orang berlindung. Listrik putus. Sungai menghitam. Radiasi di sana lebih kuat bahkan untuk sembunyi di bawah tanah."


Sang Pimpinan berbalik. Sekarang ia tatap jenderal gagah itu.


"Jika pasukanmu berat untuk ke sana, detik ini juga aku yang akan pergi!"


Semua jenderal berpandangan. Melalui taktik yang telah lama mereka pelajari, kenekatan sebuah sikap meski dengan alasan diplomatis tetap dinilai sebagai sebuah ancaman. Dalam sebuah kode anggukan, dua jenderal maju.


Staf kepemimpinan yang menjadi pengawal sigap menghadang.


Dor! Dor! Dor! 


Tiga tembakan terukur dari sepucuk baretta militer membungkam langkah pengawal tersebut.


Sang Pimpinan terperanjat. 


"Kalian lakukan kudeta dalam situasi ini!"


"Maafkan kami, Pak. Tak akan kami biarkan Anda tetap pada prinsip itu. Semua yang tersisa butuh arahan Anda. Sekarang yang bisa kami lakukan adalah mengamankan Anda!" tegas jenderal.


Sang Pimpinan terduduk lunglai memegang kepalanya. Penjajahan telah terjadi di depan mata. Kebobrokan keputusan yang berakibat candu dengan alasan pembangunan. Semua terjadi begitu cepat meski prosesnya berpuluh-puluh dekade.


Inilah yang dikhawatirkan para pengkritik itu. Jaminan pangkalan militer musuh dibangun di satu pulau sebagai kontrak cicilan utang merupakan petaka yang nyata. Sepertinya arogansi tanpa perlu nasihat diperlukan lalu-lalu. Seharusnya bukit batu penghasil uranium itu dikelola oleh bangsa sendiri bukan sebagai bahan jarahan atau jatah negeri adidaya. Berani berdiri di hadapan mereka dengan tegakkan dagu itulah yang dulu diperlukan. Agaknya benar kata para tua berkepala licin dan baju putih tempo dulu. Permainan black market harus terlaksana. Tak peduli segala tekanan dari para penggugat diplomat. Nyatanya semua sekarang sama saja. Ketersinggungan sipil berujung pada retaknya hubungan. Sejatinya bankir dengan anak cucunya harus dimuliakan sementara pengutang harus menyadari bahwa kasta terendah itulah statusnya. 


Sang Pimpinan memukul kepalanya sendiri. Setelah peristiwa besar ini apakah yang akan diperbuat sekutu Negeri Sine Qua Non? Memberikan bantuan pastinya, sambil menyeduh kopi di depan televisi. Sudah jelas dalam rapat besar semua negara itu adalah keindipendenan dengan berasas nasionalis. Tak akan bergerak kecuali negaranya turut jadi bagian yang terdampak. Kepedulian adalah bumbu manis dalam simpatik jabat tangan lalu bantuan untuk penanganan. 


***


Di luar hujan timbal tengah berlangsung. Derunya sungguh aneh sambil sesekali berjatuhan nyaring seperti kerikil terempas.  Warna cairan hujan itu hitam pekat dan merembes dari celah puing-puing di atas. Manakala cairan kimia itu jatuh ke bawah, bau zat menyengat langsung menyelinap lubang hidung. Setetes cairan lolos dan membasahi kulit Sawung. Terasa gatal dan lama-lama panas. Dari sandarannya ia beringsut untuk berpindah.


"Aku sungguh akan bertahan dan berkumpul dengan keluargaku, kawan. Sudah banyak baktiku untuk negeri ini. Penjemputan pasti datang. Saat itu akan kusambut mereka dengan tegak hormatku."


Uraian senyum masih tersungging dalam wajah Sawung yang kering. Tergeletak jeriken yang telah kosong. Dehidrasi mulai menjalar sampai ke otot-ototnya. Sawung menatap sadar dengan anggukan dan kini tertawa. Di sampingnya, jasad sang teman yang buntung kaki itu telah tergeletak sejak nuklir dijatuhkan.  


***


"Tuan Pimpinan, kami memperoleh sambungan dari Negeri Alfa," kata satu jenderal setengah berlari.


"Katakan kabar baik untukku."


Jenderal lepaskan salam hormatnya.


"Mereka akan kirim bantuan dari musim dingin mematikan ini. Hanya saja..."


"Tegaslah jenderal!" hardik jenderal lainnya.


"Siap! Tiga bulan dari sekarang!"


______

Penulis

                                

Heri Haliling, merupakan nama pena dari Heri Surahman seorang guru di SMAN 2 Jorong. Lahir di Kapuas, 17 Agustus 1990 karya-karya  yang telah ia telurkan antara lain novelet Rumah Remah Remang (J-Maestro, 2024), novel Perempuan Penjemput Subuh (Juara 2 Sayembara Novel Guru dan Dosen; Aksara Pustaka Media, 2024).


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com



Puisi-Puisi Lalu Azmil Azizul Muttaqin

Puisi-Puisi Lalu Azmil Azizul Muttaqin



Kairo yang Membeku


Dingin mengalir deras di antara tembikar,

seperti rindu yang tak terucap, menunggu di sudut pasar.


Kairo, 2024



Hikayat Kafe Tua Harat Madrasah


di gang-gang sempit

yang mana bayang-bayang tak lagi terbang,

kafe tua itu berdiri,

menggenggam cangkir berdebu,

haflah tiada lagi di sini,

hanya sisa aroma syai

yang menggeliat tiada henti.

Bisikan suara tiba-tiba menggema;

“kenapa gerangan Basya di sini?”

pembicaraan yang tumpul, tawar tanpa makna,

teman sejiwa, kawan seumur hidup,

kini menguap dalam asap shisha,

tak ada tawa, hanya senyuman pudar.

kursi-kursi bergetar dalam kenangan,

dinding berbisik cerita lama,

yang terkubur dalam ingatan dan waktu.

setiap tetes kopi adalah rahasia,

yang tertinggal di gelas tak terpakai,

menanti suara dari hati yang tak lagi ada.


Kairo, 2024



Sebab Engkau, Kota Ini

Menenggelamkan Dirinya Secara Perlahan


aku tiba di sini,

di mana mercusuar berbicara dengan awan

lebih lama dari siapa pun.

kota ini selalu menyimpan rahasia―begitu juga dirimu―

di dasar lautnya,

seperti nelayan hilang

yang tak pernah kembali pulang.

aku duduk di depan bibliotheca,

buku-buku bisu menatapku,

seolah mereka tahu—kau tak ada.

setiap halaman yang kubuka

hanya menghembuskan pasir dan garam,

dan rindu yang tertinggal di layar perahu.

di corniche nama sebuah dermaga tua,

―tempat biasa seorang kekasih menanti―,

jalan setapak tampak panjang mengulur

seperti jaring nelayan

yang lelah menangkap kenangan

yang tak pernah ia pinta.

langit biru berbisik pada gelombang,

menawarkan warna baru,

tapi aku sudah buta oleh warna—

nyatanya tak ada warna apa pun

yang kutemukan lagi di sini.

aku pernah dengar,

laut selalu menerima,

tak peduli apa yang ditenggelamkannya.

namun di sini,

bahkan pasirnya pun mulai menolak

jejak yang kita tinggalkan.

lalu aku memahami,

kota ini bukanlah kota yang dulu.

ia menenggelamkan dirinya pelan-pelan,

perlahan, kemudian membiarkan ingatan hancur,

di antara karang-karang yang membisu.


Aleksandria, 2023―2024



Khan Khalili


gelak tawar para pedagang

melayang di udara,

dipecahkan denting logam

dan tawar-menawar yang tak selesai.

satu per satu

aroma rempah dan teh

menyapa langkahku,

memanggilku.

cangkir-cangkir kecil

menggigil di atas meja,

kopi mengendap,

seperti sebuah mimpi

yang tak lagi diharapkan.

aku menelusuri warna

pada karpet yang terhampar,

tapi tak ada yang cocok.

aku berdiam sunyi di tengah keriuhan ni—

menyaksikan lampu kaca yang berpendar,

papyrus yang kaku,

lukisan Ra, Tutanchamon, dan

Ummi Kulstum yang merayuku dengan masa lalu.

dan tiba-tiba aku termangu;

apakah aku juga sebuah barang

yang tak pernah laku?


Kairo, 2024



Cinta yang Terbelah


Zulaikha menanti di balik tirai,

cinta terbelah antara harap dan dosa,

sementara Yusuf, cahaya terlarang,

melangkah pergi.


Di ruang sunyi, rindu menari,

dalam hening, hati terkurung;

sebuah kisah terukir dalam linangan air mata.


Kairo, 2024


_______

Penulis 

Lalu Azmil Azizul Muttaqin, lahir di Lombok Nusa Tenggara Barat. Mahasiswa jurusan Linguistik Arab, Universitas al-Azhar, Kairo. Menulis puisi dan cerpen di beberapa media online. Aktif di Komunitas Sastra Mahasiswa Indonesia di Mesir, Art Theis de Cairo, Sifaratul Adab Kairo, dan Lakpesdam PCINU Mesir.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Sunday, February 2, 2025

Lomba Cipta Cerpen NGEWIYAK.com | Tema: "Pagar Laut"

 



Dulur- dulur NGEWIYAK, isu mengenai konflik agraria sedang hangat dan menjadi perbincangan publik di Indonesia. Bagaimana lahan/tanah bahkan laut yang menjadi ruang hidup masyarakat harus menjadi "korban" atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi semata. Fenomena pagar laut adalah satu dari sekian kasus konflik agraria yang cukup meresahkan. Oleh karena itu, NGEWIYAK berupaya memotret isu mutakhir tersebut melalui Lomba Cipta Cerpen bertema "Pagar Laut", bagaimana para cerpenis merespons data/fakta yang ada menjadi fiksi yang inspiratif, imajinatif, dan memukau. Kami sangat menunggu itu. 

LOMBA CIPTA CERPEN NGEWIYAK.com

Tema: "Pagar Laut" 


SYARAT & KETENTUAN:

1. Peserta merupakan warga negara Indonesia

2. Peserta umum dan tidak dibatasi usia

3. Cerpen ditulis 1.000 - 1.500 kata/sekitar 3 - 4 halaman A4 (font Times New Roman 12, spasi 1,5)

4. Cerpen yang dikirim adalah karya orisinal bukan hasil plagiasi dan belum pernah dipublikasikan di media cetak/internet (bila terbukti ada kecurangan, karya peserta akan didiskualifikasi)

5. Peserta hanya boleh mengirikan satu naskah dan semua naskah yang masuk akan ditayangkan di NGEWIYAK.com

6. Lima belas cerpen terbaik akan dibukukan dalam satu antologi dan setiap penulis akan mendapatkan bukti terbit

7. Setiap peserta yang sudah mengirim karya, wajib masuk grup WA. 

Klik GABUNG!



TANGGAL PENTING:

- Periode pengiriman cerpen: 3 s.d. 28 Februari 2025
- Periode penilaian juri: 1 s.d. 14 Maret 2025
- Pengumuman Juara I, II, III (dan beberapa cerpen terpilih) pada 15 Maret 2025 di web NGEWIYAK.com

HADIAH:
- Juara I: Rp1.000.000
- Juara II: Rp750.000
- Juara III: Rp500.000


Naskah dikirim ke e-mail 
cerpenpagarlaut@gmail.com 
(Di akhir naskah disertai dengan foto diri, biodata singkat, dan nomor WA)


Kami tunggu karya terbaik teman-teman!


Friday, January 31, 2025

Puisi-Puisi Diana Rustam

Puisi Diana Rustam



Jadilah Saksi


tengok kulit dan tulang belulangku

dan sorot mataku. tataplah

dan hela napasku. simaklah

percuma menunggu kata-kata

kata-kata sudah mengubur diri


meninggalkan rumpun

kudaki gunung

di puncak hening 

berdiri aku dalam perenungan

kupandangi wajah di air

membaca aku 


jadilah saksi. jadilah saksi

apabila tak menitik lagi air mata

tapi menggema gelak tawa

hatta maka itu sebuah pertanda

telah kuangkat bendera

dan kukokang senjata


Jadilah saksi

engkau, yang mengetahuinya


Makassar, November 2024



Dormansi


andai sekarang ini 

aku adalah sebutir benih di dalam tanah

niscaya aku ingin dormansi

karena matahari telah memanggang

karena air telah kering

karena udara telah bernoda


tapi aku adalah janin manusia dalam rahim ibuku

yang akan memasuki dunia yang  sudah binal dan lucu

sungguh aku takut lahir

aku takut akan tumbuh menjadi anjing


Makassar, November 2024



Apa yang Akan Kau Lakukan? 


apabila suatu hari

air hujan yang turun dari langit adalah kata-kata

maka, kata apakah yang kau harapkan? 


apabila kata yang kau suka itu jatuh

lalu ia mengalir bersama deras banjir

apakah kau akan berenang untuk memeluknya? 


apabila kata yang kau benci menimpa kepalamu

apakah kau akan marah dan menyepaknya? 


dan apabila kata itu adalah aku

akankah kau bertanya "mengapa"? 


Makassar, Desember 2024



_______

Penulis

Diana Rustam, saat ini berdomisili di Makassar. Penulis menyukai puisi, cerita pendek, dan belajar menuliskannya. Facebook : SuaraTonggeret.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Cerpen Khairul A. El Maliky | Sejak Kapan Semur Punya Agama?

Cerpen Khairul A. El Maliky



Seperti biasanya, Yu Sumi pagi ini sedang memasak buat keluarganya. Ia memasak sendirian di dapur. Suaminya, Kang Sofyan, sudah berangkat kerja sejak tadi setelah sarapan secangkir kopi dan sepotong roti goreng. Kedua anak mereka, Aldi dan Johan juga sudah berangkat ke sekolah sejak pagi tadi karena hari ini mereka berdua akan mengadakan upacara bendera. Pagi ini Yu Sumi tidak tampak pergi belanja ke tukang sayur yang biasanya mampir di halaman rumahnya. Saat si tukang sayur bertanya tadi, Yu Sumi mengatakan kalau hari ini ia tidak belanja ikan atau tempe untuk lauk. 


Di dapur rumahnya, Yu Sumi tampak sedang meracik bumbu-bumbu untuk semur. Cabai merah, cabai keriting, bawang putih, ketumbar, garam dan bumbu penyedap rasa bersatu padu di atas cobek, kemudian ia menggilingnya dengan ulekan hingga menjadi bumbu halus. Setelah itu, wanita paruh baya itu mencuci daging yang kemarin habis dikasih oleh Bu Kris, dokter spesialis kandungan yang rumahnya hanya berjarak lima wuwungan dari rumahnya Yu Sumi. Dengan telaten, wanita itu mencuci daging yang tadi dikeluarkannya dari dalam kulkas tersebut. Ia berniat bahwa pagi ini ia akan memasak semur daging "spesial" buat keluarganya. Ia sama sekali tidak pernah tebersit sedikit pun soal daging pemberian dari tetangganya itu. Tapi yang jelas, kata Bu Kris kemarin ia habis membeli daging kebanyakan sehingga harus dibagi dengan orang lain. Takut mubazir katanya.


Selesai dicucinya, Yu Sumi merebus daging tersebut di dalam panci hingga airnya mendidih. Sambil menunggu daging matang, wanita itu mencuci kentang sisa kemarin yang juga disimpannya dalam kulkas. 


Yu Sumi adalah seorang ibu rumah tangga yang fulltime tinggal di rumah. Pekerjaannya adalah mengurus rumah dan belanja ke tukang sayur. Dulu, sewaktu masih muda, ia pernah bekerja sebagai karyawati sebuah pabrik tekstil di kota kecilnya. Kala itu gaji yang diterimanya cuma Rp125.000 tiap bulan. Setelah 10 tahun bekerja, ia mengajukan pengunduran diri. Ia pun cuma dapat uang pesangon Rp300.000 dari Jamsostek. Kini ia mendengar kalau gaji karyawan pabrik tekstil tempatnya bekerja dulu sudah lebih tinggi dari pada gaji guru yang kadang tak dibayar sampai 5 bulan. Pernah sih ia terbetik untuk kembali melamar kerja. Tapi kemarin, dari televisi ia mendengar kalau seluruh pabrik tekstil mengadakan efesiensi karyawan secara besar-besaran untuk menghindari gulung tikar. Banyak pula buruh yang dirumahkan. Konon penyebabnya adalah semakin berkurangnya jumlah produk yang terjual karena imbas dari harga rupiah yang anjlok. Hal itu pula yang ditakutkan oleh suaminya, Kang Sofyan yang sudah 30 tahun menjadi karyawan tetap di PT Rimbayana Abadi Plywood, sebuah perusahaan yang mengolah tripleks berkualitas. Sejak kariernya naik daun dan menjadi juru ukur kayu yang akan dijadikan tripleks, lelaki itu menganjurkan kepada istrinya agar berhenti kerja dan fokus mengurus rumah. 


Dari hasil bekerja menghambakan diri kepada pengusaha asing, Kang Sofyan bisa merenovasi rumah peninggalan mertuanya yang kini mereka tempati. Selain itu ia juga bisa mencicil dua unit sepeda motor matic  keluaran terbaru. Bisa membeli kulkas dan televisi. Dan yang lebih membuatnya bangga adalah ia bisa menyekolahkan kedua anak lelakinya yang kini sudah duduk di bangku SMA. 


"Masak apa hari ini, Yu Sumi?" tanya Mawarni yang pagi itu sedang menyuapi anaknya yang berumur tiga tahun. 


"Aku hari ini masak semur daging, War," jawab Yu Sumi. 


"Pantesan tadi nggak belanja ke abang-abang sayur langganan. Ternyata masak semur daging. Dapat dari mana, Yu?" tanya kembali Mawarni yang selalu kepo.


"Kemarin sore aku habis dikasih sama Bu Kris, War."


"Dari Bu Kris?!" 


Yu Sumi mengangguk. Wajah Mawar terlihat pucat pasi. 


"Lho itu bukannya daging yang awalnya mau dikasihkan ke Bu Rahma, Yu? Tapi, Bu Rahma malah menolaknya."


"Kenapa memangnya, War? Dagingnya masih segar kok! Tapi, barusan saat aku mencicipinya, tekstur dagingnya agak lain dan nggak kayak daging sapi seperti biasanya aku beli."


"Iya mungkin karena itu alasannya, Bu Rahma tidak mau, Yu. Tapi aku sempat nanya sama Bu Kris, buat apa beli daging sebanyak itu. Katanya buat pesta Natal."


"Ooo …"


***

Aldi dan Johan memuntahkan semur daging yang telanjur dikunyahnya ke tanah di halaman rumahnya. Lalu, kedua remaja yang belajar di Madrasah Aliyah Negeri itu berkumur-kumur hingga sisa-sisa daging di mulut mereka hilang. 


"Sebenarnya daging yang Ibu masak itu daging apa?" tanya Aldi, kakaknya Johan. 


"Daging sapi. Kenapa memangnya? Dan kenapa kalian memuntahkannya? Apakah semur daging yang ibu masak tidak enak?!" Yu Sumi kecewa dan memarahi kedua anaknya. "Mbah Kakung kan sudah pernah bilang, jangan suka memuntahkan makanan. Bila tidak suka jangan dimakan. Jangan buang-buang rezeki yang diberikan oleh Allah!"


"Tapi, apakah Ibu tahu, daging apa yang telah ibu buat semur itu?" tanya Aldi lagi. 


"Itu daging sapi."


"Ya Allah, apakah ibu bisa membedakan mana antara daging sapi dengan daging hewan lain?" 


"Itu daging sapi!" Yu Sumi mengotot. 


"Oke. Ibu mendapatkan daging tersebut dari mana?" 


"Jangan banyak tanya. Mumpung ada daging makan! Tidak perlu ditanya dapat dari mana! Kayak kalian sudah bisa cari uang sendiri saja sok menampik makanan!" ucap Yu Sumi dengan ketus. 


Lantas Aldi dan Johan yang kesal dengan sikap keras kepala ibunya main ke rumah Mawarni. Kepada perempuan itu keduanya menceritakan soal semur daging yang telanjur mereka makan. Awalnya mereka berdua menyangka kalau itu adalah semur daging sapi. Tapi, setelah dikunyah dan dirasakan kok beda dengan daging sapi yang familiar di lidah mereka. Mawarni yang mendengarkan cerita mereka langsung mengatakan kalau daging tersebut berasal dari pemberian Bu Kris. 


"Bu Kris kan hari ini Natalan, dan dia kemarin habis membeli daging babi banyak banget. Karena kebanyakan, lantas ia bagikan ke tetangga. Awalnya dia mau ngasih ke Bu Rahma. Karena Bu Rahma menolak, ya akhirnya dikasihkan ke ibu kalian," ujar Mawarni memberitahu. 


"Ya kan dugaanku benar. Tadi yang kita makan adalah daging babi!" seru Aldi. 


Setelah rasa kesal yang melonjak-lonjak di dada mereka telah mereda, lalu mereka kembali pulang ke rumah. Saat di rumah, mereka menemukan ibunya duduk di depan televisi sambil makan semur daging tersebut.


"Jangan menyesal kalian kalau tak kebagian lauk buat makan sore nanti."


"Sekarang aku sudah tahu Ibu peroleh dari mana daging tersebut," ujar Aldi kalem. "Dari Bu Kris kan?"


"Memangnya kenapa? Bu Kris kan Islam?" 


"Apakah ibu tidak tahu, siapa nama panjangnya Bu Kris?" tanya Johan yang selama ini pendiam. 


Ibunya menggeleng. Ia hanya lulusan kelas 6 SD. Kemudian dinikahkan dengan suaminya, Kang Sofyan. 


"Namanya Bu Kris itu adalah Kristiani Sitorus. Dia itu berasal dari Batak. Dan agamanya Kristen Batak. Orang Batak sebagian ada yang memakan babi, namun ada juga yang tidak meskipun Kristen," kata Johan menjelaskan. "Jadi, tidak semuanya orang Kristen itu mengonsumsi daging babi dan anjing."


Mendengar penjelasan dari anaknya itu, sontak membuat Yu Sumi memuntahkan semur daging yang telah masuk ke dalam perutnya. Ia membaca istighfar sejadi-jadinya. 


"Jadi, daging yang Ibu masak buat semur itu daging babi?!" Yu Sumi bertanya bego.


Kedua anak lelakinya mengangguk. Setelah itu, Yu Sumi pergi ke dapur untuk membuang semua semur daging yang telah dimasaknya dengan susah payah. Ia tak ingin Kang Sofyan memakan semur daging tersebut. Tapi, ketika ia hendak membuangnya, Kang Sofyan telah pulang dari kerja dan melihat istrinya membuang makanan.


"Apa yang Ibu buang itu?" selidiknya. 


"Semur daging, Pak."


"Kenapa dibuang? Kan mubazir?" 


Yu Sumi yang taat pada suaminya pun mengurungkan niatnya untuk membuang semur daging babi tersebut. 


"Aku mau makan."


Tanpa cincong, Yu Sumi mengambilkan piring. Lalu, ia menyentong nasi dan meletakkannya di piring suaminya. Setelah itu, Kang Sofyan makan dengan semur daging itu, sementara Yu Sumi membuatkan kopi. Pada saat itu, Aldi melihat ayahnya sedang makan.


"Pak, kenapa Bapak makan dengan semur daging itu?" 


"Memangnya kenapa?" jawab bapaknya yang makan dengan santai. 


"Bapak tahu itu semur daging apa?"


"Tidak."


"Itu daging babi, Yah!"


"Apa?!" muka Kang Sofyan langsung merah macam bokong wajan yang terlalu lama dibakar api kompor gas. "Jancuk!"


***

"Saya memohon maaf, Kang Sofyan. Sungguh, saya tidak tahu kalau orang Islam itu dilarang makan daging babi," kata Bu Kris merendah.


"Masa Bu Kris yang pernah kuliah di kedokteran tidak tahu soal ini?" tanya Kiai Maksum kalem. 


Bu Kris menggeleng. 


"Daging babi atau hinjir dalam Al-Qur'an kalau dimakan mentah-mentah pasti membuat kita mengendentikkannya dengan hewan babi. Padahal, di dalam ayat tersebut ada makna tersiratnya," ujar Kiai Maksum kepada Kang Sofyan dan Yu Sumi. "Babi, anjing, zina, mabuk, dan judi yang diharamkan oleh Allah di dalam Al-Qur'an ditujukan untuk sesuatu yang didapatkan dengan cara yang haram. Ayat-ayat itu adalah simbol."


"Apa saja, Kiai?" tanya Kang Sofyan.


"Mencuri, merampok, korupsi, berjudi, melacur, menjual alkohol, tilep, kibul, begal, dan menipu. Ini adalah perbuatan haram yang dilarang oleh Allah khusus untuk manusia. Dan jangan sampai makanan yang dihasilkan dari perbuatan haram ini masuk ke dalam perut kita karena akan menyebabkan hati, pikiran dan lidah kita menjadi rusak, tak bermoral," jelas Kiai Maksum. "Jadi manusia itu yang jujur, dan jangan menipu Allah dengan kemunafikan. Produk apa pun dicap halal, namun isinya berasal dari yang haram? Apakah ini tidak menipu Allah?"


Probolinggo, 2024


______

Penulis

Khairul A. El Maliky, pengarang novel, lahir dan besar di Kota Probolinggo, 5 Oktober 1986. Pernah belajar di kota Pekanbaru, Riau. Bukunya yang telah terbit berjudul Akad, Pintu Tauhid, dan Kalam Kalam Cinta (Penerbit MNC, 2024). Dua buku terbarunya masih proses terbit. Di sela kesibukannya mengarang novel, ia juga aktif sebagai guru Sastra Indonesia. Untuk pembelian buku bisa melalui: mejaredaksiimajinasiku@yahoo.com/ atau WhatsApp:0821-4147-9934.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Friday, January 24, 2025

Cerpen Yuditeha | Kamar Nomor 11

Cerpen Yuditeha


Aku diterima kuliah di Universitas Negeri Malang. Hari itu, usai menyelesaikan daftar ulang, hal penting yang kemudian kulakukan mencari indekos. Seharian aku mencarinya dan tidak kesulitan mendapati indekos yang ditawarkan, tapi semuanya kebetulan indekos mewah yang biayanya cukup tinggi hingga tidak sesuai dengan keadaanku. Aku menyadari keadaan ekonomi orangtuaku pas-pasan. Meski orangtuaku tidak menentukan jenis indekos yang kucari, tapi dari awal aku berjanji akan memilih yang biasa. Dengan begitu kuharap akan mendapat indekos dengan harga terjangkau. 

Hari telah sore aku putuskan untuk melanjutkan pencarian esok. Malam itu aku ingin menginap di tempat Ranti, temanku yang setahun lebih dulu kuliah di kota itu. Pertemuan kami di indekos Ranti membuat kami senang. Sebelum kami melanjutkan berbincang, Ranti menyuruhku bebersih. Selagi aku mandi, Ranti membeli makan untuk kami berdua. Selesai aku bebersih, kami berbincang sembari makan bersama.

Namun perbincangan kami sedikit tidak nyaman karena di sepanjang sore itu ada suara perempuan berteriak tidak jelas, yang berasal dari rumah yang tidak jauh dari indekos Ranti. Karenanya di awal perbincangan, aku sempat menanyakannya kepada Ranti. 

“Namanya Mona. Kakak Noni, pemilik kos ini. Dia Gila,” jawab Ranti.

 “Gilanya sejak lahir atau ...”

“Kabarnya dulu sehat,” Ranti lantas menambahkan penjelasan, tapi bukan penyebab kegilaannya, melainkan tentang kebiasaan Mona yang menurutnya perlu aku ketahui karena aku perempuan. Katanya, Mona tidak menyukai keberadaan perempuan lain di dekatnya. Mona akan menyumpahserapahi.  “Jadi siap-siap saja,” tambah Ranti sembari tersenyum. 

Perbincangan kami terus berlanjut dan saking serunya hingga tanpa terasa malam telah larut. Ketika menyadari hal itu kami sepakat untuk istirahat. Sebelum berangkat tidur, aku izin pipis, di mana letak kamar mandi berada di luar. Pada saat aku menuju ke sana, sempat memperhatikan kamar yang lain. Sekilas aku menghitung, ada sebelas kamar. Bangunannya membentuk huruf U. Ranti menempati kamar nomor 1, yang tentu saja berada di salah satu ujungnya. Selain kamar Ranti, hanya satu kamar yang lampunya tidak menyala, yaitu kamar nomor 11, berada di ujung lainnya, tepat berseberangan dengan kamar Ranti. 

“Teman-teman kosmu banyak yang belum tidur,” kataku sekembali dari kamar mandi.

“Hampir semua suka begadang,” sahut Ranti sembari merapikan seprei.

“Hanya satu yang tampaknya sudah tidur.”

“Kok kamu tahu?” 

Aku tersenyum, “Hanya menduga, karena lampunya tidak nyala.”

Ranti melihat ke arahku lalu berkata, bila yang kumaksud  kamar nomor 11, lampu di kamar itu memang tidak pernah menyala. “Kamar itu kosong,” lanjutnya.

“Tidak disewakan?”

“Lebih tepatnya tidak ada yang berani menempati,” jawab Ranti.

Ketika Ranti mengatakan begitu, spontan pandanganku mengarah ke luar, mengamati kamar itu dari balik jendela. Ketika Ranti selesai menyiapkan tempat tidur, dia mengajak istirahat. Meski aku langsung menurutinya tapi pikiranku belum lepas dari kamar itu. Benakku memikirkan hal-hal yang sekiranya bisa menjadi sebab kamar tersebut tidak dipakai. Hal itu membuatku tidak bisa segera lelap, terlebih suara Mona yang tidak jelas masih belum berhenti. Namun ketika aku melihat Ranti sudah pulas aku justru bangkit, lalu mendekat ke arah jendela dan membuka gorden, kembali mengamati kamar itu.

Pagi hari, saat aku hendak mandi, rasa penasaranku terhadap kamar itu tak bisa kubendung hingga aku memberanikan diri mendekat. Bahkan aku mengintipnya lewat celah gorden jendela yang kebetulan sedikit tersibak. Aku hanya melihat gelap, namun mataku menangkap warna beda di salah satu pojok kamar. Saat itu jantungku berdetak lebih cepat. Sebenarnya dalam diriku ada perasaan takut, tapi entah kenapa justru kepada Ranti aku menyampaikan keinginanku untuk menyewanya. “Menurutmu apakah Noni akan mengizinkan?” tanyaku kemudian.

“Pastinya boleh. Selama ini justru karena tidak ada orang yang berani menempati,” jawab Ranti. “Tapi kamu yakin?” 

Aku mengangguk. Namun, apa yang kupikirkan setelahnya bukan perihal kamar itu, tapi tentang kemungkinan aku bisa mendapatkan indekos dengan harga miring. Karenanya, tak ingin mengulur waktu, hari itu juga dengan ditemani Ranti menemui Noni. Ketika kami berada di rumah Noni, aku baru tahu, ternyata Mona tinggal di situ. 

Setelah aku menyampaikan maksudku, Noni langsung memperbolehkan, bahkan dia berjanji segera membersihkannya. “Agar ketika kamu datang membawa perlengkapan, bisa langsung kamu pakai.”

Kejadian itu sungguh membuatku lega. Tugas mencari indekos selesai, yang hal itu tentu membuatku senang. Tapi pikiranku penasaran dengan perkataan Ranti usai menemui Noni. “Aku heran, begitu kamu masuk rumah itu, Mona yang sebelumnya terus berteriak, tiba-tiba diam, terlebih setelah kamu menyapanya.”

Ketika aku sudah menempati kamar nomor 11, para penghuni indekos lain merasa heran. Namun keheranan mereka bukan karena keberanianku menempatinya, tapi karena sejak itu Mona tidak pernah berteriak dan marah-marah lagi. Bahkan Ranti sampai berulang kali membicarakan hal itu. Seperti yang baru saja dia katakan. “Apa yang kamu lakukan hingga dia tidak teriak dan tidak marah-marah lagi?” 
Sebenarnya aku tidak tahu penyebab Mona berubah. “Masa hanya karena kusapa?” sahutku.

“Mungkin.”

“Tapi setelah itu kadang aku memang mengajaknya bicara.”

“Kamu bicara dengannya?”

Aku mengangguk.

“Nyambung?”

Kembali aku mengangguk, “Bahkan dia suka bercerita tentang dirinya. Karena itu aku tahu ternyata dulu dia sempat bersuami dan punya anak,” terangku kemudian.

Ranti mengiyakan perkataanku, lantas memberi penjelasan bahwa dia memang pernah mendengar kabar itu. Kata Ranti, ketika Mona hamil tua, dan waktu itu sedang sendiri di rumah, tiba-tiba dia merasa bayi yang dikandung sudah waktunya lahir. Mona bingung, lantas menelepon suaminya, meminta kepada suami untuk izin pulang agar bisa mengantarnya ke dokter. “Cuma setelah itu tidak jelas, tahu-tahu kisahnya berlanjut ketika dia sudah ditangani dokter dan bayinya berhasil dilahirkan tapi bayi itu dalam keadaan mati,” sambung Ranti.

Mendengar penjelasan Ranti aku terbengong agak lama. Aku heran karena kisah yang Ranti katakan berbeda dengan apa yang Mona ceritakan. Menurut Mona, tak berselang lama setelah dia menelepon, suaminya datang bersama seorang perempuan, yang diperkenalkan sebagai dokter kandungan yang akan membantunya melahirkan. Karenanya aku bengong karena mempertimbangkan, apakah aku perlu memberitahu hal itu kepada Ranti atau tidak.

“Parahnya, setelah mengetahui hal itu suaminya justru pergi meninggalkannya,” tambah Ranti.

Pernyataan Ranti rupanya membuatku mantap untuk tidak mengatakan perihal kisah yang diceritakan Mona. Jika nanti Ranti menanyakan, aku akan katakan bahwa apa yang Mona kisahkan tidak selengkap dengan cerita Ranti. Padahal kenyataannya tidak begitu, karena menurut Mona, setelah hampir tiga jam dia mengejan, bayi itu berhasil dilahirkan dan dalam keadaan hidup. 

Mona bilang usai bayi itu lahir, tenaganya memang terkuras dan kondisi kesadarannya melemah hingga hal itu menyebabkan dia ambruk tidak sadarkan diri. Namun Mona mengatakan, sebelum pingsan dia masih sempat mendengar suara tangis bayi yang dia yakini suara tangisan itu adalah tangisan anaknya yang baru dilahirkan.

Karenanya Mona heran ketika perempuan yang waktu itu membantu memberi penjelasan bahwa bayi yang dia lahirkan sudah meninggal ketika masih dalam kandungan. Oleh suaminya, jasad orok itu kemudian dimakamkan, tapi suaminya belum sempat memberitahu kepadanya tentang tempat bayi itu dikubur. Suaminya keburu pergi meninggalkannya. Kata Mona, terlepas perempuan yang dibawa suaminya itu dokter atau bukan tapi dia merasa perempuan itu adalah kekasih suaminya. Karenanya Mona menduga bahwa mereka memang sengaja membunuh bayinya.

“Sejak itu kondisi kejiwaannya terus menurun hingga sampai pada kegilaan,” kata Ranti menyadarkan lamunanku. “Oya, apakah Mona juga cerita di mana jasad bayinya dikubur?” tanya Ranti kemudian.

“Dia tidak bilang, karena dia sendiri katanya tidak tahu di mana bayinya dikubur,” jawabku.

“Tentu karena itu juga yang membuat dia menjadi gila,” sahut Ranti. “Tapi beruntunglah adiknya masih mau merawatnya bahkan sampai sekarang,” tambah Ranti.

Setelah itu Ranti menceritakan kepadaku tentang perjuangan Noni menghidupi dirinya dan kakaknya itu. Kata Ranti, dia tahu hal itu karena Noni sendirilah yang dulu bercerita kepadanya. Berbekal tanah peninggalan orangtua mereka, Noni membangun indekos ini, yang terdiri dari sebelas kamar. “Eh, ada satu kisah aneh ketika proses mendirikan bangunan ini,” kata Ranti.

“Aneh?” sahutku.

“Ketika pekerja mulai menggarap kamarmu ini, Mona suka teriak dan marah-marah kepada para pekerjanya. Noni heran tapi dia tidak tahu apa yang menyebabkan Mona begitu. “Noni pikir kejiwaan kakaknya semakin parah.”

“Lalu apa yang aneh?” tanyaku.

“Meski begitu pembangunan kamar ini, tetap dilanjutkan,” sahut Ranti tak menjawab pertanyaanku. 

“Terus?”

Kata Ranti, setelah kamar terakhir ini jadi, Mona tetap suka teriak dan marah-marah. Tentu saja bukan lagi kepada pekerja, karena mereka sudah tidak ada, tapi kepada semua orang, terutama kepada perempuan, Terlebih kepada orang yang berniat menyewa kamar ini. Karena itu ketika ada orang ingin menyewanya lalu mendapatkan murka dari Mona, orang itu lantas mengurungkannya. Noni yang tidak tahu penyebab kemarahan kakaknya itu akhirnya menyerah dengan cara tidak lagi menawarkan kamar itu. “Apakah Mona juga bercerita tentang kisah itu?” tanya Ranti kemudian.

Aku menggeleng, sembari benakku mengembara. Pertanyaan Ranti seperti sebuah petunjuk bahwa selama ini belum pernah ada yang tahu perihal kisah Mona yang sebenarnya. Perbincangan kami siang itu terpaksa tidak berlanjut karena aku ada jadwal kuliah. Saat perjalanan ke kampus benakku masih memikirkan hal yang kami obrolkan itu. 

Menjelang sore, usai kuliah aku langsung pulang, bermaksud istirahat dulu sebelum nanti bangun untuk mengerjakan tugas. Mungkin karena cerita tentang Mona masih bersemayam di benakku hingga hal itu terbawa dalam mimpi. Kisah dalam mimpiku itu terjadi pada malam hari. Ketika aku sedang belajar di kamar, tiba-tiba aku mendengar suara tangis bayi, lantas aku mencari asal suara itu. Setelah saksama memeriksa, aku yakin suara itu berasal dari pojok kamarku, tepat di bawah lemari. Ketika aku mendekat bersamaan suara bayi itu terdengar lagi.

Aku terjaga karena kaget dan saat itu Ranti berada di dekatku. Dia bilang sehabis dari kamar mandi, dan ketika lewat depan kamarku dia mendengar aku mengigau. Lantas dia memutuskan masuk kamarku karena pintu tidak terkunci. “Mimpi buruk, ya?” tanya Ranti kemudian. Aku tidak menanggapi pertanyaan Ranti, tapi menyampaikan hal lain, “Aku tahu mengapa Mona suka teriak dan marah-marah saat pembangunan kamar ini.”


_________

Penulis

Yuditeha, penulis yang tinggal di Karanganyar. 


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com 


Puisi-Puisi Muhammad Asqalani eNeSTe

Puisi Muhammad Asqalani eNeSTe




Nordik; Ragnarök

inti kegelapan Niflheim, es dan salju bersatu,
bangitkan Fenrir, serigala langit.
Jörmungandr, ular laut, mengamuk di dasar,
Mengguncang Asgard, takhta dewa-dewa.

Odin, All-Father, memanggil Valkyrie,
pilihlah prajurit terbaik, Einherjar.
Thor, dewa petir, memegang Mjolnir,
mereka yang tak takut mati.

Freya, dewi cinta, menangis, saksi kehancuran, Ragnarök.
Loki, dewa kejahatan, tersenyum.

Asgard jatuh, dewa-dewa mati, kehancuran Ragnarök, tiada henti.

lihatlah, dari abu, baru akan lahir,
dunia baru, cahaya fajar biru.

Kubang Raya, Desember MMXXIV


Rempah Cerita

dalam lubang rasa, bayang-bayang Majapahit tersembunyi,
kunyit cahaya memecah kekosongan, jagakan jiwa.

jahe merah getarkan darah terpendam,
kenangi perjuangan Gajah Mada pada Tiongkok.

di labirin bumbu-bumbu, kekuatan dan kebijaksanaan berperang,
Demak dan Portugis, cengkeh merah berkobar.
kayu manis Maluku isyarat kekuatan raja-raja.

sedang lada putih menari di atas abu kemiri, pertahankan takhta.

ah, di balik tirai kekuasaan, ada bayang-bayang takhta, intrik dan khianat;
Radèn Patah--Pati Unus, mengukir sejarah kita dengan darah dan air mata.

Kubang Raya, Desember MMXXIV


Pora-pora
: Manila Sirait

kulihat perempuan kuning langsat di tv, hinggap di rumah perempuan pora-pora,
Manila Sirait. perempuan yang menjala Toba saban hari, tak henti-henti,
sebab hidup harus tetap makan agar tak mati.

Puti, perempuan kuning langsat itu bertanya asal,
bagaimana mula bu Sirait menebar jala, wanita yang berjuang
dengan ikan-ikan yang kini langka.

mula-mula, pagi buta. sebelum bapakku jaga,
aku gegas mengambil jala, berminggu-minggu kucoba,
sebab hidup kami tidak kenyang dengan menunggu.

berhari-hari, aku diketawai kabur dari kelambu,
tapi bagiku berguru cara hidup adalah penghindar tangis.

pora-pora didapat, perutnya dibelah, digarami dan dijemur.

bila tiba saatnya, bu Sirait menjual ke dermaga,
tempat orang-orang menyeberang danau guna wisata.
empat bungkus sepuluh ribu, peluh luruh ikan susah laku.

perempuan kuning langsat menangis, tak tega pada Sirait bernapas amis.
baginya, hidup adalah segunung tawa, kini runtuh jadi puing-puing tangis.

salam kepada ikan pora-pora di dalam air,
di atas air hidup masyarakat Toba, jangan porak-poranda.

Kubang Raya, 18 Agustus 2023


Tanya

kau dibesarkan ketiadaan, berjalan di antara bimbang,
tak tahu koordinat pulang. ibumu pergi ke bulan, ayahmu ditelan malam.
sedang silsilahmu pecah belah.

kau dituakan waktu yang menipu, hari-harimu pucuk randu bisu,
menguning tanpa dikenang, gugur tanpa dikubur.

tuhan, keadilan itu warna tanah yang mana,
jika seluruh manusia lebih busuk dari kentut hara.

Kubang Raya, Desember MMXXIV


Kepada Ton

Ton, aku melihat dirimu yang melarat dalam bangkai masalalu yang jahat.
orang-orang hujat, hajatmu mampat, mulutmu sumbat. tapi Ton,
kau percaya Tuhan bukan penonton, hidup tidak mungkin menonton.

saat tepuk dan tangan menyatu dalam telingamu,
ingatlah keringatmu telah berlipat lelah, sebab tak ada yang mustahil,
di dunia yang serba ganjil ini.

congrats, Ton. kau layak hidup layak, kayak siapa pun yang berada di puncak.
maaf Ton, berton-ton terimakasih baru kuucapkan sekarang, kepadamu yang cukup
dalam cakap. kamu benar-benar cakep.

Kubang Raya, Desember MMXXIV

_______

Penulis

Muhammad Asqalani eNeSTe, kelahiran Paringgonan, 25 Mei 1988. Merupakan alumnus Pendidikan Bahasa Inggris - Universitas Islam Riau (UIR). Mengajar English Acquisition di TK Islam Annur Bastari. Menulis puisi sejak 2006. Puisi-puisinya terangkum di berbagai media dan memenangkan sejumlah lomba. Ia merupakan Pemenang II Duta Baca Riau 2018. Pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Cahaya Rumah. Pendiri Community Pena Terbang (COMPETER). Ia mengikuti Residensi Seniman Riau 2023 & 2024. Salah satu Emerging di Balige Writers Festival (BWF) 2023. Adalah Laskar Rempah RI melalui Muhibbah Budaya Jalur Rempah 2024. Buku puisinya Ikan-ikan Kebaikan Terbang dari Sungai ke Langit Lengang, memenangkan lomba buku internasional melalui Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FSIGB) 2024. Ia pernah liburan gratis ke Singapura karena satu puisi dan membacakan puisinya di Nasional University of Singapore 2019. Kini ia menjadi pembicara atau motivator yang diundang ke berbagai sekolah dan helat sastra, baik di Riau maupun nasional. IG: @muhammadasqalanie


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com 


Thursday, January 23, 2025

Esai Bandung Mawardi | Nama: Derita dan Cerita

Esai Bandung Mawardi



Semula, pembaca mengenali dan menandai tokoh-tokoh dalam buku cerita sedang terbuka di halaman-halaman awal. Nama-nama teringat untuk terbawa sampai akhir. Nama-nama itu mengesahkan pemerolehan makna-makna saat raga dan peristiwa perlahan dalam ketetapan dalam cerita. Pembaca tak selesai dengan nama. Lacak sejarah, sosial-kultural, kealaman, politik, atau religiositas lazim dilakukan agar nama-nama membentuk “kepemilikan” cerita.

Pada saat bergerak dengan nama-nama, pembaca mengetahui beragam situasi dan konflik-konflik. Ketegangan dan kelegaan bergantian atau bercampur.


Pembaca berada dalam “perjalanan” mengesankan setelah melewati halaman demi halaman buku cerita. Pamrih segera mengadakan ringkasan mungkin terwujud. Pembaca tak mau sia-sia memilih mengadakan resensi meski mengharuskan pilihan ingatan dan keterikatan berpusat nama-nama.


Tahun-tahun berlalu, pembaca tetap “memiliki” buku-buku cerita pernah terbaca. Ia berada dalam pusaran ingatan tak utuh. Penggalan-penggalan bisa “mengembalikan” cerita. Ingatan nama-nama dalam buku cerita mungkin “petunjuk” penting untuk memanggil semua halaman.


Pembaca tak selalu mendapat nama mudah dibawa dalam album ingatan. Buku cerita mungkin sekadar menghadirkan “sosok” tanpa pemberian nama terang. Kita membuka buku cerita berjudul The Hen Who Dreamed She Colud Fly (2020) gubahan Hwang Sun-Mi. Cerita datang dari Korea Selatan. Nama ditaruh di halaman-halaman awal: Daun. Pembaca lekas diberi petunjuk oleh pengarang: “Daun adalah ayam petelur. Ia adalah ayam yang dirawat supaya terus menghasilkan telur. Sudah setahun lebih berlalu, sejak daun masuk ke ruang ternak ayam, terus bertelur setiap hari.”


Duka menjadi milik Daun. Ia tak pernah bisa keluar dari kandang. Daun mengimpikan bisa mengerami telur tapi majikan selalu mengambil telur-telur untuk kepentingan berbeda. Daun “kehilangan” telur, tak pernah mengetahui nasib-nasib telur setelah diambil majikan.


Daun pun “iri” dengan dunia di luar kandang. Di celah kadang, ia melihat dunia disangka indah. Kita mendapat pengalaman dan deskripsi: “Daun iri dengan dedaunan pohon akasia. Dau memicingkan matanya melihat dedaunan hijau-kekuningan yang tanpa disadari telah bertumbuh menjadi bunga mengharum.


Daun sudah menyadari kehadiran pohon akasia sejak hari pertamanya di ruang ternak ayam. Awalnya, Daun mengira pohon akasia hanya memiliki bunga. Namun, beberapa hari kemudian, bunga-bunga mulai berguguran meninggalkan dedaunan hijau. Dedaunan hijau terus bertahan hidup sampai akhir musim semi, sebelum akhirnya berubah menjadi kekuningan. Kemudian, ia juga berguguran dengan perlahan. Daun mengagumi dedaunan yang terus bertahan di bawah empasan angin dan terjangan hujan lebat, sampai akhirnya harus gugur setelah berubah menjadi kekuningan. Lalu, ia juga merasa kagum ketika melihat dedaunan hijau yang terlahir kembali pada musim semi tahun berikutnya.”


Tokoh bukan melulu memikirkan nasib diri. Ia mereferensikan pohon akasia.


Daun justru memahami takdir pohon akasia meski berjarak dengan kandang.


Amatan dan kesaksian memudahkan membuat pengertian hidup dan mati. Daun tak selalu benar dengan sangkaan-sangkaan. Ralat kadang dibuat agar pengenalan pohon, angin, hujan, dan tanah tak salah.


Pembaca mulai bingung: Daun mengartikan dedaunan. Daun itu binatang.


Daun menanggung iri janggal. Kita bermasalah dengan nama. Pengarang memberi paragraf meredakan dan menjawab ragu pembaca: “Daun iri dengan dedaunan pohon akasia, sehingga ia menamai dirinya sendiri dengan nama Daun.

Tidak ada yang memanggilnya dengan sebutan itu, hidupnya juga tidak seperti dedaunan pohon akasia. Namun, ia merasa nama itu cocok untuk dirinya. Ia merasa bagai tengah menjaga sebuah rahasia yang hanya diketahui oleh dirinya.”


Cerita perlahan dinikmati pembaca dengan nama dan tata cara pembentukan nasib tokoh. Kita mula-mula mengenali binatang dan pohon. Dititian bacaan, kita sadar sedang mengenali manusia-manusia dalam selubung-selubung cerita. Daun itu nama puitis. Daun tak selesai mengisahkan diri. Ia memberi ruang pengisahan untuk pohon menampilkan dedaunan berwarna dalam hidup-mati.


Kita beralih memangku buku cerita terbuka berjudul Where the Mountain Meets the Moon (2010) gubahan Grace Lin. Novel berlatar Tiongkok. Sejak mula, kita bertemu manusia-manusia. Sosok terpenting bernama Minli. Gadis kecil hidup dalam keluarga miskin, tinggal di desa beribu prihatin. Pengarang membekali pembaca: “Minli tidak cokelat dan suram seperti segala sesuatu di desa. Dia berambut hitam berkilauan dan berpipi merona. Mata tajam yang selalu haus akan petualangan. Senyum sering tersungging di wajahnya.” Pembaca mungkin kagum dikenalkan sosok Minli, sebelum bergantian sedih dan girang mengikuti petualangan.


Pembaca belum sempat bertaruh tafsir, pengarang telanjur sodorkan kalimat-kalimat: “ Setiap kali melihat tingkahnya yang ceria dan sekehendak hati, orang-orang berpikir bahwa namanya, yang berarti ‘berpikiran sigap’, sangat cocok untuknya.” Nama telah diperoleh pembaca. Segala keterangan memastikan nama itu menjadikan cerita “terpegang”. Pembaca tanpa khawatir cerita berlepasan atau merucut.


Nama itu makin penting dengan lakon ibu (Ma): “Ma sering mendesah, wujud kekesalan yang biasanya ditemani kernyitan untuk baju mereka yang compang-camping, rumah mereka yang reyot atau makanan mereka yang seadanya. Minli tidak bisa mengingat satu waktu pun ketika Ma tidak mendesah.


Itu kerap membuatnya berandai-andai dirinya diberi nama yang bermakna emas atau kekayaan. Sebab, Minli dan orangtuanya seperti desa dan tanah di sekeliling mereka, sangat miskin.”


Nama melampaui pengisahan diri. Nama itu menguak nasib keluarga dan desa. Minli terbukti membuat petualangan bermula nama. Ia berani bertualang dipengaruhi kisah-kisah biasa dituturkan bapak (Ba) setiap makan malam. Cerita-cerita memberi kebahagiaan dalam keseharian bergelimang derita. Di hitungan waktu sejenak, cerita “menumpas” derita. Cerita selalu menakjubkan tentang gunung dan pohon: “Ba, ceritakanlah kepadaku tentang Gunung Nirbuah lagi.


Ceritakanlah lagi mengapa tidak ada tumbuhan yang hidup di sana.” Bapak biasa menggoda jika cerita itu berulang diberikan. Minili dipastikan merengek:


“Ceritakanlah lagi, Ba. Kumohon.”


Kita bersama buku-buku cerita: mengenali nama-nama mengesankan derita-derita untuk dirampungkan. Halaman-halaman di buku cerita membuat kita terus bergerak dalam jalinan ketegangan dan kejutan-kejutan. Bermula nama, pembaca mengenali manusia, binatang, pohon, dan lain-lain. Pembaca mengenal dan mengingat nama-nama. Sejak awal sampai akhir, nama menjadi pembuktian (keutuhan) cerita agar teringat dan “termiliki” sepanjang masa. Begitu.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Friday, January 17, 2025

Cerpen A. Warits Rovi | Dua Hati yang Bertemu di Tapal Batas

Cerpen A. Warits Rovi



Sejak dulu, semasih aku kecil, ketika masih gemar kencing berdiri sambil mengarahkan cucuran air pesing itu ke lubang-lubang serangga, kampung ini sering dijaga prajurit berseragam yang gemar menggendong senjata. Jika mereka lewat di depanku, aku sering menatap sepatunya yang bagus, sepatu yang tidak pernah kulihat di pasar kampung ini. Kata Aba, mereka pengaman tapal batas. Petugas keamanan itu memang ada sejak aku belum lahir, bahkan sejak Aba belum lahir juga, silih ganti dari generasi ke generasi, bertugas dengan disiplin menjaga tapal batas.


“Jika bukan prajurit tangguh yang sudah lihai berperang, tidak mungkin ditugaskan di tapal batas,” kata Aba kepadaku saat itu. Aku diam saja karena tidak mengerti.


 “Tapal batas?” tanyaku dalam hati.


Aku jadi teringat gedung menjulang yang di puncaknya ditancapi bendera. Gedung itu ada di lereng hutan, di tepi jalan utama kampung yang meliuk dengan aspal pecah-pecah. Pangkal gedung itu dilingkari pagar besi yang dipenuhi ilalang. Sekali waktu, ketika aku dan Zainab sedang asyik bermain bunga ilalang di sekitar tempat itu, tiba-tiba Ibu Zainab menggendongnya dan membawanya pergi, tak peduli meski Zainab meronta sambil menangis.

 

“Di sana bukan negaramu. Tapal batas itu garisnya,” suara Ibu Zainab sangat nyaring, seperti dibentak-bentakkan ke telinga anaknya yang masih tak tahu apa-apa itu. Aku hanya berdiri, sedih memandanginya sambil memegang setangkai bunga ilalang. Sebentar kemudian, aku melangkah untuk mengejar Zainab. Aku ingin bermain di rumahnya karena hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumahku dan dari rumah masing-masing, kami bisa saling pandang.


“Hai, Azam, jangan ke sana! Negaramu di sini, bukan di sana,” ibuku seketika memanggil dari belakang.


“Kamu hanya bisa bermain di wilayah yang lurus dengan tapal batas itu,” Ibu menunjukkan gedung tinggi bertancap bendera itu lagi. Aku pun menghentikan langkah sambil bermuram. Saat itu, aku benci gedung itu. Ia telah merampas kebersamaanku dengan Zainab. Kenapa harus ada gedung itu? Kenapa harus ada batas? Bahkan kenapa pula harus dijaga segala? Itu kan hanya gedung, bukan emas. Tak mungkin ada pencuri tertarik kepada gedung itu, kecuali hanya yang sinting.


Gedung tapal batas itu seolah kekuatan gaib yang mengotakkan tetanggaku dengan tetangga Zainab. Kami seolah dikotakkan pada peti merah dan peti biru, yang biru tak boleh mencampuri urusan yang merah, begitu sebaliknya, padahal banyak di antara kami yang masih satu nasab sebagai keturunan Ki Katuk Amar dan Nyai Arumsari. Sebelum ada tapal batas itu, Ki Katuk Amar dan Nyai Arumsari sering pergi ke hutan, mereka menikah dari sebab dipertemukan nasib karena sama-sama bekerja mencari kayu, dan di sela waktu kosong, keduanya mengumpulkan getah dan dikeringkan di selembar daun pisang dengan aneka bentuk untuk dijadikan aksesori rumah. Dari sepasang suami-istri itu kemudian lahirlah tetua kampung ini dan kampung Zainab.


Menurut cerita, tetua kampung ini mulanya hidup rukun, saling membantu dan menghargai, satu sama lain hidup seperti satu tubuh. Apabila yang lain duka, dukalah semuanya dan apabila semua suka, sukalah semuanya. Tapi itu berlangsung sebelum ada tapal batas.


Setelah tapal batas itu dibangun, tetua kami terkotak oleh aturan-aturan, sebagian bernegara Koman dan sebagian lain bernegara Sintu. Sejak saat itu tetua kami mulai tidak rukun, lupa bahwa berasal dari nenek moyang yang sama. Makam Ki Katuk dan Nyi Arum yang ada dalam cungkup di sebelah timur hutan jadi luluh berantakan karena diperebutkan tetuaku dan tetua Zainab. Tidak hanya itu, negaraku dan negara Zainab sejak ada tapal batas itu selalu saling mencurigai dan sering saling tikai.


Kata Aba, sewaktu dirinya masih kecil, hampir setiap hari ia melihat prajurit berperang di sekitar gedung tapal batas itu. Suara peluru berdesing, mengusik ketenangan warga setiap siang dan malam. Mayat-mayat bergelimpangan. Tanah berbedak darah. Beruntung beberapa tahun setelah itu, atau ketika umur Aba remaja, ada pasar yang bisa saling dikunjungi oleh dua warga negara itu, namanya Pasar Cinta. Nama pasar itu memengaruhi pikiran orang-orang sehingga ketika masuk ke pasar itu, semua harus damai, seperti sepasang kekasih yang saling mencintai.


Pasar itu terletak di bagian barat hutan, lokasinya membentang pada dua negaraku dan negara Zainab, separuh ada di negara Koman dan separuhnya lagi ada di negara Sintu. Pasar itu dibangun oleh dua orang yang mencintai kedamaian. Dua orang itu bernama Bunta dan Ribak. Sejak kecil keduanya berteman karib hingga masing-masing berkeluarga dan tinggal di dua negara berbeda, rumah mereka dekat di sekitaran tapal batas itu. Keduanya sadar, bahwa setiap warga negara memang wajib menjaga wilayahnya masing-masing hingga tetes darah penghabisan, tapi jalan untuk menjaga wilayah tidak melulu harus dengan berperang, melainkan harus ada kesadaran pada kesepakatan batas wilayah, lalu menyebar rasa toleransi. Hal kecil yang bisa dilakukan oleh dua sahabat karib itu adalah mengajak para pedagang untuk berjualan di tapal batas yang memungkinkan dua warga negara itu bisa berbaur dalam kedamaian. Mulanya, transaksi dilakukan dengan cara barter atau saling bertukar barang antara pedagang dan pembeli. Hal itu dilakukan karena dua negara itu berbeda mata uang. Saat itu, pasar Cinta hanya ditempati beberapa pedagang makanan pokok, lalu bertambah dan terus bertambah hingga di suatu waktu transaksi jual-beli pun bisa dilakukan setelah dua warga dari dua negara itu sudah terbiasa menukar mata uang masing-masing. Pasar itu pun seperti menjelma tangan gaib yang bisa menghapus segala bentuk permusuhan dan perlahan menganyam hidup dua warga itu menjadi damai.


Nenek, Kakek dan Aba juga berjualan di pasar itu. Kabarnya, mereka berjualan palawija yang dipanen langsung dari ladang di belakang rumah. Orang-orang dari dua negara itu mulai saling membutuhkan. Sebentar saat itu, wajah tapal batas seperti ditutupi keindahan pasar. Tapi itu hanya berlangsung sekitar dua tahun. Ketegangan kembali terjadi setelah suatu pagi yang gerimis, gerobak seorang pedagang sayur dari negara Sintu menyenggol lapak Kakek hingga palawija dagangannya berserakan di tanah. Kakek naik darah, ia langsung mengobrak-abrik sayur di gerobak itu. Kakek dan pedagang sayur itu adu mulut dan saling menyalahkan. Orang-orang berdatangan mendekatinya. Sebagian mencoba mendamaikan keduanya, tapi keduanya tetap panas hingga terjadi adu jotos. Beberapa orang melerai, tapi sebagian yang lain malah terlibat, hingga perkelahian pagi itu menjadi perkelahian massal. Pasar jadi ribut. Para perempuan dan anak-anak kecil menangis histeris sambil berlarian. Peluru pasukan kedua negara pun berdentaman di udara. Tapi orang-orang tetap bertengkar, saling lempar dan saling pukul. Barang dagangan berhamburan di tanah, ditinggal pergi penjualnya. Hanya dalam waktu hitungan menit, pasar itu kemudian dijalar api. Api itu seperti sengaja dikobarkan oleh sekelompok orang.


Sejak pasar itu terbakar, habis juga riwayat kedamaian di antara dua negara itu. Tapal batas kembali dijaga dengan ketat, bahkan tak jarang terdengar desing peluru pasukan dua negara yang saling menembak dari pos penjagaan. Dalam situasi semacam itu, entah kenapa tiba-tiba aku mencintai Zainab dan Zainab juga mencintaiku. Semua itu berawal ketika kami sering bertemu di sungai Apparo saat kami sama-sama mencuci. Obrolan sederhana ketika kami mengucek pakaian di atas batu ternyata mampu melekatkan rasa pada masing-masing hati kami.


Menjalin hubungan asmara di antara dua negara yang sedang konflik sama halnya dengan meluruskan kaki pada ratusan batu rintang. Tapi Zainab mengaku siap menghadapi rintangan itu. Dia yang selalu menemukan cara untuk saling mengirim kabar melalui kata-kata yang ditulis di selembar daun dan diselipkan pada ceruk sebuah batu. Kami terpaksa melakukan cara kuno itu karena kami tidak bisa saling berbagi kabar melalui ponsel setelah masing-masing dari badan informasi negara Koman dan Sintu memblokir hubungan telekomunikasi di antara keduanya. Aku pun tak bisa kontak dengan Zainab.


Sore itu langit lembap, dilabuhi kabut tipis, berarak pelan searah angin. Sorot cahaya matahari kekuningan melumasi punggung daun. Aku dan Zainab duduk di belukar akar sebatang pohon besar yang berdaun rindang mirip payung. Kami baru bercakap setelah memastikan keadaan sekitar aman.


“Aku yakin batasan antarwarga di tapal batas melebihi aturan batas sebenarnya yang tertuang dalam undang-undang, sehingga setiap waktu selalu terjadi ketegangan,” mata dingin Zainab melirikku.


“Kamu jangan sok tahu, bisa dipenjara lho sama negara. Aturannya ya memang harus ketat begitu,” jawabku sesuai getar hati.


“Ketat yang semacam itu hanya membuat sebagian warga jadi korban.”


“Ah, kok bisa?”


“Ya bisa lha!”


“Contohnya?”


“Ya, kita ini. Harus bertemu sembunyi-sembunyi.”


“Hahaha.”


Kami terus bercakap, membahas banyak hal, meniadakan tapal batas di antara hati kami, sesekali mengamati keadaan sekitar. Bunga-bunga pohon yang memayungi kami berjatuhan ke lebat rambut, menebar wangi yang lembut. Beberapa kali Zainab memungut dan menciumnya. Dan ujung semua cakap itu membuat kami diam seperti patung: setelah kami tahu melalui cerita kami berdua bahwa Zainab cucu dari pedagang sayur yang dulu pernah berkelahi dengan Kakek dan membuat hubungan negara Koman dan negara Sintu memanas kembali.


Aku menatap Zainab, di matanya seperti ada tumpukan palawija Kakek yang dulu jatuh berhamburan di pasar itu. Mungkin Zainab juga menatap mataku, ada sayur kakeknya yang diobrak-abrik kakekku hingga berantakan juga di pasar itu. Tapi kami berjanji untuk memadamkan api buruk masa lalu dan tak ingin memberi tapal batas pada hati kami berdua.


Aku tersenyum. Zainab juga tersenyum, beberapa saat sebelum sepasukan orang berseragam menghujani kami dengan peluru.



_______


Penulis


A. Warits Rovi, lahir di Sumenep Madura, 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel memenangkan beberapa sayembara dan dimuat di berbagai media, Memenangkan beberapa lomba karya tulis sastra. Buku cerpennya yang telah terbit Dukun Carok & Tongkat Kayu (Basabasi, 2018). Buku puisinya adalah Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki (Basabasi, 2020), Bertetangga Bulan (Hyang Pustaka, 2022). Sedangkan buku puisinya yang berjudul Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela memenangkan lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020. Ia mengabdi di MTs. Al-Huda II Gapura dan berkesenian di Sanggar 7 Kejora, juga di Komunitas Damar Korong. Berdomisili di Jalan Raya Batang-Batang PP Al-Huda Gapura Timur Gapura Sumenep Madura, email: waritsrovi@gmail.com.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Puisi-Puisi Imam Khoironi

Puisi Imam Khoironi



Balon Udara


Di negeri rimba

Bukit-bukit memasang pasak

Hutan berteriak meminta hujan

Di perbatasan

Perempuan berhenti dari perjalanan

Seusai melempar rindu

ke dasar jurang

di pangkal senja

Sambil meniupkan angin

Di daunan yang runtuh ke padang


Ia menulis stanza yang pada baris terakhir

Menghapus dirinya sendiri

Karena kaki-kakinya patah

tak kuat menyangga makna

Di kenafian itu

Ia enggan berjalan pulang


Ia memilih maju dan menembus

awan di daerah rawan

Meski senapan dilarang berbicara

Dan pekik luka di tanah perang

sudah berakhir


Setelah berkemas, ia setia menyaksikan

Waktu menghidupkan api

Karena setiap detik

Terbang dengan percuma

Di perbukitan berselimut mimpi

Di langit hampa penuh balon udara


Di sana, ia bertanya

Apakah mimpi bisa pulang

saat ia terjaga?

Di Cappadocia?


Bandar Lampung, Agustus 2022



Ramalan Cuaca


Ternyata, ada yang lebih buruk

Dari ramalan nasibku

Menurut pawang hujan

Badai akan melintas, karena

Di tempat ia lahir, politikus sedang berpesta


"Bagaimana bisa wakil Tuhan percaya padanya?"

Tapi menurut kalender, istriku ingin melahirkan

Jadi, aku mencoba beriman pada Affandi

badai tak mungkin mengerami angin

kamusnya tak semalas itu


“Lagipula ini mei, Jun”

Ucap istriku

Trotoar masih berdebu dari awal bulan

Ketika ia menggerakkan buruh-buruh

dan meninggalkan pekerjaan bagimu


Benar, tak ada ramalan cuaca

Bagi yang nasibnya seperti badai


Bandar Lampung, Oktober 2022



Belajar Membaca Engkau


Kuterima sabda yang tiba

Sebagai jawab dari jalan buntu

Pertanyaan yang lancar mengulur sulur

Apakah pada tiap-tiap malam

Matamu terpejam tanpa menikmatiku?


Lelapku hanya mengurai engkau

Menjadi serat-serat lembut

menuju kesadaran paling dalam

Mengikatnya menjadi simpul,

meruwatnya, lalu menebarnya di perigi tua


Ingatanmu memutarku di bangsal gelap

yang penuh jebakan

penuh kecewa

Salah langkah sekali kalah selamanya


Pernahkah kau bersaksi pada gaib yang raib?

Adakah hikayat turun temurun berkisah tentangnya?

Kau terlalu mustahil untuk mengurai tanya-tanya

Dan aku masygul menyemai jawabannya


Lampung, April 2022



Jika Aku Jadi Debu


Jika aku jadi debu, maka kau adalah angin

yang membawaku singgah

ke dedaunan

menerbangkan tubuhku

hingga berlabuh ke tembok geribik

menyimak percakapan ibu

yang sedang menenangkan perut bayinya

yang kelaparan 


Jika aku jadi debu, maka kau adalah jalanan

yang sibuk mengalirkan

pilu ke seluruh tubuh kota

meninabobokan aku setiap malam

meredam mimpi buruk

yang tiba-tiba datang


Jika aku jadi debu, maka kau adalah terik

yang mengobarkan nyala api

di kepala anak adam

melangsamkan denyut nadi dalam dadaku

menegasikan kematian yang buru-buru


Jika aku jadi debu, maka kau adalah tanah basah

tempatku pulang dan rebah

menerima ajal dengan tabah


Bandar Lampung, September 2023



Aku Dawam Padamu


Setelah dua puluh delapan ribu langkah

kita terbiasa

melantunkan lagu sendu

diiringi birama satu perempat

dalam daftar putar favorit

untuk memulai hari berkabung

Adakah cinta yang terpendam

di lubuk pilu, detak jantungmu?


Setelah sembilan ratus kali purnama

Setelah kapal-kapal melayari samudera

meriam-meriam memadamkan apinya

senapan memilih redam suara

Lagu sedih itu tetap diperdengarkan

kadang, anak-anak tanpa ragu

ikut riang menyanyikannya

Begitu pula mayat-mayat di selokan

yang tersumbat popok tanpa kain kafan


Setelah tiga puluh sembilan kemarau

angin yang singgah di pelabuhan hijrah

ke negeri jauh, mencari ujung dunia

tapi aku tetap di sini

Menikmati hujan, menghirup aroma daun kering

sesekali mendengarkan lagu sedih

yang diputar menjelang pesta


Setelah tigapuluh delapan titik perhentian

Aku pasrah dan mengamini segala doa

dari jalan-jalan yang panjang dan sunyi

dari rimbun pohon yang berselawat

menentang tumbang

dari padi-padi yang menolak tunduk

dari nyanyian yang bersandar pada air mata


Sebelum seabad kita bercengkrama

Ada hal dalam palung rinduku

Aku dawam padamu

pada duka-duka, luka-luka, yang riuh mengguruiku

Aku dawam padamu

pada terik-hujan, pada anyir-busuk bau kata-kata

Aku dawam padamu

pada fajar dan senja, pada pantai dan lanskapnya.

Aku dawam padamu


Bandar Lampung, Agustus 2023



________

Penulis


Imam Khoironi, lahir di Desa Cintamulya, 18 Februari 2000. Mahasiswa S-1 Pendidikan Bahasa Inggris UIN Raden Intan Lampung. Pemenang 3 Duta Bahasa Provinsi Lampung 2024. Suka nulis puisi, kadang-kadang cerpen, juga esai. 


Buku puisinya berjudul Denting Jam Dinding (2019). Karya-karyanya pernah dimuat di pelbagai media online dan cetak. Puisi-puisinya juga terhimpun dalam beberapa buku antologi puisi bersama.


Ia bisa disapa melalui laman Facebook : Imam Imron Khoironi, Youtube channel: Imron Aksa, Ig : @ronny.imam07 atau sila kunjungi www.duniakataimronaka.blogspot.com.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Monday, January 13, 2025

Karya Guru | Cinta di Utara | Cerpen Siti Maria Ulfah

Cerpen Siti Maria Ulfah



Hujan turun, aku berdiri di dekat jendela, mengamati derasnya air hujan. Terendus khas aroma tanah kemarau. Aromanya menenangkan. Hidupku didikte usia hingga hujan tak lagi menjadi teman. Hujan membawaku pada perjalanan menyusuri lorong-lorong kenangan. Tiba-tiba bunyi ponselku menjerit tak karuan. Biarkan saja, kehadirannya sudah merenggut sebagian kedamaian hidupku. Anehnya tanganku lebih reflek dibandingkan otak dan sumsum tulang belakangku hingga kututup segala kenangan dan meninggalkan hujanku sendirian. Dengan berat hati kurapatkan jendela karena angin semakin besar membawa hujan masuk ke ruangan. 


“Aya, kamu mau yah besok mewakili aspirasi masyarakat menolak PIK dua,” ujar Aji. 


Aku terkejut dengan tawarannya lewat lubang-lubang kecil ponselku ini. Kalau tawarannya tahu bulat, langsung saja aku ambil, apalagi hujan begini. Aji memang memilih menjadi "budak" desa, sedangkan aku penikmat desa.


“Halo Gemini, apa dampak positif dan negatif pembangungan PIK Dua di Banten?” Tak sungkan-sungkan pertanyaan ini aku lontarkan pada AI Gemini. Sudah tiga bulan ini aku angkat menjadi sekretaris pribadiku, yang bisa kapan saja aku ganggu waktunya dan menjawab setiap pertanyaan dengan informasi yang cukup detail. Aku rebahkan badan beserta kaki-kakinya di atas ranjang. Kornea mata memandang atap-atap kamar dengan hangat yang menyajikan rumah pohon tempatku berkeluh kesah, dengan air selokan yang mengalir di bawahnya. Kadang pandanganku beralih pada aktivitas Ibu dan Bapak yang asyik berdua menanam padi dengan gaya mundurnya. Terkadang berhenti sejenak untuk mengusap keringat akibat terik matahari yang menyengat tajam menembus pertahanan topi rokok mereka. Dengan tegukan air mineral sedikit menyegarkan badan mereka untuk tetap berstamina. Mereka memang pasangan terpopuler bergengsi pada masanya.


“Astaga kompor belum aku matikan,” segera kuhentikan bayang-bayang kenangan. Berlari menuju dapur yang sedikit jauh dari kamarku. Air di teko mengering dan hampir membakar tuannya. Kepalaku berbelok ke kanan dan ke kiri, ternyata ada Bapak yang sedang asyik dengan kopi hitam dan cerutu yang hampir membakar tangan kanannya. Syukurlah aku bisa menyedu cokelat hangat yang hampir diserbu rombongan semut di atas cangkir bening pemberian Ibu. Aku aduk-aduk cokelat dengan sembilan adukan. Pikiranku masih terbelenggu tawaran Aji. Selama ini di usiaku yang setengah muda dan setengah dewasa belum ada kontribusi untuk desaku apalagi seluas Banten ini. Entahlah nyaliku tak sebesar "budak" desa itu.


Sebentar lagi akan ada panen raya. Panen raya selalu menjadi momen terindah para petani terkhususnya aku yang masih seatap dengan petani. Dulu masa kecilku hanya dihabiskan untuk bermain setelah pulang sekolah tentunya. Membuat rumah-rumahan kecil dari jerami, perang jerami bersama teman-teman kecilku, mencari jamur ditumpukan jerami yang sudah dibakar sebelum musim hujan datang untuk kemudian diolah kembali dan ditanam mundur. Pesta layangan dan goangan pascapanen raya, menjadi tontonan yang menyenangkan untuk anak-anak, ibu-ibu, dan semua usia kala itu. 


Hujan berhenti setelah membasahi tanah yang hampir dehidrasi.


Bladide kuuuy Noooook, bladiiid!” teriakan Mang Sarmin memang terdengar khas ditelingaku.


“Mang masih jualan bladid aja,” ujarku sambil mengorek-orek bladid Mang Sarmin di keronjong biru.  


“Kalo bukan Mang Sarmin, Nok gak bisa orek-orek bladid sampe berantakan begini,” aku terkeukeuh malu karena misiku bukan untuk membeli bladid, melainkan mencari klomang di kerumunan bladid


“Tapi kan Ibu membeli bladid, Mang,” sahutku yang tak mau kalah dengan serangan Mang Sarmin. Bukan Aya kalo gak bisa serang balik, hahaha. 


Mang Sarmin terlihat berbeda hari ini. Mukanya sedikit terlipat kaku. Biasanya langsung geguyon setelah seranganku yang mematikan lawan. Aku teringat ajakan Aji kepadaku, mungkin ini salah satu dampak rencana pembangunan PIK dua di Banten, membuat kecemasan para nelayan dan pedagang bladid seperti Mang Sarmin.  Ah ini tidak bisa dibiarkan, masyarakat harus berani menyuarakan keresahan dan kekhawatirannya. Dan aku harus berani menyuarakan aspirasi masyarakat kecil.


Tengah malam, aku masih bersama AI untuk berdiskusi mengenai dampak postif dan negatif dari PIK. PIK pertama menjadi kaca perbandinganku malam ini. Bagaimana kehidupan warga di sekitar PIK sebelum adanya PIK dan setelah adanya PIK di Jakarta. Jakarta memang terlihat kaya, apalagi para investor pemilik saham terbesar dan para pendatang yang memiliki banyak uang. Kesenjangan di Jakarta antara rakyat penghasilan menengah ke bawah dengan rakyat penghasilan menengah ke atas menjadi fokus utamaku malam ini. AI saja kesulitan menemukan persentase yang tepat mengenai kesenjangan penghasilan antara keduanya dengan berbagai alasan yang dipaparkannya. Tapi setidaknya ada beberapa studi dan laporan menunjukkan bahwa kesenjangan sosial di kawasan PIK merupakan masalah yang serius karena perbedaan yang mencolok antara kawasan elite di PIK dengan pemukiman warga di sekitarnya. Langsung saja aku berlari ke penelitian akademis, LSM, BPS, dan media massa.


Jarum jam sudah berlari di angka tiga, mata sepertinya sudah meminta haknya. Video YouTube yang mempertontonkan kawasan elite dan permukiman warga sekitar berhasil melobi mataku sekarang. Perumahan elite, bangunan menjulang tinggi, adanya jembatan penyeberangan yang menghubungkan dua sisi PIK 2, menengok ke  kawasan perdesaan yang sebagian jalan masih terperangkap genangan air karena saluran mampat, berlubang dan lain sebagainya. Padahal jalan itu penghubung antardesa dan jalan utama warga Salembaran Jati ke Muara di Kabupaten Tangerang (YouTube Harian Kompas). Aku lanjutkan pada berita Kompas oleh Fransiskus Wisnu Wardhana Dany yang memotret fenomena dua dunia dalam satu kawasan antara PIK 2 dengan warga Kampung Melayu Timur, Teluknaga, dan Desa Salembran, Kosambi di Tangerang. PIK dua dengan segala kemewahan, sedangkan warga sekitar mengeluhkan kondisinya yang terusir dari rumah sendiri sehingga kehilangan pekerjaannya (13/11/2024). 


Niatku semakin kuat dengan data dan informasi yang sudah aku dapat. Di gedung kecamatan, semua pihak berdatangan. Warga sepertinya antusias dan bergerak berdampingan. Namun, sangat mengejutkan gerbang dikunci rapat, padahal undangan sudah lebih dulu merapat dan dijamu dengan senyum para pejabat. Hari ini warga dikejutkan dengan kebisuan kantor pengaduan. Kekuatan petani dan nelayan tidak bisa diragukan, kekecewaan menguasai pikiran. Gerbang tinggi menjulang dengan mudah digulingkan. Semua warga masuk menerobos tak sudi membiarkan aspirasi terus terbungkam dan dipaksa diam. 


“Kau kira kami bodoh dan lemah. Keluar kau penghianat,” teriakanku semakin liar. Diikuti oleh semua warga. Ngiung ngiung ngiung, suara di balik mobil yang berderet memasuki lapangan. Dengan seragam hitam dan tameng di tangan. Berdiri seakan siap menerkam. Mengeluarkan gas air hingga kabur segala pandang. Pandanganku hilang, napasku mulai sesak, dada terasa berat, hingga badan bersandar pada rerumputan. Cahaya terang membuat mataku terbelalak. Wajah wanita tua tersenyum menutupi cahayanya. 


“Astaga, ini jam berapa?” 


Kaki beranjak dari tempat tidur dan bersiap-siap untuk menghadiri undangan itu. Ibuku bilang Aji sudah berangkat duluan, karena dia pikir aku memang sengaja ingin menghabiskan hari libur seperti biasanya, rebahan sampai matahari tepat di tengah-tengah. Aku lupa memberitahu Aji semalam karena sibuk mencari informasi ditambah lagi mimpi buruk menyerang lebih awal. 


Aku segera mengeluarkan kuda besiku dari kandang, berlari kencang tanpa hambatan. Akhirnya gedung putih dan pagar besi hitam sudah di depan mata. Tapi aneh, tidak kutemui siapa-siapa kecuali satpam. Mungkin acara sudah berlangsung di dalam. Sapaku pada Pak Satpam. Pandanganku beralih pada jarum jam yang masih berjalan tenang. Sepertinya saya datang terlalu siang, acaranya selesai. Aku enggan masuk ke dalam. Dan benar saja acaranya benar-benar sudah selesai satu jam yang lalu. Pak Satpam yang memberitahuku dengan menahan giginya yang hampir terpampang lebar. Dia memberiku secarik kertas, katanya tergeletak begitu saja digedung pertemuan. 


Tentangmu

Tentang kita

Tentang apa-apa yang tak lagi kita perdengarkan 


Tentangku

Tentangmu

Tentang jarit usang penuh lusuh

Penuh rebut jari tuk basuh keluh


Tentangmu 

Tentang kita

Tentang apa-apa dalam utara

Cinta kita tak terima paksa

Cinta kita bukan dongeng Juliet penuh romansa


Cinta di utara

Cintanya para petani pada sebiji padi

Cinta di utara

Cintanya para nelayan pada seutas jala

Hening rindunya adalah perang dan teriak perlawanan

Cinta di utara adalah tindak

Cinta di utara tidaklah cinta yang melulu diutarakan

Cinta kita penuh diam

Lalu belaiannya penghambatan


Kali ini cinta benar-benar tidak ditawar

Kami tawan segala obral


(Puisi Oki Khaeri Rojab, Singarajan 14 Desember 2024)



_________


Penulis


Siti Maria Ulfah lahir di Serang 20 Juni 1999. Kesibukan kesehariannya belajar bersama anak-anak usia dini di SDIT Ibadurrahman Ciruas yang insyaallah saleh dan salihah, membaca karakter anak-anak dan guru-guru yang random serta unique untuk diambil pelajarannya. Kesibukan terakhirnya menulis ke-random-an yang terjadi hari ini.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Friday, January 10, 2025

Puisi-Puisi Imam Budiman

Puisi Imam Budiman




Setengah Dekade Menjadi Juru Balagah

dan Ia Sangat Mencintai Pekerjaannya


semestinya, ia ditunjuk menjadi pemandu labirin anak-anak kalimat di kepala jemaat—yang paham

dan mengerti bagaimana muslihat bahasa bekerja.


makna tiada lahir dari kekosongan

maka terjadilah semacam fatwa kecil:


pertama:

isti’arah mencari alasan logis—dengan perangkat

alaqah dan qarinah dari tingkatan-tingkatan metafora


kedua:

tasybih pada mulanya beroperasi dengan empat rukun

yang utuh dan hilang ketika bermain menjadi simile


ketiga:

aqliy adalah kaifiat menghidupkan seisi kamar, segala yang disebut benda, dalam jurus terakhir personifikasi


ia selalu punya alasan untuk pergi lebih lekas ke ruang kelas, menciumi meja dan kursinya, untuk mengulas hal makna baris kitab suci—serta syair klasik sembilan ratus tahun silam. menyaksikan kata-kata menekuni kaidah

menyusun jisimnya menjadi keindahan yang lain.


dengan bahasa dan puisi— begitu penuh dirinya

ia selalu merasa terkoneksi dengan para penyair

—manusia-manusia luhung yang dicintai nabi.


dan ia merasa bahagia melihat jemaat tumbuh:

menjadi puisi yang membaca dirinya sendiri.


2024



Membeli Kesedihan


Ia manekin keseribu di pasar itu—yang kepalanya

copot di antara copet dan bau matahari. sejak kapan

sebuah toko menjual kesedihan, ketika segalanya

bisa menjadi komoditas dan layak dibanderol.


Apakah ikan-ikan pernah diajarkan

mencintai keranjang pelelangan.


Apakah sayuran sempat pamit

kepada tanah tempat dilahirkan.


Tetapi, air mata tak absah menjadi alat tukar.

Mungkin Ia masih bisa membeli langsung

dengan sepotong kesialan yang terampuni.


2024



Membaca Website


Kubirukan sebuah pranala dari dalam tubuhku

agar kau dapat mengakses kapan pun hal-hal lain

yang kusembunyikan selama ini. selama ini.


Sinyalmu stabil dengan paket bulanan, kautemui

di pojok kanan bawah pranala itu berupa perasaan

yang sudah kedaluarsa, buku-buku belum terbaca

atau langit yang tak berubah: selalu abu-abu.


Kunonaktifkan rubrik yang sengaja tak pernah terisi

dari sepenggal tubuhku yang tersisa. koneksi terputus.


Kau mungkin mengklik berulang kali dan hanya

muncul satu notifikasi yang menghubungkanmu

ke sumir masa lalu—sedang aku tak ada di situ.


2024


_______


Penulis


Imam Budiman, kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur. Biografi singkat tentang dirinya termaktub dalam buku: Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017); Ensiklopedia Penulis Sastra Indonesia di Provinsi Banten (Kantor Bahasa Banten, 2020); dan Leksikon Penyair Kalimantan Selatan 1930–2020 (Tahura Media, 2020).


Beberapa karyanya tersebar di berbagai media cetak nasional seperti: Tempo, Media Indonesia, Republika, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Nusa Bali, Majalah Sastra Kandaga, dll. Pemenang terbaik pertama dalam sayembara cerita pendek pada perhelatan Aruh Sastra 2015 dan Sabana Pustaka 2016.


Pada tahun 2017 mendapat Penghargaan Student Achievement Award, kategori buku sastra pilihan, dari Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta ia meraih beasiswa kuliah singkat Klinik Menulis Fiksi di Tempo Institute tahun 2018.


Buku kumpulan puisinya: Kampung Halaman (2016) serta Salik Dakaik; Mencari Anak dalam Kitab Suci (2023). Saat ini, mengabdikan diri sebagai Guru Bahasa dan Sastra Indonesia serta Ketua Tim Perpustakaan—Literasi Pesantren Madrasah Darus-Sunnah Jakarta.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com