View AllProses Kreatif

Dakwah

Redaksi

Postingan Terbaru

Friday, November 29, 2024

Cerpen Khairul A. El Maliky | Para Pembongkar Makam

Cerpen Khairul A. El Maliky



Mendung bergulung-gulung di angkasa. Pertanda hujan pada bulan Oktober ini akan turun mengguyur kampung kami. Sudah hampir setahun kampung kami dilanda kekeringan. Para petani menjerit karena tanaman mereka mengalami kegagalan panen sehingga dampaknya membuat buruh tani tercekik lantaran harga pangan meroket. Anak-anak angin tertawa di sela-sela dedaunan. Banyak orang yang berharap bahwa hujan sore ini segera turun sehingga bumi menjadi basah. Tak lama kemudian, bersamaan dengan rintik hujan yang jatuh dari langit, terdengar dari corong toa masjid kampung kabar berita duka. 


"Telah meninggal dunia, Maimunah. Insya Allah akan dimakamkan sore ini juga," demikian pesan berita duka yang disampaikan oleh pengurus masjid. 


"Siapa yang meninggal, Jon?" tanya Rapi'i kepada Joni yang sejak tadi mengisap rokoknya sambil memandangi gerimis di depan teras rumahnya.


"Maimunah, Lek," jawab Joni. 


"Maimunah? Maimunah istrinya Sapik?" Rapi'i menuangkan kopi ke dalam gelas. 


Joni mengangguk. 


"Bukannya mereka menikah lima bulan lalu? Dan Maimunah telah hamil?" Rapi'i menyeruput kopinya. 


"Iya. Dia hamil empat bulan."


"Memangnya dia sakit apa?" 


"Kanker rahim. Dan beberapa hari sebelum meninggal, dia diopname ke rumah sakit."


"Lalu bayinya gimana? Apakah bayinya diangkat dari rahim ibunya?" 


"Ya ndaklah, Lek."


Pada saat itu tampak para tetangga menuju ke rumah duka. Mereka berjalan di bawah gerimis yang sudah berubah menjadi hujan. Pakaian dan peci mereka basah. Tapi, para lelaki itu sama sekali tak menghiraukan hujan yang mengguyur dengan derasnya. Lalu tanpa menunggu waktu, Joni dan Rapi'i keluar rumah menuju rumah duka. Sebagaimana adatnya mereka hendak membantu keluarga yang berduka untuk mempersiapkan pemakaman. 


Sesampai di rumah duka, tampak keluarga suami Maimunah menangis di dekat jenazah wanita yang masih muda itu. Sementara yang lain tengah membaca surat Yasin dan tahlil. Salah satunya adalah suami Maimunah, Sapik yang terlihat sedih karena ditinggal oleh istrinya. Pernikahan mereka baru berjalan lima bulan. Apalagi Maimunah adalah cinta pertamanya. Jadi betapa berat luka batin yang harus ia tanggung. 


Sementara jenazah Maimunah akan dimandikan dan disalati, sebagian pentakziah menuju ke pemakaman untuk menggali kubur. Di antaranya adalah Joni dan Rapi'i. 


Hujan semakin deras mengguyur kampung kami. Agar liang kubur tidak dibanjiri air hujan, orang-orang itu mendirikan tenda. Setelah tenda berdiri, baru secara bergantian mereka menghantam tanah dengan cangkul. 


"Lek, apa benar kalau ada seorang wanita yang meninggal dalam kondisi hamil maka kuburannya akan ditunggui selama 41 hari?" tanya Joni kepada Rapi'i. 


"Benar itu, Jon."


"Memangnya kenapa kok ditungguin, Lek? Apa karena takut mayatnya jadi hantu?" Joni terlihat penasaran. 


Di kampung kami memang ada sebuah adat tradisi yang secara turun-temurun sudah menjadi kepercayaan kami, yaitu jika ada seorang wanita meninggal dalam keadaan hamil maka secara bergantian anggota keluarganya menunggui kuburannya selama 41 hari. Dari magrib sampai subuh mereka duduk di dekat kuburan wanita hamil yang meninggal itu sambil membaca surat Yasin dan tahlil. Supaya semuanya kebagian berjaga maka tidurnya bergantian. Begitu seterusnya sampai pagi. 


"Ya bukan, Jon. Mereka berjaga bukan karena takut wanita hamil yang meninggal itu menjadi hantu," sahut Rapi'i berbisik. "Memangnya film?"


"Lalu, Lek, alasannya kenapa?" 


Rapi'i kembali membisikkan sesuatu di dekat telinga Joni. 


Dan Joni manggut-manggut. 


"Masak, Lek?" ia tak percaya.


Menjelang jam 5 sore, orang-orang itu sudah selesai menggali kubur, dan jenazah Maimunah pun sudah tiba di kuburan digotong dengan keranda. Iring-iringan pentakziah itu sangat panjang seperti sedang mengantarkan seorang pejabat menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Tampak ibu-ibu keluarga dari Maimunah matanya sembab. Sayap-sayap kematian terbentang di langit yang suram. 


Selesai dimakamkan para pentakziah pulang ke rumah masing-masing kecuali beberapa lelaki termasuk Sapik yang tidak pulang. Mereka memutuskan untuk langsung menunggui makam Maimunah. 


***

Rumah Solihun kemalingan! Orang-orang yang sedang mengobrol di rumah Sapik langsung menuju ke rumah lelaki itu. Tampak Solihun bangun seperti habis ada bencana gempa. Adalah uangnya yang telah raib entah ke mana. Padahal tadi ia telah menghitung jumlah uang yang ada di dompetnya lalu ia menyimpannya di lemari kamar. 


"Tadi aku sempat merokok sambil mengopi di teras rumah. Itu terjadi sekitar jam 9," jelas Solihun menuturkan kepada warga. "Lalu, dari kejauhan aku seperti melihat seseorang sedang berdiri di balik pohon sambil memerhatikan rumah ini. Aku kira orang itu sedang buang air kecil. Setelah kuperhatikan, orang tersebut menghilang."


"Apakah kamu tahu bagaimana ciri-ciri orang itu?" tanya salah satu warga. 


"Aku melihatnya dengan tidak jelas lha wong dia berdiri di tempat yang gelap," jawab pria yang kesehariannya berdagang tembakau di pasar itu. 


"Jangan-jangan maling dan dia bisa menghilang," ujar Rapi'i yang malam itu ikut cangkruk di rumah Sapik. 


Dalam kepercayaan masyarakat kami ada sebuah mitos, yaitu jika ada maling ingin mencuri di rumah-rumah warga dan aksinya tidak ingin diketahui maka dia harus memakai jimat. Dengan jimat tersebut mereka bisa menghilang dan menembus dinding atau apa saja. 


"Sudah beberapa tahun ini kampung kita tidak kemalingan seperti ini, Kang," kata salah satu warga kampung. "Paling tidak yang ada maling hewan dan pelakunya bukan orang sini."


"Lalu, menurutmu pelakunya kali ini bukan orang sini?" 


"Bisa jadi sih, Kang."


"Atau jangan-jangan orang itu bisa menghilang dengan memakai jimat jari kelingking bayi?" ujar Rapi'i lagi yang membuat para warga merasa penasaran.


"Jari kelingking bayinya siapa, Kang?" 


"Bisa jadi yang dicuri adalah jari kelingking bayi yang ada di dalam perut Maimunah?!" 


"Jangan mengada-ngada, Kang!" seru salah satu warga. "Selama ini kan kuburan Maimunah ada yang nungguin bergantian? Jadi mana mungkin ada orang yang berani menggali kuburannya hanya untuk mencuri jari kelingking bayinya Maimunah?"


Para warga manggut-manggut. Mereka sependapat dengan apa yang dijelaskan oleh orang itu.


"Tapi, ini kan praduga saja. Siapa tahu orang-orang yang ada di sana mengantuk lalu tidur di dekat kuburan Maimunah? Atau orang itu menggunakan sirep agar orang-orang itu tidur? Maka dengan begitu dia dengan mudah menggali makamnya Maimunah untuk merobek perutnya dan mengambil jari kelingking bayinya," ujar Rapi'i berpendapat membuat orang-orang itu manggut-manggut. 


"Tapi, selama ini tidak ada laporan dari orang-orang yang berjaga di kuburan kalau makamnya Maimunah dibongkar," kata warga yang lain. 


"Ya siapa tahu orang tersebut meratakan tanahnya serapi mungkin sehingga tidak dicurigai oleh orang-orang yang lagi berjaga?" ujar yang lain. 


Selama ini, pembongkaran terhadap makam baru wanita yang hamil memang tidak pernah terjadi. Dan itu hanya sebatas mitos saja. Tapi, orang-orang sangat yakin sebab yang mengatakan begitu adalah nenek moyang kampung kami. Sebab dulu kejadian seperti itu sudah sering terjadi. Bahkan di tengah-tengah persawahan kampung ada sebuah makam tua yang memang dikhususkan untuk para maling. Konon, maling-maling yang ditangkap langsung dibunuh, lalu mayatnya langsung dikubur di makam tersebut. Maling-maling itu bukan maling sembarangan! Mereka adalah maling sakti yang bisa menghilang dan menembus tembok. 


Lalu, orang-orang itu langsung menuju ke pemakaman untuk menginvestigasi secara langsung, namun ternyata makam Maimunah tak apa-apa. Kondisinya utuh seperti sedia kala. 


"Coba kamu injak tanahnya!" perintah Rapi'i.


Salah satu dari warga menginjak tanah makam Maimunah dan ...


Amblas! 


Ternyata mitos itu benar! Dan memang seseorang telah membongkar makam Maimunah! Orang-orang itu saling bertanya-tanya, siapakah orang yang telah berani membongkarnya?


Kabar ini langsung mendarat di telinga Sapik dan keluarganya. Lalu, tanpa ambil tempo mereka meminta tolong kepada beberapa orang lelaki untuk menggali kubur Maimunah. Tampak ibu mertua Maimunah tidak berhenti menangis di pundak putranya, Sapik. 


Akhirnya, jenazah Maimunah tampak.


***

Di sekitar jenazah tidak ada tanda-tanda perutnya dirobek apalagi sampai jari kelingking bayinya dipotong untuk digunakan sebagai jimat. Namun, orang-orang itu dikejutkan oleh suatu keajaiban yang selama ini mereka abaikan yaitu bayi yang ada di dalam perut jenazah Maimunah tertidur di sebelah kiri jasad ibunya. Selama ini, kejadian itu hanya dianggap sesuatu yang mustahil bahkan tidak ilmiah oleh sebagian orang. 


"Lalu, jari kelingking bayi siapa yang telah dicuri oleh orang yang telah mencuri di rumah Solihun?" tanya Rapi'i yang ikut menggali makam Maimunah. 


Pada saat itu, Solihun datang tergopoh-gopoh datang ke pekuburan. Di wajahnya tampak ada sebuah penyesalan. Kepada semua orang yang ada di sana ia menyampaikan permintaan maaf. 


"Uang saya tidak dicuri oleh siapa pun. Adapun orang yang saya katakan tadi adalah Pak Karsun yang sedang buang air kecil di dekat pohon, bukan maling. Sementara uang dalam dompet, sudah saya setorkan ke bank," katanya menjelaskan. "Buah kedondong buah kelapa, tolong maafkan kesalahan saya."


Sejak itu kampung kami kembali aman. Kepercayaan terhadap mitos itu sudah mulai berkurang meski masih ada masyarakat yang masih menjalankannya untuk melestarikan adat menunggui wanita yang meninggal dalam kondisi hamil. Sebab warga mendengar kabar bahwa di kota sebelah ada kasus mayat wanita hamil yang dicuri. Konon pelakunya adalah sosok Bhâruwang


Menurut kepercayaan nenek moyang kami, Bhâruwang adalah makhluk mitologi sebagai pemakan mayat karena rasanya mayat mirip buah nangka matang. 


2024


______

Penulis


Khairul A. El Maliky, Novelis. Lahir dan besar di kota Probolinggo, 5 Oktober 1986. Pernah belajar di Pekanbaru, Riau. Bukunya yang telah terbit di antaranya berjudul: Akad, Pintu Tauhid, Kalam Kalam Cinta (Penerbit MNC, Malang). Dua bukunya yang berjudul Benarkah Tuhanmu Allah? dan Sweet Girl (Proses Terbit). Kini bermaustin di Probolinggo sambil mengajar bahasa Inggris. 


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com

Puisi-Puisi Syauqi Robbil Afief

Puisi Syauqi Robbil Afief



Lorong Tak Berujung di Toko Ritel  I


Memotong roti, 

Menyalakan teflon

Menawarkan secarik kertas 

Bertransaksi, menghitung untung dan rugi. 

Di laci, aku menyimpan suatu rahasia, sebuah kotak yang berisikan dunia dan aku menimbun kesumat di dalamnya.

Berharap ada kafilah, perompak, penyair atau filsuf yang bertanya 

Adakah dunia?


21-11-2024


Lorong Tak Berujung di Toko Ritel  II


Panjang ceritanya, bahkan sebelum aku menculik kesumat itu dadamu, sudah kusimpan beribu rahasia, seperti Pandora yang aku potong-potong tubuhnya, dan Sisilia yang aku Culik dari ibukotanya. 

Menjadi seorang pedagang toko ritel mestilah begitu, sedikit kreatif, dan juga kejam dalam menentukan harga, pun harus penuh rahasia, agar tidak merugi.

Tidak banyak yang bisa diharapkan dari sisa-sisa orang kota, tempat yang becek.


21-11-2024

 

Lorong Tak Berujung di Toko Ritel  III


Sebagai pedagang tentu harus pandai menentukan harga, sebelum menjual ia pun harus pandai bernegosiasi dengan sales-sales ibukota.

Selayaknya, aku menjual segalanya. 

Segala macam kebutuhan manusia dalam bentuk eceran.

Seperti; Tanah(-)Air dan termasuk batu bata semuanya tersedia, kecuali kesadaran.


21-11-2024


________

Penulis

Syauqi Robbil Afief, bukan penulis apalagi penyair, sebatas manusia yang dipenuhi dengan simbol-simbol tak berujung dan disebut identitas, berkelahiran di Pulau Madura Kabupaten Sumenep, menempuh pendidikan sarjana di STKIP PGRI Sumenep dan Pascasarjana di Kampus UM Surabaya, tidak banyak menulis tetapi suka membaca, tidak juga dikenal sebagai sesiapa sebatas penikmat dunia sastra.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Monday, November 25, 2024

Karya Guru | Guru: Sebuah Panggilan atau Dipanggil? | Esai Yunita Ainur Rizkiah

Esai Yunita Ainur Rizkiah



Siang ini ada sebuah pesan di Instagram masuk. Pesan itu dari salah seorang siswa saya 10 tahun lalu. “Selamat hari guru, Ibu”, sambil diselipkan gambar seikat bunga serta beberapa kata. Begitu kira-kira isi pesannya. Semua berita, media sosial dan status semua orang mengangkat tema tersebut. Bahagia dan terharu melihat rekan-rekan seperjuangan mendapatkan apresiasi, baik kata-kata maupun tanda mata. Setelah beberapa pekan lalu banyak kasus yang mengkriminalisasi guru. Belum lagi video-video yang menunjukkan siswa tidak menghargai guru ketika mengajar. Perayaan Hari Guru ini seperti menjadi obat atas polemik yang terjadi belakangan. Barangkali tidak menyembuhkan secara keseluruhan, tapi cukup mengurangi kesakitan pada profesi ini.


“Guru Hebat, Indonesia Kuat”, begitu bunyi jargon hari guru tahun ini. Jargon yang cukup berbobot, berat untuk dilaksanakan. Tentunya, tugas dan tanggung jawab atas jargon itu diserahkan sepenuhnya kepada guru. Guru-guru negara Indonesia. Guru-guru yang berhadapan dengan generasi alfa, bersaing dengan influencer dan teknologi AI. Dari jargon tersebut, mengisyaratkan bahwa para guru harus terus belajar untuk menjadi hebat. Hebat dalam arti bisa mengatasi semua permasalahan anak-anak dan remaja negeri ini sehingga negara menjadi kuat dengan sumber daya manusia yang cerdas iptak-nya (ilmu pengetahuan, teknologi, dan ketakwaan), kreatif serta kuat mentalnya.


Berharap guru-guru menjadi hebat merupakan harapan dan doa semua orang. Masalahnya, bagaimana guru menjadi hebat, sementara para guru hampir tidak kuat menjalani profesinya. Sudah banyak beredar bahwa hanya di negeri ini ada kasta dalam profesi guru. Hanya di negeri ini pula profesi guru masuk dalam ekonomi lemah. Hal ini berdampak pada penyimpangan birokrasi tata kelola sekolah. Selain itu, juga memengaruhi loyalitas dalam mengajar. Di negeri ini pula, guru lemah menghadapi hukum, kekuasaan, dan strata sosial. Untuk menjadi guru hebat, ada banyak hal yang harus dikuatkan. Terutama kesejahteraan gurunya.


Awal 2020, saya pindah ke Samarinda, tepatnya di pinggiran kota. Kepindahan ini membuat saya harus keluar dari sekolah dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Saya kira, saya tidak akan menghadapi kasus anak-anak lagi. Namun ternyata, saya mendapati kasus baru. Posisinya saat ini bukan sebagai guru dan siswa, tapi sebagai tetangga.


Setiap kali mendengar para tetangga membicarakan si anak, rasanya saya geram. Alih-alih menolong, malah membicarakan dan menertawakan. Jika melihat kondisi anaknya, wajar saja banyak orang melabeli “bodoh” karena si anak sudah kelas 6. Ia belum bisa membaca dan berhitung. Lantas mengapa dia tidak bisa membaca? Siapa yang salah? Di mana letak kesalahannya? 


Kondisi si anak sudah naik ke kelas 6. Setiap hendak kenaikan kelas, si ibu selalu mendatangi ke rumah wali kelas. Memohon untuk menaikkan anaknya dengan banyak derai air mata. Sebagai wali kelas, tentunya guru lemah menghadapi orang tua yang demikian. Belum lagi aturan baru yang melarang tidak naik kelas. Tidak tega melihat orang tua berurai air mata, jadilah guru tetap menaikkan kelas si anak sampai kelas 6. Selain itu, setiap tugas/ PR, yang mengerjakan adalah kakak atau ibunya, atau tempat les. Nah, anak ini dianggap sangat “bodoh” karena sudah dileskan ke mana-mana tetap tidak ada yang bisa membantunya untuk bisa membaca dan berhitung. Guru sekolah dan guru lesnya sudah angkat tangan.


Dalam ilmu pedagogik tidak ada istilah siswa yang “bodoh”, hanya ada siswa yang belum bertemu dengan “guru yang tepat”. Hal yang perlu dipahami, tantangan para guru saat ini cukup banyak. Selain memahami kondisi siswa, guru juga harus memahami kondisi keluarga (latar belakang orang tua), dan lingkungan. Belum lagi guru juga bersaing dengan teknologi; game, media sosial, dan AI. Sebagai contoh kasus yang saya tangani ini, permasalahannya bukan hanya pada si anak, tapi juga pada orang tuanya dan lingkungan.


Si ibu beranggapan anaknya memiliki IQ yang rendah. Hal itu karena kondisi ekonomi keluarga sangat lemah sehingga tidak mampu membeli susu formula. Mendengar cerita si ibu, saya membayangkan sebuah iklan susu dengan animasi yang keren. Efek iklan di televisi memang luar biasa. Iklan mampu mengubah mindset masyarakat tentang kecerdasan. Padahal tidak ada kaitannya antara kecerdasan dengan susu. Sejatinya membentuk kecerdasan tidak bisa dilihat dari satu faktor. Ada banyak faktor yang dapat membentuk dan memengaruhi kecerdasan anak-anak.


Belum lagi para tetangga yang membanggakan kepintaran dan tumbuh kembang anak-anaknya karena ketika kecil diberi susu formula merek A, B, C dll. Dengan cerita para tetangga makin membuat si ibu merasa bersalah, dan membuat anaknya tidak mandiri. Bertukar cerita dengan para tetangga malah menjadikan si ibu makin tertekan, dan si anak semakin menganggap dirinya “bodoh”. Maka untuk menolong si anak, dimulai dari ibunya.


Sebelumnya saya meyakinkan ibunya lebih dulu. Untuk meyakinkannya pun tidak mudah. Jurus terakhir yang saya lakukan adalah memperkenalkan diri saya, menjelaskan latar belakang pendidikan, pekerjaan saya sebelumnya dan pengalaman saya. Barulah si ibu percaya dan mengizinkan anaknya untuk belajar ke rumah saya. Tapi sebelumnya, saya membuat kesepekatan di atas kertas. Pertama, isinya si ibu dan keluarga harus berhenti memanggil istilah “bodoh”, “goblok”, dan kata-kata yang jelek kepada si anak. Kedua, tidak memberikan HP kecuali hari Sabtu dan Minggu.


Hal pertama dilakukan pada si anak adalah membuka blockingan di kepalanya bahwa dia “tidak bodoh”. Dia normal dan punya kemampuan yang sama dengan anak-anak lainnya. Kedua, proses belajar tidak lebih dari 30 menit. Gaya belajarnya pun kembali seperti mengajar anak TK, dari teks bergambar sampai pada teks cerita umum dan buku teks pelajaran. Ketiga, setiap pencapaian yang dia lakukan, selalu diberi apresiasi. Bisa berupa pujian dan hadiah kecil seperti jajanan. Singkat cerita, kurang lebih 9 bulan, si anak akhirnya bisa membaca, menulis, dan berhitung. Terutama menghafal perkalian. Jika dilihat dari prosesnya, anak ini normal, yang menjadi masalah adalah keluarga dan lingkungannya.


Dari peristiwa itu saya menyadari bahwa hidup saya tidak bisa lepas dari dunia pendidikan. Meski saya sudah melepas status profesi guru, tapi saya masih melakukan peran itu. Bahkan menggunakan status guru sebagai privilege untuk beberapa situasi. Kondisi di masyarakat, untuk beberapa hal jika ingin berkontribusi, saya harus menggunakan privilege itu. Hal ini, agar lebih meyakinkan dan didengar dalam memberikan solusi untuk beberapa permasalahan yang ada.


Misalnya, pada kasus lain. Masih tentang tetangga saya. Selain si anak yang dilabeli “bodoh”, ada anak lain yang jadi buah bibir di kalangan para tetangga. Anak ini tidak sekolah, usianya sudah hampir 9 tahun. Usut punya usut, si anak mau sekolah. Namun, orang tua belum mampu menyekolahkan. Kendala utama bukan hanya soal biaya masuk sekolah, tetapi juga berkas kependudukan. Si ibu adalah perantau dari Sulawesi, dengan KTP status menikah. Namun, sudah cerai dengan suami pertama. Hanya saja tidak diurus surat perceraiannya. Sedangkan si bapak, perantau dari Jawa dengan KTP status belum kawin. Orang tua si anak menikah siri, tidak ada surat keterangan apa pun. Karena dari latar belakang pendidikan dan ekonomi keduanya memang dari kalangan terbatas. Jadi, mereka sendiri kesulitan ekonomi dan tidak memahami birokrasi untuk mengurus surat kependudukan. Jika adapun yang mengurus dengan biaya yang cukup mahal.


Dengan kondisi demikian, rasanya tidak adil jika keterbelakangan ekonomi serta pendidikan harus diwariskan kembali pada si anak. Saya semakin kesal dengan para tetangga yang hanya bisa berkomentar tapi tidak menelusuri kebenarannya, tidak juga membantu. Melihat usia si anak yang hampir 9 tahun, jika sudah genap usia 9 tahun, si anak tidak bisa diterima di sekolah negeri maka harus masuk sekolah paket. Selain itu, psikologisnya sebagai anak-anak juga terdampak.


Sebagai orang berlatar belakang pendidikan, melihat hal seperti ini tentunya membuat saya gelisah. Bagaimana pertanggungjawaban atas gelar dan pengetahuan yang saya dapatkan. Jelas di depan mata, ternyata masih ada orang-orang yang melihat pendidikan itu sulit untuk didapat. Jangkauannya cukup rumit untuk beberapa kalangan. Belum lagi perkara zonasi, biaya seragam dan buku yang harus dibeli. Ya, di beberapa wilayah baju dan buku harus dibayar. Dan beberapa kondisi masyarakat tidak mampu membayar, terlebih bagi kalangan buruh harian di perantauan.


Akhirnya, saya bawa si ibu dan anaknya untuk mendaftar ke sekolah dasar terdekat. Sebelumnya, si anak ini sudah sering main ke rumah dan belajar bersama saya. Jadi, ia sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung. Urusan administrasi dan keuangan masih urusan belakangan. Yang terpenting bahwa orang tua si anak sepakat untuk menyekolahkan anaknya.


Proses pendaftaran sekolah sebenarnya sudah ditutup saat itu dan mendaftar harus melalui website. Si anak sempat menangis, ia khawatir tidak bisa sekolah. Sebenarnya bisa saja masuk swasta, namun tidak ada swasta gratis yang terdekat disni. Jarak juga menjadi pertimbangan untuk mereka. Saya coba untuk menghadap kepala sekolah. Benar saja, si ibu tidak berani bicara, ia tidak fasih menggunakan Bahasa Indonesia. Maka, saya yang bernegosiasi dengan kepala sekolah agar si anak bisa diterima di sekolah itu. Seperti pada kasus sebelumnya, dalam negosiasi ini saya harus menggunakan pengalaman saya menjadi guru sebagai privilege, untuk meyakinkan kepala sekolah. Saya jadi penjamin dan penanggung jawab untuk si anak. Yang terpenting anak ini bisa diterima sekolah dulu, untuk berkas kependudukannya menyusul. Setelah satu bulan, si anak punya kartu keluarga (KK) dan akta kelahiran, tapi tanpa ada nama si ibu. Nomor KK inilah yang dibutuhkan si anak untuk mendaftar sekolah dan mengajukan beasiswa agar ia bisa melanjutkan pendidikan sampai menengah. Upaya untuk memutus rantai kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan orang tua.


Kembali pada pembahasan guru, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Memahami jargon itu, saya merefleksi pengalaman 5 tahun ini. Terlepas dari dunia persekolahan dan status guru, saya banyak belajar. Pengalaman ini merupakan pembelajaran yang tidak saya dapatkan di perkuliahan dan ketika menjadi guru di sekolah. Ketika di sekolah, guru fokus pada pembelajaran dan administrasi di lingkup sekolah. Tapi dengan posisi saya di luar sekolah, saya belajar dinamika upaya untuk bisa masuk sekolah.


Guru yang hebat, tentunya bukan hanya memahami siswa. Bukan hanya sekadar mampu mengajar dengan teknologi yang canggih. Bukan pula yang harus jago buat konten media sosial. Melainkan, mampu membangun komunikasi dengan orang tua, memecahkan permasalahan siswa dan memberi kontribusi di masyarakat. Tentunya, hanya melalui pendidikan cara memutus rantai kebodohan dan kemiskinan. Semoga para guru semakin kuat, Indonesia menjadi hebat.


Selamat Hari Guru!


_________


Penulis


Yunita Ainur Rizkiah, mencintai profesi sebagai guru Bahasa Indonesia. Namun, saat sedang fokus menjadi peran ibu rumah tangga. Beberapa karya baru sebatas puisi yang dikoleksi sendiri. Beberapa pernah tergabung dalam antologi Kata Siapa (puisi, 2010) dan Kenduri Air Mata (puisi, 2013).


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Karya Guru | Puisi-Puisi Muh. Husen Arifin

Puisi Muh. Husen Arifin



Meramal 2045


peramal itu kenal dengan tahun 2045 

dari sejuknya pagi di atas dipan tua 

‘tahun 2045 adalah keniscayaan 

bagi engkau, engkau adalah tahun kemuraman’ 


peramal datang ke mimpi orang kota

ia membicarakan tahun 2045 

‘ketahui, di balik dunia ini kerisauanmu 

berlipat-lipat di meja kantormu 

tetapi percayalah senjata masa depan 

adalah engkau yang membunuh harapan

orang desa yang terlampau kaku 

menganggap hari-hari bagai ketakutan

dan orang desa telah menjual sawah terakhir 

bagi penghidupannya’


peramal lalu memeluk orang kota 

‘jagalah bumi ini, sebelum 2045

benar-benar muram menghantui ratapanmu’ 


di sini peramal melambai sebelum orang kota 

terbangun, jam menunjuk angka lima


Bandung, 2024

 

Kartu Suara


sorak sorai pencarian pemimpin baru 

seperti penantian panjang setelah hujan itu 


kampanye di gawai lebih ramai 

dari pasar atau jalan-jalan 


‘pilih aku, jurus bangau penakluk 

koruptor telah kusiapkan, jurus kuda 

dan jurus lainnya, ayo pilih aku’


upaya meraih simpati bagai menabur

gula di toples makanan


‘ayo pilihlah aku, kumakmurkan

dan semuanya lebih baik dari tahun lalu’


pada akhirnya, ia tak terpilih 

ia adalah kartu suara tercabik-cabik

oleh angin, bersama waktu 

ia ditelan oleh ketaksadaran 


Bandung, 2024


Guruku


pada setiap langkahmu, aku berdoa 

engkau adalah keabadian, tak termakan 

oleh zaman, tak tergerus oleh kemunafikan

padamu ilmu pengetahuan tersebar

bersama cita-cita yang menjulang 

bagai mercusuar dan padamu harapan

kebesaran atas masa depan 

terpatri menjadi mutiara kehidupan 


meski badik tertancap di pundakmu 

engkau terus melangkah 

menabur bunga kesucian di kelas

dan mendoakan anak-anak bangsa

sementara engkau tuk sekadar 

mencukupi perut pun harus bersabar


sungguh engkau adalah bunga matahariku

kelak generasi emas lahir karenamu 


Bandung, 2024


Kereta Kesunyian 


di jendela aku masih menatap subuh

bersama matahari di timur yang teduh 

aku menggumam jika di kepalaku

ramai oleh protes orang-orang tentang

korupsi yang tidak pernah henti

mengapa hukuman koruptor laksana

obral baju bekas, tidak ada jera 


juga di kepalaku ramai oleh 

nyanyian kemurungan karena hakim

tidak adil pada orang miskin 

hakim tidak adil pada orang desa

hakim hanya mengadili ketidakbenaran


semurka itu kepalaku 

mendesak pertanyaan yang tak terjawab

bersama kereta yang meluncur dengan tegap


Bandung, 2024 


Seusia Seperempat Abad Hati Ini Seusai Menulis Puisi 


dan aku masih tertatih 

mengutarakan kata yang lirih 

berdamai tanpa tangis perih 

semata karena hidup dalam tarikh


memandangi ruang tetapi mencoba

menggapai langit, terkenang pada nuansa

hujan beriringan tawa namun terlilit duka


di kesempitan cerita, aku masih menata

di seperempat abad hati ini mendaki cita

hingga pada tikungan kata, nyaris cinta

adalah buah dari perjalanan, kupetik tiga

ranum semuanya, begitulah kiranya


seusai menulis puisi ini 

izinkan aku bersujud tanpa tapi 


Bandung, 2024 


______

Penulis

Muh. Husen Arifin, aktif sebagai Tenaga Pengajar di Kota Bandung, Buku puisinya, Kolam Koalisi (2024), Pangandaran Kopi Perjalanan (2023). 


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com

Friday, November 22, 2024

Cerpen Jein Oktaviany | Dari Mana Datangnya Orang-Orang Kesepian

Cerpen Jein Oktaviany



Belum tengah malam, belum dua tujuh, Ibu dua tujuh, Ibu tengah malam. Terus-menerus Ella gumamkan kata-kata itu dalam hati, sambil duduk di kursi belakang, memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Padahal, mobil telah berhenti sekitar dua menit yang lalu, dan Lanur—sopir taksi daring ini—telah mengatakan berkali-kali bahwa mereka sudah sampai di titik tujuan. Suara Karen Ann menyanyikan Manha de Carnaval mengisi ruangan kendaraan. Jalanan di luar memunculkan derau-derau putih di antara mereka. Lanur memandang ke arah belakang. Ketika perempuan itu akan menyentuh bahu penumpangnya, ia melihat mata Ella telah basah.


Pada akhirnya, Lanur hanya menghela napas. Kemudian ia matikan mesin mobil. Lagu ikut berhenti, dan Ella langsung menatap ke arah depan. Matanya melebar seolah-olah baru terbangun dari sebuah mimpi—mungkin mimpi buruk. “Sudah sampai, ya? Maaf-maaf.” Perempuan itu pun segera merapikan diri dan barang bawaannya: menghapus sisa tangis, menyimpan ponsel pada tas kecil, menyisir rambut potongan serigalanya dengan tangan kanan. Lanur menjawab semua itu dengan senyum.


Perempuan di belakang menatap senyum itu dan merasa ada kehangatan yang asing di sana. Namun, segera dia singkirkan hal itu. Ada rasa bersalah dalam benak Ella karena tak langsung turun dari tadi. Maka, dengan cukup tergesa, dia buka pintu. Seketika, angin malam menghantam tubuhnya. Derau-derau kendaraan di sekeliling, mendadak menjadi bising yang melengking, membuat kepeningan menguasai kepala perempuan itu. Ketika dia berdiri di luar mobil, lambungnya mengeluarkan cairan lewat mulut. Lanur, yang masih memandangi penumpangnya, langsung sigap membuka pintu dan keluar.


Ella masih memuntahkan semua yang ada di perutnya. Lanur mengelus-elus punggungnya, sambil bertanya. “Mbak, tidak apa-apa?” Yang ditanya menggeleng, meski semua masih terasa terpuing-puing dalam kepala. Setelah tak ada lagi yang keluar, Ella mencoba bangkit. Angin masih terus menghantam tubuh. Bising masih semerbak di telinga. Wajahnya terlihat begitu pucat. Lanur mengarahkan tangan penumpangnya itu untuk memegang pintu mobil. Sekali lagi, Ella keluarkan muntahnya. “Mbak serius tidak kenapa-kenapa? Masuk mobil lagi aja, Mbak. Atau mau saya bantu ke rumah?” Sekilas Lanur tatap bangunan di pinggir mereka.


Ella menggeleng, “Aku baik-baik aja—aku baik-baik aja.” Dia coba tegapkan tubuhnya. Perlahan, suara-suara mengecil dalam telinganya. Meski angin masih tetap dingin, tapi kepala perempuan itu sudah tak terlalu pusing. Sambil tersenyum, dia lanjut berkata, “Cuman bekas minum barusan.” Setelah itu, Ella melihat sekitar: melirik raut wajah khawatir pada sopir tersebut, memandang bekas muntahannya, mengamati mobil, jalan, rumahnya sendiri. 


“Maaf, ya, jadi merepotkan,” ujar Ella pada akhirnya. “Terima kasih banyak.”


“Ada lagi yang bisa saya bantu, Mbak? Mau dipapah ke rumah?” tanya Lanur sambil memandang kembali rumah tersebut.


“Tidak ada—tidak ada. Aku bisa sendiri. Terima kasih banyak, ya.” Ella pun mengarahkan kakinya ke rumah. Sayup-sayup terdengar bunyi pintu mobil ditutup, kemudian mesin mulai menyala. Angin malam menjadi menusuk baginya. Ella berhenti. Tiba-tiba, dia ingat kembali perasaan janggal dalam senyum perempuan itu. Lalu, dia rasakan air berusaha keras untuk keluar dari matanya.


“Eh, tunggu ....” Mobil itu tak jadi melaju. Kaca jendela terbuka. Sebelum Lanur bertanya kenapa, Ella langsung melanjutkan dengan cepat, “Aku bisa ikut? Keliling-keliling saja. Aku bayar lima kali lipat. Bensin juga ditanggung. Aku tak mau pulang dalam keadaan begini.” Angin malam masih menusuk. Derau-derau putih di jalanan masih menemani mereka. Air mata masih menetes dalam ucapannya.


***


Sudah empat lagu berputar, dan kedua perempuan itu masih tak saling bicara. Di balik kemudi, Lanur sibuk memikirkan arti kalimat terakhir yang diucapkan penumpangnya. Apa maksudnya ‘keadaan begini’? Mabuk atau menangis atau perpaduan dua-duanya, atau bukan keduanya sama sekali? Sedangkan di kursi belakang, Ella masih menatap jendela, sambil bersenandung dalam kepala: Kapan tengah malam, kapan dua tujuh, kapan Ibu. Sesekali, dia palingkan wajah ke arah kemudi, sambil berpikir kenapa dirinya meminta tolong pada perempuan berambut pendek yang dikenalnya lewat aplikasi taksi daring? Lagipula sesungguhnya, apa yang butuh ditolong dari dirinya?


“Selera musikmu bagus,” ujar Ella memecah hening, ketika lagu Next of Kin milik Alvvays berputar. Lanur terkaget. Ia tak terlalu yakin apakah penumpangnya mengajak bicara padanya atau bukan. Sehingga, ia tak menjawab. Perempuan itu hanya mencoba menengok ke spion atas. Ella langsung menambahkan: “Jangan kaget gitu! Meski aku cewek dugem, aku juga suka musik kayak gini.” Sedetik kemudian, Ella sendiri heran kenapa dirinya bicara demikian.


Lanur tertawa, “Saya tidak berpikir Mbak cewek dugem.” Lampu merah. Jalanan masih ramai. Mobil pun terpaksa berhenti. Lanur menimang-nimang apakah dirinya akan belok kanan atau lurus. Ia ingin bertanya kepada penumpangnya, tapi entah mengapa ia rasa itu tak terlalu penting.


“Oh ya? Aku pesan dari tempat dugem. Turun-turun langsung muntah, loh.” Kepala Ella sudah tak lagi pening, dan dia yakin dirinya bisa berpikir lebih jernih sekarang. Tak lagi kata-kata aneh itu diulang-ulang dalam hati. Dia rasa mungkin memiliki teman bicara akan membantunya. Maka, Ella putuskan untuk memperpanjang obrolan mereka.


“Bagi cewek dugem, jam segini masih kurang malam untuk pulang, Mbak.” Jawaban itu membuat Ella merasa terpojok. “Tadi, Mbak berkali-kali membatalkan pesanan taksi daring karena driver-nya laki-laki. Iya, kan?” Lampu hijau, Lanur memutuskan lurus.


Ella tersenyum. Tak mengira betapa mudah hidupnya ditebak bahkan oleh orang asing sekali pun. Tadi dia menunggu lama sambil menahan muntah, sampai menemukan pengemudi perempuan. “Ini memang yang pertama,” jawabnya sambil mencoba menatap raut wajah lawan bicaranya. Lanur sedikit tersenyum, dan Ella lagi-lagi merasakan kehangatan yang asing di sana. “Boleh aku duduk di depan?” tambahnya semakin memberanikan diri.


***


“Jadi bagaimana ceritanya seorang sopir taksi bisa punya selera musik yang bagus dan punya pengamatan yang tajam?” Itulah pertanyaan pertama yang dilontarkan Ella sesaat setelah dirinya duduk di depan. Kembali, Ella heran kenapa dirinya bertanya demikian. Kenapa tiba-tiba dia ingin lebih dekat dengan perempuan di sampingnya ini? Apakah alkohol masih mengendalikannya? Bukankah kata dua tujuh, tengah malam, Ibu telah berhenti terngiang di kepala—dan itu artinya dia sudah sadar? Atau mungkin gara-gara senyuman itu?


“Anggap saja jawabannya: saya bukan hanya sopir taksi daring, Mbak. Lagipula pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana ceritanya seorang anak rumahan tiba-tiba dugem, pulang masih terlalu dini, menangis di taksi, dan muntah-muntah depan rumah. Kenapa dia tak seperti biasanya: mendengarkan musik di kamar sambil membaca novel, atau menonton seri di laptop?” Lanur mengakhiri pertanyaannya dengan senyuman.


“Wow, sekuper itu, ya, aku keliatannya?” Sambil bertanya itu, pikiran Ella masih terganggu oleh senyuman perempuan di sampingnya. Dia yakin pernah bertemu senyuman serupa. Ella coba ingat-ingat di mana. Apakah dalam kenyataan atau hanya harapan belaka? Lagu berganti. Donna Donna berputar. “Bisa tolong musiknya diubah?”


“Oh, oke.” Lanur meraih ponselnya dan membuka aplikasi pemutar musik. Ella mengintip dan mendapati bahwa playlist yang sedang diputar berjudul ‘Dari Mana Datangnya Orang-orang Kesepian’. Kings of Convenience mulai mengudara pada kendaraan itu. “Mbak, tidak suka Joan Baez?”


“Aku suka, kok. Cuman lagu itu mengingatkanku pada film Gie.” Ella palingkan wajahnya ke jendela samping. Namun, senyum itu masih terbayang-bayang.


Pertigaan. Kali ini Lanur memilih ke kiri. “Saya nonton film itu, dan saya rasa bagus.”


“Aku tidak suka Soe Hok Gie-nya. Ia mati terlalu muda. Dua tujuh. Banyak orang yang mati muda.” Akhirnya, dia sadar arti igauannya. “Itu menyebalkan,” tambahnya, lebih untuk dirinya sendiri. “Chairil, Tan, Gie, Kurt. Andai mereka masih hidup. Atau setidaknya mati tak terlalu muda.”


Setelah bicara begitu, Ella buka kaca jendela. Tiba-tiba saja dia ingin merokok. Maka dia bakar sebatang. Ella tahan dirinya sendiri agar tidak batuk. Dia tak ingin tertangkap basah lagi. Lanur memandang ke samping dan menahan tawa. Ella menyadari itu, dan memalingkan balik memandangi sang sopir. Mereka saling tatap dan Lanur tersenyum.


Ketika Ella pikir obrolan mereka telah selesai, Lanur berkata: “Saya malah iri sama mereka. Masih muda dan terbebas dari ketuaan. Tak terus hidup di dunia yang—”


“Tapi,” potong Ella, “Kalau mereka hidup, mungkin sekarang kita lagi dengerin lagu terbaru Nirvana. Atau aku sedang membaca buku puisi terbaru Chairil. Gie jadi menteri. Tan jadi presiden!”


“Memangnya ada jaminan puisi terbaru Chairil akan lebih bagus?” ujar Lanur dengan nada yang naik. “Lagu terbaru Kurt akan lebih enak?” Nada Lanur jadi semakin tinggi. Membuat Ella menyesal telah memotong. “Tan atau Gie akan bikin negara lebih baik, dan gak korupsi?” Ella isap rokoknya. “Bagaimana jika mereka menua dan mereka menjadi tak sebaik ketika muda. Orang-orang jadi semakin jahat ketika tua, karena hidup memang butuh kejahatan agar—”


Ella terbatuk. Lanur menghentikan ucapannya. Pengemudi itu baru sadar bahwa ia mengendarai mobil dengan cukup cepat. Lanur pelankan kendaraannya secara perlahan. Di depan, terlihat jalanan mulai berkelok. Angin dari jendela yang dibuka, membuat asap mengepul di antara mereka.


“Maaf, Mbak, saya terbawa emosi,” ucap Lanur sambil menatap ke penumpangnya lagi. “Yang mau saya bilang hanyalah: Mereka sudah dikenang dengan baik. Biarkanlah seperti itu.”


Ella ingin sekali balik meminta maaf. Namun, dia merasa ada sesuatu yang terlepas dari kemelutnya. Kata-kata itu tak lagi berdengung di kepalanya, dan Ella merasa begitu bahagia. Apakah ini efek mabuk? Ataukah sebenarnya inilah yang dia butuhkan selama ini? Seorang teman bicara?


Ella menatap Lanur lekat-lekat, ketika perempuan itu akan bicara, dia dengar Lanur berkata: “Saya malah ingin mati muda, loh, Mbak.” Kemudian, Lanur alihkan pandangannya pada Ella dan tersenyum. “Saya lebih memilih mati muda daripada melihat diri saya jadi jahat ketika tua.”


Hening. Ella tak jadi bicara. Hanya lagu berkumandang. Mendadak jalan menjadi sepi. Ella isap lagi tembakaunya dan sekarang dia tak ingin batuk. Derau-derau putih jalanan menjadi semakin tipis. Asap-asap itu tetap hadir di antara mereka. Dari balik jendela, akhirnya Ella ingat di mana dia temukan senyuman itu. “Ibuku mati dua tujuh. Andai ia masih hidup, aku rasa hidupku akan lebih baik.” Air mata kembali menetes. Ella merasa semua telah lepas. Di belakang kemudi, Lanur tak tahu harus menjawab apa. Mungkin sudah saatnya bertanya tujuan perjalanan pada penumpangnya.


***


Sudah tengah malam, sudah dua tujuh, Ibu dua tujuh, Ibu tengah malam. Terus- menerus Ella gumamkan kata-kata itu dalam hati, sambil duduk di kursi belakang, memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Padahal, mobil telah berhenti, dan Lanur—supir taksi daring ini— telah mengatakan berkali-kali bahwa mereka sudah sampai di titik tujuan. Suara Alex Turner menyanyikan Time Has Come Again terdengar dari penyuara di telinganya. Jalanan di luar memunculkan derau-derau putih di antara mereka. Lanur memandang ke arah belakang dan melihat bahwa mata Ella telah basah.


“Mbak?” tanya Lanur sambil menepuk bahu penumpangnya


Ella langsung menatap ke arah depan. Matanya melebar seolah-olah baru terbangun dari sebuah mimpi—mungkin mimpi indah. “Sudah sampai, ya? Maaf-maaf,” katanya sambil melepas penyuara dari telinga. Dia merasa bahwa dirinya pernah mengalami kejadian yang serupa. Perlahan dia tatap wajah Lanur, tapi Ella tak bisa mengingat jelas apa persamaannya. Maka, perempuan itu pun segera merapikan diri dan barang bawaannya: menghapus sisa tangis, menyimpan ponsel pada tas kecil, menyisir rambut potongan serigalanya dengan tangan kanan. Lanur menjawab semua itu dengan senyum.


Memandang senyum tersebut, Ella tiba-tiba diam. Dia amati lekat-lekat wajah Lanur. Apakah ini pengaruh alkohol? batin Ella, tapi dia benar-benar yakin ada sesuatu yang pernah terjadi di sini. “Boleh aku bertanya beberapa hal?” Ella memberanikan diri.


“Buat apa, Mbak?” Yang ditanya tiba-tiba merasa bingung. Lanur memang beberapa kali mendapati penumpang yang tak lazim. Namun, belum pernah ada yang minta izin untuk bertanya.


“Aku juga tak mengerti. Tapi, please. Boleh, ya? Nanti aku kasih uang.”


Mendengar kata uang, Lanur jadi cukup semangat. “Boleh, Mbak.”


Ella masih memandang wajah perempuan itu dengan tajam, membuat Lanur sedikit tidak nyaman. “Oke. Apakah jam segini masih kurang malam buat cewek dugem pulang?”


“Rrrr ....” Lanur menatap jam di ponselnya. “Kalau boleh jujur, saya kurang memperhatikan, Mbak. Tapi mungkin udah cukup malam, kok.”


Ella tidak merasa yakin akan jawaban itu. Maka dia kembali bertanya: “Kau tahu apa persamaan Chairil Anwar, Tan Malaka, Kurt Cobain, Soe Hok Gie?”


Sopir taksi daring ini semakin kebingungan, ia mencoba mengingat nama-nama itu. “Semuanya orang terkenal, tapi saya gak tahu, Mbak. Mungkin semuanya artis?”


Kali ini, Ella menggeleng. “Apa pendapatmu soal mati muda. Kamu mau mati muda?”


“Kayaknya Mbak terlalu banyak minum, deh. Mbak, keluar aja.” Lanur langsung memosisikan dirinya dengan sigap. Ia keluar dari mobil dan membuka pintu belakang penumpang. “Mbak, saya mohon keluar, ya? Tak apa, pertanyaan-pertanyaan tadi tak usah dibayar.”


“Aku mohon sekali lagi, ya? Yang ini bukan pertanyaan dan mudah, kok.” 


“Tapi sehabis ini keluar!” Raut wajah Lanur sudah begitu kesal.


“Aku cuman pengen kamu senyum lagi.”


Lanur sedikit kaget. Ia embuskan napasnya. Ia tarik. Ia embuskan kembali. Kemudian, perempuan itu tersenyum. “Sekarang, keluar, Mbak!”


Tidak ada kehangatan yang asing itu, batin Ella. “Terima kasih, ya. Maaf merepotkan.”


Ella pun mengeluarkan uang seratus ribu dan turun dari mobil tersebut. Lanur menutup pintu penumpang kemudian kembali ke kursinya. Pintu tertutup. Mesin menyala. Ella kembali memasang penyuara di telinganya. Memutar Dari Mana Datangnya Orang- orang Kesepian. Lagu Elanour Rigby berkumandang. Lalu seketika, angin malam menghantam tubuhnya. Derau-derau kendaraan di sekeliling, mendadak menjadi bising yang melengking, membuat kepeningan menguasai kepala perempuan itu. Lambungnya mengeluarkan cairan lewat mulut.


Taksinya pergi menjauh. Tak ada yang mengelus-elus punggungnya. Semuanya terasa terpuing-puing dalam kepala. Angin masih terus menghantam tubuhnya. Bising masih semerbak di telinganya. Sambil terus memuntahkan isi perut, Ella terus berpikir: Aku baik- baik saja—aku baik-baik saja. Ketika tak ada lagi yang keluar dari perutnya, akhirnya, dia ingat perasaan janggal dalam senyum seseorang. 


“Sekarang sudah tengah malam. Usiaku sudah sama denganmu, Bu,” Ella bergumam sambil menahan air yang mencoba keluar dari matanya.


_______


Penulis


Jein Oktaviany, lahir di Ciwidey, Jumat tanggal 13. Aktif di komunitas Kawah Sastra Ciwidey. Karyanya bisa dilihat di jeinoktaviany.wordpress.com dan di instagram @jeinoktaviany.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Puisi-Puisi Christya Dewi Eka

Puisi Christya Dewi Eka




Di Mana Mila


demi mencari mila, 

saya mengukur trotoar batavia yang mengelupas, 

berlindung di bawah bayang-bayang tembok gedung societet, 

mencari sesiapa yang barangkali tahu


kutanyakan nyonya warner di vila berpilar weltevreden, 

bersandar anggun seperti ratu wilhelmina meski tanpa singgasana, 

tangannya seharum nilam, 

menjawab sehalus gesekan palem:

“mila sekarang karang di sunda kelapa, 

memendam dendam, tenggelam, 

barangkali tuan berkenan menolong?”


kutanyakan nona lenka di gedung dansa molenvliet, 

seorang sosialita pandai bicara, 

genit memainkan manset berenda ungu, 

rok satinnya berkibar seperti layar kapal, 

mengedipkan bulu mata sepanjang unta gurun:

“mila ada di mataku, 

carilah dalam-dalam, 

seberapa lama tuan sanggup, 

saya sabar tak berkedip.”


kutanyakan tuan de zwarts di kantor gubernur jendral, 

ia kaku mengawasi inlander dan setumpuk daftar pajak, 

konon menaruh hati pada mila:

“mila adalah duri yang sudah kutebas, 

silakan tuan periksa di penjara bawah tanah,

atau gereja kali besar, 

jika nihil, 

tak mustahil ada di surga atau neraka!”


mila, 

asap opium yang hilang, 

salju semusim yang leleh, 

meski secuil informasi, 

saya tunggu di depan gedung dekat pohon aren, 

satu mila seratus gulden,

secepatnya!


Semarang, 3 Agustus 2024



Tanggapan Louise tentang Mila


kau mencari bayang mila, 

atau hanya namanya yang berbau karbol panggung drama, 

atau jejaknya yang menyatu dengan lumpur pelabuhan, 

atau cintanya yang dibawa pergi pelaut nederland? 


terlambat, tuan, 

mila menyelinap di antara peti rempah, 

berbaur di antara bau kopi dan lada, 

barangkali sebentar lagi ia lepas dari laut utara, 

menuju ciuman angin empat musim


ia adalah mestizo yang harus dilupakan, 

pahitnya terus menempel di dada, 

sepahit mimpi inlander tentang kemerdekaan, 

seperti burung urban liar memburu kebebasan, 

tak betah di kamar porselen, 

pasti kembali ke kawanannya, menerobos batas langit, 

aku, juga tuan, lebih baik, 

tak kenal mila


Semarang, 21 Agustus 2024



Seseorang Melihat Mila


di hotel berdinding putih, 

kulihat sekelebat noni menaiki tangga, 

bertopi anyam, 

bergaun putih seringan awan, 

menunduk membaca daun gugur, 

terpasung pada takdir kolonial,

matanya mengurai hidup-mati, 

pelayaran panjang menyapu sejuta badai


ia menghitung kelopak bunga, 

s a t u s a t u, 

lantas ge me tar ketika kelopak terakhir gu gur, 

perlahan, 

menjelma bangau yang tak pandai berkicau,

masuk ke dalam lukisan berpigura bujur sangkar, 

kembali ke langit yang akhirnya ditemukan: dinding galeri, 

seperti kapal kembali pada bunda laut, 

seperti bayi kembali ke dada ibu


lonceng gereja di bukit tenggara berdentang, 

matahari pukul lima sore mulai berkisah, 

tentang majusi yang menemukan palungan, 

tentang domba yang menemukan gembala, 

mila,

lindap di barat, 

jingga segala


Semarang, 25 Agustus 2024



Bila Sua Mila


dus, nyonya, 

bila sua mila, 

katakan saya segera, 

di bawah kaki gubernemen segala kuasa, 

tanah, air, angin, matahari, juga mila,  

tanpa suara sebelum lahir,

mila hanyalah kapal kertas, 

di tengah laju kali ciliwung, 

harus segera dijaring menuju ruang pengakuan dosa, 

memanggul salib kayu,

dicambuk sepanjang jalan pos deandles, 

seharusnya saya sua mila, 

seharusnya


Semarang, 25 Agustus 2024



Klarifikasi Mila 


sayup-sayup angin memanggil namaku,

pulang, pulang, katanya, 

tapi, aku tak punya rumah, 

batavia hanya sangkar, 

yang memelihara nama tanpa wajah, 

aku harus lari, 

berlayar menjauhi lars kompeni, 

menuju ladang tulip di gerbang barat, 

ke peluk nenek berklompen hitam, 

membantu menggembala sapi dan memerah susu,

sekeping ingatan berkisah tentang indis, 

ada mama berkebaya dan bersanggul kecil,

dari dadanya menguar melati bulan retak,

aku tidak lagi sama, 

tubuhku terpecah menjadi roti perjamuan, 

darahku tercurah sebelum penghakiman terakhir, 

serupa camar, 

meski tiap saat berkelindan di laut,

tidak paham mana palung mana gunung


dus, tuan, nyonya, 

mila wychynska segera debu tanpa bayang, 

setidaknya, 

aku punya sejarah baru yang kubentuk dengan,

tanganku sendiri 


Semarang, 23 Agustus 2024


________


Penulis


Christya Dewi Eka, lahir di Jakarta, besar di Bekasi, berdomisili di Semarang, adalah lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Diponegoro Semarang tahun 2003. Beberapa karyanya dimuat dalam puluhan antologi puisi, media cetak, dan media online, seperti Republika, Klasika Kompas, Suara Merdeka, Radar Pekalongan, Ayo Bandung, Kurung Buka, dll. Karyanya pernah terpilih sebagai 10 cerita humor favorit Writerpreuner Academy (2021), juara 5 lomba cipta puisi Poiesis Publisher (2021), 6 puisi terbaik lomba cipta puisi Negeri Kertas (2022), 15 puisi favorit lomba cipta puisi Perpustakaan Jakarta PDS HB. Jassin (2022), juara 1 lomba cipta flash fiction SIP Publishing (2022), juara 1 lomba cipta cerpen kesehatan mental Sekacil (2022), nominasi 10 puisi terbaik lomba cipta puisi 1 Abad Chairil Anwar Teroka Indonesiana (2022), juara favorit 4 lomba cipta puisi grup FB Yayasan Hari Puisi Indonesia (2023), 11 cerpen terbaik Jagat Sastra Milenia Sastra Media.com (2023), 3 puisi Palestina terbaik Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang (2023), dll.

Email: christyadewieka@gmail.com

Facebook: Christya Dewi Eka

Instagram: @christyadewieka2020



Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com

Puisi-Puisi Terjemahan Eka Ugi Sutikno

Puisi Terjemahan Eka Ugi Sutikno



Puisi Billy Collins

Pengantar Puisi


Aku minta mereka untuk mengambil puisi

dan mendekatkannya pada cahaya

warnanya tampak ke sana kemari


bahkan menekan telinga di dekat sarang lebah.


Lalu aku bilang untuk menjatuhkan tikus ke dalam puisi

lalu menyeledikinya bagaimana ia keluar,


ia mondar-mandir di ruang puisi

sambil merasakan saklar yang terang.


Aku meminta mereka untuk bermain ski air

dengan menyusuri permukaan puisi

melambai ke arah nama pengarang di tepi pantai.


Tapi yang mereka mau

adalah mengikat puisi di kursi itu

lalu menyiksanya dengan sebuah pengakuan.


Mereka mulai menamparnya dengan siraman

untuk menemukan makna sesungguhnya.



Puisi W. H. Auden

Puisi


Ia betul-betul memperhatikan semua bagian tubuhnya

Melihat bagaimana putra-putra raja itu berjalan 

dan mendengar apa yang para istri dan anak-anak itu ujarkan;

Membuka kembali makam-makam tua di jantungnya

Untuk mempelajari hukum mana yang telah dilanggar oleh si mati;


Lalu, tibalah pada sebuah keputusan yang memberatkannya:

"Filsuf si tukang duduk di kursi berlengan itu memang gadungan,

Karena untuk mencintai seseorang malah menambah masalah,

Dan lagu sendu waltz adalah musik iblis."


Lalu patuh pada keberhasilan takdir, 

Yang menjadikannya raja segala raja:

Tapi melihat mimpi buruk di musim gugur itu membuatnya bergidik,


Mendekati lorong yang asing,

Wajah yang meringis itu tengah menangis,

Lalu tumbuh besar sembari berteriak CELAKA. 



Puisi Elizabeth Alexander

Ars Poetika #100: Percaya Sajalah


Puisi, mulaiku pada semua muridku,

itu Istimewa. Puisi


itu diri kita

(seperti yang diujarkan Sterling Brown


bahwa “Setiap ‘aku’ lirik memiliki sifat 

   yang dramatis”),

yang menggali di permukaan kerang


untuk memeriksa dataran retak,

lalu meluangkan pepatah dari sakunya.


Puisi adalah apa yang kau cari di sudut lumpur, 

apa yang kau dengar di dalam bus, 

apa yang kau renungkan perihal Gusti Allah, 


adalah sebuah pencapaian.

Puisi (suaraku mulai bangkit)


bukan cinta yang remah dan apa-apa tentang cinta 

juga duka perihal anjing yang mati.


Puisi (dengan meninggikan suara)

Adalah suara kemanusiaan.


Sebentar. Memangnya kita tidak tertarik ya? 



Puisi Olav H. Hauge

Puisi


Semestinya kau bangga 

Ketika kau dapat menulis puisi 

yang berguna untuk petani.

Tapi kau tak memahami tukang besi.

Dan orang yang menyebalkan adalah tukang kayu 



Puisi Audre Lorde

Hiburan


Mari

ini mudah dilakukan

setelah tubuh kita 

bertemu

kertas dan pena

baik kepedulian atau keuntungan

Apakah kita menulis atau tidak

tapi Ketika tubuhmu bergerak

di bawah tanganku yang menggenggam dan menunggu

kita potong tali pengikatnya

kau membuatku berada di atas pahamu

yang membukit juga imaji

yang melampaui bahasa kita

tubuhku 

yang tertoreh di dalam dagingmu

adalah sebuah puisi

yang kau ciptakan untukku.


Menyentuhmu adalah malam yang kugapai

ketika api yang membakar kerongkonganku

aku mencintai daging yang menjelma bungamu itu

aku adalah ciptaanmu

yang merenggutmu 

menjadi diriku.


______


Penulis


Billy Collins atau William James Collins adalah penyair Amerika Serikat. Ia pernah menjabat sebagai Poet Laureate of the United States dari tahun 2001 sampai 2003. Puisi di atas diterjemahkan dari buku The Apple that Astonished Paris (1996).


W. H. Auden (21 February 1907 – 29 September 1973) adalah penyair Amerika-Inggris. Puisi di atas diterjemahkan dari majalah Poetry Vol. LVII, No. 1, bulan Oktober 1940.


Elizabeth Alexander adalah penyair Amerika Serikat. Puisi di atas diterjemahkan dari buku American Sublime (2005).


Olav H. Hauge (1908–1994) adalah penyair Norwegia. Puisi di atas diterjemahkan dari versi Inggris Robert Hedin (2017).


Audre Lodre adalah penulis Amerika Serikat. Puisi di atas diterjemahkan dari buku The Collected Poems of Audre Lorde.



Penerjemah


Eka Ugi Sutikno,  dosen di Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) dan bergiat di Kubah Budaya. Karya terjemahannya sering dimuat di Koran Tempo.



redaksingewiyak@gmail.com


Thursday, November 21, 2024

Esai Ale Siregar | Atensi

Esai Ale Siregar 



Bayangkan, teman Anda mengajukan pertanyaan pada Anda. Lalu, Anda mencoba merespons pertanyaan itu dengan upaya agar ia mendapat jawaban yang komprehensif. Sebelum sampai pada inti jawaban, tiba-tiba teman Anda tadi memotong dan mengajukan pertanyaan lain. Jawaban lain pun Anda berikan. Kali ini, teman Anda tidak memotong dengan pertanyaan lain, tetapi memberikan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Anda pun menyimak sampai tuntas pertanyaan yang menjawab dirinya sendiri itu. Pertanyaan lain yang ke sekian kalinya pun dilontarkan. Anda, dengan kesabaran Atlas yang di dalam mitologi Yunani tidak pernah lelah menopang bumi, kemudian mencoba merespons. 


Anda berhasil memberikan pemaparan panjang. Teman Anda, tampak diam mendengarkan, tetapi matanya kosong. Ia lebih sibuk menggerakkan jari-jemarinya di layar gawai. Cahaya redup terpapar di wajahnya. Setelah Anda selesai merespons, teman Anda terus saja khusyuk dengan benda kecil di genggamannya. Apa yang Anda rasakan saat momen-momen seperti itu terjadi menimpa Anda?


Kesal, merasa tidak dihargai, dicurangi dan menghabiskan waktu bersama orang yang salah. Itulah yang saya rasakan. Ilustrasi itu benar-benar terjadi pada saya beberapa hari terakhir. Saya teringat pada film sains-fiksi bercerita tentang robot-robot yang menjajah manusia dan menemukan titik simpul bahwa beginilah mungkin awalnya bermula. Saya tidak sepenuhnya menyalahkan teman itu kendati memang agak menyebalkan berada di posisi semacam itu. Jika ia memang tidak membutuhkan percakapan dengan saya, ya, sudah, bercakap-cakap saja dengan mesin pencari di gawai. Pasti ada ribuan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sama ia lontarkan pada saya.


“Kamu dengan benda di tanganmu itu bisa bertatap-tatapan setiap hari, tetapi bertemu denganku nggak setiap saat, apalagi pada acara diskusi semacam ini,” saya menegurnya. Kebetulan saat itu kami sedang menghadiri acara Mocopat Syafaat yang digagas oleh Cak Nun. Untuk beberapa saat, ia mendengarkan celotehan saya. Tidak cukup lama, ia kembali sibuk dengan gawainya dan berkilah, “Aku bisa multi-tasking, kok.” Saya makin yakin, pertemuan antara film sains-fiksi yang pernah saya tonton dan realita hari ini akan bersua di titik yang sama tidak lama lagi.


Ketidakacuhan dan keheningan di tengah-tengah gegap gempita saat itu adalah salah sekian gejala tentang bagaimana teknologi yang penuh daya pikat berhasil mengganggu perhatian dan hubungan antarmanusia. Di Inggris, fenomena seperti ini menghasilkan satu kosakata yang kiranya bisa mempersentasikan perasaan orang yang menimpanya. Kata itu adalah pizzled, gabungan dari kata puzzled (bingung) dan pissed (gusar). Orang merasa bingung harus bagaimana dan gusar pada saat yang sama ketika diabaikan oleh benda persegi bercahaya redup yang ada di genggaman lawan bicara.


Harus dikatakan, teknologi sudah sangat banyak membantu manusia. Namun, juga amat tidak bijak jika kita menutup mata atas realitas suram yang dihadirkan olehnya. Lebih-lebih jika berhadapan dengan waktu bersama dengan orang lain. Berinteraksi dengan orang lain adalah media belajar “membaca” apa yang tidak diungkapkan dengan kata-kata. Generasi mutakhir mungkin kian cekatan mengetik keyboard, tetapi bisa menjadi amat kikuk ketika membaca sikap seseorang saat bertatap muka secara langsung, wabil khusus dalam merasakan kekecewaan seseorang ketika mereka berhenti untuk melihat foto-foto terbaru di Instagram di tengah-tengah percakapan. Teknologi memang amat pintar, tetapi percayalah para penciptanya tidak menyelipkan perasaan sepaket di dalamnya.


Indonesia, barangkali adalah negara yang paling suka dengan pesatnya kemajuan teknologi. Tesis itu tergambar dari realitas politik yang menjadi sangat tajam dan mencair akhir-akhir ini. Dan itu atas bantuan kemajuan teknologi—terima kasih teknologi! Taiwan, Korea dan negara-negara Asia lainnya sadar bahwa warga negara mereka telah kecanduan internet—games, media sosial dan realitas virtual. Hal itu mereka tandai sebagai krisis kesehatan nasional yang mengisolasi kaum muda. Selain itu, sekitar 8% gamers di Amerika berusia 8-18 tahun telah memenuhi kriteria diagnostik ketergantungan dalam ilmu kejiwaan. Analisa terhadap otak mereka mengungkapkan perubahan sistem imbalan saat bermain game. Itu adalah perubahan yang persis sama ditemukan pada otak para pecandu alkohol dan obat-obatan.


Saya akui, memang ada semacam kecanduan ketika memiliki sejumlah akun di beberapa media sosial. Ada dorongan yang luar biasa untuk melihat-lihat postingan terbaru. Entah itu tentang perjalanan naik gunung bersama kawan, tentang restoran tempat seseorang bersantap dengan aneka menu, dan berbagai hal menggiurkan lainnya. Dan anehnya, saya lebih sering menikmati postingan orang, yang dalam keseharian, tidak saya kenal sama sekali. Saya menikmati kecanduan itu hingga timbul rasa gelisah. Saya gelisah melihat orang yang serba “positif” dan bertabur kenikmatan. Apakah mereka tidak mengalami hal-hal “negatif”? Dan tidak pernah hidup kekurangan? Betapa suksesnya hidup mereka! Setiap hari makan di sana, setiap pekan jalan-jalan di sini, lain hari selalu berbelanja baju baru dan semuanya bagus-bagus. Amat sangat jarang, akun pribadi memuat postingan tentang kepedihan atau kesedihannya, hanya sekian nol koma sekian persen dibanding kebalikannya. Di situlah letak kegelisahan saya. Manusia yang mestinya memiliki sisi “positif” dan “negatif”—dengan dua hal itulah manusia bisa mencapai kepenuhan hidup—tidak saya temukan di media sosial. Mereka adalah manusia dengan satu sisi. Gelisah saya kian menjadi, jangan-jangan saya juga salah satu di antara mereka.


Pada satu kesempatan, saya ceritakan kegelisahan itu pada teman—bukan teman yang mengabaikan saya sebelumnya. Lalu, ia merespons kegelisahan saya dengan berkata: “media sosial adalah soal pertukaran. Semua like yang kamu dapatkan dari postingan bisa ditukarkan dengan kesenangan. Like adalah simbol mata uang yang bisa kamu tukarkan dengan kebahagiaan. Kamu mungkin nggak mendapat cukup banyak like sehingga kamu merasa gelisah. Artinya, kalau di dalam dunia perdagangan, kamu itu sedang merugi. Boncos!”


Saya tertawa dengan jawaban itu. Bisa-bisanya ia menyamakan aktivitas di media sosial dengan dunia dagang. Namun, sepertinya ia ada benarnya juga. Saya mengeluarkan sekian kuota internet dan sekian waktu untuk mengunggah sebuah postingan, lalu hanya mendapat sedikit like. Tentu saja saya rugi jika dihitung secara ekonomi, itulah sebabnya saya gelisah. Belum lagi jika membandingkan dengan like yang didapat oleh akun-akun lain, ada semacam rasa iri yang timbul.


Kembali pada kekesalan saya. Hal nahas yang menimpa saya di atas mungkin tidak akan menjadi tulisan ini jika terjadi dengan latar belakangan jalanan macet dan gedung-gedung raksasa Jakarta. Kejadian itu justru terjadi di sebuah dusun bernama Kasihan di Bantul, Yogyakarta. Teman itu memang bukan orang desa sekitar, ia tinggal di desa seberang, di sebuah perumahan agak eksklusif. Kendati demikian, tidak bisakah ia menghormati para penduduk dusun yang hidupnya penuh hanya dengan senyum itu? Atau setidaknya menghormati panitia penyelenggara dengan menyimak acara yang mereka suguhkan. Ketika duduk bersama dalam acara Mocopat Syafaat itu, ia tidak punya teman bercakap-cakap selain saya. Saya pun meladeni percakapannya dengan sia-sia.


Saya jadi teringat dengan Jean Baudrillard, pemikir Prancis yang berbicara banyak tentang hipperrealitas. Keberadaan teknologi canggih dengan berbagai anak kandungnya—media sosial, games, karaoke dan realitas virtual lainnya— sebagai realitas adalah suatu kondisi hipperealitas, sebagai satu tahap sebelum simulakra. Apabila representasi hadir bagi sesuatu yang digantikannya, maka simulakra adalah justru keadaan pada saat representasi hadir untuk dirinya sendiri, ia hadir tidak menggantikan apa-apa selain dirinya sendiri. Bagi Baudrillard, ini bukan sesuatu yang tidak nyata, tetapi suatu simulakra, yang berarti menggantikan dirinya sendiri. Contohnya, tayangan sepak bola kerap kali kita rasakan bukan sebagai representasi dari sebuah pertandingan sepak bola. Tayangan sepak bola dianggap lebih sporty ketimbang sepak bola itu sendiri. Penonton tayangan sepak bola bisa bersikap lebih heboh ketimbang pemain yang bermain di lapangan. Seorang penonton bisa merasa lebih kesal terhadap pemain lawan ketimbang pemain tim yang dibelanya yang sedang bermain di lapangan. Belum lagi jika kita melibatkan berbagai lapisan baru yang ikut di dalam sebuah tayangan sepak bola, seperti taruhan bola, ocehan komentator bola, atau iklan-iklan yang terselip di dalamnya. Tayangan sepak bola sebagai representasi sebuah pertandingan sepak bola, terasa justru telah melampaui sepak bola itu sendiri. Inilah situasi simulasi dalam pikiran Baudrillard.


Kalau kenyataan yang ada absen dan kita bertatapan dengan simulasi, itu sama halnya dengan menanggapi drama rumah tangga para artis dalam infotainment sebagai kenyataan itu sendiri. Padahal kenyataan di dalam “rumah yang sebenarnya” berbeda sama sekali dengan “kenyataan” dalam infotainment yang disajikan televisi. Tidak ada “rumah tangga” dalam “rumah yang nyata”, yang ada hanya rumah tangga dalam simulasi bernama informasi yang dihadirkan program infotainment di televisi.


Bukankah amat sering komentar-komentar di Facebook dan pesan-pesan di WhatsApp terasa lebih “heboh” dibanding aslinya? Kata Seno Gumira Ajidarma, “benda-benda itu (alat-alat teknologi) hidup bukan karena menggantikan manusia, melainkan termanusiakan tanpa manusia, seperti berhala yang bertuhankan tanpa Tuhan.”


Pada tahun 1977, seorang pemenang Nobel Ekonomi, Herbert Simon memperingatkan tentang datangnya dunia yang kaya akan informasi, tetapi yang akan dikonsumsi oleh informasi itu adalah perhatian dari para penerimanya. Karena itulah, luberan informasi menciptakan kemiskinan atensi, padahal atensi adalah kebutuhan dasar yang mengharmoniskan hubungan antarsesama manusia hingga tak terasa dingin seperti benda mati.


________


Penulis


Ale Siregar, seorang penerjemah lepas yang punya hobi olah raga. Ia rutin berolahraga agar memiliki nafas panjang untuk bisa membaca buku yang masih banyak belum ia baca.


redaksingewiyak@gmail.com 


Esai Heru Anwari | Menjual Jiwa

Esai Heru Anwari



Malam itu saya bersama tiga sahabat sedang berbincang melingkar dekat perapian di sudut rumah penginapan, Road House Talkeetna Alaska. Tempat tinggal dengan bangunan kayu yang lumayan old school terasa rumah tua. Bangunan ini sudah ada sejak tahun 1917 dan terkenal sebagai tempat favorit para turis, tempat persinggahan para pendaki yang mendaki ke Gunung Denali Alaska. 

Di luar rumah sedang turun salju dengan suhu udara -5 celcius, membuat kita ingin menghangatkan tubuh sambil juga menghangatkan persahabatan satu sama lain. Kita bertukar pikiran dan cerita malam itu. Gabriel new artist crywheel (alat akrobatik), ia berasal dari  negara Doimic Republic yang sudah tinggal di NYC (New York City) sejak usia 16 tahun. Ia sudah 18 tahun menelan gemerlap kehidupan NYC di dunia entertainment sebagai show artist seperti MC atau pun circus artist. Ia tak hanya mampu melakukan crywheel, tetapi juga ahli breakdance, juga hal-hal street art. Ia tak hanya tahu, tapi menyelam ke dalamnya, mengenai banyak circle. Begitulah gambaran kehidupan anak street culture (budaya jalanan), dan pastinya banyak bekerja dengan berbagai pihak di NYC. 


Sambil mengangkat kedua tangan, Gabriel mulai bercerita. 


Hey, guys listen! Saya punya cerita menarik,” uajr Gabriel dengan aksen New York. Saya senang mendengarnya.


Suatu hari ponsel Gabriel berdering sekitar pukul tiga sore. Telepon dari orang yang tak dikenal, meminta tiga dancer laki-laki untuk malam ini, pukul sembilan malam. Katanya ini urgen dan penting. Kebiasaan di negara besar seperti USA/Australia setiap pertunjukan biasanya tidak ada yang semendadak itu, biasanya di-booking, setidaknya satu minggu sebelum hari pertunjukan. 


“Oke, jika saya mendapatkan tiga dancer, berapa kamu akan membayar?”  Gabriel merespons dengan santai kepada penelepon sore itu. Penelepon menantang dan berkata, “Silahkan ucapkan berapa yang kamu mau?” 


Oh, my God!” ujar Gabriel. 


Ini menarik, Gabriel meminta $1500 USD untuk dua jam pertunjukan. Tiga dancer dan deposit sore itu juga. 


”Saya hanya menantangnya sebenarnya,” ujar Gabriel. 


Ia tak tahu, orang ini tiba-tiba saja menghubungi, tak ada hujan tak ada mendung. Telepon itu pun diakhiri dengan persetujuan kedua belah pihak.


Tak sampai 30 menit, bunyi notifikasi bank account di ponsel Gabriel, $1500 USD masuk ke rekening, sekitar 24 juta rupiah. Ia pun kaget tak kira. 


It’s real,” ujar Gabriel.


Sore itu pun Gabriel bergegas menelepon teman-teman dance laki laki yang memiliki waktu luang. Ia menelepon beberapa temannya dan menceritakan yang terjadi. Tak mudah mendapatkan boy/dancer/breakdancer laki laki dengan waktu singkat. Setelah didapatkan, ia pun memberikan lokasi pertunjukan malam itu di salah satu gedung tengah Kota New York pukul sembilan malam. 


Gabriel melanjutkan ceritanya yang semakin menarik malam itu. Semua mata tertuju kepada Gabriel dengan perawakan tinggi kekar dan gerakan-gerakan tangannya saat bercerita, ditambah aksen New York, seperti menghipnotis kita semua malam itu. 


Do you know, what happen? Kalian tahu apa yang terjadi? Saat kita sampai di sana, kita dibawa ke ruangan dan di-briefing untuk melakukan tarian dance dua sesi, tiga puluh menit dengan koreografi yang kita miliki. Namun, ada yang di luar nalar, kita diminta menari hanya dengan menggunakan celana dalam saja. Celana dalam ketat berwarna hitam seperti celana dalam Batman, haha,” Gabriel dan rekan-rekannya tertawa. 


Gabriel memperlihatkan foto di Google gambar celana dalam yang mengkilap ala-ala lelaki penghibur. Suasana pecah karena hal tak terduga terjadi. Gabriel bukan penari striptis, bisa-bisanya diminta menari ala ala striptis. Skenario ini tak dijelaskan saat percakapan ditelepon sore itu, tapi sudah telanjur datang dan satu jam penampilan $500, nilai yang fantastis. Jarang-jarang didapatkan oleh para penari jalanan atau street performer karena memang Gabriel dan teman-temannya bukan berada di lingkungan penari striptis. Memang, permintaan dance malam itu bukan tarian strip, hanya koreografi dance, bisa namun kostumnya yang luar biasa. Saya rasa sepertinya ada kejadian tak terduga, seperti cancel booking pada grup sebelumnya yang membuat mencari penari pengganti, namun itu teknis. 


Singkat cerita mereka menyetujui job malam itu. Benar saja, mereka dance di depan kumpulan para lelaki LGBT/gay, kumpulan lelaki dengan baju-baju mewah di ballroom mewah seperti acara gala dinner. Bisa-bisanya mereka dibayar hanya untuk menghibur laki-laki lain. Mungkin cerita ini banyak terjadi setiap malamnya. Namun menariknya, saya mendapatkan cerita langsung bagaimana mencekamnya malam itu dari salah satu penarinya langsung. Ia menceritakan ia seperti terjebak, namun itulah gaya kehidupan di ibu kota gemerlap New York. Uang menjadi pilihan nomor satu, menjadi satu satunya alasan untuk melakukan apa pun, karena tak ada pilihan lain, tekanan gaya hidup dan kebutuhan juga yang memengaruhi.

Sebentar, masih ada cerita menarik lainnya yang lebih membuat kita malam itu tertawa terbahak-bahak. Sesudah Gabriel dan kawan kawan menari, tak lama ia menyaksikan penampilan penghibur lain, “Kamu tahu kostum monyet dengan buntut di belakangnya? Beberapa lelaki dandan seperti monyet dan memakai kostum monyet plus dengan buntut di belakangnya di tambah meluncur dengan sepatu roda, haha,” semua tertawa.

Gabriel mengatakan bahwa mungkin para lelaki itu dibayar dengan budget yang sama untuk berpose dan meluncur dengan sepatu roda di acara malam tersebut. Saya terbayang langsung seperti di film-film, pria memakai kostum monyet dengan sepatu roda saling berjalan mengelilingi hadirin malam itu. 


Kisah cerita malam itu menjadi pengalaman bagi saya dan wawasan nyata betapa jiwa-jiwa diperjualbelikan. Harga diri bisa ditawar. Keesokan harinya saat senang pergi ke salah satu sekolah di Talkeenta Alaska untuk mengisi kegiatan workshop, kita mampir di tempat pizza untuk makan siang. Sedikit saya sambung cerita semalam yang membuat kita tertawa itu, mungkin lucu untuk teman-teman Amerika atau Australia karena mereka memandang hal yang biasa saja. Berbeda dengan saya, ini luar biasa untuk orang kampung seperti saya. Ini bagus untuk cerita dan wawasan banyak orang. 


Sambil mendekat duduk berhadapan di meja makan pizza, saya bertanya kepada Gabriel apakah hal tersebut normal terjadi kepadanya. Gabriel menjawab bahwa tidak normal, kebanyakan dancer hanya dibayar $200/$300 per hari bukan dua jam. 


”Bagaimana jika kamu mendapat tawaran seperti itu $500 USD (8 juta rupiah) dalam dua jam, apakah kamu tertarik?” Gabriel bertanya balik. 


Hm... sambil berpikir loading beberapa saat, saya senyum sejenak. 


”Saya tahu jika hidup di New York biaya hidup sangat mahal. Jadi, jika ada tawaran seperti itu bisa saja tertarik. Alasan biaya hidup jadi seperti tak ada pilihan,” ujar saya. 


”Tidak seperti itu, pekerjaan reguler banyak, seperti serabutan yang mendapatkan $200/ hari. Semua ada pilihan padamu, prinsip hidupmu,” jawab Gabriel. 


Jawaban itu mengentak batin saya. Bukan masalah tempat, semua kembali pada pondasi diri masing-masing. 


Seperti yang kita ketahui kisah besar yang sedang viral P. Diddy mengguncang mancanegara terkait pesta besar paling seru di Hollywood. Tak semua artis dunia bisa mendapatkan tiket atau undangannya. Seperti pesta yang dimimpikan dan didambakan para artis dunia. Dilansir diberbagai media nasional maupun internasional juga rumor di berbagai podcast yang menyebutkan deretan nama-nama artis besar yang tak akan saya sebutkan satu per satu, saya kira kita semua dapat menyimpulkan dari berbagai persepsi netizen yang membanjiri komentar di media sosial, seperti “keras kehidupan Hollywood” atau “gila cari duit harus jual diri” atau ”entertaint di US semenyeramkan itu”, dsb. Artinya memang begitu adanya.


Mungkin ada yang pernah dengar juga terkait artis pemusik Indonesia yang berhasil tembus di dunia internasional. Pernah diceritakan kisahnya di salah satu podcast, seseorang  itu mengatakan pernah diminta untuk ikut ke dalam party strip (tari dewasa) dengan hanya 30 menit pertunjukan. Ia dijanjikan $75,000 atau setara 1,2 M hanya dengan menari dewasa mendapatkan senilai satu rumah di Indonesia. Namun bersyukurnya ia tumbuh dan besar di negara kita yang penuh dengan ragam budaya dan agama. Itu membangun karakter dirinya. Ia mampu menolaknya. Ia katakan dalam interviunya “For me it’s like hey, that’s your life, tapi it’s not me. It’s not who I am”. Ia menegaskan untuknya seperti itu kehidupanmu, tapi tidak untukku, ini adalah diriku. Hidupnya lebih penting dari kariernya di dunia musik. Aksi penolakan itu pun mengherankan bagi orang-orang dengan pola pikir tidak berketuhanan atau tidak memiliki landasan karakter budaya. Saya ingin menggambarkan bagaimana beruntungnya kita memiliki agama atau ajaran yang mengatur dan menjaga harga diri agar tak mudah tergoda atau dengan mudah mengobral harga diri kita. Menjual jiwa hanya untuk sebuah nilai. 


Saya teringat dengan kutipan para kiai dulu saat saya masih di pondok pesantren. Kiai mengatakan bahwa Dajjal akan berikan apa pun yang kita inginkan, apa pun yang kita sukai. Tapi ya mungkin dengan menjual jiwa kita padanya. Menjadikan uang sebagai Tuhan. Berpegang pada materi kemewahan dan nilai di mata sosial atau makhluk lain. Peran Tuhan hilang. Peran harga diri hilang. Tak terbayangkan jika agama tidak berperan karena uang, mungkin semua orang melakukan apa saja tanpa batasan. Memperlakukan manusia bukan seperti manusia lagi, bahkan dihinakan untuk memakai kostum ini memakan baju ini, bergoyang ini bergoyang itu. 


Saya tak terbayang jika saya hidup bukan di Indonesia, entah jalan mana yang akan dipilih. Bersyukur betul saya dilahirkan lalu menjadi warga Indonesia yang kental akan ajaran agama dan budaya menjaga martabat harga diri. 


Irisan-irisan ini bukan hanya terjadi di negara adidaya Amerika dengan gemerlap ibu kotanya New York. Justru trade center dunia menjadi tolok ukur semua negara-negara di dunia yang ingin seperti gaya hidup Amerika dengan kebebasannya, dengan hedonisme dengan brand dan gemerlap. Negara-negara kecil sudah banyak terdampak karena kiblat ke Barat. Jangankan kota besar, Jakarta-Bali, mungkin kota sekecil seperti Serang pun banyak yang menjual jiwanya untuk kebutuhan kehidupan atau kebutuhan hawa nafsunya. Lagi-lagi perkataan Pak Kiai saat mengaji, akan banyak perempuan menjadi pengikut Dajjal di akhir zaman. Dewasa ini di era media sosial dan teknologi, bagi perempuan sangat mudah mendapatkan apa yang ia inginkan, mohon maaf tidak bermaksud menyudutkan, contoh dengan membuka aurat atau berfoto seksi, membuat akun berbayar atau hanya dipublis di media sosial, itu sudah sedikit menjual jiwanya untuk ditukar nilai uang atau ketenaran. Saya tak mengatakan menjual diri, tapi tetap saja di mata mereka jika nilai materi yang diinginkan dan menjadi tujuan itu sudah menjual jiwa. 


Agama menawarkan nilai lebih tinggi dari materi, yaitu harga diri, kepemahaman ilmu yang sesungguhnya membuat seseorang derajatnya tinggi atau istimewa, hidupnya akan bahagia dan tak terberatkan oleh nafsu-nafsu atau keinginan-keinginan rendahan materi. Justru agama yang mengenalkan manusia pada capaian sempurna menjadi manusia, melebihi makhluk ciptaan yang lainnya. Materi di era ini seperti menggelapkan manusia dari penglihatan mata hati. Mata hati telah dibutakan dengan perang kerakusan atau perlombaan menumpuk harta. Seperti yang kita lihat sekarang hampir semua sedang memanen kerakusan dan kehausan pengakuan sosial.


Tak terbayangkan jika gelombang kegelapan merasuki semua manusia di dunia maka kegilaan yang terjadi manusia semua akan di level asfala safilin yang artinya hina atau lebih rendah dari hewan. Itu Al-Qur’an yang mengatakannya. Jadi jika Tuhan tidak ada dalam hati maka Tuhan materi yang akan selalu dicari. 


Betapa bersyukurnya saya tumbuh besar di negara yang berketuhanan, yang kaya raya budaya menjaga adat martabat harga diri. Saya harap kekayaan dan kekuatan yang negara kita miliki, tak akan hancur diterjang gelombang tsunami besar budaya Barat. Justru kita sebagai penyelamat di saat terjadi bencana di dunia.


_______

Penulis


Heru Anwari, BMX Freestyler Indonesia. Berkeliling dunia bersama sepeda.



redaksingewiyak@gmail.com 



Wednesday, November 20, 2024

Lapak Buku | "English Workbook for Senior High School Grade XII" Karya Ratu Indah Nirmalasari, S.Pd.

 


Judul: English Workbook for Senior High School Grade XII

Penulis: Ratu Indah Nirmalasari, S.Pd.

Penerbit: #Komentar

Terbit: Desember 2024

Tebal: 84 hlm.

Ukuran: 14 cm x 20 cm  

Harga: Rp90.000


Buku ini disusun sebagai salah satu bahan ajar dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris di sekolah. Bahan ajar ini dirancang untuk pembelajaran kelas XII pada lembaga pendidikan atau sekolah yang menerapkan kurikulum 2013. Bahan ajar ini menggunakan metode ilmiah yang menuntut proses pembelajaran yang bermakna dan memberikan pengalaman belajar langsung kepada siswa.


Kontak:

087771480255

Monday, November 18, 2024

Karya Siswa | Puisi-Puisi Siti Nasywa Aiman

Puisi Siti Nasywa Aiman



Kembali Pulang

Kelak
Lidah ini kan berhenti mengucap
Pun dengan bibir yang tak lagi merekah
Diiring manik yang hilang pula binarnya
Lalu, kau akan menemukanku
Membusuk dibalut air mata
Ringkih menggenggaam serpihan nastapa
Pergi dalam perjalanan abadi
Meniti ujung cerita

Maka, buanglah aku di batas cakrawala
Sebelum kau temui aroma penuh angkara 
Simpanlah tulang-tulangku di dinding hatimu
Sebelum luruh di makan waktu
Atau mungkin
Kau tanam di atas suburnya dzikirmu
Baluri dengan putihnya rindumu
Dan sirami dengan butir butir doamu 


Sabdaku tentang Cinta

Aku menyepi dalam ramai
Riuh namun sunyi dalam kepala
Ingin kutuliskan sajak cinta
Namun penaku tak bertinta
Ingin kususun rangkaian cerita
Namun jemariku terkurung nestapa

Kurangkai susunan kata
Hanya menjadi diksi lenggang tanpa makna
Kupintal rajutan asa
Malah kusut mengekang aksara

Kepada pemilik hati tanpa nama
Izinkan aku menyulam cerita
Mengukir nama kita berdua
Merajut rindu penuh cinta
Memilin lelehan air mata
Membalut duka dalam bahagia
Mengekal dalam untaian diksi tanpa kata
Abadi mendekap derita dalam bahagia


Esok Nanti

Esok nanti
Aku tak lagi mampu berdiri
Menyapa dengan lesung di pipi
Apalagi dengan binar mata yang berseri

Esok nanti
Aku tak lagi dapat menyguhkan kopi
Apalagi merangkai sajak tentang si januari
karena tak ada jiwa dalam diri

Esok nanti
Meski raga ini pergi
Bait-baik diksiku tetap abadi
Menyusuri jejak sang kekasih hati

Esok nanti
Meski aku tak lagi disisi
Aksara cintaku tak akan pergi
Dia setia menemani

Esok nanti
Tawaku tak terdengar lagi
Tapi kenang tak akan membiarkanmu sendiri
Ia abadi dalam mimpi
Tak akan pernah pergi
Apalagi mati

Ia abadi
Dalam hati

_______

Penulis

Siti Nasywa Aiman, siswi SMA IT Darussalam Pipitan kelas XII.


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com 

Karya Guru | Hujan | Cerpen Siti Fatimah

Cerpen Siti Fatimah



Pagi itu, suara gemericik air hujan membuat Sofi terperanjat dari tempat tidurnya, berlari mendekat ke jendela. Tangan mungilnya menengadah ke luar jendela. 


“Wah… senangnya.”


Suasana dingin pagi itu membuat Sofi melebarkan senyum dari bibir tipisnya. Tak henti ia bersyukur karena turun hujan. Ya.. hujan, Sofi sangat suka hujan. 


Tiba-tiba terdengar suara wanita separuh baya dengan baju daster yang selalu melekat di tubuhnya itu mengetuk pintu kamar Sofi. Wanita yang menjadi role model Sofi. 


“Sofi, sudah siang, bangun dan sarapan sebelum ke sekolah.” 


Wanita yang selalu menenteramkan hati Sofi dengan kelembutannya. Sofi pun bergegas untuk siap-siap berangkat ke sekolah. 


Hujan semakin deras, Sofi pun semakin senang. Seperti biasa, ayah selalu mengantar Sofi berangkat ke sekolah. Sofi selalu merasa bahagia karena memiliki orang tua yang sangat sayang dan selalu ada untuknya. Sofi adalah anak tunggal dari pasangan ayah-ibu yang harmonis. Sungguh beruntungnya Sofi memiliki keluarga yang bahagia. Selama ini, Sofi selalu menjadi kebanggaan orang tuanya. Selain pintar, Sofi juga memiliki bakat menulis cerita. Ibunya selalu menceritakan dongeng sebelum tidur dan memiliki koleksi buku cerita di ruang kerja ayahnya. 


Sofi memasuki gerbang sekolah dengan payung berwarna pink yang selalu dibawa. Rok biru, baju putih, dan kerudung putih yang membuat wajahnya semakin mungil. Seolah sengaja terkena air hujan kepalanya, sesekali payungnya ditutup-buka. Walaupun kerudungnya sedikit basah, tapi Sofi senang. Buat Sofi, hujan selalu menenteramkan hatinya. Di kelas, Sofi adalah siswa yang pintar dan selalu mendapat rangking 1. Namun, ia tak luput dari cemoohan temannya karena Sofi termasuk anak yang speech delay. Ketika Sofi berbicara terkadang kurang jelas dan cadel. Hal ini membuat teman-temannya sering mengatakan hal-hal yang menyakiti hati Sofi. Tapi hujan selalu meneduhkan hatinya di saat kecewa dengan orang-orang sekitar. 


Sofi selalu menganggap keadaannya adalah anugerah dari Allah yang akan membuatnya sukses nanti. Karena orang tuanya selalu mengajarkan hal-hal yang baik dan berpikir positif. Di balik kekurangan, pasti terdapat kelebihan yang harus disyukuri. Speech delay bukan ah penghambat Sofi untuk meraih mimpi-mimpinya. Bersama hujan, Sofi selalu menitipkan sebuah pesan. 


“Hujan akan menutupi semua kesedihanku. Selalu tutupi air mataku, ya.”


Tanpa disadari, seorang anak laki-laki selalu memerhatikan Sofi yang sedang berdiri di teras kelas. Paras tampannya menjadi idola diantara siswa perempuan di sekolah, tinggi tegak semakin membuatnya tampak gagah seperti pemain drama Korea. 


Wahyu, itulah nama anak laki-laki yang diam-diam memperhatikan Sofi. Ia adalah ketua OSIS yang menjadi kebanggaan sekolah. Seorang kakak kelas yang tidak pernah Sofi duga kemunculannya. 


“Maaf, nama kamu Sofi, bukan? Perkenalkan, saya Wahyu, siswa kelas 8A.”


Sofi pun terkejut ada yang menyapanya, lebih terkejut lagi ketika melihat siapa yang menyapanya. Bibir tipisnya seolah berat untuk mengatakan sebuah kata. Mata bulat itu tak berhenti memandang paras ganteng Wahyu. 


“Oh Iya, saya Sofi. Ada apa ya, Kak?”


Sofi sebetulnya sudah lama mengidolakan sang ketua OSIS itu. Namun, Sofi sadar diri karena banyak teman-temannya yang berlomba untuk mendekati laki-laki berpostur tinggi itu. 


Kesedihan itu seolah hilang karena hujan dan Wahyu. 


“Aku lihat kamu selalu duduk di teras kelas ketika hujan. Ada apa dengan hujan?”


“Hujan selalu menenangkan hatiku. Bahkan setelah hujan akan muncul pelangi. Indah kan, Kak?” Sambil tersenyum hangat, Sofi berbicara sesekali memandang wajah Wahyu.


Mendengar Sofi berbicara tentang hujan, Wahyu semakin menyukai Sofi. Mereka pun berbincang akrab di teras kelas bersama hujan. Mereka berdua satu frekuensi dalam obrolan. Seperti sudah lama sekali mereka berteman dan becanda.


Wahyu adalah siswa pindahan dari luar kota. Karena ia adalah siswa pintar dan sangat aktif dalam organisasi, maka terpilih menjadi ketua OSIS. Wahyu selalu berpindah sekolah karena mengikuti kedua orang tuanya. Bapaknya seorang polisi yang siap ditugaskan di mana saja. Kini, ia kembali ke kota kelahirannya, Malang. Kota yang memiliki banyak cerita dan kenangan di masa kecil.


Ketika melihat Sofi yang menyukai hujan, ia pun teringat teman masa kecilnya. Teman satu kompleks yang sangat cengeng dan selalu mendekati hujan ketika menangis. Sambil senyum melihat Sofi, Wahyu pun tak menceritakan kisahnya. 


“Kak Wahyu, kok bengong sih? Ayo sedang memikirkan apa?”


Wahyu terperanjat dari lamunannya. 


“Oh iya, kamu nanti pulang sekolah dijemput orang tua?”


“Iya Kak, aku selalu dijemput. Tapi hari ini Ayah sedang sibuk. Jadi, aku pulang sendiri.”


Mata Wahyu langsung menunjukkan kegembiraan karena kesempatan emas untuk lebih dekat dengan Sofi. 


“Yes, yes, yes… asyik… yuhuuuuu…!” hati meluap penuh harap.


“Sofi, bagaimana kalau kita pulang bersama. Mau?”


Sambil tersenyum malu, Sofi mengangguk dan memberikan tanda dari kedua mata indahnya bahwa ia menyetujui. 


Alangkah terkejutnya Wahyu melihat rumah Sofi. Jalan itu, kompleks itu, dan rumah itu. Semua adalah kenangan yang ia simpan dan tak akan dilupakan. Cinta pertama yang membuat Wahyu tak ingin melihat perempuan lain. Sahabat dan teman kecil yang selalu menjadi cerita indah untuk Wahyu. Lebih terkejut lagi ketika Wahyu bertanya nama panggilan ketika kecil.


“Sofi, nama panggilan ketika kecil kamu siapa?” Rasa penasaran itu semakin bergejolak di hati Wahyu.


“Kok, tiba-tiba bertanya nama kecil? Wah, ada yang aneh nih. Memang kenapa, Kak?”


“Aneh ya, maaf ya bukan maksud apa-apa, kok.”


“Oke, waktu kecil aku biasa dipanggil Nifa. Karena nama lengkapku adalah Hanifa Sofi Fahimah.” 


Nama yang selalu Wahyu sematkan di hati, pertemanan singkat yang sangat berkesan, pertemuan yang menjadikan akrab karena satu kompleks. Ya, Nifa, nama perempuan yang menjadi cinta pertama Wahyu. Waktu itu mereka masih kecil sehingga Wahyu dan Sofi ketika bertemu kembali tidak mengingat wajah masing-masing. Komunikasi antarmereka pun putus semenjak Wahyu meninggalkan kota Malang untuk ikut kedua orang tuanya ke Kalimantan. Tak sabar Wahyu ingin mengungkapkan bahwa ia adalah teman kecil Sofi. Namun, niat itu ia urungkan karena khawatir Sofi memiliki pacar. 


Wahyu hanya mengantar Sofi sampai depan kompleks. Ia pun pulang dengan perasaan senang campur gelisah. 


“Aduh… kenapa tadi aku tidak minta nomor HP Sofi, ya. Ah, bodohnya aku,” ujar Wahyu.


Seminggu berlalu. Karena kesibukan Wahyu sebagai ketua OSIS, mereka pun tidak bertemu. Rasa kangen itu timbul dan melihat kesempatan untuk mengatakan kepada Sofi jika ia adalah teman kecil. 


Hari itu hujan deras di sekolah. Wahyu mencari Sofi, seperti biasa Sofi berada di teras kelas dengan memandang hujan. 


“Sofi… bisa bicara sebentar?”


“Kak Wahyu. Wah kebetulan sekali, Kak. Aku sebenarnya sedang menunggu Kakak. Tapi Kak Wahyu seminggu ini sepertinya sedang sibuk.”


Sofi sebetulnya mengetahui jika Wahyu adalah teman kecilnya. Sofi pernah melihat foto kecil Wahyu di ruang OSIS. Ketika itu Sofi sedang mengantar temannya yang ingin membaca info di mading sekolah. Mading tersebut tidak jauh dari ruang OSIS, Sofi pun mampir ke ruang OSIS karena penasaran ingin melihat ketua OSIS yang baru. Betapa terkejutnya Sofi ketika melihat di profil ketua OSIS ada foto masa kecil Wahyu. Wajah anak laki-laki yang menolongnya ketika jatuh dari sepeda. 


“Sofi, apakah kamu waktu kecil punya teman? Seorang anak laki-laki yang menolongmu ketika jatuh dari sepeda, lalu berteman, setiap libur bermain di taman kompleks?”


Sofi tersenyum dan tertawa. Namun, Wahyu semakin bingung dengan respons Sofi. 


“Hai, Wahyu Anugerah Saptawijaya atau Yuyu. Huftt… lama sekali Kakak tidak memberikan kabar kepadaku.” 


Mereka pun akhirnya saling bertukar cerita selama 8 tahun terpisah. Hujan menjadi cerita indah untuk mereka berdua. 


_______


Penulis


Siti Fatimah, biasa dipanggil Ifat. Seorang pengajar di SMP Negeri 1 Kosambi, Kab. Tangerang, lahir di Kota Serang.  Namun, sekarang tinggal di Kab. Tangerang untuk menggapai asa dan cita. Karya pertamanya cerpen dalam bahasa daerah (Jawa Banten) yang diunggah di NGEWIYAK.com.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com