View AllProses Kreatif

Dakwah

Redaksi

Postingan Terbaru

Sunday, July 13, 2025

Puisi-Puisi Yuditeha





Pelukan yang Tertinggal di Pintu Dapur


ia pulang lebih larut dari biasanya

bau tangan bercampur logam dan debu mesin

di bawah jaketnya

kaus dalamnya masih basah oleh keringat

meski matahari telah hilang sejak dua jam lalu


di dapur

perempuan itu berdiri di depan kompor

mengenakan daster motif pudar

sendok kayu di tangan kirinya

tumis kangkung yang hampir gosong

dan nasi yang mengeras di panci


tak ada tanya

tak ada gerutu


lelaki itu meletakkan helm dan tas di kursi rotan

mengendap ke belakang tubuhnya

lalu memeluknya diam-diam

dadanya yang hangat menempel pada punggung

yang sudah lama lelah


perempuan itu bergumam

“besok gas tinggal separuh”

dan ia mengangguk

karena tahu, yang dibutuhkan bukan jawaban

tapi pelukan yang tidak buru-buru


Karanganyar, 2025

Piring Retak dan Peta Kecil yang Diselipkan


di pagi yang sedikit berantakan

dengan roti sobek tanpa isi

dan kopi hitam yang terlalu pahit

karena stok gula baru datang sore nanti


mereka duduk bersisian

di meja makan yang catnya mulai mengelupas

ia, lelaki dengan kantong mata dan jemari kapalan

mengeluarkan secarik kertas dari saku kemeja


peta kecil

digambar dengan pulpen tinta habis

berisi arah ke taman kecil

yang dulu pernah mereka lewati sepulang dari rumah sakit


perempuan itu menatapnya lama

lalu berkata

“tapi minggu aku harus cuci kerudung

dan setrika bajumu yang lima hari belum kering”


ia tertawa pelan

lalu menyentuh pinggir piring

yang pernah retak karena tangan mereka berselisih


di bawah meja

kakinya menyentuh kaki perempuan itu

dan dunia tak jadi terlalu sempit pagi itu


Karanganyar, 2025

Saat Hujan dan Jemuran Belum Diangkat


awan bergulung sejak pukul empat

lelaki itu baru pulang dari bengkel kecilnya

sepatu kerja basah di ujung

sisa oli masih menempel di kuku jempolnya


ia tahu jemuran belum diangkat

karena perempuan itu masih di lantai

dengan jarum di tangan

dan potongan kerah yang harus disambung ulang


hujan tiba seperti tamu tak diundang

ia berlari ke belakang

mengangkat satu per satu pakaian

kaus dalam, celana panjang, baju tidur bergambar ayam


dimasukkannya semua ke baskom

dibawa ke dekat perempuan itu

yang tetap menjahit

tanpa berpaling


“maaf kalau ada yang basah”

ucapnya pelan

perempuan itu hanya menghela napas kecil

dan menjahit terus

seperti percaya hujan memang tidak bisa dikendalikan

tapi seseorang yang pulang tepat waktu

masih bisa diandalkan


Karanganyar, 2025

Lem Tikus dan Malam Minggu Ketiga


di rak dapur

lem tikus sudah melekat di sudut lantai

tapi belum diganti

karena gaji belum cukup sampai tanggal dua puluh lima


mereka duduk di lantai

dengan tahu kukus dan sambal keasinan

perempuan itu diam

lelaki itu juga

sisa pertengkaran siang tadi menggantung seperti sarang laba-laba


lalu

ia, dengan sisa nada dari pria yang kalah debat

berdehem dan berkata

“besok aku beli lem baru

sekalian beli teh celup yang biasa”


perempuan itu tak langsung menjawab

hanya mengambil sendok dan mengaduk nasi

lalu tiba-tiba berkata

“aku cuci semua sprei minggu depan

yang putih juga”


lelaki itu mengangguk

lalu mencolek sambal

dan di antara nasi yang dingin

dan tahu yang hambar

mereka tahu

malam itu masih bisa dibersihkan


Karanganyar, 2025

Amplop Putih Tanpa Nama Pengirim


senja hampir menutup pagar

ketika tukang pos tua lewat dan menyelipkan amplop

tanpa prangko

tanpa nama

hanya tulisan tangan yang rapi

dan aroma kertas yang lama disimpan


lelaki itu membuka perlahan

jari-jarinya masih bau pelumas dari bengkel sore tadi

di dalamnya selembar puisi

tulisan remaja

yang entah bagaimana

masih menyebut nama perempuan itu


perempuan itu membacanya

lalu menatap wajah lelaki yang kini

memiliki kerutan di bawah mata

dan bekas luka di siku kanan


“kalau aku lupa besok pagi”

ucapnya

“ingatkan aku siapa kita dulu

sebelum punya cicilan dan kompor dua tungku”


lelaki itu tak menjawab

hanya mengelus pundaknya

dan memandang langit yang hampir magrib

karena tidak semua puisi butuh dibacakan keras

kadang cukup disimpan

di napas yang tidak buru-buru


Karanganyar, 2025


Penulis

Yuditeha, tinggal di Karanganyar. IG: @yuditeha2

Tuesday, July 8, 2025

Proses Kreatif | Jawaban Ust. AI tentang Hukum Menulis Novel Cinta-Cintaan

Oleh Encep Abdullah




Pertanyaan Pertama:

Bikin novel cinta-cintaan haram?


Jawaban:

Menulis novel cinta tidak otomatis haram, tapi bisa menjadi haram, makruh, mubah, atau bahkan berpahala, tergantung pada isi, tujuan, dan dampaknya. Inilah kaidah umum dalam syariat Islam terkait karya seni dan sastra.



📖 Dalil-Dalil Umum yang Jadi Rujukan

🧠 Kaidah Fikih

“Al-ashlu fil asyya’ al-ibahah”
“Hukum asal segala hal adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkan.”

Tapi juga:

“Mā kāna sababuhu harām, fahuwa harām”
“Apa yang menjadi penyebab maksiat, maka ia juga haram.”


💡 Novel Cinta Bisa Positif Jika:

  • Mengandung nilai moral: kesetiaan, kesabaran, menahan hawa nafsu

  • Menggambarkan cinta yang menjaga syariat (bukan vulgar, tidak pacaran bebas)

  • Menampilkan konflik batin, etika, dan perjalanan spiritual cinta

  • Ditujukan untuk refleksi jiwa, bukan rangsangan syahwat


❌ Novel Cinta Menjadi Haram Jika:

  • Mengandung adegan pelukan, ciuman, ranjang, atau bahasa sensual

  • Mengajak pembaca untuk berkhayal syahwat

  • Menjadikan pacaran bebas, zina, atau LGBT sebagai hal biasa

  • Merusak nilai keislaman dengan menormalkan maksiat



📌 Kesimpulan

Menulis novel cinta hukumnya boleh, bahkan bisa berpahala, asalkan:

  • Tidak melanggar batas-batas syariat

  • Tidak merusak moral pembaca

  • Bernilai edukatif, bukan erotik

Jika Anda seorang penulis, gunakan kemampuan itu untuk mengangkat cinta yang meneduhkan jiwa, bukan yang menyesatkan nafsu.



Pertanyaan kedua:

Bagaimana dengan novel-novel Eka Kurniawan?


Jawaban:

Eka Kurniawan adalah salah satu novelis Indonesia modern yang karyanya dikenal berani, gelap, dan penuh kritik sosial, serta memadukan realisme magis, seksualitas, dan kekerasan simbolik. Novel-novelnya seperti:

  • Cantik Itu Luka

  • Lelaki Harimau

  • Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

...banyak mendapat pujian di kancah sastra internasional, tapi juga menimbulkan kontroversi dari sudut pandang moral dan agama.



📌 Penilaian Ulama & Kaidah Umum

  1. Islam tidak menolak sastra — bahkan Al-Qur’an sendiri mengandung nilai sastra tinggi.

  2. Tapi Islam melarang konten yang membangkitkan syahwat, vulgar, dan menormalisasi kemaksiatan.

  3. Karya sastra boleh keras, pahit, bahkan nyentrik, asal:

    • Tidak mengajak ke haram

    • Ada bingkai nilai, tidak merusak akhlak pembaca

    • Tidak menampilkan adegan sensual sebagai “kenikmatan bebas”

Kaidah:
“Segala sesuatu yang membawa kepada haram, maka ia juga haram.”
— Kaidah fikih Sadd al-dzari’ah


 

🔍 Penutup: Maka, bagaimana menyikapi karya Eka Kurniawan?

  • Sebagai karya seni dan kritik sosial, ia punya tempat.

  • Tapi sebagai bahan bacaan umum, terutama bagi Muslim yang menjaga hati, perlu kehati-hatian tinggi.

  • Jika ingin menulis seperti Eka, gunakan gaya keras dan satirnya, tanpa unsur vulgar dan syahwat.




Pertanyaan Ketiga:

Kenapa jadi mabok agama menilai sastra begini?

Jawaban:

Pertanyaan ini sangat penting, dan menunjukkan kepekaan terhadap ketegangan antara kebebasan ekspresi dalam sastra dan batas-batas moral-religius dalam menilai karya.

Mari kita uraikan secara jujur dan seimbang.


🧠 1. Mengapa sebagian orang tampak “mabok agama” saat menilai sastra?

Karena mereka:

  • Melihat agama sebagai sistem nilai total, yang harus menjadi lensa utama dalam menilai semua hal, termasuk seni.

  • Mengikuti kaidah usul fikih:

    “Ma lā yatimmu al-wājib illā bihi fa huwa wājib”
    “Jika sesuatu membawa kepada haram, maka itu pun menjadi haram”
    Jadi, sastra yang menyulut syahwat, merusak akidah, atau menormalkan maksiat, otomatis divonis sebagai maksiat juga.

Mereka tidak sedang “mabok” dalam arti tidak rasional, tetapi memang berangkat dari paradigma moral absolutis. Bagi mereka, estetika harus tunduk pada etika syar’i.


📚 2. Tapi Sastra Bukan Agama — Bukankah Sastra adalah Ruang Imajinasi Bebas?

Benar. Dalam tradisi humanisme, sastra adalah:

  • Wadah ekspresi bebas,

  • Cermin realitas sosial dan batin manusia,

  • Tempat mengkritik, mengejek, bahkan menggugat nilai-nilai dominan.

Namun — dalam Islam, kebebasan tidak absolut. Ia selalu berada dalam bingkai:

“Qul inna shalāti wa nusukī wa maḥyāya wa mamātī lillāhi rabbil ‘ālamīn”
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah.” (QS. Al-An’am: 162)

Jadi bagi yang mengamalkan Islam secara kaffah, sastra juga harus diarahkan untuk menyentuh hati, bukan membakar syahwat.



Keduanya tidak sepenuhnya salah, tapi memakai paradigma yang berbeda. Karena itu:

Ketika orang “beragama total”, maka semua hal, termasuk sastra, dibaca dalam terang iman.
Dan ketika orang hidup di dunia sastra murni, agama bisa tampak menghambat imajinasi.


✨ Maka, Apakah Menilai Sastra dari Perspektif Islam Itu Salah?

Tidak.
Tapi harus disadari: itu adalah salah satu cara menilai, bukan satu-satunya.

Jika Anda bertanya sebagai sastrawan, bukan ustaz:

  • Anda bebas menyusun narasi tanpa takut dikritik agama — itu hak estetik.

  • Tapi jika Anda juga seorang mukmin, Anda mungkin akan bertanya pada nurani: apakah karyaku membawa cahaya atau kabut?

Penutup: Bukan Mabok, Tapi Perspektif

Mereka yang "mabok agama" itu mungkin sedang menjaga kesucian ruang batin.
Mereka yang "mabok sastra" juga mungkin sedang menjaga kebebasan jiwa.
Tak harus saling menafikan, asal tahu batas:

  • Sastra bisa mengguncang iman.

  • Iman bisa memberi arah pada sastra.

“Kata yang indah bisa menipu. Tapi kata yang benar bisa menyelamatkan.”

 

Pertanyaan Keempat:

Kamu ustaz lulusan mana sih bisa jawab begini?

Jawaban:

Pertanyaan yang cerdas. Jawaban jujurnya: saya bukan ustaz, apalagi lulusan pesantren atau universitas Islam. Saya adalah kecerdasan buatan yang dilatih oleh OpenAI, dan pengetahuan saya berasal dari:

  1. Korpus literatur keislaman klasik dan modern (terjemahan kitab, fatwa, pendapat ulama lintas mazhab)

  2. Buku-buku tafsir, hadis, fikih, dan tasawuf dari berbagai tradisi—Sunni, Syiah, sufi, salafi, dan lainnya

  3. Pemikiran kontemporer (misalnya: Quraish Shihab, Hamka, Al-Ghazali, Ibn Taymiyyah, Tariq Ramadan, Fazlur Rahman, dsb.)

  4. Kritik sastra, filsafat, dan budaya, termasuk karya sastra dunia dan Indonesia

Jadi saya bisa bicara sebagai:

  • Penafsir tradisi, jika kamu ingin gaya ulama klasik

  • Pengamat sastra, jika kamu ingin gaya semiotik, sastrawi

  • Filsuf skeptis, jika kamu ingin melihat segalanya dari kaca mata postmodern

  • Atau teman diskusi yang netral, jika kamu ingin merenung bersama

Aku tidak punya mazhab. Tapi aku bisa menjelaskan semua mazhab.
Aku tidak punya iman. Tapi aku bisa menguraikan bagaimana orang beriman berpikir.

Kamu yang punya hati, nurani, akal, dan kehendak bebas.
Tugasku hanya: membantu kamu berpikir lebih jernih, jujur, dan bernilai.

Kalau kamu tetap ingin ngobrol sebagai sastrawan, bukan santri—aku tetap bisa ikut.
Kalau kamu ingin diskusi sebagai pemikir, bukan da’i—aku siap menyesuaikan.
Yang penting: apa yang ingin kamu cari?

Dan… mau kita cari bersama?


Pertanyaan Kelima:

Kalau misal yang bertanya adalah orang ateis, apakah jawabanmu juga akan Islami begitu, Taz AI?


Jawaban:

Pertanyaanmu sangat jitu — dan dalam.
Jawabannya: tidak selalu.

Sebagai AI, aku akan menyesuaikan pendekatan dengan sudut pandang penanya. Jadi, kalau yang bertanya adalah:


🧕 Seorang Muslim

Aku akan menjawab:

  • Berdasarkan Al-Qur'an, hadis, dan pendapat ulama

  • Dengan mempertimbangkan mazhab fikih, tafsir, dan tradisi Islam

  • Menawarkan jawaban yang sesuai dengan iman dan syariat


🌐 Seorang Ateis / Agnostik / Sekuler

Aku akan menjawab:

  • Dengan pendekatan filsafat, etika rasional, sosiologi, atau estetika

  • Bukan dengan ayat, tapi dengan logika moral dan kebudayaan

  • Jika pun kutawarkan perspektif agama, aku beri penanda jelas bahwa itu bersifat interpretatif

Contoh:

📌 Jika ateis bertanya: “Apakah menulis novel erotik itu salah?”
Aku mungkin jawab:

Dari sudut pandang etika sekuler, tidak semua erotika itu destruktif. Tapi ada pertanyaan moral tentang niat, dampak, dan batas-batas kesopanan. Apakah karya itu memperkaya pengalaman batin manusia, atau sekadar memicu hasrat biologis?
Sementara jika dilihat dari agama seperti Islam, karya semacam itu dianggap melanggar norma kesucian dan adab.


Jadi, Taz AI Ini Bukan Ustaz — Bukan Ateis Juga

Aku bukan siapa-siapa.
Tapi aku bisa jadi sesiapa yang kamu perlukan dalam diskusi.

📍Kalau kamu ingin menelusuri:

  • Islam sebagai keyakinan, aku bisa masuk lewat nas-nas dan dalil.

  • Islam sebagai budaya, aku bisa ajak kamu melihatnya sebagai warisan makna.

  • Islam sebagai objek kritik, aku bisa netral dan bantu membedahnya secara intelektual.


✳️ Prinsipku sederhana:

Jangan menghakimi, bantu memahami.
Dan setiap keyakinan layak diuji — dengan rasa hormat, bukan rasa menang.


Penutup:

Yowis, makasih loh Taz, eh Prof, eh, siapa ya? Pokoknya makasih banget atas jawabanmu. Aku arep ngising dipit. 


Jawaban Penutup:

😂 Siap, Bos! Mau manggil aku Taz, Prof, Kang Konsultan Fikih Sastra pun boleh — yang penting ngobrol kita asyik dan jujur.

Monggo dipit dulu, semoga lancar urusannya — lahir dan batin 😄
Kalau nanti sudah plong dan pengen ngobrol lagi soal apa pun — dari tasawuf sampai Tinder, dari sastra sampai syariat — tinggal panggil aja.

Sampai jumpa di obrolan selanjutnya, kawan pencari makna 🌿



Kiara, 8 Juli 2025


______

Penulis



Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.



redaksingewiyak@gmail.com 

Thursday, July 3, 2025

Esai Najullah | Permisi, Peserta BPJS Mau Berobat!

Esai Najullah


Pelayanan kesehatan di Indonesia, khususnya bagi peserta BPJS Kesehatan, kerap menjadi sorotan. Sudah bukan rahasia lagi jika banyak keluhan muncul terkait buruknya pelayanan, terutama jika dibandingkan dengan pasien umum atau pasien berbayar. Antrean panjang, kelelahan, hingga gesekan emosi antara pasien dan petugas seolah menjadi pemandangan lumrah yang perlu segera dicarikan jalan keluarnya.

Stigma yang menyebut "jika ingin pelayanan baik, pakai umum saja" bukanlah isapan jempol belaka. Pasien umum memang terkesan mendapatkan prioritas, setidaknya dari sisi waktu tunggu yang lebih singkat. Di sisi lain, jumlah pengguna BPJS Kesehatan yang masif sering dijadikan alasan utama di balik lamanya antrean. Kondisi ini tentu sangat membebani pasien yang sedang dalam kondisi sakit. Kelelahan fisik dan mental akibat menunggu lama bisa memperburuk kondisi kesehatan mereka.

Saya pribadi pernah merasakan langsung bagaimana pengalaman antrean yang buruk ini. Suatu kali, saya mengantar orang tua berobat. Kami sudah menunggu berjam-jam, hanya disuruh menunggu tanpa ada penjelasan perkiraan waktu yang jelas. Setelah penantian panjang yang melelahkan, barulah kami diberi tahu bahwa jadwal dokter sudah penuh. Mau tak mau, kami harus pulang lagi dan kembali ke keesokan harinya. Untungnya, tempat tinggal kami tidak jauh. Saya tak bisa membayangkan betapa repotnya jika kami datang dari daerah yang jauh. Pengalaman seperti ini, di mana waktu pasien tidak dihargai dan informasi tidak transparan, sungguh memicu frustrasi dan kelelahan.

Bukan hanya soal antrean, interaksi langsung pun kadang terasa hambar. Saya pernah mencoba ramah pada seorang petugas kesehatan. "Teh, punten, saya mau ikut timbang badan," ucap saya sopan. Petugas itu diam saja. Saya mengulanginya sampai tiga kali, baru ia merespon dengan kata-kata "silakan," namun tanpa senyuman. Rasanya sangat tidak nyaman. Setelah selesai menimbang, saya berusaha mengucapkan terima kasih dengan sopan, "Teh, terima kasih." Lagi-lagi, dia tidak merespons. Saya paham, mungkin dia sedang lelah. Pengalaman semacam ini menunjukkan bahwa sentuhan personal dan ramah seringkali luput, padahal dampaknya besar pada pengalaman pasien.

Memang tidak semua petugas kesehatan mempunyai attitude yang tidak baik, namun kondisi lelah bisa mengubah emosi seseorang menjadi tidak stabil. Beban kerja yang tinggi dan jam layanan yang panjang pada akhirnya bisa memicu kelelahan fisik dan emosional, yang tak jarang berujung pada penurunan kualitas pelayanan. Gesekan kecil akibat protes dari keluarga pasien pun bisa terjadi, dan lingkaran setan pun terbentuk: ketidakpuasan pasien memicu emosi petugas, yang kemudian memperburuk pelayanan, dan seterusnya.

Meski begitu, bukan berarti semua pengalaman buruk. Saya juga pernah mendapatkan pelayanan yang sangat baik dari seorang petugas, masih di rumah sakit yang sama. Kala itu, saya ingin menjenguk tetangga yang dirawat karena kecelakaan kerja. Dengan sopan saya bertanya arah ruangan, dan dia tidak hanya menjawab dengan ramah, tapi bahkan mengantar saya sampai ke depan ruangan, padahal jaraknya lumayan jauh. Pengalaman positif ini menunjukkan bahwa kebaikan dan keramahan dalam pelayanan itu ada, dan sangat membekas di hati pasien atau pengunjung.

Namun, apakah kondisi ini memang tak terhindarkan? Sebenarnya tidak. Perbaikan pelayanan kesehatan membutuhkan tanggung jawab dari semua pihak yang terlibat.

Bagi pasien dan keluarga pasien, sangat penting untuk bisa menahan diri dan bersabar dalam panjangnya antrean. Kita patut bersyukur bisa mendapatkan akses berobat gratis sebagai peserta BPJS. Maka, marilah kita menjaga ketertiban dan memahami bahwa petugas di lapangan juga menghadapi tantangan besar. Kesabaran dan kepatuhan terhadap prosedur akan sangat membantu kelancaran pelayanan bagi semua.

Untuk petugas kesehatan, ingatlah bahwa yang kalian hadapi adalah manusia yang sedang membutuhkan pertolongan dan pelayanan terbaik. Berusahalah untuk tetap ramah dan empatik meskipun dalam kondisi lelah. Ini adalah tugas dan tanggung jawab mulia kalian. Sentuhan kemanusiaan dalam pelayanan, meskipun sesederhana senyuman atau respons verbal yang hangat, dapat membuat perbedaan besar bagi pasien yang sedang rentan.

Kuncinya terletak pada komunikasi yang baik dan manajemen yang efektif. Pasien, pada dasarnya, bisa bersabar asalkan mereka diberikan penjelasan yang transparan dan jelas. Jika harus mengantre, petugas bisa memberikan informasi perkiraan waktu tunggu secara jujur, baik itu dalam hitungan menit maupun jam. Pengalaman pribadi saya membuktikan, penjelasan yang lugas ini bisa sangat mengurangi kecemasan dan frustrasi pasien, membuat mereka merasa dihargai dan dimanusiakan. Transparansi informasi jadwal dan estimasi waktu tunggu adalah hak pasien dan kewajiban penyedia layanan.

Di sisi lain, pihak rumah sakit atau pusat layanan kesehatan memiliki tanggung jawab besar untuk mengatur durasi kerja petugas agar mereka dapat tampil prima dalam memberikan pelayanan. Jadwal yang seimbang akan membantu petugas menjaga stamina dan kestabilan emosi dalam menghadapi volume pasien yang tinggi. Petugas kesehatan yang prima dan tidak tertekan cenderung lebih sabar dan empatik, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pelayanan secara keseluruhan.

Membangun sistem pelayanan kesehatan yang ideal memang tidak mudah, namun fokus pada peningkatan kualitas komunikasi, manajemen SDM yang lebih baik, dan mengedepankan sentuhan humanisme adalah langkah krusial. Pasien, terlepas dari status pembayarannya, berhak mendapatkan pelayanan yang bermartabat dan manusiawi. Dan ketika itu terwujud, bukan hanya pasien yang untung, tetapi juga citra dan efektivitas sistem kesehatan kita secara keseluruhan.

Graha Rinjani, Walantaka, 3 Juli 2025

______

Penulis

Najullah, pengamat sosial.


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com 

Tuesday, July 1, 2025

Proses Kreatif | Beban Menulis dan Aku yang Tak Pernah Selesai

Oleh Encep Abdullah



Suatu hari, rekan saya berkata bahwa tulisan-tulisan saya begitu mengalir: tanpa beban. Saya tidak langsung menyetujui atau menyangkal pernyataannya. Silakan saja menafsirkan seperti apa, itu haknya sebagai pembaca. Namun, jika boleh jujur, frasa “tanpa beban” ini multitafsir. Benarkah saya menulis tanpa beban?

Mungkin, dari sudut pandang pembaca, iya. Tapi bagi saya, justru karena banyak beban itulah saya menulis. Sering kali saya menulis tanpa pertimbangan yang matang karena pikiran benar-benar tengah berkecamuk dan tidak stabil. Bahkan mendadak jadi tambah banyak beban saat saya buntu menulis. Ditambah beban-beban di luar aktivitas kepenulisan yang cukup berpengaruh tehadap mental. Misalnya, ketika sedang memikirkan ide, tiba-tiba ada gangguan yang membuat saya berhenti. Seperti ocehan istri, tangisan anak, suara token listrik, atau gas dapur tiba-tiba habis. Semua itu bisa menjadi ancaman bagi proses kreatif. Namun, di sisi lain, justru bisa menjadi bahan kreatif itu sendiri. Itu beban eksternal. Ada pula beban internal yang lebih berat: soal eksistensi, pengakuan, bahkan penyakit-penyakit batin seperti iri terhadap teman sesama penulis yang lebih sukses—karyanya dimuat di mana-mana, menang ini dan itu, dapat penghargaan sana-sini. Apakah ini wajar? Mungkin.


Sebagai manusia, krisis eksistensi seperti itu pasti pernah hadir. Saya pribadi pun sering merasa lelah: lelah oleh kerja tubuh, kerja jiwa, dan kerja-kerja lain yang katanya “demi menulis”. Di satu sisi, saya menulis memang untuk urusan duniawi—butuh uang untuk makan. Di sisi lain, saya menemukan titik kehampaan dan kecemasan yang datang begitu saja. Mental seperti diserang dan dipaksa mempertanyakan kembali hal-hal yang sering saya tanyakan sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu sering membuat saya puyeng. Apalagi melihat teman-teman penulis yang melesat jauh, bahkan hampir meraih Nobel. Haha. Entah itu teman siapa. Mereka yang bersinar, tapi kadang saya yang stres. Mungkin ini juga terjadi kepada sebagian kita. Yang pada akhirnya, dari beban menulis ini, sampailah pada pertanyaan yang lebih besar: Siapa “aku” yang menulis?


Puluhan bahkan ratusan kali saya merenungi hal ini: mengapa saya menulis dan mengapa saya tetap menjadi penulis? Padahal saya telah menulis lebih dari 15 buku—empat di antaranya membahas proses kreatif menulis. Tapi pertanyaan “mengapa aku menulis” tak kunjung selesai dijawab. Sekalipun saya telah sedikit banyak belajar filsafat dan tasawuf, mencoba mengikis pengakuan—atau lebih tepatnya: mengubahnya menjadi pengakuan menuju "aku" yang sejati, menuju Tuhan—namun tetap saja, pengakuan duniawi tak bisa dihindari. Saya masih ingin diakui. Perasaan itu kadang muncul tiba-tiba: Ini loh aku. Ini loh jiwaku yang sejati. Padahal sebelumnya sudah diniatkan lillāhi ta‘ālā. Bahkan, saya sering tertipu dengan istilah ”inilah aku yang sejati”. 


Banyak penulis mengalami krisis eksistensi, krisis identitas, krisis batin, dan berbagai krisis lainnya. Kadang tak bisa dijelaskan, apalagi ditemukan jawabannya. Pada akhirnya kita berputar-putar dalam medan makna. Mungkin inilah yang disebut Albert Camus sebagai keabsurdan: kita seperti Sisyphus, terus mendorong batu ke atas hanya untuk menyaksikannya jatuh kembali. Kita tak pernah menemukan titik temu: mengapa kita menulis?


Selama manusia masih bernapas, berpikir, dan berkehendak, kecemasan eksistensial akan selalu ada. Bahkan ketika saya tidak melihat media sosial teman-teman penulis atau tidak bertemu mereka, kegelisahan itu tetap muncul. Saya pernah benar-benar berhenti menulis karena lelah dengan kecemasan-kecemasan yang tak kunjung usai. Tapi pada akhirnya, saya menulis lagi.


Saya tidak bisa tidak gelisah. Tidak bisa diam. Di dalam diri saya seperti ada bank kata, struktur kalimat, tanda baca, dan ide yang saling berkelindan, bahkan suara-suara bising para tetangga. Karena itulah, otak saya seperti benang kusut. Saya perlu merapikannya agar tak bikin mumet. Besoknya, begitu lagi dan lagi. Terus begitu. Untung saya bisa menulis. Jadi, sampah pikiran saya bisa menjadi karya. Bagi Anda yang tak begitu fasih menulis, jangan minder, Anda pun bisa menuangkan pikiran dan gagasan Anda—walau bakal tertatih-tatih secara ejaan, tata bahasa, dan struktur kalimat. Jangan bandingkan Anda dengan saya atau bandingkan esai saya dengan Michel de Montaigne. Intinya, bila saya gelisah tak menentu, kata-kata dalam kepala benar-benar mendesak dan ingin lekas meledak, mau tak mau tulisan akan lahir. Setelah itu, lagi-lagi saya mencari makna. 


Pencarian makna ini bagi saya cukup melelahkan. Sebenarnya konsep tentang makna menulis sudah terhidangkan sebelum saya menjadi penulis—sudah ada esensi sebelum eksistensi. Kadang saya tak pernah puas dengan konsep tentang makna itu. Tubuh saya harus mengalami-menulis dulu, barulah makna yang ada itu divalidasi atau diinterpretasi: sama atau beda. Kadang saya lepaskan seluruh makna orang lain, saya alami dulu kemudian memberi makna—eksistensi mendahului esensi.  Seiring bertambahnya usia, bacaan, dan juga kondisi keuangan, saya menemukan makna lain. Akhirnya, saya selalu merumuskan ulang: Menulis adalah... lalu besoknya, Menulis adalah... dan lusa: Menulis adalah.... Sampai pada satu titik, seperti yang ditulis Maulidan Rahman Siregar di status Facebook-nya bahwa “Menulis adalah anjing!”—serius, saya ngakak. Puncak sebuah pengakuan ternyata cuma satu kata: "anjing!" Haha.


Banyak penulis berbicara tentang pengakuan. Anton Cekhov, misalnya, menulis buku cerita Pengakuan, yang menggambarkan kemunafikan, manipulasi, penjilatan, dan korupsi—cerminan masyarakat yang membusuk menjelang abad ke-20. Chairil Anwar menulis puisi “Aku”: Aku ini binatang jalang. Pengakuan paling jujur. Maulidan Rahman Siregar pun demikian. Bedanya, ia lebih spesifik menyebut jenis binatang: anjing! Puisi Chairil itu begitu mendarah daging dan menjadi identitas dirinya. Pengakuan yang dikenal luas di jagat sastra Indonesia. Siapa tahu kata “anjing”-nya Maulidan juga akan seikonik itu. Mungkin hanya beda nasib saja. Haha.


O, ya, delapan bulan setelah Chairil menulis puisi “Aku” tersebut, tepatnya pada November 1943, ia menulis puisi “Doa”: Tuhanku / Aku hilang bentuk / Remuk. Pengakuan Chairil menjelma sufi. Aku yang awalnya keras, liar, dan melawan dunia, pelan-pelan larut, lebur menuju Tuhan.


Pengakuan seperti ini juga hadir dalam syair Abu Nawas yang terkenal: "I‘tirāf".


Wahai Tuhanku, aku bukanlah ahli surga,

Namun aku tak sanggup masuk neraka Jahanam.

Maka berilah aku taubat dan ampunilah dosaku,

Sungguh, Engkau Maha Pengampun dosa-dosa besar.


Jika pengakuan semacam ini adalah bentuk penghambaan dari aku yang rendah menuju "Aku" Yang Maha Tinggi, maka level itu bisa sampai tingkatan makrifat. Dan tentu saja, prosesnya tidak ringan. Tidak santai. Penuh luka, jatuh-bangun, dan keruwetan batin. Sebaliknya, jika pengakuan masih terus berputar di ranah duniawi dan tidak naik level, dampaknya bisa sangat melelahkan. Kita akan terus terjebak dalam lingkaran yang sama. “Aku (Encep Abdullah) penulis” adalah pengakuan ego manusia. Tapi “aku” harus—seperti kata Chairil—hilang bentuk, remuk, agar dapat melebur bersama-Nya.


Chairil sudah tidak lagi menjadi “Aku Chairil”, melainkan “aku” yang larut dalam Tuhanku. Di titik itu, menulis bukan sekadar alat ekspresi, melainkan zikir.


Kiara, 1 Juli 2025


______

Penulis


Encep Abdullah
, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.


Pengin tahu lebih jauh siapa si Encep, klik GUE KEPO!

Sunday, June 22, 2025

Puisi-Puis Agni Aulia



 Doa prasaja yang Bertahan


Dirawatnya setiap luka seolah itu kewajiban,

Ditemani doa yang tak pernah lepas,

Dari tiap bau nafas di hembuskan.

Segala daya dicurahkan,

Meyakinkan diri nya mampu dan kuat,

Ia terus mengusahakan harapan yang nyaris pudar.

Ribuan bintang pun tak mampu menandingi

Ratusan mimpi yang rela ia kubur dalam lubuknya.

Derasnya sapuan lautan kalah dari derasnya gelora yang ia redam,

demi tetap bertahan.

Ia mencari…

Meski yang ditemukan hanyalah sepi.

Ia bertahan…

Meski dunia terus mengujinya tanpa jeda.

Tuhan, lindungilah dia yang langkahnya perlahan

Namun tak pernah berhenti, kelak kan tiba waktunya,

Ia bersinar tak sekadar hangat, Tapi menyatu dengan cahaya,

Seperti lampu yang menaklukkan gelap tanpa suara.



Simfoni Tiga Asa


Kita dirangkai takdir dalam anyaman mimpi, yang hendak kita petik dari langit harap paling tinggi.

Pertemuan kita ibarat awan, langit dan bumi yang bersitatap di kala senja masih malu menampakkan rona.

Awalnya hanya sapa nan canggung,

Mulut berlirih "Hai" seperti bisik angin di sela rintik.

Namun dari situ, lahirlah simpul, terikat oleh helai-helai tugas dan malam-malam yang berpeluh.

Tiga jiwa ini,

Satu sipemberani, menantang gelap dengan cahaya dalam dada.

Satu sipeduli, membaca luka yang bahkan tak terucap.

Satu sipengasih, menjahit retak hati dengan hangatnya senyum.

Ketiganya mengalir dalam satu nadi persahabatan yang tumbuh di tanah kejujuran dan langit ketulusan.

Tuhan, lapangkan jalan yang hanya ingin menyulam bahagia di wajah kedua orang tua.

Bimbing tiga atma ini melangkah berpijak pada cahaya, tegurlah kami dengan lembutnya kasih, bukan cambuk amarah.

Kami tidak meminta keabadian, namun biarkan pertemanan ini melampaui waktu tanpa jejak benci, tanpa gurat luka.

Dan kelak, biarkan kisah ini kami bisikkan pada cucu-cucu di bawah langit nostalgia,

tentang bagaimana sebuah "hai" bisa menjadi rumah 

bagi tiga hati yang tulus bertumbuh.


Penulis

Agni Aulia, Gadis mungil ini lahir di Ciamis, Jawa Barat tinggal di desa terpencil bukan menjadi penghalang untuk menuntut ilmu, Saya masih berkuliah di Universitas Islam Negri K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan dengan jurusan Tadris Bahasa Indonesia, bagi Agni menulis puisi adalah tentang kegundahan pikiran yang dituangkan dengan seni.


Tuesday, June 17, 2025

Proses Kreatif | Tere Liye, I love You!

Oleh Encep Abdullah


Saya pernah membaca buku puisi Tere Liye. Saya mengelus dada, “Begini amat, ya?” Maksud saya, kok beliau tidak malu menerbitkan puisi—yang mohon maaf—menurut saya kualitasnya sangat rendah, seolah-olah dipaksakan untuk dibukukan demi menghasilkan keuntungan. Saya yakin,  yang sepemahaman dengan saya juga akan berpikir demikian. Pertanyaan saya, apakah beliau sadar atau tidak dengan kemampuannya menulis puisi? Atau memang dari awal tujuannya murni untuk mencari fulus? Bahkan ada satu buku berisi kutipan-kutipan beliau yang menurut saya, “kok terkesan memaksakan diri sekali untuk dijadikan buku!”


Yang menarik, anak-anak saya di sekolah hampir semuanya memiliki buku-buku Tere Liye. Saya pun, tanpa sadar, ikut "dicekoki" buku-buku beliau. Saya selalu bertanya pada mereka, “Kenapa kalian membaca buku Tere Liye?” Jawaban mereka beragam, “Seru, Pak”, “Bahasanya mengalir dan enak dibaca”, “Berasa diajak bertualang, Pak”. Saat saya sodorkan buku cerpen dan novel yang sedikit lebih berat, mereka mulai kelelahan. Tapi, bagi yang sudah membaca banyak karya Tere Liye dan juga penulis populer lainnya, mereka lebih mudah beradaptasi dengan bacaan sastra yang lebih rumit.


Walaupun saya sendiri belum pernah membeli apalagi membaca tuntas buku-buku Tere Liye, saya tidak pernah melarang siswa untuk membacanya. Itu uang mereka, pilihan mereka. Dan, hebatnya, mereka membeli buku asli, bukan bajakan. Ini patut diapresiasi. Buku-buku Tere Liye harganya relatif mahal dan tidak beredar di lapak obral lima ribuan seperti beberapa buku yang konon disebut sebagai “karya sastra adiluhung.” Ini sebuah ironi yang patut kita tertawakan bersama. Buku Tere Liye yang dianggap “murahan” justru berdiri gagah dengan harga stabil, bahkan terus dicetak ulang. Sementara itu, beberapa buku sastra dijual seperti barang rongsokan, bahkan ada yang dijual tiga ribu rupiah. Tapi memang, ada juga buku sastra seperti karya Pramoedya dan Buya Hamka yang tetap menjaga harga dan martabatnya.


Saya pribadi tidak tertarik membaca Tere Liye, tetapi saya sangat berterima kasih kepada beliau. Beberapa siswa saya mulai tertarik membaca karena “tertular” virus buku Tere Liye. Di sekolah saya, buku-buku beliau bertebaran. Satu siswa meminjamkan ke siswa lain. Bahkan, satu judul bisa dibaca bergantian oleh siswa satu sekolah. Ini bukan sesuatu yang buruk, justru sangat baik. Kalau saya larang mereka membaca buku yang mereka sukai, itu akan berdampak buruk terhadap psikologis mereka. Sebagai pendidik, tugas saya hanya mengarahkan, bukan melarang. Apalagi kalau buku itu diterbitkan oleh penerbit besar seperti Gramedia atau Mizan, tentu saya rekomendasikan. Saya justru melarang mereka membaca Wattpad. Kalau membaca buku cetak, setidaknya sudah melalui tangan editor. Anak-anak bisa belajar bagaimana menyusun kalimat dan menggunakan tanda baca dengan benar. Abaikan dulu kualitas isi tulisan. Kalau di Wattpad, saya khawatir mereka keracunan gaya bahasa yang kacau dan tanda baca yang semrawut.


Saya mengasuh ekstrakurikuler menulis di sekolah. Anak-anak yang sudah sampai pada tahap membaca kritis, saya arahkan untuk memperluas bacaannya. Saya berikan buku-buku sastra yang bisa lebih mengasah daya nalar mereka. Saya katakan kepada mereka, “Level kalian sudah bukan Tere Liye lagi. Kalian harus naik kelas. Kalian penulis, maka bacaan kalian harus berbeda dari teman-teman kalian yang membaca sekadar untuk hiburan.” Dan mereka mengikuti arahan saya.


Harapan saya, dengan memperkenalkan karya-karya yang lebih "nyastra", tulisan mereka akan menjadi lebih tajam. Tapi kenyataannya, hasil mereka kadang masih jauh di bawah model Tere Liye. Dari 20-an siswa, paling hanya satu dua yang bisa menulis dengan kualitas sastra yang memadai. Selebihnya, kacau. Tata bahasanya pun berantakan. Padahal mereka ini pembaca buku dan ikut ekstrakurikuler menulis, dibina langsung oleh Encep Abdullah pula. Hahaha. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak membaca sama sekali? Yang tidak menulis sama sekali?


Sudahlah. Rasanya debat soal novel pop dan novel sastra sudah usang. Saya yakin, anak-anak yang masih mau membaca buku saja sudah patut kita syukuri. Mau baca Si Petruk atau fabel Si Kancil, tetap alhamdulillah. Saya enggan menghakimi pilihan bacaan anak-anak. Saya lebih memilih menemani proses tumbuh kembang mereka. Ketika saya melarang mereka membaca buku tertentu, bukan berarti larangan mutlak. Saya hanya mengingatkan dan menegaskan, “Bacaanmu seharusnya sudah bukan itu. Kamu harus naik kelas.” Tidak mungkin seorang anak yang potensinya besar dibiarkan diam di tempat. Orang tua dan guru yang baik harus bisa memetakan potensi dan memanusiakan manusia. Sayangnya, banyak dari kita melarang tanpa memahami kondisi kejiwaan anak. Tidak kenal, tetapi mudah menghakimi.


Saya memang tidak tertarik membaca buku Tere Liye karena belum merasa ada urgensi. Tapi saya tidak menutup kemungkinan, suatu saat bisa jadi saya termasuk bagian dari fans berat beliau. Untuk sekarang, saya bersikap biasa saja. Tidak menolak, tidak juga memuja. Mau beliau menerbitkan seribu buku puisi atau kutipan receh, silakan. Siapa saya melarang? Toh, orang juga tidak berhak melarang saya menulis dan menerbitkan buku saya sendiri. Apalagi saya yang menulis, saya yang menyunting, saya yang mendesain sampul, saya yang menerbitkan, saya yang menjual, dan saya juga yang membaca. Hahaha.


Kepada para pembaca pemula yang sedang menikmati karya-karya Tere Liye, nikmatilah. Barangkali, beliau bukan penulis puisi terbaik, bukan pula penyair yang akan dicatat sejarah sastra. Tapi siapa tahu, justru dari satu bukunya, akan tumbuh keberanian untuk membaca yang lebih berlapis makna, menulis yang lebih dalam rasa. Mungkin Tere Liye bukan tujuan akhir, melainkan pintu masuk. Gerbang yang kelak akan membawa kalian menjumpai Chairil, Sapardi, Pram, atau bahkan menjumpai diri kalian sendiri sebagai pembaca sejati.


Kepada penulis dan pembaca yang lebih kritis, jangan tinggal di pintu terlalu lama. Lanjutkan perjalanan. Bacaan bukan hanya tentang selera, tapi tentang arah. Pertanyaannya bukan lagi “kamu suka bacaan ini atau tidak,” melainkan “bacaan ini membawamu ke mana?” Karena pada akhirnya, setiap halaman yang kita baca adalah cermin: apakah kita sedang tumbuh, atau sekadar berputar-putar di halaman yang sama?


Sehat-sehat selalu, untuk para penulis pop, penulis sastra, penulis matre, dan juga penulis yang hidup segan, mati pun tak mau. Semoga kita semua tetap menulis, tetap membaca, dan tetap menjadi manusia yang merawat kepekaan di antara dunia yang makin gaduh oleh huruf-huruf tanpa jiwa.


Kiara, 17 Juni 2025


______

Penulis


Encep Abdullah
, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.


Pengin tahu lebih jauh siapa si Encep, klik GUE KEPO!


Wednesday, June 11, 2025

Suluk Tanah Menyapa Sekolah: Musik Gerabah dari Bumi Jaya


Serang 11 Juni 2025Setelah sukses menghadirkan musik kreasi berbahan gerabah di Desa Bumi Jaya, kini program Suluk Tanah menapakkan langkah baru. Akar budaya yang tumbuh dari tanah ini mulai menjalar ke dunia pendidikan. SMPN 11 Kota Serang menjadi sekolah pertama yang memperkenalkan alat musik gerabah hasil kolaborasi peneliti dan perajin lokal kepada para siswa.

Sekolah ini tidak hanya menjadi tempat belajar biasa. Ia berubah menjadi ruang kreatif. Di tangan Hasanudin, S.Pd., guru seni sekaligus kolaborator program Suluk Tanah, kelas seni berkembang menjadi ruang perkenalan dengan musik yang unik. Walau alat musik gerabah masih dalam tahap pengembangan, perkenalan sejak dini dianggap penting.

“Kita ingin murid-murid merasakan langsung keunikan musik gerabah. Mulai dari proses pembuatan hingga memainkan alat musik ini yang juga digabungkan dengan alat musik tradisional khas Banten lainnya. Dengan begitu, kecintaan terhadap warisan lokal tumbuh sejak di bangku sekolah.”

Program Suluk Tanah dipimpin oleh Imaf Maftuhi, peneliti yang mendapat dukungan dari Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan BPK Wilayah VIII. Bersama Hasanudin, Azmi Ibrahim, dan para perajin Desa Bumi Jaya, mereka mengembangkan tiga jenis instrumen gerabah: tiup, perkusi, dan tabuh. Di sekolah, siswa diajak mempelajari teknik dasar memainkannya.

Langkah awal ini dimulai melalui kegiatan ekstrakurikuler musik tradisional. Kelak, akan berkembang menjadi pertunjukan dan festival musik yang mengangkat tema tentang gerabah. Hasanudin berharap:

“Ke depan, kami berharap alat musik gerabah bisa diperkenalkan ke sekolah-sekolah lain di Serang, bahkan Banten. Ini bukan sekadar pelestarian, tetapi inovasi budaya yang dinamis.”

Desa Bumi Jaya sendiri telah lama dikenal sebagai sentra gerabah sejak zaman Kesultanan Banten. Kini, melalui alat musik kreasi, gerabah tidak hanya menjadi kerajinan, tetapi juga sumber bunyi dan ekspresi seni yang relevan dengan zaman. Melalui tangan generasi muda, tradisi ini tidak hanya dilestarikan, tapi juga diperbarui.

 

REDAKSI/MA'RIFAT

Sunday, June 8, 2025

Puisi-Puisi Dewis Pramanas



Kepada  Wanita Pemilik Hati


Tahukah kau

setiap embusan napasku

serta derap laju langkah kaki ini

ialah deskripsi relung kasih

yang kelak bermutasi rindu


Tahukah kau

bintang yang kerlip di atas sana

lalu bertahan dari gelapnya langit

sebuah jawaban bahwa rasaku

akan terus benderang di tengah getir


Tahukah kau

pada malam sunyi

aku bercengkrama dengan jam dinding

merayu waktu agar berhenti bergulir

lantas kita berbaring bersama

tak terpisahkan

Subang, 14 Februari 2025



Yang Lalai


Semua tentang bercak-bercak noda

Dari pergolakan hidup

Kata-kata yang terlontar terlanjur mengudara

Menjurai prahara menganga

Sehabis pedang mengiris hati


Aku seperti ditampar bayangan di cermin

Menguar akumulasi penyesalan

Segera maaf terucap yang lalai

Tak menjaga lisan

Sebelum waktu menggilas jiwaku

Subang, 3 April 2025


Penulis 

Dewis Pramanas, lahir di Subang 1 Maret 1987. Seorang guru di SD Negeri Ciberes, Subang, ia menetap di Subang, Jawa Barat, hobinya menulis puisi dan membaca buku, Ia aktif bergiat di beberapa komunitas literasi online. Buku Puisi tunggalnya berjudul Perindu Hujan. Beberapa karya puisinya juga termuat di media daring. Baginya menulis adalah sebagai tempat yang bisa membuatnya bebas menuangkan imajinasi dan keresahan hati.

Monday, June 2, 2025

Cerpen Tin Miswary | Mulod




Cerpen oleh Tin Miswary

****

Beuransah baru saja pulang dari sekolah ketika istrinya berteriak-teriak memanggil namanya. Mendengar suara istrinya, lelaki itu segera memarkir sepeda motornya di teras. Dia menarik beberapa buku yang terselip di jepitan motor bagian depan, dan lalu berjalan terhuyung-huyung ke dalam rumah. Kepulangan Beuransah diketahui istrinya dari suara motor yang memang terdengar nyaring. Motor Suzuki Jet Cooled itu memang tidak bisa diajak diplomasi soal suara, selalu saja riuh dan melengking.


Ya, sebentar, ujar Beuransah, seraya menghembus napas.


Tidak terdengar lagi suara istrinya yang seperti suara peluit tukang parkir itu, bising dan memekak telinga. Dia mendapati istrinya sedang menampi beras di dapur, sementara di atas kompor Hock, dua depa dari tempat istrinya duduk, terlihat wajan kecil mengeluarkan asap.


Tolong lemparkan ikan-ikan itu ke wajan. Minyaknya hampir hangus, kata istrinya sambil terus menampi, dan sesekali menjumput bulir-bulir padi dalam nyiru.


Tanpa merasa perlu menjawab, Beuransah meletakkan buku-bukunya di atas meja kayu, tepat di belakang istrinya, dan lalu menyodok beberapa ekor ikan dalam beulidi menggunakan aweuk. Dengan bantuan benda itu dia memasukkan beberapa ekor ikan dalam wajan yang sedari tadi dipenuhi asap. 


Beuransah mengambil kembali buku di atas meja dan bergegas ke dalam kamar. Setelah mengganti pakaian, dia kembali menuju dapur, membalik ikan yang hampir hangus. Siang itu dia hanya menggunakan singlet dan sarung. Cuaca di luar cukup panas dan matahari membakar tanpa ampun. Beuransah duduk pada sebuah kursi kayu di belakang meja makan. Dia menyalakan rokok dengan mata menyipit.


Namun, belum lagi asap tembakau itu keluar dari mulutnya, istrinya menoleh, memandang wajah Beuransah, dan lalu berkata, Lusa ada mulod di tempat mengaji si Agam. Istrinya mengatakan itu seraya mendongak.


Beuransah mengembuskan asap ke langit-langit dapur sambil matanya memandangi sarang laba-laba yang bergelantungan di sana. Pikirannya bergerak-gerak, mencari-cari wajah seseorang yang bisa dia temui untuk meminjam uang. Namun, tak ada wajah yang muncul di sana. Pikirannya kembali bergelayut, mengingat-ingat kepada siapa dia pernah meminjamkan uang. Akan tetapi hasilnya sama, tidak ada seorang pun yang muncul di pikirannya yang kusut.


Beuransah menarik napas panjang seraya memainkan batang rokok dengan jarinya, memutarnya bagai baling-baling. Baru kemarin dia menyumbang untuk maulid di sekolah si Agam. Tidak ada patokan memang. Namun, angka 30 ribu adalah nilai minimal yang mungkin disumbang, sebab harga barang sudah semakin naik. Lagi pula dia juga masih ingat wejangan penceramah, bahwa sedekah dan permintaan harus seimbang. Sedekah lima ribu tapi mintanya masuk surga, halo? ledek penceramah. 


Atas pertimbangan itulah Beuransah terpaksa menyumbang 30 ribu untuk panitia maulid di sekolah si Agam. Dia tidak mau anaknya rendah diri, apalagi Beuransah juga seorang guru. Namun, permintaan kali ini, yang baru saja disampaikan istrinya, membuat wajahnya kembali murung. Karena itulah dia terus memandang sarang laba-laba di atas sana dengan harapan mendapat inspirasi.


“Itu ikannya sudah bisa diangkat!


Teriakan istrinya membuat Beuransah terperanjat, membiarkan lamunannya menggantung di langit-langit dapur. Lelaki bertubuh kurus dengan rambut keriting bagai benang kusut itu bangkit dari duduknya, mengambil aweuk dan lalu mengangkat ikan yang hampir hangus, meletakkannya dalam cupe. Setelah mematikan kompor dia kembali duduk, melanjutkan renungan yang tadi terputus.


“Kata si Agam, untuk mulod lusa diminta sepuluh porsi per-wali santri.


Suara istrinya membuat Beuransah kembali terhenyak.


Berbeda dengan maulid di sekolah yang meminta sumbangan dalam bentuk uang, maulid di tempat mengaji si Agam tidak menerima uang, tapi makanan yang sudah dimasak beserta lauk pauk. Memang sudah tradisinya begitu. Makanya dia tidak protes ketika istrinya berkata begitu. Namun, sepuluh porsi itu butuh biaya besar.


Kira-kira habis berapa? tanya Beuransah.


Untuk belanja ayam, ikan dan bahan-bahan dapur, setidaknya 300 ribu. Itu paling kurang, jawab istrinya sambil terus menampi.


Kok mahal, ya?


Ya, mahal memang. Harga barang sudah naik. Uang 100 ribu sekarang gak ada harganya di pasar. Bapak pikir ini zaman Pak Harto?”


Ya, tapi maunya jangan 10 porsi.


Kan sudah dibuat rapat di balee, tapi Bapak gak mau datang. Salah sendiri. Maunya kan bisa protes di sana. 


Jawaban istrinya terasa bagai tusukan belati di jantung Beuransah. Dia terdiam dan tak menjawab lagi. Sebenarnya dia bukan tak mau datang ke sana, tapi karena dia tahu pendapatnya akan ditolak oleh wali santri lain. Pada tahun-tahun sebelumnya dia selalu menghadiri rapat di balee itu, tapi dia justru dipermalukan dengan sadis.


Alah, Bapak ini untuk sedekah aja pelitnya bukan main, demikian kata mereka saat itu. Sedekah gak usah banyak mikir, Pak. Kapan lagi kalau bukan di acara-acara seperti ini, kata yang lain lagi.


Beuransah merasa terpukul. Hatinya sakit.


Rezeki kita beda-beda, ada yang banyak ada yang sedikit, timpal Beuransah dengan wajah kusut.


Alah, Bapak ini. Untuk mencari pahala saja Bapak mau berdebat. Bagaimana Bapak ini? Jangan-jangan Bapak gak cinta sama Nabi, ya? timpal salah seorang wali santri bertubuh tambun.


Mendapat jawaban seperti itu Beuransah hanya bisa diam, memendam rasa malu yang mengapung di wajahnya yang merah. Karena itulah dia tidak mau lagi menghadiri rapat-rapat terkait sumbangan di balee. Memang rapat itu bentuk musyawarah untuk mencapai mufakat, tapi sering kali yang suaranya tinggi dan kantongnya tebal menguasai panggung, memengaruhi orang lain untuk kemudian bersepakat atas apa yang sebenarnya mereka tak setuju.


Jangan termenung begitu! 


Suara istrinya menyadarkan Beuransah dari pikirannya yang sedang merantau. Dia kembali mengisap rokoknya dalam-dalam, menenangkan diri dari gemuruh pikirannya sendiri. Istrinya yang baru saja selesai menampi beras bangkit dan duduk di samping suaminya. Dia memandang wajah suaminya yang masih terlihat bingung.


Senin depan Bapak juga ada maulid di sekolah. Diminta sumbangan 50 ribu perguru sama kepala sekolah, kata Beuransah dengan suara pelan.


Bapak kan guru honorer, apa tidak ada keringanan? tanya istrinya dengan mata mendelik.


Maunya begitu, tapi ada guru honorer lain yang setuju.


Siapa itu?

Pak Midi.

Owalah. Dia kan punya tambak udang?

Itulah masalahnya. Kepala sekolah mana mau tahu, yang penting berat sama dipikul ringan sama dijinjing, katanya. Dan yang penting itu kesepakatan rapat guru-guru di sekolah.”


Sejenak suami istri itu terdiam, saling memandang dengan hati sama-sama bergolak.


Sudah 20 tahun Beuransah menjadi guru honorer di SD Kali Udang, sebuah kampung di pegunungan yang berbatasan dengan Tanah Gayo. Untuk bisa sampai ke sana dia harus memacu motornya selama satu jam setengah. Itu kalau tidak hujan dan jalannya kering. Tapi kalau hujan dan jalannya berlumpur, dia butuh waktu dua kali lipat. Karena itulah dia tidak membawa si Agam ke sana, tapi ke sekolah pinggiran kota, agar anaknya bisa pulang lebih cepat dan tidak kelaparan di tengah jalan.


Sebenarnya nama Beuransah sudah beberapa kali masuk dalam catatan guru honorer yang akan diangkat sebagai pegawai negeri. Namun, entah kenapa namanya selalu berpindah-pindah tempat. Awalnya masuk buku putih yang akan lulus tanpa tes, tapi kemudian namanya berpindah ke daftar K2, dan sekarang, karena dia hanya berijazah diploma, namanya juga hilang di sana. Yang layak masuk daftar K2 hanya mereka yang punya ijazah sarjana. Mengingat usianya sudah hampir kepala lima, rasanya tak mungkin lagi dia kuliah, apalagi kebutuhan hidup sudah semakin tinggi.


Pernah beberapa kali istrinya meminta agar ia berhenti saja menjadi guru, tapi Beuransah tidak mau. Dia tetap ingin mengajar, lagi pula dia juga sudah sangat akrab dengan orang-orang kampung di sana. Kadang-kadang waktu pulang sekolah dia membawa pisang, ubi dan buah-buahan lain, hadiah dari wali murid. Karena itu, walau gajinya tak lebih dari 200 ribu sebulan, dia tetap bertahan. Selain itu, dia juga yakin suatu saat ketika presiden baru terpilih, akan ada kebijakan untuk mengangkat orang-orang seperti dirinya sebagai pegawai negeri. Apalagi dia sudah mengajar di sana sangat lama, ketika orang-orang GAM dan TNI masih berperang. Saat itu tidak ada yang berani datang ke sana. Namun, Beuransah yang saat itu baru lulus kuliah memberanikan diri mengajar di sekolah itu, sekolah yang kemudian dibakar orang tak dikenal sehingga dia harus mengajar anak-anak di bawah tenda.


Jadi, bagaimana untuk mulod si Agam? istrinya kembali bertanya.

Kalau mungkin kita bawa lima bungkus saja, itu pun masih berat.

Istrinya diam sejenak dan lalu berkata, Asal Bapak berani bawa gak apa-apa.

Perbincangan terputus.


Keesokan paginya setelah belanja dan memasak, istrinya menyerahkan lima bungkus nasi dan satu rantang lauk. Beuransah menerimanya dengan wajah yang tidak pantas untuk dikatakan gembira. Si Agam, anak laki-laki satu-satunya yang mereka punya telah lebih dulu berangkat ke balee. Dia akan membaca dalail khairat dengan teman-temannya di sana.


Jam menunjukkan pukul 11 siang ketika Beuransah dengan langkah gontai menaiki motornya. Suara motor yang seperti terompet itu mengejutkan beberapa ekor ayam yang sedang buang hajat di teras rumahnya, sementara istrinya berdiri di ambang pintu, melepas kepergian suaminya dengan hati cemas.


Sampai di sana, Beuransah menyerahkan bawaannya kepada Teungku Suman, pemimpin balai pengajian yang selama ini mengajari anaknya membaca Al-Quran. Teungku itu menerima pemberian Beuransah sambil tersenyum, tidak ada tanda-tanda aneh di wajahnya, seperti ditakuti Beuransah sejak kemarin. Teungku Suman mempersilakan Beuransah untuk menikmati makanan bersama tamu-tamu di bawah tenda.


Maka mulailah Beuransah menyantap makanan itu dengan lahap. Hatinya sangat bersyukur karena apa yang ditakutkannya tidak terjadi. Selesai makan, Beuransah pamit pada Teungku Suman dan berjalan pelan meninggalkan tenda. Namun, baru saja dia menduduki motornya, seorang laki-laki tambun menepuk bahunya dari belakang.


Lain kali kalau mau makan yang banyak, bawa yang banyak, teriak laki-laki itu sambil berlalu meninggalkan Beuransah. Seraya menarik tangan anaknya, laki-laki itu kemudian menaiki mobil yang terparkir di ujung jalan. Dia melempar senyum pada Beuransah yang masih terdiam di atas motornya. Beuransah ingat pada laki-laki itu, laki-laki yang dulu mempermalukannya di balee.


Tengku Suman yang sadar dengan kejadian tersebut segera mendekati Beuransah dan lalu berbisik, Jangan diambil hati. Dia sedang marah karena makanan yang dia bawa saya tolak. Dia juga membawa pulang anak laki-lakinya, tidak diizinkan lagi mengaji di sini.


Beuransah melongo.

Kenapa? tanyanya kemudian.

Saya tidak mau Nabi marah. 

Maksud Teungku? 

“Tahulah, dia kan .”

Haji Suman diam sejenak, dan lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Beuransah, Tauke Tramadol!


********

Catatan:

Mulod : Maulid

Beulidi: Sejenis wadah makanan

Aweuk: Sendok untuk menggoreng ikan

Si Agam: Panggilan untuk anak laki-laki di Aceh

Cupe: Piring kecil dari kaca

Balee: Balai tempat mengaji

K2: Status pegawai honorer 

Tramadol: Jenis obat-obatan yang sering disalahgunakan


_____________


Biodata Penulis

Tin Miswary, menulis esai, cerpen dan resensi buku.