Cerpen A. Warits Rovi
Sejak dulu, semasih aku kecil, ketika masih gemar kencing berdiri sambil mengarahkan cucuran air pesing itu ke lubang-lubang serangga, kampung ini sering dijaga prajurit berseragam yang gemar menggendong senjata. Jika mereka lewat di depanku, aku sering menatap sepatunya yang bagus, sepatu yang tidak pernah kulihat di pasar kampung ini. Kata Aba, mereka pengaman tapal batas. Petugas keamanan itu memang ada sejak aku belum lahir, bahkan sejak Aba belum lahir juga, silih ganti dari generasi ke generasi, bertugas dengan disiplin menjaga tapal batas.
“Jika bukan prajurit tangguh yang sudah lihai berperang, tidak mungkin ditugaskan di tapal batas,” kata Aba kepadaku saat itu. Aku diam saja karena tidak mengerti.
“Tapal batas?” tanyaku dalam hati.
Aku jadi teringat gedung menjulang yang di puncaknya ditancapi bendera. Gedung itu ada di lereng hutan, di tepi jalan utama kampung yang meliuk dengan aspal pecah-pecah. Pangkal gedung itu dilingkari pagar besi yang dipenuhi ilalang. Sekali waktu, ketika aku dan Zainab sedang asyik bermain bunga ilalang di sekitar tempat itu, tiba-tiba Ibu Zainab menggendongnya dan membawanya pergi, tak peduli meski Zainab meronta sambil menangis.
“Di sana bukan negaramu. Tapal batas itu garisnya,” suara Ibu Zainab sangat nyaring, seperti dibentak-bentakkan ke telinga anaknya yang masih tak tahu apa-apa itu. Aku hanya berdiri, sedih memandanginya sambil memegang setangkai bunga ilalang. Sebentar kemudian, aku melangkah untuk mengejar Zainab. Aku ingin bermain di rumahnya karena hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumahku dan dari rumah masing-masing, kami bisa saling pandang.
“Hai, Azam, jangan ke sana! Negaramu di sini, bukan di sana,” ibuku seketika memanggil dari belakang.
“Kamu hanya bisa bermain di wilayah yang lurus dengan tapal batas itu,” Ibu menunjukkan gedung tinggi bertancap bendera itu lagi. Aku pun menghentikan langkah sambil bermuram. Saat itu, aku benci gedung itu. Ia telah merampas kebersamaanku dengan Zainab. Kenapa harus ada gedung itu? Kenapa harus ada batas? Bahkan kenapa pula harus dijaga segala? Itu kan hanya gedung, bukan emas. Tak mungkin ada pencuri tertarik kepada gedung itu, kecuali hanya yang sinting.
Gedung tapal batas itu seolah kekuatan gaib yang mengotakkan tetanggaku dengan tetangga Zainab. Kami seolah dikotakkan pada peti merah dan peti biru, yang biru tak boleh mencampuri urusan yang merah, begitu sebaliknya, padahal banyak di antara kami yang masih satu nasab sebagai keturunan Ki Katuk Amar dan Nyai Arumsari. Sebelum ada tapal batas itu, Ki Katuk Amar dan Nyai Arumsari sering pergi ke hutan, mereka menikah dari sebab dipertemukan nasib karena sama-sama bekerja mencari kayu, dan di sela waktu kosong, keduanya mengumpulkan getah dan dikeringkan di selembar daun pisang dengan aneka bentuk untuk dijadikan aksesori rumah. Dari sepasang suami-istri itu kemudian lahirlah tetua kampung ini dan kampung Zainab.
Menurut cerita, tetua kampung ini mulanya hidup rukun, saling membantu dan menghargai, satu sama lain hidup seperti satu tubuh. Apabila yang lain duka, dukalah semuanya dan apabila semua suka, sukalah semuanya. Tapi itu berlangsung sebelum ada tapal batas.
Setelah tapal batas itu dibangun, tetua kami terkotak oleh aturan-aturan, sebagian bernegara Koman dan sebagian lain bernegara Sintu. Sejak saat itu tetua kami mulai tidak rukun, lupa bahwa berasal dari nenek moyang yang sama. Makam Ki Katuk dan Nyi Arum yang ada dalam cungkup di sebelah timur hutan jadi luluh berantakan karena diperebutkan tetuaku dan tetua Zainab. Tidak hanya itu, negaraku dan negara Zainab sejak ada tapal batas itu selalu saling mencurigai dan sering saling tikai.
Kata Aba, sewaktu dirinya masih kecil, hampir setiap hari ia melihat prajurit berperang di sekitar gedung tapal batas itu. Suara peluru berdesing, mengusik ketenangan warga setiap siang dan malam. Mayat-mayat bergelimpangan. Tanah berbedak darah. Beruntung beberapa tahun setelah itu, atau ketika umur Aba remaja, ada pasar yang bisa saling dikunjungi oleh dua warga negara itu, namanya Pasar Cinta. Nama pasar itu memengaruhi pikiran orang-orang sehingga ketika masuk ke pasar itu, semua harus damai, seperti sepasang kekasih yang saling mencintai.
Pasar itu terletak di bagian barat hutan, lokasinya membentang pada dua negaraku dan negara Zainab, separuh ada di negara Koman dan separuhnya lagi ada di negara Sintu. Pasar itu dibangun oleh dua orang yang mencintai kedamaian. Dua orang itu bernama Bunta dan Ribak. Sejak kecil keduanya berteman karib hingga masing-masing berkeluarga dan tinggal di dua negara berbeda, rumah mereka dekat di sekitaran tapal batas itu. Keduanya sadar, bahwa setiap warga negara memang wajib menjaga wilayahnya masing-masing hingga tetes darah penghabisan, tapi jalan untuk menjaga wilayah tidak melulu harus dengan berperang, melainkan harus ada kesadaran pada kesepakatan batas wilayah, lalu menyebar rasa toleransi. Hal kecil yang bisa dilakukan oleh dua sahabat karib itu adalah mengajak para pedagang untuk berjualan di tapal batas yang memungkinkan dua warga negara itu bisa berbaur dalam kedamaian. Mulanya, transaksi dilakukan dengan cara barter atau saling bertukar barang antara pedagang dan pembeli. Hal itu dilakukan karena dua negara itu berbeda mata uang. Saat itu, pasar Cinta hanya ditempati beberapa pedagang makanan pokok, lalu bertambah dan terus bertambah hingga di suatu waktu transaksi jual-beli pun bisa dilakukan setelah dua warga dari dua negara itu sudah terbiasa menukar mata uang masing-masing. Pasar itu pun seperti menjelma tangan gaib yang bisa menghapus segala bentuk permusuhan dan perlahan menganyam hidup dua warga itu menjadi damai.
Nenek, Kakek dan Aba juga berjualan di pasar itu. Kabarnya, mereka berjualan palawija yang dipanen langsung dari ladang di belakang rumah. Orang-orang dari dua negara itu mulai saling membutuhkan. Sebentar saat itu, wajah tapal batas seperti ditutupi keindahan pasar. Tapi itu hanya berlangsung sekitar dua tahun. Ketegangan kembali terjadi setelah suatu pagi yang gerimis, gerobak seorang pedagang sayur dari negara Sintu menyenggol lapak Kakek hingga palawija dagangannya berserakan di tanah. Kakek naik darah, ia langsung mengobrak-abrik sayur di gerobak itu. Kakek dan pedagang sayur itu adu mulut dan saling menyalahkan. Orang-orang berdatangan mendekatinya. Sebagian mencoba mendamaikan keduanya, tapi keduanya tetap panas hingga terjadi adu jotos. Beberapa orang melerai, tapi sebagian yang lain malah terlibat, hingga perkelahian pagi itu menjadi perkelahian massal. Pasar jadi ribut. Para perempuan dan anak-anak kecil menangis histeris sambil berlarian. Peluru pasukan kedua negara pun berdentaman di udara. Tapi orang-orang tetap bertengkar, saling lempar dan saling pukul. Barang dagangan berhamburan di tanah, ditinggal pergi penjualnya. Hanya dalam waktu hitungan menit, pasar itu kemudian dijalar api. Api itu seperti sengaja dikobarkan oleh sekelompok orang.
Sejak pasar itu terbakar, habis juga riwayat kedamaian di antara dua negara itu. Tapal batas kembali dijaga dengan ketat, bahkan tak jarang terdengar desing peluru pasukan dua negara yang saling menembak dari pos penjagaan. Dalam situasi semacam itu, entah kenapa tiba-tiba aku mencintai Zainab dan Zainab juga mencintaiku. Semua itu berawal ketika kami sering bertemu di sungai Apparo saat kami sama-sama mencuci. Obrolan sederhana ketika kami mengucek pakaian di atas batu ternyata mampu melekatkan rasa pada masing-masing hati kami.
Menjalin hubungan asmara di antara dua negara yang sedang konflik sama halnya dengan meluruskan kaki pada ratusan batu rintang. Tapi Zainab mengaku siap menghadapi rintangan itu. Dia yang selalu menemukan cara untuk saling mengirim kabar melalui kata-kata yang ditulis di selembar daun dan diselipkan pada ceruk sebuah batu. Kami terpaksa melakukan cara kuno itu karena kami tidak bisa saling berbagi kabar melalui ponsel setelah masing-masing dari badan informasi negara Koman dan Sintu memblokir hubungan telekomunikasi di antara keduanya. Aku pun tak bisa kontak dengan Zainab.
Sore itu langit lembap, dilabuhi kabut tipis, berarak pelan searah angin. Sorot cahaya matahari kekuningan melumasi punggung daun. Aku dan Zainab duduk di belukar akar sebatang pohon besar yang berdaun rindang mirip payung. Kami baru bercakap setelah memastikan keadaan sekitar aman.
“Aku yakin batasan antarwarga di tapal batas melebihi aturan batas sebenarnya yang tertuang dalam undang-undang, sehingga setiap waktu selalu terjadi ketegangan,” mata dingin Zainab melirikku.
“Kamu jangan sok tahu, bisa dipenjara lho sama negara. Aturannya ya memang harus ketat begitu,” jawabku sesuai getar hati.
“Ketat yang semacam itu hanya membuat sebagian warga jadi korban.”
“Ah, kok bisa?”
“Ya bisa lha!”
“Contohnya?”
“Ya, kita ini. Harus bertemu sembunyi-sembunyi.”
“Hahaha.”
Kami terus bercakap, membahas banyak hal, meniadakan tapal batas di antara hati kami, sesekali mengamati keadaan sekitar. Bunga-bunga pohon yang memayungi kami berjatuhan ke lebat rambut, menebar wangi yang lembut. Beberapa kali Zainab memungut dan menciumnya. Dan ujung semua cakap itu membuat kami diam seperti patung: setelah kami tahu melalui cerita kami berdua bahwa Zainab cucu dari pedagang sayur yang dulu pernah berkelahi dengan Kakek dan membuat hubungan negara Koman dan negara Sintu memanas kembali.
Aku menatap Zainab, di matanya seperti ada tumpukan palawija Kakek yang dulu jatuh berhamburan di pasar itu. Mungkin Zainab juga menatap mataku, ada sayur kakeknya yang diobrak-abrik kakekku hingga berantakan juga di pasar itu. Tapi kami berjanji untuk memadamkan api buruk masa lalu dan tak ingin memberi tapal batas pada hati kami berdua.
Aku tersenyum. Zainab juga tersenyum, beberapa saat sebelum sepasukan orang berseragam menghujani kami dengan peluru.
_______
Penulis
A. Warits Rovi, lahir di Sumenep Madura, 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel memenangkan beberapa sayembara dan dimuat di berbagai media, Memenangkan beberapa lomba karya tulis sastra. Buku cerpennya yang telah terbit Dukun Carok & Tongkat Kayu (Basabasi, 2018). Buku puisinya adalah Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki (Basabasi, 2020), Bertetangga Bulan (Hyang Pustaka, 2022). Sedangkan buku puisinya yang berjudul Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela memenangkan lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020. Ia mengabdi di MTs. Al-Huda II Gapura dan berkesenian di Sanggar 7 Kejora, juga di Komunitas Damar Korong. Berdomisili di Jalan Raya Batang-Batang PP Al-Huda Gapura Timur Gapura Sumenep Madura, email: waritsrovi@gmail.com.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com