View AllProses Kreatif

Dakwah

Redaksi

Postingan Terbaru

Tuesday, April 22, 2025

Proses Kreatif | Eksperimen "Agak Laen" Menjual Buku

Oleh Encep Abdullah



Pada Oktober 2024, saya menerbitkan buku proses kreatif menulis saya yang keempat berjudul Ihwal Menulis dan Menjadi Penulis. Sampai detik ini, saya sudah menulis dua puluh judul buku, dan buku proses kreatif ini saya jual agak berbeda dengan buku-buku yang lain: dijual dengan harga terserah pembeli.

Hal semacam ini tentu tidak ujug-ujug, ada proses panjang sampai memutuskan menjual dengan cara yang menurut saya agak konyol. Dulu saya pernah melihat sebuah unggahan buku terbaru karya Pak Edi AH Iyubenu berjudul Islamku, Islamamu, Islam Kita yang dijual seharga sepuluh ribu atau lima belas ribu rupiah per eksemplar. Saya berpikir, apakah tidak rugi dijual segitu. Dalam hati saya, “Lah, kan dia yang punya penerbitan. Suka-suka dia, duit-duit dia.” Iya juga. Walaupun pada umumnya banyak orang yang mencari keuntungan dari situ, nyatanya ada juga beberapa penulis yang memang tidak terlalu memusingkan soal keuntungan atau royalti tersebut. Mungkin salah satunya saya.

Saya termasuk orang yang saat ini tidak terlalu ingin ribet memikirkan keuntungan dari sebuah tulisan atau buku yang terbit. Ada beberapa faktor:

  1. Trauma masa lalu yang terlalu berambisi untung banyak dan akhirnya uang hilang semua.

  2. Sudah terlalu sering bikin buku dan tidak enak terus-menerus menawarkannya kepada publik, khususnya kepada teman-teman dekat, dengan harga yang sudah ditentukan.

  3. Dijual dengan harga berapa pun tidak membuat saya kaya secara materi.

  4. Saya, seperti Pak Edi, punya “kuasa” atas penerbitan buku yang bisa saya tentukan sendiri nasibnya.

  5. Saya niatkan sebagai sedekah.

Untuk poin kelima, sebenarnya saya ingin totalitas, yakni memberi kepada siapa pun yang berminat. Tapi, ada trauma dalam diri saya. Kadang, mereka yang asal mau itu belum tentu membaca. Sudah dikasih gratis, dibaca pun tidak. Akhirnya, saya pakai cara terakhir: dijual dengan harga sesuka pembeli. Tentu saja menimbulkan respons yang beragam. Misalnya, adik saya protes kalau beli barang tanpa harga. Katanya, dalam Islam, jual beli itu harus jelas. Saya jawab bahwa harga sesuka itu ada tempo atau batas waktu (pre-order-nya). Yang sebenarnya itu hanya PO-PO-an saja sih. Walaupun bisa jadi saya tetap akan kasih harga sesuka pembeli walau di luar PO. Saya bilang kepada adik saya, kalau mau beli dengan harga normal Rp50.000, itu berlaku di luar tanggal PO (harga sesuka itu).

Ada teman lain yang tanya kepada ChatGPT berapa harga buku dengan spesifikasi seperti buku saya itu. Ada juga yang transfer Rp200.000 untuk satu buku, ada juga yang transfer Rp30.000 (Rp26.000 ongkir + Rp4.000 harga buku). Ada juga yang transfer Rp10.000 dan minta dua buku. Ada juga satu sekolah, satu kelas borongan beli—kisaran 30 orang—dengan harga yang saya juga tidak tahu berapa. Setelah saya terima, guru tersebut memintai siswanya satu per satu Rp10.000. Tentu saya terima saja berapa pun harganya. Jadi, kalau saya amati, konsep jualan begini kayak jualan barang serba Rp35.000. Ada barang di bawah atau di atas harga segitu, tetap dijual Rp35.000. Jadi, ada yang beli buku saya di atas harga cetak, ada juga yang jauh di bawah harga cetak. Akhirnya jadi subsidi silang. Dan, saya serahkan semuanya kepada pembeli buku saya. Saya PO sekitar seminggu. Alhamdulillah, lebih dari 100 eksemplar buku terpesan. Setelah itu, ya sudah, sepi lagi.

Pengalaman menjual dengan cara semacam ini menjadi sesuatu yang berbeda bagi saya. Dan ini tidak saya anjurkan, ya, buat teman-teman yang memang niatnya mencari untung dari royalti atau hasil penjualan buku. Saya merasa dengan niat berbagi, hasilnya jauh lebih memuaskan ketimbang dengan niat mencari materi atau keuntungan. Saya sampaikan di awal tulisan ini—atau teman-teman bisa cari tulisan saya yang lain—saya sering bercerita bahwa saya pernah rugi besar karena saat bikin buku, saya punya ambisi untung banyak. Uang, uang, uang. Untung, untung, untung. Malah buntung. Seperak pun uang tak kembali. Uang saya hilang semua. Buku juga tak jadi cetak. Kebahagiaan tertinggi saya adalah berbagi, sekecil apa pun manfaat sebuah tulisan, sependek apa pun tulisan itu. Dengan niat berbagi, tulus, tanpa embel-embel duniawi, rasanya jauh lebih melegakan.

Bagi Anda yang mungkin pernah bertemu saya dalam acara literasi, pelatihan kepenulisan, dan sebagainya, Anda pasti tahu apa yang saya bawa: pasti buku gratis (selagi stok buku-buku saya masih ada). Bahkan saat diskusi buku saya dibedah di komunitas tertentu, saya pasti akan membagikan buku gratis kepada beberapa peserta, khususnya yang datang lebih awal, dan sisanya untuk audiens yang bertanya. Dan itu kesenangan bagi saya. Bahkan, sering kali dari buku-buku yang bertebaran itulah yang menjadi jembatan atau pintu bagi saya memasuki dunia pembaca atau diundang di tempat pembaca untuk mengisi acara atau pelatihan menulis. Seperti kemarin, ada rekan yang mengundang saya setelah membaca buku Ihwal Menulis dan Menjadi Penulis. Saya tidak tahu kalau dia mengundang saya ke sekolahnya karena ia terketuk hati membaca buku itu dan ingin mendapatkan inspirasi langsung dari penulisnya, lalu membagikannya kepada para murid.

Bagi saya, menulis itu bukan soal uang, melainkan soal berbagi. Yang paling utama adalah sebagai misi jiwa. Jujur, ini tulisan atau kolom pertama saya di tahun 2025 setelah mungkin tujuh bulan tidak menulis panjang. Saat ini saya lebih sering mendengarkan podcast berjam-jam, juga mulai membaca buku tebal lagi. Saya bersyukur bisa kembali lagi ke dunia “panjang” saya. Sebelumnya saya teracuni oleh video-video pendek dan jadi agak susah mencerna video dan bacaan yang panjang. Sekarang saya merasa mulai normal kembali. Dan entah ada angin apa, saya agak susah tidur, gelisah, entah gelisah apa. Lantas saya wudu saja. Setelah wudu, saya bingung mau ngapain. Saya belum mengantuk. Baca buku sedang kurang mood. Kumaha Gusti Allah wae, ternyata Dia menggiring saya ke laptop dan menulis lagi. Begitulah menulis. Adakalanya tergerak sendiri secara otomatis. Seperti tulisan ini.

Jujur, dalam hati, saya sebenarnya ingin kembali menulis cerpen. Tapi di satu sisi saya menolak, entah kenapa. Susah juga, ya. Alhasil, saya kembali lagi pada tulisan proses kreatif semacam ini, yang menurut saya, saya punya ruang sendiri di kolom ini untuk mencurahkan segala keresahan. Mungkin tulisan ini sebagai pemantik di awal tahun 2025, dan semoga bisa membangun kembali kebiasaan menulis. Sudah jago menulis bukan berarti berhenti menulis. Cristiano Ronaldo, Messi, misalnya, saya lihat mereka tetap latihan sebelum bertanding, padahal sudah suhunya suhu. Seperti orang alim atau orang saleh yang sudah sampai makrifat, tetap latihan, tetap bersyariat—salat dan sebagainya—untuk menjaga kebiasaan. Selebihnya, biarkan Tuhan yang mengalirkan kita hendak menulis apa, kapan, dan di mana.

Kembali kepada menulis dan jualan buku. Kalau melihat kapasitas saya yang segini, kayaknya saya bukan tipe penulis populer sekelas Tere Liye, atau sastrawan hebat seperti Pramoedya Ananta Toer. Persoalan popularitas, kekayaan, dan tetek bengek lainnya adalah persoalan semesta: ke mana ia mengarahkan. Saya berusaha ingin melampaui siapa pun juga. Kalau batas saya sementara ini sampai di sini, ya mau apa. Menulislah dengan kesadaran akan kapasitas diri. Jual buku-buku Anda dengan harga yang pantas menurut Anda. Berikan buku-buku tersebut kepada orang-orang yang layak menurut Anda. Di tangan orang yang layak, buku itu akan lebih banyak menebar manfaat ketimbang sampai kepada mereka yang hanya ingin gratisan, dibaca pun tidak. Mereka itu kelompok orang yang “MAU BUKU” tapi “TIDAK BACA BUKU”.

17--22 April 2025


______

Penulis


Encep Abdullah
, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.


Friday, April 18, 2025

Puisi-Puisi Surya Gemilang

Puisi Surya Gemilang




 4.695135, 96.749397.


keimanan sebatas padi

merunduk pasrah

dan berhalusinasi: sebongkah gereja

menjelma burung-burung

dan para petani sedang hibernasi

memeluk boneka sawah di ranjang


(Jakarta, Oktober 2023)



Waktu di Suatu Tempat yang Jauh


di sana, waktu

tidak bersayap tidak berkaki

dan tangan-tangan ajaib

membuatnya, tiba-tiba, tiba

pada kejauhan

tak terangkul mimpi siapa pun


di sana, waktu

tak lain sebatang pohon es

dalam tubuhnya membeku tubuh-utuh mereka

yang bertahun-tahun lalu menjadi abu

dan waktu, tetap pada tempatnya,

menyebar akar-akar es berduri


di sana, di kepalaku

lalu menyebar ke sekujur tubuh

mengisap darahku

dan menyeruak keluar dari kulit

memancang tubuhku ke tanah

yang perlahan ditinggalkan

cahaya


(Jakarta, Oktober 2023)



Seorang Aktivis Setelah Lulus Kuliah


ia kembali ke rahim, kali ini terbuat dari uang

dan terlahir kembali dengan sayap dari uang

dan satu kesadaran berbunga di hati kecilnya:


terbang dengan uang

adalah adegan sureal paling realis

sebab palu dan arit terlalu berat untuk menerbangkanmu

sebab bintang-bintang tinggal bendera

yang tak menerbangkanmu ke mana pun


ia hinggap di awan terendah: tak cukup tinggi

dan ia hinggap di awan yang lebih tinggi: tak cukup tinggi

lalu bunyi segumpal awan bocor

menyentuh kupingnya

membuat satu dugaan berbunga di hati kecilnya

yang memerah di akhir hari yang merah:


membangun ulang awan-awan

dari uang

adalah adegan sureal yang mungkin realis


(Jakarta, Oktober 2023)



Ocehan Sebelum Kau Pergi


langit tidak membutuhkan bintang-bintang

untuk menjadi langit

ia hanya langit yang menyedihkan

bagi beberapa orang

dan hanya langit

bagi yang lain


sekarang, apa kau masih menunggu

bintang-bintang

untuk mengepakkan sayapmu

untuk meninggalkan rumahmu?


toh, bintang-bintang

tak akan menyelamatkanmu


tidak semua orang mesti percaya

pada kata-kata pahlawan nasional itu:

bintang-bintang tak pernah menangkapnya

ketika ia terjatuh

dari ketinggian

karena lemparan bot

seorang tentara


(Jakarta, Oktober 2023)



Pelawak


aku berbakat menjadi pelawak

kata mama

itulah kenapa mereka menertawakanku

bahkan ketika aku tidak melucu

bahkan ketika dahiku berdarah


tidak semua orang sepandai aku

membuat orang lain tertawa

kata mama

itulah kenapa mereka tak pernah meninggalkanku

bahkan ketika aku ingin menyendiri

bahkan ketika aku membenturkan dahi ke dinding


“apa kau pernah lihat papa

membuat orang lain tertawa?

ia hanya pandai membuat mama menangis.

itulah kenapa kau istimewa.”


aku berbakat menjadi pelawak

dan aku boleh berbangga


tawa adalah mata uang

kata mama

dan aku tak perlu bekerja

untuk menghasilkan tawa


kalau kupikir baik-baik

dari perkataan mereka

inilah hal-hal yang membuatku berbakat

menjadi pelawak:


1) mata yang juling

2) bibir yang sumbing

3) nilai pelajaran yang semakin rendah

dan semakin rendah

seolah dari bukit habis terguling


aku hebat karena aku pelawak

tapi

saat menonton para pelawak di tv

aku sadar ada satu lagi mata uang

yang kurang: tepuk tangan


aku harus belajar lebih banyak

untuk membuat mereka

bertepuk tangan padaku

selain tertawa


(Jakarta, Oktober 2023)



Nama Belakang


pisau berlapis emas

menancap di punggung

nama depanku: titik-titik darah

mengarah ke mana pun ia melangkah.


sekali waktu kubawa nama depanku ke rumah

sakit, dan dokter berkata, “terlalu susah

untuk melepasnya. terlalu berisiko.”


belasan tahun nama depanku

terus meringis terus menangis

karena pisau menancap

dan di ulang tahun kami yang ke-17

nama depanku berkata:


“lepaskanlah. apa pun risikonya.”


aku menurut

dan mudah saja

kubuang pisau itu ke tong sampah

di sudut kamar.


tapi, darah mengucur deras

dari lubang di punggung

nama depanku.


“tidurlah,” katanya.

“tubuhku jauh lebih ringan sekarang.”


kami pun tidur berpelukan, aku dan nama depanku.

kasur cepat menyerap darah tapi kami tak peduli.

beberapa jam kemudian: kami terbangun,


kami mengambang di permukaan kolam darah

yang menenggelamkan seisi kamar.


karena jendela dalam jangkauan kaki

aku menendangnya hingga pecah

dan aku

dan nama depanku

dan isi-isian kamarku

terhanyut keluar

terhanyut terpencar.


itulah hari terakhirku

melihat nama depanku, nama asliku

dan pisau belapis emasku.


(Jakarta, Oktober 2023)



Nama Belakang, 2


nama belakang, gelas kaca

berisi nyawaku

yang hantu-hantu leluhur letakkan

di punggungku

sejak aku hendak belajar berjalan


(Jakarta, Oktober 2023)


______

Penulis


Surya Gemilang, lahir di Denpasar, 21 Maret 1998. Ia telah lulus dari Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta. Buku-bukunya antara lain: Mengejar Bintang Jatuh (kumpulan cerpen, 2015), Cara Mencintai Monster (kumpulan puisi, 2017), Mencicipi Kematian (kumpulan puisi, 2018), Mencari Kepala untuk Ibu (kumpulan cerpen, 2019), Icy Molly & I (novel, 2022), dan Mama Menelepon dari Neraka (kumpulan cerpen, 2023). Cerpennya masuk nominasi Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 2022. Karya-karya tulisnya yang lain dapat dijumpai di lebih dari sepuluh antologi bersama dan sejumlah media massa, seperti: Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, Bacapetra.co, Basabasi.co, dan lain-lain.


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com

Cerpen Latatu Nandemar | Lelaki yang Mudah Jatuh Cinta dan Perempuan yang Menghunus Dendam

Cerpen Latatu Nandemar 




Andai saja di dunia ini ada obat untuk menyembuhkan penyakit mudah jatuh cinta, maka Subarkah adalah salah satu orang yang sangat membutuhkannya.


Lelaki yang telah memiliki istri dan dua anak itu memang sosok yang memiliki kebutuhan tinggi untuk selalu bisa dekat dengan perempuan yang berbeda-beda. Bahkan hanya dengan pertemuan yang sangat sederhana pun, jantungnya akan berdegup memberikan sinyal cinta.


Ketika bertemu di bus, di sebuah toko, di trotoar. Ya, hanya berpapasan di atas trotoar pun, dia akan jatuh cinta pada wanita yang dilihatnya. Istrinya menyebutnya mata keranjang, tetapi Subarkah lebih suka disebut lelaki dengan limpahan cinta.


Padahal, ketika dia sudah melabuhkan hatinya pada istrinya itu, dia sempat mengucapkan janji pada dirinya sendiri untuk menghentikan sifat buruknya itu, tetapi ternyata dia ingkar terhadap janji yang pernah dia ikrarkan itu.


Istrinya sudah lelah dengan kelakuan suaminya itu. Dan lama kelamaan istrinya semakin tak peduli. Kini dia hanya menyibukkan diri dengan hal-hal yang hanya berkaitan dengan kebahagiaan dirinya dan dua anaknya saja.


Bahkan, ketika baru tujuh bulan usia pernikahan mereka, Subarkah sudah berkhianat. Setiap hari dia selalu pulang ketika malam mendekati pagi. Subarkah selalu mengendap-endap untuk masuk ke kamar di mana istrinya tengah terlelap. Atau tepatnya pura-pura terlelap. 


Awalnya istrinya mencoba bijak dengan berpikir, mungkin ada kesalahan pada dirinya sehingga suaminya seperti itu. “Apa pun yang dia dapatkan, dengan siapa pun dia melakukannya, pasti dia tidak  mendapatkannya dariku.” Dia mencoba bijak kala itu. 


Tetapi, seiring waktu, sikap bijak istrinya itu berubah menjadi sebuah kekesalan dan akhirnya bermuara pada sebuah penyesalan. “Mengapa harus aku punya suami seperti itu.” Hatinya sempat selalu menyesali takdirnya.


Hari ini, hari yang jatuh pada sebuah Sabtu, hati Subarkah kembali menggebu setelah sebelumnya, ketika dia akan pergi menuju rumah seorang teman, di mana saat itu dia sempat mengomentari sebuah tayangan berita kriminal yang tengah ditonton oleh istrinya di ruang tengah.


“Pelakunya pastilah seorang pria yang tidak memiliki perkakas kejantanan, sehingga dia melakukan itu,” ucap Subarkah ketika berita menginformasikan tentang kasus pembunuhan yang sudah tiga kali terjadi dengan keadaan korban yang selalu sama, yaitu kemaluannya hilang diputus benda tajam.


“Bagaimana kau begitu yakin kalau pelakunya adalah laki-laki? Bisa jadi pelakunya adalah seorang perempuan yang terlalu sering dikhianati, sehingga dia dendam terhadap setiap lelaki yang berbuat selingkuh!” istrinya menimpali dengan kata-kata yang sengaja dibuat menohok.


“Seorang perempuan tak akan mungkin bisa berbuat seperti itu terhadap laki-laki, perempuan lebih lemah daripada laki-laki,” Subarkah membalas istrinya dengan nada tersinggung dan ingin lekas pergi.


“Tapi perempuan bisa lebih baik dalam urusan mencari dan memanfaatkan kelemahan laki-laki.” istrinya menimpali tanpa melepaskan pandangannya sedikit pun dari berita televisi itu. Dan kemudian Subarkah pergi membawa kekalahan.


Subarkah melanjutkan rencananya untuk menemui temannya. Namun, sesampainya di jalan yang kiri-kanannya berjajar ruko-ruko, ketika dia seharusnya mengambil jalan lurus dengan motornya, ada seorang wanita yang berjalan menuju sebuah apotek dan itu membuat Subarkah berbelok arah tanpa dia pernah menyadari bahwa hari ini dia akan berbelok arah untuk selamanya.


Langkah wanita itu anggun selayaknya angsa putih yang mengapung di tengah tenangnya telaga. Terlalu elok untuk diabaikan. 


Perempuan itu masuk setelah sebelumnya membuka pintu kaca apotek tersebut. Subarkah memarkirkan motornya dan mengikuti langkah wanita tersebut. Hanya mereka berdua ditambah satu orang apoteker yang melayani di sana.


“Kenapa membeli obat tidur begitu banyak? Apakah Anda sangat kesulitan untuk tidur?” Subarkah membuka percakapan kepada si perempuan setelah mendengar percakapan antara perempuan tersebut dengan petugas kasir dan melihat apa yang dia dapatkan dari kasir yang berada di balik kaca pembatas itu.


“Tidur memang sesuatu yang mahal, bukan?” perempuan dengan rambut panjang sebahu itu menjawab. Jelas sekali dia sosok yang tidak memiliki masalah dalam urusan mengolah kata, bahkan dengan orang yang baru ditemui sekalipun.

 

“Jadi, apa yang membuat Anda tidak lelap ketika malam hari?” Subarkah merasa dibukakan pintu sehingga kembali melanjutkan pertanyaan.


“Kesepian,” perempuan itu menjawab. Jawabannya semakin membuat lelaki dengan dua anak itu melayang mabuk.


“Kalau hanya kesepian, tak harus obat tidur. Carilah orang yang bisa menemani Anda.”


“Saya tidak biasa dengan sapaan ‘Anda’, rasanya terlalu kaku. Panggil saja nama saya! Tapi saya tidak pernah memberitahukan nama saya kecuali itu di rumah saya saja.” Perempuan itu benar-benar seorang penakluk. 


“Kalau begitu, mari saya antarkan pulang.” Subarkah menawarkan diri, dan perempuan itu mengangguk dengan anggun dan juga disertai senyuman yang tak mungkin bisa untuk dilupakan oleh siapa pun.


Mereka pergi keluar. Perempuan itu bahkan tidak bertanya kepada Subarkah, mengapa dia tidak membeli satu pun obat, padahal dia memasuki apotek. Perempuan itu sepertinya memang sadar bahwa dia adalah tujuan mengapa Subarkah memasuki apotek itu. 


Perjalanan penuh dengan kelokan. Wanita itu tetap sopan dengan menjaga jaraknya, dan itu membuat Subarkah semakin menyukai perempuan anggun itu.


Pada sebuah rumah dengan lingkungan yang sepi, mereka tiba. Mereka memasuki rumah dengan ukuran sedang tersebut.


“Jadi siapa nama Anda?” Subarkah langsung bertanya setelah mereka duduk di kursi ruang tamu.


“Kita minum dulu, tunggu sebentar.” Perempuan itu meninggalkan Subarkah di ruang duduk menuju dapur tanpa bertanya pada Subarkah ingin meminum apa.


Perempuan itu sudah tahu secara pasti, apa pun yang dia berikan, pasti akan habis tandas tanpa sisa. Bahkan racun sekalipun. Karena dia tahu, Subarkah sudah jatuh cinta kepadanya.


“Jadi, siapa nama Anda?” Subarkah kembali menagih janji tentang nama perempuan yang baru ditemuinya itu ketika perempuan itu kembali ke ruang duduk membawa sebuah cangkir yang belum diketahui oleh Subarkah apa isinya.


“Setiap lelaki pastinya tidak keberatan dengan rasa pahit, bukan? Saya tadi lupa membeli gula.” Perempuan itu seolah tak mendengar pertanyaan tadi.


“Oh, tidak, sama sekali tidak. Saya tidak pernah keberatan dengan rasa pahit,” Subarkah menjawab bersamaan dengan diletakkannya cangkir tersebut yang baru dia tahu ternyata cangkir itu berisi air teh.


“Minumlah! Tidak terlalu panas, sangat ramah untuk lidah.” Perempuan itu mempersilakan. Dengan patuh Subarkah menyeruput teh tersebut. Pahitnya begitu kuat. Sepertinya bukan pahit yang berasal dari daun teh. Tapi Subarkah diam saja.


“Habiskanlah!” Perempuan itu meminta dan Subarkah kembali patuh. Tak lama, selang beberapa menit, Subarkah seperti akan terkulai jatuh. Dia diserang kantuk yang belum pernah sehebat ini sebelumnya.


Dan pada detik-detik menuju ketidaksadaran secara utuh, Subarkah melihat perempuan itu memegang sebilah pisau tajam dan melepas celana yang tengah dia kenakan.


Kemudian ingatannya melayang pada ucapan istrinya tadi, “perempuan sangat ahli dalam mencari dan memanfaatkan kelemahan laki-laki.” Dan lelaki yang mudah jatuh cinta itu terkulai tak sadarkan diri.


______

Penulis


Latatu Nandemar, pengajar di sebuah sekolah yang lebih suka mengolah kata daripada mengolah data.

NO WA: 087741098916


Sunday, April 13, 2025

Puisi-Puisi Rudly Abit Ikhsani

Puisi Rudly Abit Ikhsani




Pengabdian


Bersiaplah kawan, di garis pengabdian tanpa tanda jasa,

Di mana lelah hanya jadi cerita yang sirna di senja.

Tak pernah terpikir bagaimana hidup berlanjut,

Namun, hati tetap teguh meski hak sering luput.


Memang kami berseragam biasa, bukan penguasa,

Tapi tuduhan itu datang tanpa rasa.

Kami mendidik tapi dianggap menganiaya,

Apakah kami harus tunduk kepada mereka

Hanya ingin mendisplinkan malah menjadi narapidana


Kami tak berpangkat, dengan upah yang keramat,

Dengan tugas tugas yang diluar akal sehat

Kami duduk di kursi tapi bukan pejabat, bukan juga seorang konglomerat

Kami hanya mengubah menjadi seorang yang hebat


Terkadang lelah menyiksa dan suara hati meronta,

Kami tetap berdiri, meski tanpa balas jasa.

Kami adalah cahaya di lorong gelap penuh asa



Selayar Pendidikan


Seperti berlayar di samudera

Semilir angin mendorong dengan penuh asa

Menuju pulau yang kebahagiaan

Walau badai kadang menggoyahkan harapan


Kendali kapal ada di nahkoda,

Sesat dijalan itu salah mereka.

Angin hanya membawa,

Semua tergantung penguasa.


Hanya ada dua pilihan

Kendalikan kapal menuju yang dimimpikan

Atau harus pupus harapan



Ajar


Jika menulis adalah bekerja untuk keabadian,

Maka mengajar adalah bekerja untuk keabadian.

Tak tertulis dalam deretan nama pahlawan,

Tetapi kami ajarkan agar tercipta sebuah tulisan.


Menjadi cahaya yang tak pernah padam

Untuk menyambung lentera bangsa.

Menembus dalam kegelapan,

Bahkan malam pun tak sanggup meraba.


Suara yang tak pernah kering, bak sungai Nil

Mengalir hingga ke samudera pikiran.

Bahkan debu kapur pun ikut bersenandung

Menyanyikan lagu tentang masa depan



Aksara Nusantara


Aku ingin huruf-huruf ini menjadi jembatan

Menghubungkan bukit-bukit mimpi yang terpisah

Agar anak-anak di pelosok bisa menuliskan langit

Dengan kapur yang tak pernah habis diguyur hujan


Bahkan Laut pun Kamaru hitungan perahu kata-kata

Sebab pendidikan adalah mercusuar abadi

Yang tak pernah padam oleh gelombang zaman

Tetapi akan semakin terang oleh nafsu belajar.


Setiap titik dan koma yang diukir

Akan menjadi bibit pohon pohon pengetahuan

Yang akar akarnya merembet hingga ke desa dan kota

Menyatukan Nusantara untuk kemajuan bangsa



Surat Untukmu


Bu, tahukah engkau?

Ketika kau menulis dipapan tulis

Kau tak hanya menorehkan kapur

Tapi juga menyalakan lilin di kepala kami


Pak, tahukah engkau?

Setiap coretan yang kau berikan dibukuku

Bukan hanya sekedar coretan

Tetapi sebagai peta menuju diri yang utuh


Engkau bak pelukis hebat

Menorehkan warna di antara hitam putihnya keraguan

Tak ada kata yang cukup membalas.

Kecuali ucapan terima kasih


________

Penulis 


Rudly Abit Ikhsani, seorang penulis yang ingin abadi dengan tulisannya. Lahir dan besar di daerah yang dikenal dengan Kota Batik yaitu Pekalongan. Saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan. 



Kirim naskah ke 

redaksingewiyak@gmail.com 



Friday, April 11, 2025

Cerpen Tin Miswary | Mulod

Cerpen Tin Miswary



Beuransah baru saja pulang dari sekolah ketika istrinya berteriak-teriak memanggil namanya. Mendengar suara istrinya, lelaki itu segera memarkir sepeda motornya di teras. Dia menarik beberapa buku yang terselip di jepitan motor bagian depan, dan lalu berjalan terhuyung-huyung ke dalam rumah. Kepulangan Beuransah diketahui istrinya dari suara motor yang memang terdengar nyaring. Motor Suzuki Jet Cooled itu memang tidak bisa diajak diplomasi soal suara, selalu saja riuh dan melengking.


“Ya, sebentar,” ujar Beuransah, seraya mengembus napas.


Tidak terdengar lagi suara istrinya yang seperti suara peluit tukang parkir itu, bising dan memekak telinga. Dia mendapati istrinya sedang menampi beras di dapur, sementara di atas kompor Hock, dua depa dari tempat istrinya duduk, terlihat wajan kecil mengeluarkan asap.


“Tolong lemparkan ikan-ikan itu ke wajan. Minyaknya hampir hangus,” kata istrinya sambil terus menampi, dan sesekali menjumput bulir-bulir padi dalam nyiru.


Tanpa merasa perlu menjawab, Beuransah meletakkan buku-bukunya di atas meja kayu, tepat di belakang istrinya, dan lalu menyodok beberapa ekor ikan dalam beulidi menggunakan aweuk. Dengan bantuan benda itu dia memasukkan beberapa ekor ikan dalam wajan yang sedari tadi dipenuhi asap. 


Beuransah mengambil kembali buku di atas meja dan bergegas ke dalam kamar. Setelah mengganti pakaian, dia kembali menuju dapur, membalik ikan yang hampir hangus. Siang itu dia hanya menggunakan singlet dan sarung. Cuaca di luar cukup panas dan matahari membakar tanpa ampun. Beuransah duduk pada sebuah kursi kayu di belakang meja makan. Dia menyalakan rokok dengan mata menyipit.


Namun, belum lagi asap tembakau itu keluar dari mulutnya, istrinya menoleh, memandang wajah Beuransah, dan lalu berkata, “Lusa ada mulod di tempat mengaji si Agam.” Istrinya mengatakan itu seraya mendongak.


Beuransah mengembuskan asap ke langit-langit dapur sambil matanya memandangi sarang laba-laba yang bergelantungan di sana. Pikirannya bergerak-gerak, mencari-cari wajah seseorang yang bisa dia temui untuk meminjam uang. Namun, tak ada wajah yang muncul di sana. Pikirannya kembali bergelayut, mengingat-ingat kepada siapa dia pernah meminjamkan uang. Akan tetapi hasilnya sama, tidak ada seorang pun yang muncul di pikirannya yang kusut.


Beuransah menarik napas panjang seraya memainkan batang rokok dengan jarinya, memutarnya bagai baling-baling. Baru kemarin dia menyumbang untuk maulid di sekolah si Agam. Tidak ada patokan memang. Namun, angka 30 ribu adalah nilai minimal yang mungkin disumbang, sebab harga barang sudah semakin naik. Lagi pula dia juga masih ingat wejangan penceramah, bahwa sedekah dan permintaan harus seimbang. “Sedekah lima ribu tapi mintanya masuk surga, hallow …?” ledek penceramah. 


Atas pertimbangan itulah Beuransah terpaksa menyumbang 30 ribu untuk panitia maulid di sekolah si Agam. Dia tidak mau anaknya rendah diri, apalagi Beuransah juga seorang guru. Namun, permintaan kali ini, yang baru saja disampaikan istrinya, membuat wajahnya kembali murung. Karena itulah dia terus memandang sarang laba-laba di atas sana dengan harapan mendapat inspirasi.


“Itu ikannya sudah bisa diangkat!”


Teriakan istrinya membuat Beuransah terperanjat, membiarkan lamunannya menggantung di langit-langit dapur. Lelaki bertubuh kurus dengan rambut keriting bagai benang kusut itu bangkit dari duduknya, mengambil aweuk dan lalu mengangkat ikan yang hampir hangus, meletakkannya dalam cupe. Setelah mematikan kompor dia kembali duduk, melanjutkan renungan yang tadi terputus.


“Kata si Agam, untuk mulod lusa diminta sepuluh porsi per-wali santri.”


Suara istrinya membuat Beuransah kembali terhenyak.


Berbeda dengan maulid di sekolah yang meminta sumbangan dalam bentuk uang, maulid di tempat mengaji si Agam tidak menerima uang, tapi makanan yang sudah dimasak beserta lauk pauk. Memang sudah tradisinya begitu. Makanya dia tidak protes ketika istrinya berkata begitu. Namun, sepuluh porsi itu butuh biaya besar.


“Kira-kira habis berapa?” tanya Beuransah.


“Untuk belanja ayam, ikan dan bahan-bahan dapur, setidaknya 300 ribu. Itu paling kurang,” jawab istrinya sambil terus menampi.


“Kok mahal, ya?”


“Ya, mahal memang. Harga barang sudah naik. Uang 100 ribu sekarang gak ada harganya di pasar. Bapak pikir ini zaman Pak Harto?”


“Ya, tapi maunya jangan 10 porsi.”


“Kan sudah dibuat rapat di balee, tapi Bapak gak mau datang. Salah sendiri. Maunya kan bisa protes di sana.” 


Jawaban istrinya terasa bagai tusukan belati di jantung Beuransah. Dia terdiam dan tak menjawab lagi. Sebenarnya dia bukan tak mau datang ke sana, tapi karena dia tahu pendapatnya akan ditolak oleh wali santri lain. Pada tahun-tahun sebelumnya dia selalu menghadiri rapat di balee itu, tapi dia justru dipermalukan dengan sadis.


“Alah, Bapak ini untuk sedekah aja pelitnya bukan main,” demikian kata mereka saat itu. “Sedekah gak usah banyak mikir, Pak. Kapan lagi kalau bukan di acara-acara seperti ini,” kata yang lain lagi.


Beuransah merasa terpukul. Hatinya sakit.


“Rezeki kita beda-beda, ada yang banyak ada yang sedikit,” timpal Beuransah dengan wajah kusut.


“Alah, Bapak ini. Untuk mencari pahala saja Bapak mau berdebat. Bagaimana Bapak ini? Jangan-jangan Bapak gak cinta sama Nabi, ya?” timpal salah seorang wali santri bertubuh tambun.


Mendapat jawaban seperti itu Beuransah hanya bisa diam, memendam rasa malu yang mengapung di wajahnya yang merah. Karena itulah dia tidak mau lagi menghadiri rapat-rapat terkait sumbangan di balee. Memang rapat itu bentuk musyawarah untuk mencapai mufakat, tapi sering kali yang suaranya tinggi dan kantongnya tebal menguasai panggung, memengaruhi orang lain untuk kemudian bersepakat atas apa yang sebenarnya mereka tak setuju.


“Jangan termenung begitu!” 


Suara istrinya menyadarkan Beuransah dari pikirannya yang sedang merantau. Dia kembali mengisap rokoknya dalam-dalam, menenangkan diri dari gemuruh pikirannya sendiri. Istrinya yang baru saja selesai menampi beras bangkit dan duduk di samping suaminya. Dia memandang wajah suaminya yang masih terlihat bingung.


“Senin depan Bapak juga ada maulid di sekolah. Diminta sumbangan 50 ribu perguru sama kepala sekolah,” kata Beuransah dengan suara pelan.


“Bapak kan guru honorer, apa tidak ada keringanan?” tanya istrinya dengan mata mendelik.


“Maunya begitu, tapi ada guru honorer lain yang setuju.”


“Siapa itu?”


“Pak Midi.”


“Owalah. Dia kan punya tambak udang?”


“Itulah masalahnya. Kepala sekolah mana mau tahu, yang penting berat sama dipikul ringan sama dijinjing, katanya. Dan yang penting itu kesepakatan rapat guru-guru di sekolah.”


Sejenak suami istri itu terdiam, saling memandang dengan hati sama-sama bergolak.


Sudah 20 tahun Beuransah menjadi guru honorer di SD Kali Udang, sebuah kampung di pegunungan yang berbatasan dengan Tanah Gayo. Untuk bisa sampai ke sana dia harus memacu motornya selama satu jam setengah. Itu kalau tidak hujan dan jalannya kering. Tapi kalau hujan dan jalannya berlumpur, dia butuh waktu dua kali lipat. Karena itulah dia tidak membawa si Agam ke sana, tapi ke sekolah pinggiran kota, agar anaknya bisa pulang lebih cepat dan tidak kelaparan di tengah jalan.


Sebenarnya nama Beuransah sudah beberapa kali masuk dalam catatan guru honorer yang akan diangkat sebagai pegawai negeri. Namun, entah kenapa namanya selalu berpindah-pindah tempat. Awalnya masuk buku putih yang akan lulus tanpa tes, tapi kemudian namanya berpindah ke daftar K2, dan sekarang, karena dia hanya berijazah diploma, namanya juga hilang di sana. Yang layak masuk daftar K2 hanya mereka yang punya ijazah sarjana. Mengingat usianya sudah hampir kepala lima, rasanya tak mungkin lagi dia kuliah, apalagi kebutuhan hidup sudah semakin tinggi.


Pernah beberapa kali istrinya meminta agar ia berhenti saja menjadi guru, tapi Beuransah tidak mau. Dia tetap ingin mengajar, lagi pula dia juga sudah sangat akrab dengan orang-orang kampung di sana. Kadang-kadang waktu pulang sekolah dia membawa pisang, ubi, dan buah-buahan lain, hadiah dari wali murid. Karena itu, walau gajinya tak lebih dari 200 ribu sebulan, dia tetap bertahan. Selain itu, dia juga yakin suatu saat ketika presiden baru terpilih, akan ada kebijakan untuk mengangkat orang-orang seperti dirinya sebagai pegawai negeri. Apalagi dia sudah mengajar di sana sangat lama, ketika orang-orang GAM dan TNI masih berperang. Saat itu tidak ada yang berani datang ke sana. Namun, Beuransah yang saat itu baru lulus kuliah memberanikan diri mengajar di sekolah itu, sekolah yang kemudian dibakar orang tak dikenal sehingga dia harus mengajar anak-anak di bawah tenda.


“Jadi, bagaimana untuk mulod si Agam?” istrinya kembali bertanya.


“Kalau mungkin kita bawa lima bungkus saja, itu pun masih berat.”


Istrinya diam sejenak dan lalu berkata, “Asal Bapak berani bawa gak apa-apa.”


Perbincangan terputus.


Keesokan paginya setelah belanja dan memasak, istrinya menyerahkan lima bungkus nasi dan satu rantang lauk. Beuransah menerimanya dengan wajah yang tidak pantas untuk dikatakan gembira. Si Agam, anak laki-laki satu-satunya yang mereka punya telah lebih dulu berangkat ke balee. Dia akan membaca dalail khairat dengan teman-temannya di sana.


Jam menunjukkan pukul 11 siang ketika Beuransah dengan langkah gontai menaiki motornya. Suara motor yang seperti terompet itu mengejutkan beberapa ekor ayam yang sedang buang hajat di teras rumahnya, sementara istrinya berdiri di ambang pintu, melepas kepergian suaminya dengan hati cemas.


Sampai di sana, Beuransah menyerahkan bawaannya kepada Teungku Suman, pemimpin balai pengajian yang selama ini mengajari anaknya membaca Al-Qur’an. Teungku itu menerima pemberian Beuransah sambil tersenyum, tidak ada tanda-tanda aneh di wajahnya, seperti ditakuti Beuransah sejak kemarin. Teungku Suman mempersilakan Beuransah untuk menikmati makanan bersama tamu-tamu di bawah tenda.


Maka mulailah Beuransah menyantap makanan itu dengan lahap. Hatinya sangat bersyukur karena apa yang ditakutkannya tidak terjadi. Selesai makan, Beuransah pamit pada Teungku Suman dan berjalan pelan meninggalkan tenda. Namun, baru saja dia menduduki motornya, seorang laki-laki tambun menepuk bahunya dari belakang.


“Lain kali kalau mau makan yang banyak, bawa yang banyak,” teriak laki-laki itu sambil berlalu meninggalkan Beuransah. Seraya menarik tangan anaknya, laki-laki itu kemudian menaiki mobil yang terparkir di ujung jalan. Dia melempar senyum pada Beuransah yang masih terdiam di atas motornya. Beuransah ingat pada laki-laki itu, laki-laki yang dulu mempermalukannya di balee.


Tengku Suman yang sadar dengan kejadian tersebut segera mendekati Beuransah dan lalu berbisik, “Jangan diambil hati. Dia sedang marah karena makanan yang dia bawa saya tolak. Dia juga membawa pulang anak laki-lakinya, tidak diizinkan lagi mengaji di sini.”


Beuransah melongo.


“Kenapa?” tanyanya kemudian.


“Saya tidak mau Nabi marah.” 


“Maksud Teungku?” 


“Tahulah, dia kan ….”


Haji Suman diam sejenak, dan lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Beuransah, “Tauke Tramadol!”


Catatan:


Mulod : Maulid

Beulidi: Sejenis wadah makanan

Aweuk: Sendok untuk menggoreng ikan

Si Agam: Panggilan untuk anak laki-laki di Aceh

Cupe: Piring kecil dari kaca

Balee: Balai tempat mengaji

K2: Status pegawai honorer 

Tramadol: Jenis obat-obatan yang sering disalahgunakan


________

Penulis

Tin Miswary, menulis esai, cerpen dan resensi buku.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Friday, April 4, 2025

Cerpen Sammy Khalifa | Amat Rajajen

Cerpen Sammy Khalifa



Dua jam usai Pratu Sulistyo dinyatakan hilang, kemarahan Serda Hermawan sudah di ubun-ubun. Warga Desa Limaupulo dikumpulkan di depan kantor keuchik. Mereka dibariskan ke dalam tiga saf. Laki-laki dan perempuan. Anggota TNI lainnya sudah bersiap-siap menunggu komando dari Serda Hermawan.


“Bajingan kalian. Siapa yang telah menculik anggotaku, heh?” Serda Hermawan menendang salah seorang warga dalam barisan tersebut di dadanya hingga tergelimpang ke belakang.


“Jawab, Anjing! Kalian GAM kan?” Satu per satu lelaki dihajar tentara dengan tangan kosong, popor senjata, dan sepatu lars mereka.


Tatapan mata Serda Hermawan semakin tajam. Perempuan sudah disuruh bersandar di dinding papan kantor keuchik. Sementara yang lelaki dibariskan menjadi satu saf. Kawanan perempuan dan anak-anak dipaksa untuk menyaksikan apa yang hendak dilakukan tentara kepada kaum lelaki. Suasana menjadi horor layaknya adegan detik-detik eksekusi terpidana hukuman mati.


Sepersekian sekon sebelum Serda Hermawan melirikkan mata dari tatapan anggotanya ke arah barisan laki-laki di depannya sebagai kode eksekusi, di kejauhan ia mendengar pekikan seseorang. Seorang lelaki berkaos putih tampak kesusahan memapah lelaki berbaju loreng dengan senapan M16 disampirkan di bahu kirinya. Mereka berjalan terseok-seok ke arah Serda Hermawan.


Serda Hermawan mengangkat tangan kanannya tinggi, ragu-ragu. Pasukannya pun mulai melepaskan jari telunjuknya dari pelatuk senjata mereka masing-masing. Tiba-tiba, ia diserang bimbang. Serda Hermawan tampak terdiam menatap dua sosok manusia yang sedang berjalan ke arahnya. Dia masih tak percaya dengan penglihatannya. Mustahil!


“GAM!” Serda Hermawan berseru lantang.


Pratu Sulistyo dengan segenap sisa tenaganya memekik dan melambaikan tangan ke arah komandannya.


“Bukan, Ndan. Justru dia yang bantu saya lepas dari kepungan orang GAM.” Sulistyo yang masih lemah lantas segera disambut oleh tentara lainnya untuk dibaringkan ke dalam truk.


“Lepaskan orang kampung ini. Mereka tidak bersalah,” ujar Amat Rajajen, pria yang memapah Pratu Sulistyo tersebut.


Serda Hermawan bergeming. Ia malah menatap pria itu dengan sinis.


“Emang kau siapa?” Serda Hermawan tak mampu menahan kemelitannya.


“Saya bukan siapa-siapa, Pak,” sahut Amat Rajajen sambil berlalu membalikkan badan kembali ke peraduannya di gua. Serda Hermawan, pasukannya, dan warga yang sebelumnya disandera hanya bisa termangu.


Semua kekacauan ini bermula saat Serda Hermawan bersama pasukannya dari Batalion Infanteri Prabu Salya memutuskan untuk menyerang anggota GAM di kaki gunung Desa Limaupulo pada suatu siang di bulan Juli 2001.


Dua unit truk Reo M35 yang membawa Serda Hermawan dan pasukannya menerabas jalan berkerikil Desa Limaupulo, membuat ayam dan bebek warga terbang berhamburan di antara debu akibat lintasan truk tersebut. Truk ini datang dari pos tentara di Kutapraja yang berjarak sekitar sepuluh kilometer.


Melewati persawahan, jembatan kayu, kemudian berjalan kaki melintasi perumahan warga, dan mulai menyusuri sawah. Nyanyian beberapa ekor tonggeret mengiringi langkah mereka.


Mereka mendapatkan informasi sehari sebelumnya dari seorang ‘anak panah’ warga kampung setempat yang bernama Madi alias Bo-eng. Ia mengatakan bahwa pasukan GAM akan turun ke kampung hari itu untuk memasok logistik seperti beras, mi instan, telur ayam, dan ikan asin. Sialnya, informasi kedatangan anggota TNI itu sudah duluan bocor ke anggota GAM setempat. Informasi ini diteruskan salah seorang anggota GAM yang berada di Kutapraja dan menyamar sebagai warga sipil.


Dua belas orang anggota GAM berkaos loreng dan beberapa lainnya hanya mengenakan singlet sudah mengintai dari kaki gunung. Sebagian mereka mengenakan celana taktikal kumal dan lainnya hanya memakai celana jin sobek di lutut. Mereka telah siaga di posisi masing-masing. Tapi hanya lima orang anggota yang siap dengan senjata karena mereka cuma memiliki tiga pucuk AK-47 popor kayu dan dua pistol FN rakitan. Lainnya hanya tiarap di belakang.


Rentetan senjata terdengar berkali-kali dari arah kaki gunung ketika anggota TNI berada di tengah areal persawahan. Membentuk bunga-bunga api yang meletup di udara. Burung kuntul yang terkejut terbang menjauh. Beberapa ekor kerbau lari tak keruan. Jalak yang sebelumnya sedang mencatuk kutu di punggung kerbau juga memilih minggat: menghindari bentrokan dua kelompok manusia yang tak pernah mereka pahami.


Diserang dadakan seperti itu, anggota tentara terkesiap. Mereka tiarap dan merayap di antara lumpur sawah yang batang padinya mulai menguning. Berusaha membalas tembakan-tembakan orang GAM yang berjarak sekitar 200 meter dari mereka. Pertempuran yang sebenarnya setelah latihan panjang melintasi rentetan senjata sewaktu pendidikan militer mereka.


Juancok!” Serda Hermawan tak mampu menyembunyikan kekesalannya di tengah kekalutan.


Pasukannya terjebak di dalam lumpur sawah. Tak ada benteng atau tempat berlindung sama sekali. Yang bisa dilakukan hanyalah merunduk di balik pematang sawah yang sedikit menonjol.


Tiga jam lebih tentara terperangkap di dalam sawah. Mereka semakin tersudut. Pasukan Batalion Prabu Salya pun terpaksa mundur teratur. Tentara terpaksa angkat kaki karena tak mengira bakal diserang mendadak sedemikian rupa. Selain itu, mereka juga tak menguasai medan sawah dan pegunungan setempat yang menjadi daerah kekuasaan GAM.


Namun, pihak GAM harus rela kehilangan salah seorang anggotanya dalam serangan tersebut. Suardi, anggota GAM yang bersenjatakan pistol FN rakitan tewas tertembak di wajahnya. Dua anggota lainnya luka-luka tertembak di pinggang dan lengan.


Anggota TNI kembali menaiki truk yang diparkir di depan rumah warga dan balik ke pos Kutapraja. Tak ada percakapan selama perjalanan pulang. Kecuali seorang anggota yang meringis karena tertembak di tangan, hanya Serda Hermawan yang bersungut-sungut.


Setiba di pos, anggota tentara yang juga bertugas sebagai paramedis langsung mengobati rekannya yang terluka. Mereka juga mengecek senjata masing-masing setelah kontak senjata selama tiga jam lebih itu.


Semuanya tampak baik-baik saja.


Tiba-tiba, Serda Hermawan tampak mengernyitkan dahi. Salah satu regu pasukannya kehilangan seorang anggota, Pratu Sulistyo.


***


Amat Rajajen tersentak dari kalutnya di gua ke-39 ketika mendengar suara seperti letupan kembang api raksasa yang membahana berkali-kali. Merasa terusik, ia kemudian mengecek keluar gua apa yang sedang terjadi. Ia melihat kilatan bunga-bunga api yang saling menyambar bertebaran di udara. Dua kelompok manusia sedang terlibat perang. Satu kelompok berada di antara pepohonan dan semak belukar di kaki gunung. Sementara kelompok lainnya terjebak dalam lumpur sawah.


Ia bersembunyi di balik pohon ketapang. Bulu kuduknya bergidik ketika melihat apa yang sedang terjadi.


Di saat itu pula Amat Rajajen menyaksikan sendiri bagaimana seorang manusia di kaki gunung yang sedang menggenggam pistol terpelanting beberapa sentimeter ke belakang. Terhempas dari persembunyiannya di belakang pohon bacang. Amat Rajajen terkinjat. Ia dapat melihat dengan jelas percikan darah segar di belakang batok kepala lelaki itu yang ditembus peluru.


Rentetan senjata baru mereda tiga jam kemudian. Bau hangus menguar di udara. Kelompok manusia di lumpur sawah telah angkat kaki. Darah dan kematian membuat pagi itu menjadi suram dan kelabu.


Amat Rajajen sudah kembali ke dalam gua untuk melanjutkan pertapaannya. Satu jam lebih kemudian, ia kembali diusik suara. Kali ini bukan oleh senjata, tapi rintihan tertahan dari seseorang. Sekitar 50 meter di luar gua, ia melihat seorang lelaki berbaju loreng dengan bordiran dua garis merah horizontal di lengan bajunya yang tampak tengah menahan sakit beringsut pelan. Di dada kirinya tertera tulisan TNI-AD.


Lelaki berseragam loreng itu menyeret serta senjatanya dengan susah payah. Pelan sekali sehingga tampak nyaris tak bergerak. Darah tampak menetes dari dalam sepatu lars kirinya. Ia nyaris tak berdaya.


Putus asa. Pandangan matanya mulai memudar. Tak lama kemudian, lelaki itu pun tergolek pingsan.


Ia mendapati dirinya telah berada di dalam sebuah gua yang lembab dan gelap ketika terbangun. Sepatu lars di kaki kirinya sudah dicopot. Kakinya kini telah dibalur dengan gel sarang walet untuk mempercepat pemulihan luka, lalu dibalut dengan selembar kain. Seseorang mendekatinya seraya membawa suluh daun kelapa kering yang menyala. Pandangannya kini menjadi sedikit lebih terang.


“Siapa kau?” Pratu Sulistyo mencoba bangkit meski tenaganya belum sepenuhnya kembali. Ia mengokang M16 di tangannya dan menodongkannya ke arah lelaki tersebut.


“Bapak pingsan. Kakinya luka. Saya balut pakai kain,” ujar lelaki itu dengan kosakata bahasa Indonesia yang terbatas dikuasainya. Ia mengisap rokok daun nipah di mulutnya lebih dalam.


“Kenapa kau menolongku? Bukankah kau anggota GAM?”


“Oh bukan, Pak. Saya orang biasa.”


“Jadi, siapa namamu?”


“Amat.”


Amat Rajajen lantas memutuskan untuk membawa turun Pratu Sulistyo dan mengembalikannya ke Batalion Prabu Salya yang dikomandani Serda Hermawan. Ia telah turun ke kampung. Padahal saat itu belum memasuki 15 hari bulan. Gara-gara peristiwa itu, Amat terpaksa melanggar janjinya sendiri untuk tak keluar dari gua selain waktu 15 hari bulan.


Keesokan harinya, dua truk Reo yang sama kembali melintasi jalan berdebu kampung tersebut menjelang siang. Warga yang sebelumnya sedang bekerja atau santai di depan rumah segera disuruh berkumpul di satu titik oleh tentara. Tindakan salah seorang warga bernama Rajudin yang tampak menunduk dan menghindari menatap langsung justru membuat perhatian Serda Hermawan tertuju padanya.


Dikawal salah seorang anggotanya, Serda Hermawan memanggil Rajudin. “Hei kau, sini!”


“Iya, Pak.”


“Kau tahu di mana Amat Rajajen?”


“Hmm.. biasanya dia di gua walet, Pak.”


“Gua walet yang mana?”


“Kurang tahu, Pak.”


Plak.


Muka Rajudin berpaling ke kiri setelah pipinya terkena tamparan Serda Hermawan.


“Bajingan kalian. Mencari satu orang Amat Rajajen saja kalian tidak bisa. Jumpa orang yang satu ini malah lebih susah daripada ketemu sama orang GAM.” Serda Hermawan bersungut-sungut.


“Kau, sampaikan sama Amat Rajajen, aku sebagai Komandan ingin berterima kasih karena telah menyelamatkan anggotaku yang terluka kemarin. Aku tak mau tahu, jumpai dia sekarang! Bilang aku menunggu kedatangannya jam dua nanti di pos Kutapraja untuk jamuan makan siang,” ujar Serda Hermawan sembari menatap Rajudin lekat-lekat.


“Iya, Pak,” sahut Rajudin lekas. Peluh berlelehan dari jidatnya.


Serda Hermawan dan pasukannya kemudian kembali ke pos Kutapraja. Tak menunggu lama, Rajudin yang mengemban amanah maha penting itu langsung menyusuri areal persawahan menggunakan sarung –ia tak sempat lagi mengganti celana– menelusuri satu per satu gua di kaki gunung, tempat biasa Amat Rajajen bersemayam hingga bertemu dengan sosok tersebut.


Ia mengutuk diri dalam hati. Ke mana ia harus mencari sosok petapa sinting itu bersemayam. Rajudin melewati pematang sawah satu per satu. Ujung sarungnya mulai berlumur lumpur. Ketakutan lain yang menderanya adalah apabila ia berpapasan dengan pasukan GAM. Perasaan itu membuatnya semakin cepat melangkah mencari Amat dari satu gua ke gua lainnya.


Di gua pertama yang didatanginya, ia tak mendapati orang yang dicari di sana. Ia lantas bergegas lagi menyusuri kaki gunung untuk menyambangi gua lainnya. Mukanya sudah basah oleh peluh. Namun ia harus terus mencari. Setelah jauh berjalan dan nyaris tak mendapatkan petunjuk apa-apa terkait keberadaan Amat Rajajen, sekonyong-konyong ia melihat seekor rangkong papan merah di sebuah pintu gua yang berjarak sekitar 100 meter di depan.


“Sepertinya itu rangkong papan milik Amat,” gumamnya. Ia lantas bergegas menuju ke sana. Dan benar saja, ia melihat sekelebat gelagat seseorang di dalam gua. Tak salah lagi, itu Amat Rajajen.


Usai mendengar pesan dari Rajudin, Amat Rajajen terdiam sejenak. Lantas berkata, “bilang sama Komandan, maaf aku tak bisa datang. Keudang Diwana sedang sakit. Aku tak bisa meninggalkannya.”


***


“Yakin yang kaulihat semalam itu si Amat Rajajen?” Pertanyaan Rajudin di pos ronda Kampung Limaupulo pada suatu pagi di bulan September 2000 terdengar lebih seperti sebuah cemoohan bagi Muhsin. Teman yang lain hanya menyimak dan memilih bungkam. Membiarkan dua kawan mereka bersawala sesamanya.


“Demi tongkat Tuan Tapa, tak ingatkah kau semalam persis 15 hari bulan, waktunya Amat Rajajen turun gunung?” Muhsin menyahut tak mau kalah.


“Iya juga sih, Din. Dia tak pernah keluar gua sembarang waktu,” Misbah tak tahan untuk menimpali.


“Halah, jangan mengada-ada. Sebaiknya kaukurangi isap gelek biar mulutmu tak meracau terus, Sin.”


Sebelumnya, Muhsin mengaku pada teman-temannya bahwa semalam sekira pukul 22.00, di kejauhan ia melihat sesosok manusia berjalan melintasi areal persawahan. Ia melihat orang itu saat sedang buang air besar di parit kecil pembatas sawah di belakang rumahnya.


Di bahu kanan orang itu bertengger seekor burung rangkong papan. “Persis seperti cerita yang dulu kudengar dari Keuchik Wahed,” desis Muhsis seperti tengah berbisik untuk dirinya sendiri seraya jongkok di atas kayu kecil dalam parit.


Muhsin jadi teringat dengan cerita yang pernah didengar dari Keuchik Wahed di warung kopi kampung pada suatu malam dua tahun sebelumnya. Tawarik tentang Amat Rajajen yang membuat bulu kuduk Muhsin merinding.


“Namanya Amat Rajajen. Ia kebal bacok. Bahkan konon kabarnya ia juga tak mempan ditembak senjata.


Makanya orang GAM tak ada yang berani macam-macam sama dia,” ucap Keuchik Wahed. Muhsin bergidik.


Keuchik Wahed melanjutkan ceritanya. Usia Amat Rajajen saat itu sekitar 35 tahun. Tubuhnya kekar.


Warna matanya hitam terang kebiru-biruan. Rambutnya belah tengah dengan cambang dan janggut tipis.


Sehari-hari, Amat Rajajen mengenakan kaos putih berlambang partai warna hijau dan celana kain abu-abu. Ia bertani di sepetak sawah di dekat kaki gunung.


“Dulu ia tinggal di sebuah rumah panggung terpisah di ujung kampung, sekitar 100 meter dari sini. Tak ada orang yang berani menyamperinya ke rumah tersebut karena jalannya terhalang oleh semak belukar dan suasananya yang angker.” Keuchik Wahed berhenti sejurus untuk menyesap kopinya yang mulai dingin.


“Di rumah itu, awalnya Amat Rajajen tinggal bersama istri dan seorang anak perempuannya yang waktu itu baru berusia tiga tahun. Namun, banjir raya yang melanda kampung kita pada suatu ketika membuat istri dan anaknya hanyut dan tewas digulung air. Saat itu, Amat Rajajen sedang berada di gunung mengumpulkan buah pala … ” Keuchik Wahed kembali terdiam sejenak.


“Hatinya remuk seketika.”


“Sejak saat itu, Amat Rajajen tak pernah kembali ke rumah panggungnya. Ia menguburkan anak dan istrinya dalam satu liang yang sama di tanah warisan orang tuanya di kampung sebelah. Ia ingin menjauhkan diri dari segala hal yang berkenaan dengan anak dan istrinya. Kematian mereka membuat Amat Rajajen trauma dan larut dalam kesedihan tak terperikan.” Keuchik Wahed menghirup rokoknya dalam-dalam.


“Ia memilih menenangkan dirinya dengan kalut di gua sarang walet di kaki gunung. Bertapa dari satu gua ke gua lainnya. Mencoba untuk melupakan ingatan menyayat hati tentang istri dan anaknya. Namun selalu gagal.”


“Lalu apa yang dilakukannya?” Muhsin menyela tak sabar.


“Amat Rajajen akhirnya mencoba berdamai dengan keadaan. Ia lantas berjanji pada dirinya sendiri untuk menziarahi makam anak dan istrinya sebulan sekali. Tepatnya pada malam 15 hari bulan, saat purnama paripurna di langit. Sehingga ia bisa melihat dengan jelas nisan dan gundukan tanah kering kuburan mereka di bawah sinar rembulan. Saat itu pula biasanya Amat Rajajen bakal balik ke kampung untuk memasok logistik makanan yang dibutuhkan. Kadang ia juga turun ke sungai untuk menangkap ikan. Belakangan ia semakin jarang berziarah atau turun ke kampung karena perang sudah berkobar di sini.”


“Lantas, bagaimana dengan rangkong papannya?”


“Ya, ia memiliki seekor burung rangkong papan jantan berwarna merah yang dipelihara sejak kecil. Ia menamainya Keudang Diwana. Kadang ia mengumpani burung itu dengan serangga, biji-bijian, buah ara, atau buah pala yang tercecer di sekitar kaki gunung. Kehadiran burung itulah yang membuat kerinduan Amat Rajajen terhadap anak dan istrinya sedikit terobati. Ia menyayangi burung tersebut sebagaimana dulu ia mengasihi mereka.” Mata Keuchik Wahed memandang langit malam dengan tatapan kosong.


“Lakab ‘Rajajen’ sendiri dijuluki warga lantaran ia telah berhasil membuat Perserikatan Jin Gunong Ungkong gentar dan akhirnya menyatakan tunduk kepada dirinya.”


“Bagaimana ceritanya?” Muhsin mengeryit. Ia merapatkan diri ke bangku tempat Keuchik Wahed duduk.


“Konon katanya pada suatu malam yang bertepatan dengan 15 hari bulan bertahun-tahun lalu, seorang warga kerasukan jin dari Gunong Ungkong. Saat itu, lelaki tersebut baru saja pulang dari mengambil pala di kebunnya di kaki gunung. Salah seorang keluarganya kemudian mengadukan hal tersebut kepada Amat Rajajen yang malam itu sedang memasang bubu di sungai. Berharap ia bisa menyembuhkannya.”


“Kelakuan jin itu membuat Amat Rajajen berang. Ia lantas mengancam, ‘kaubilang sama rajamu, jangan sekali-kali mengganggu orang Limaupulo. Jika tidak, aku si Amat Gua Walet bakal datang ke Gunong Ungkong dan menebas sendiri lehernya dengan parang. Dengar?’ Seketika jin yang bersarang dalam tubuh lelaki itu mengangguk takzim. Lantas lari ketakutan, terbang kembali ke habitatnya di Gunong Ungkong.” Sejak saat itu, kata Keuchik Wahid, tak pernah ada lagi orang Limaupulo yang kerasukan jin.


Mereka telah tunduk kepada seorang manusia bernama Amat.


Mengingat hal tersebut, Muhsin merasa dirinya kini sudah punya bahan untuk meng-konter ledekan Rajudin sebelumnya.


“Sejak Nabi Adam, pernah tidak kaudengar ada jin yang tunduk sama manusia, Din? Makanya, kaujaga sedikit omonganmu tentang Amat Rajajen sebelum kau ditundukkan juga sama dia nanti!”


Kali ini Muhsin berhasil membalas ejekan Rajudin dengan telak.


***


Sebelas orang anggota GAM berdiri tegap dalam dua saf, sehari sebelum penyerangan yang dilakukan Batalion Prabu Salya. Matahari jingga kepucatan sudah beringsut menuju cakrawala Samudra Hindia. Di depan mereka berdiri seorang lelaki berusia 43 tahun. Di samping kiri terdapat sebuah gubuk berataprumbia berukuran dua kali tiga meter. Gubuk ini dikelilingi oleh deretan pepohonan yang rindang. Di atasnya terbaring tiga bilah parang. Dua set sepatu bot warna hijau lusuh tergeletak di tanah, di samping salah satu tiang penyangga gubuk. Di dekat tiang satu lagi tampak tumpukan arang dari kayu-kayu kecil dan seludang kelapa kering yang dibakar. Tiang dari bambu setinggi empat meter berdiri di samping kanan gubuk. Di ujungnya berkibar selembar bendera merah dengan dua motif garis hitam di atas dan bawahnya. Beberapa kulit durian yang sudah terkoyak dan mulai membusuk berserak di belakang gubuk.


“Waktu latihan sudah usai. Pertempuran sebenarnya akan dimulai besok. Informasi dari orang kita, tentara bakal menyerbu besok pagi, persis saat jadwal kita mengambil logistik di kampung. Jadi untuk pasokan logistik kita tunda dulu sementara. Tujuan kita sekarang cuma satu: hadang tentara!” M Thaleb alias Tgk Simantok, lelaki yang berdiri di depan itu memberikan arahan untuk anggotanya dalam bahasa Aceh dialek selatan.


Setelah barisan dibubarkan, anggota GAM mulai memeriksa senjata mereka yang tersedia. Tiga pucuk AK-47 popor kayu dan dua pistol FN rakitan. Hanya itu yang mereka punya. Senjata-senjata ini dipasok melalui jalur gunung dari pasukan GAM Wilayah Teluk.


“Sudah siap mati, Di? Apa perlu kita minta tuah Amat Rajajen biar kita kebal kayak dia?” Khaidir berseloroh, mencoba mengendurkan ketegangan menghadapi pertempuran pertama mereka.


“Haha, tak perlulah, Dir. Kecuali kita berhasil mencuri rangkong papannya,” sahut Suardi, lelaki yang ditanya.


“Betul juga. Kadang di masa-masa seperti ini aku jadi berpikir kalau kita mati apa bakal dapat kenaikan pangkat juga kayak tentara ya, haha.”


“Pemberontak macam kita paling cuma dapat kiriman al-Fatihah dari keluarga. Lagipula, kita ini hanyalah orang nekat. Latihan seadanya dan senjatanya juga tak memadai. Beda dengan perang antara pasukan Amerika dan Jepang dulu misalnya. Di sini perangnya pura-pura, tapi matinya betulan.”


Dan benar saja, Suardi akhirnya menemui ajalnya dalam perang ‘pura-pura’ dengan Batalion Prabu Salya itu.


Jasad Suardi dimakamkan di sekitar kawasan kaki gunung pada siang menjelang sore setelah kontak senjata usai. Sementara dua orang anggota GAM lainnya yang terluka dirawat oleh rekan mereka. Luka di pinggang dan lengan mereka sudah dibalut dengan kain robekan singlet milik temannya.


“Kematian Suardi bukanlah akhir dari perlawanan kita. Dendamnya harus kita tueng bila. Siapkan diri kalian. Serangan berikutnya akan segera menyusul,” tutur Tgk Simantok. Seorang anggota lainnya, Khaidir, mengumandangkan azan: penghormatan terakhir untuk kawan sepertempurannya sebelum ditimbun tanah.


Khaidir bersama dua anggota lainnya kemudian diutus Tgk Simantok turun ke kampung untuk mengambil logistik yang sudah disiapkan. Khaidir mendapatkan tugas tambahan untuk menyampaikan kabar duka kematian Suardi kepada keluarganya. Anggota GAM berencana akan mengadakan samadiah di makam Suardi setelah salat magrib.


Ia hampir sampai kembali ke kaki gunung sembari membawa logistik ketika di kejauhan melihat seseorang berkaos putih yang berjalan membelakanginya. Lelaki itu tengah membopong seseorang berseragam loreng dan bersenjata yang tampak lemas tak berdaya.


Khaidir lantas bersembunyi dan merunduk di antara hamparan daun mensiang di pinggir sawah. Ia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Khaidir mengucek matanya, lantas memperhatikan lagi dua sosok itu secara saksama. Kali ini ia tak mungkin salah lagi.


Napas khaidir tertahan sejenak. Ia menatap nyalang. “Dasar Rajajen pengkhianat!” 


Banda Aceh, September 2024-Maret 2025


_______


Penulis


Sammy Khalifa, lahir di Kota Fajar, Aceh Selatan. Bekerja sebagai jurnalis lepas yang menulis tentang budaya dan kesenian. Saat ini berdomisili di Banda Aceh.


Istilah:


Anak panah: Istilah tentara untuk informan yang memberikan informasi terkait keberadaan anggota GAM


GAM: Gerakan Aceh Merdeka; Kelompok separatis yang ingin memerdekakan Aceh dari Republik Indonesia sejak tahun 1976 hingga 2005


Juancok: Makian (bahasa Jawa)


Kalut: Bertapa di dalam gua atau gunung


Keuchik: Kepala desa


Rajajen: Raja jin


Samadiah: Prosesi mendoakan almarhum atau almarhumah


Tueng bila: Upaya untuk menuntut kerugian yang diakibatkan oleh pelaku.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Puisi-Puisi Budhi Setyawan

Puisi Budhi Setyawan



Kabut Asap di Rimba Pascamodern


apakah kematian narasi besar itu cuma dongeng,

karena ia tetap pagutkan hegemoni di kalender prosa

keseharian yang tak memberi kesetaraan kata kata.

orang orang berbisik bisik di luar podium dan tanpa

mikrofon, ada semacam keterlepasan tonggak ideologi, 

seperti halaman buku yang jatuh ke lantai di bawah

tempias hujan kritikan. entah mesti memakai

metabahasa apalagi untuk mengirimkan isyarat bagi

pergolakan pemikiran, ledakan ledakan kamuflase

bergerak menuju jantung budaya di antara hari hari

abai. kebangkitan semu menjadi menu yang

ditawarkan, serupa iklan di video lagu populer, biar

meruah gelembung gelembung takjub. ada mata

rantai yang memanjang dari kehancuran tak tampak

di dada tahun tahun, seperti hendak mengatakan

kembali, amat banyak peristiwa telah kehilangan

impuls dan momentum.


uluran dekonstruksi dialog tak lagi berupa percakapan,

telah berubah jadi monolog lengang, di lorong panjang

tanpa telinga orang orang. mereka telah mengambil

belokan jalan ke wilayah fabel kekinian, ironi yang

susupkan simtom simtom tawa dan kesenangan.

pemeluk hedonisme ikut kursus filsafat dan melahap

buku kiat kiat instan menjadi sufi. alur entropi

percikkan reaksi reaksi kimia yang menyusur pada

jalan panjang antropik, jarak ketidaktahuan dan gagap

mengeja gejala gejala. mereka berlarian berhamburan

di dalam mesin pembelajar memburu repih repih dari

konsep perenial. etika telah melompat keluar dari

tema, serupa air akuarium yang menguap di udara.

ikan ikan pun megap megap di balik selubung kaca.

seperti kecemasan kronis dari masyarakat tontonan,

yang amat memberat di punggung zaman.


tak usah bersikeras pada penyimpulan dari

segerombolan pertanyaan, apalagi hendak

memaksakan adanya jawaban. karena yang tersisa

hanya keumuman dan kerumunan, yang tak

mengatakan hal baru apa apa, apalagi mengenai

keberadaan. perpindahan cara pandang adalah bagian

dari parodi era dan penghiburan yang banal. siap

siaplah putus asa, karena segala kecamuk kepusingan

dari kesangsian awal, barangkali memang tak ada

ujung: memusar pada kelam, sembari bertaruh itu

bukan bagian dari labirin sial.


Bekasi, 16 November 2024 



Aporia


telepon genggam itu tiba tiba berbicara sendiri. ia

menyampaikan pesan dari mereka yang di seberang

ruang kepada kita. seperti sinyal sinyal kecemasan

yang akut dan barangkali akan menjelma gerombolan

skizofrenia. kita hanyalah awam yang kerap

menyerahkan hari pada laju perubahan yang tak kita

ketahui di mana sarangnya.


kecamuk kata di dalam kepala kita, mungkin sebagai

cuaca tiba tiba, terkirim lewat telepon genggam

kepada mereka. entah semacam doa atau mantra di

kegaringan digital yang makin gaduh saja. akankah

ada respon atau hanya kosong yang mengisyaratkan

bahwa pengabaian di era kini adalah bagian dari

perayaan keimanan.


kita mempertanyakan realitas kepada telepon

genggam. ia pun seperti bingung, apa yang mesti

disampaikan. deret penandaan dan algoritma

membuat hipotesis bagi peramalan nasib kita, dalam

himpunan pola yang amat gegas memberikan

simpulan sementara. kita pun gamang memberikan

retorika: siapa kita?


Bekasi, 12 November 2024 



Yang Sedang Terjadi


apakah ada yang mencatat, atau sekadar menandai

sebagai isyarat. gaduh kota terus merangsek, menuju

ceruk paling dalam di tubuh kita. mereka begitu

beringas seperti hendak mengambil sisa kesunyian

yang tak seberapa. kita pun masih terus mencoba

pertahankan, yang kita yakini sebagai bagian dari

keberadaan.


nasib yang telanjur asin dengan bulir keasingan, terus

merilis serbuk kesangsian, entah sampai kapan.

meruap ke udara bersama bau got dan aroma busuk

intrik, tengkulak kuasa yang terus berbiak. menjadi

hujan salah musim, atau curah pancaroba berwarna

keruh, mengguyur urban yang habiskan kalender di

jalanan.


dada kita, keranjang usang yang menampung segala

kesah dan sampah bualan kota. hingga bertumpuk,

membusung menggunung, seperti hendak meledak.

sementara suara kita hanya sayup sayup seperti nyala

lampu yang redup, tak sanggup membagi terang ke

segala sudut. di nadir hari, berharap bisik bisik nanti

bisa menjadi nyaring berontak, bagai puisi paling

ironi di palung benak.


Bekasi, 4 September 2024 



Variasi Nada Kibor pada Lagu Jump


amsal alarm atau sirene ke jantung malam

bilah bilah hujan membelah metropolitan

kota dengan pertalian kanal kanal

yang menjaga keterikatan pada musim basah

sementara sepeda berseliweran seperti lari anak kelinci

menjadi pergerakan seperti irama lagu

yang dimainkan berulang ulang

demikian lincah melaju di jalurnya


orang orang membayangkan kebun tulip

sebagai kasur empuk yang enak buat tiduran

di sore yang sedikit berangin

sambil sesekali menatap pada bunga matahari

di dalam ruangan museum

yang ditunggui oleh para pemakan kentang

di bawah naungan langit berbintang


semua hanya permainan untuk melarikan

pikiran dari perangkap gerak monoton

perulangan propaganda modernitas

meski kadang tak tersedia pintu keluar

tak ada kuda tak ada pelana

hari hari seperti labirin

masih saja menggema percakapan

hari kemarin yang terus terputar perlahan

seperti kincir angin


ada teriakan yang nyaring

melompatlah, melompatlah

imajinasi ke pelosok langit malam

bersama alir kehangatan rempah pala

dan ragam bauran yang cetuskan laju perburuan

ke kepul pukau kepulauan

di belahan timur, di lingkar umur


Bekasi, 16 September 2024 



Buku Besar


terlalu banyak peristiwa yang mesti dicatat dari

perniagaan nasib. harga tak pernah impas dalam

pertukaran meski telah ada kesepakatan, yang juga

mengandung keterpaksaan. akan tetapi ada yang diam

diam menggeser titik ekuilibrium, dan orang orang tak

bisa meneropong anasir di belakang faktur faktur yang

diterima. pasar yang ingar bukanlah kegembiraan,

karena lewat senyap ia ulurkan pertarungan kejam. tak

ada yang berani lantang bersuara meski seperti ada

yang terus tergerus mengikuti arus putaran pekan pekan

dalam kalender muram.


ikhtisar dari catatan peristiwa tak pernah menemu

pada simpulan, karena tak ada pengikat yang benar

benar kuat. masing masing peristiwa bergerak ke arah

kesukaan sendiri dan menampilkan sinyal keberadaan

dalam sangsi. seperti ada yang belum terbayarkan, dan

perih perih tak tertanggungkan. segala perhitungan tak

mengatakan tentang nilai bersih dari harapan. masih

ada residu kecemasan, melekat seperti kena lem panas

percetakan. hanya ada saldo kepasrahan yang terbaca,

entah sebagai kebaikan atau bagian dari kekalahan.


Bekasi, 4 November 2024 



Di Mana Keberadaan Puisi


saat kau baca tulisan ini, kau berjalan melangkah satu

satu dari sebuah kata ke kata berikutnya. mungkin

dengan perlahan atau sedikit tertahan, sambil menduga

ke sebuah arah kalimat ini akan memanjang. kau pun

mencoba menurut saja  ke mana muaranya, berharap

kejutan yang sanggup membikin gema. sesuatu yang

baru tentu menjanjikan suasana seru, meski tak jarang

juga bisa menyusupkan rasa haru.


kata kata yang kau eja bisa jadi kumpulan fenomena

atau lubang jalan meloloskan diri ke sebuah dunia

yang bisa jadi muncul tanpa rencana. bahkan kau

terlalu menikmati kebebasan yang tak pernah kau

dapati selama ini. kau berada di tempat baru, tetapi

kau merasa seperti teramat akrab seperti teman lama

dahulu. kau pun nyaris selalu mengiyakan pada segala

pertanyaan yang meminta persetujuan.


menjelang akhir dari tulisan ini, kau pun tetap mencari

sesuatu yang masih memanggil manggil nama dan

seperti bersembunyi di sebuah ruang berbeda. tetapi

mengapa terasa amat dekat dan kerap sekali ulurkan

dekap. angin bertiup dengan kecepatan sedang,

kirimkan sejuk sore yang dinaungi langit sedikit terang.

kau bergumam ini bagian dari sehimpunan tafsir, tetapi 

kau yakin ini benar benar hadir.


Bekasi, 9 November 2024 



Sepasang Pundak


sepasang pundakmu adalah taman

bagi sekumpulan kupu kupu hijau biru

beterbangam rendah di antara ayunan

ranting dan dahan melengkung menjulur

yang terbuat dari tapisan mimpi

dengan panorama kuntum kuntum pagi

mekar membasah dalam bait bait puisi


apakah kupu kupu itu

para malaikat yang tengah menyamar

di kerumunan bilangan tahun

terus saja hadir berduyun duyun

melafalkan ucapan atau penyebutan

meresonansi dari beragam permohonan

yang tak pernah kau katakan


barangkali para malaikat itu tetap berjaga

saat lelapmu di bawah perdu waktu

dengan getaran sayapnya yang sunyi

seperti kirimkan teduh cinta ke celah tatapan

para pejalan jauh di musim panas

untuk menyandarkan bilah hari yang letih

dan mungkin mengangkut residu perih


Bekasi, 4 September 2024 



Dakwah | Urgensi Niat dalam Beribadah | Tsaqib Arsalan

Oleh Tsaqib Arsalan, S.Pd.




Perlu kita ketahui ada satu hal atau perkara penting yang harus kita perhatikan ketika kita ingin melakukan suatu amalan atau ketika kita ingin melakukan suatu ibadah. Apa hal yang terpenting itu? Yakni NIAT. Niat merupakan hal terpenting ketika kita ingin melakukan suatu amalan atau ibadah.


Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan 

 

وَأَمّا النِيّةُ فَهِيَ رَأْسُ الأَمْرِ, وعَمُوْدُهُ, وأَسَاسُهُ , وأَصْلُهُ, الذِي عَلَيْه يَنْبَنِي


“Dan adapun niat maka ia adalah kuncinya suatu perkara, dan tiangnya, dan asasnya, dan fondasinya, yang di mana di atasnya dibangun sebuah perkara itu.”


Maka dari itu, niat merupakan fondasi utama dan begitu penting untuk diperhatikan bagi seorang hamba ketika ingin melakukan suatu amalan atau ibadah karena niat merupakan sebuah fondasi bagi sebuah amalan. Dan kita bayangkan/analogikan bahwa rumah itu amalan dan fondasinya itu adalah niat dan jika fondasi dari rumah itu tidak kokoh atau dibangun dengan asal-asalan maka rumah yang dibangun di atasnya pun otomatis akan tidak kokoh bahkan bisa roboh. Begitu juga dengan suatu amalan jika di bawahnya atau fondasinya, yaitu niatnya tidak kokoh maka suatu amalan itu pun akan roboh atau akan rusak.


Secara bahasa, niat berarti العَزْمُ و القَصْدُ , yaitu tekad atau menuju akan sesuatu. Sedangkan secara istilah atau secara syar’an, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin memberikan pengertian bahwa niat adalah 


 العَزمُ عَلَى فِعْلَ العِبَادَة للهِ عز وجل, ومَحَلُّها القَلبُ, وهِيَ عَمَلُ قَلبِي لاَ تَعَلُّق لِلجَوَارِح بِها


“Mengazamkan diri ketika melakukan ibadah hanya untuk Allah ‘azza wa jalla semata,  tempatnya niat adalah hati, dan niat merupakan amalan hati yang tidak berkaitan dengan anggota badan lainnya.”


Syaikh Utsaimin mengatakan bahwa niat merupakan amalan hati dan tempatnya adalah hati, dan sebagaimana yang kita ketahui bahwa hati merupakan rajanya dari seluruh anggota badan, seperti yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:


ألاَ إنَّ في الجَسَدِ مُضْغَةً، إذا صَلَحَتْ، صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، وإذا فَسَدَتْ، فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، ألا وهي القَلْبُ.


“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad ini ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka baik pula jasadnya, dan jika segumpal daging itu rusak maka rusak pula jasadnya, dan segumpal daging itu hati." (HR Bukhari & Muslim)


Niat merupakan ibadah hati, dan hati merupakan rajanya dari seluruh anggota badan. Seperti niat fondasinya suatu amal maka hati juga pondasinya bagi seluruh jasad ini. Seyogiyanya bagi seorang hamba dan Muslim yang baik untuk memperhatikan niatnya ketika ia ingin beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.


Dan di hadits lain yang sangat masyhur, Rasulullah shallahu ‘alalahi wa sallam bersabda: 


إنَّمَا الأَعمَالُ بِالنّيَاتِ وإِنّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى


“Sesungguhnya setiap amalan tergantung niatnya, dan dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan ...”


Dari segi bahasa arab Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengomentari kata “إنما” di dalam hadits tersebut menunjukkan “يُفِيدُ الْحَصْر” yaitu adanya pembatasan.  Maka dari itu menunjukkan bahwa kalimat “إنما الاعمال بالنيات” bermakna “لاَ عَمَلَ إلّا بِالنية” (tidak ada amalan kecuali dengan niat). Maka suatu amalan itu tidak akan ada nilainya atau hanya sia-sia jika tidak dibersamai dengan niat yang benar. 


Syaikh Abdurrahman bin nashir As Sa’di di dalam Mandzumah Qowaid Fiqhiyyah mengatakan 

 

والنية شرط لسائر العمل   -    بها الصلاح والفساد للعمل


“Dan niat sarat untuk seluruh amalan – dengan niat akan baik atau rusaknya suatu amalan.”


Oleh karenanya, niat merupakan poin penting ketika seseorang ingin melakukan suatu ibadah. Jika ingin diterima amal ibadahnya maka kita harus mengikhlaskan diri, mengikhlaskan niat kita hanya ditujukan untuk Allah Subhanahu wa ta’ala.


Ada beberapa hikmah d ibalik disyariatkannya kita untuk melakukan niat, di antara hikmah tersebut:


- تمييز العبادات عن العادات (Membedakan antara ibadah dengan adat/kebiasaan)


Banyak kaum muslimin di jaman sekarang mereka beribadah hanya karena ikut-ikutan saja atau karena suatu adat/kebiasaan di tempat tersebut tanpa membedakan bahwa ibadah harus diniatkan hanya kepada Allah ‘azza wa jalla.


- تمييز العبادات بعضها عن بعض (Membedakan ibadah yang satu dengan lainnya) 


Contohnya ketika kita ingin melaksanakan salat fardhu dengan salat sunah rawatib atau nafilah maka apakah niatnya sama? Tentu saja berbeda, maka ini hikmah dari disyariatkannya niat. Karena niat untuk salat fardhu dengan salat sunnah berbeda, dan niat wajib dengan niat sunah itu tidak bisa dibersamai/digabung.


- تحويل العادات الى العبادات (Mengubah adat menjadi ibadah) 


Contohnya seperti kita makan dan minum dalam kegiatan sehari-hari, itu merupakan suatu adat/kebiasaan. Maka itu bisa menjadi ibadah jika diniatkan untuk menjadi wasilah dalam beribadah atau ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.


Selaras dengan kaidah fiqih الوسيلة لها احكام المقاصد (wasilah dihukumi sesuai dengan tujuannya)  jika kita melakukan suatu adat/kebiasaan dan diniatkan tujuannya untuk beribadah maka itu bisa bernilai ibadah sesuai dengan kaidah yang baru saja disebutkan. 


Maka dari itu para ahlul ilmi mengatakan  


عبادات اهل الغفلة عادات, وعادات اهل اليقظة عبادات 


“Ibadahnya orang-orang yang lalai adalah hanya sebatas adat dan adat atau kebiasaan ahlul yaqdzah (orang-orang yang tidak lalai) adalah ibadah.” 


Karena ahlul yaqdzah meniatkan segala rutinitas/adat/kebiasaan mereka untuk imtisaalan li amrillah (mentaati perintah Allah ‘azza wa jalla).


- الحصول على الاجر مع عدم العمل

(Mendapatkan pahala walaupun belum mengamalkannya)


Dan ini merupakan suatu keutamaan yang agung yang kita dapatkan ketika kita membenahi dan menata niat kita untuk selalu kepada kebaikan dan hanya ditujukan lillahi wahdah. Hal ini bisa bernilai kebaikan walaupun kita belum atau tidak mengerjakannya. 


Demikian, syukron barakallahu fiikum.


_____


Penulis

Tsaqib Arsalan, S.Pd., alumnus Ma’had Aly Imam Syafi’i Cilacap.


Saturday, March 29, 2025

Resensi Alexander Robert Nainggolan | Susi dalam Puisi

 Oleh Alexander Robert Nainggolan




Judul: Susi (Sajak-Sajak 2008-2013)

Penulis: Gus tf

Penerbit: JBS, Yogyakarya

Terbit:  September 2024

Tebal: 86 hlm.



Lorong tubuhmu: daging terbakar menuju padam. Ah,

erangku parau, biru-lebam, tersangkut di nganga jeram (Puisi “Susi: dari Batangku”, hal. 15)



Untuk apa sebenarnya puisi ditulis? Apaklah hanya sebatas pergumulan ide dan penyulingan diksi dari dalam benak penyairkah? Apakah puisi bisa berubah menjadi sebuah “tangan”, meminjam ucapan Sutardji Calzoum Bachri—untuk memberikan reaksi terhadap sebuah peristiwa dan membalikkan keadaan.


Nyatanya memang, puisi senantiasa bergumul dengan sejumlah peristiwa; segala hal ihwal yang membalutnya acapkali tak akan dapat lepas dari realitas. Dengan sejumlah citraan yang dibangunnya, puisi mungkin bisa aneh dan ambigu, namun sesungguhnya ia tak pernah lepas dari kenyataan yang terjadi—tentunya dari setiap kejadian kehidupan ataupun keseharian dari penyair yang menuliskannya. 


Dan apakah puisi acap mengisahkan tentang biografi seseorang, katakanlah jika tokoh yang diciptakan penyair nyata adanya dengan satu nama yang sama: Susi. Susi yang berkelebat dan melingkupi pelbagai ruang, peristiwa, citra, anarsir. Susi yang menelusup ke seluruh bagian kehidupan. Susi yang bisa berubah bentuk menjadi apa pun. Metamorfosa dalam sejumlah kata dan fragmen. 


Adalah Gus tf, seorang penyair—dengan pergumulannya lewat kata seperti mendedahkan segala hal ihwal tentang Susi dalam buku ini. Ia mengembara dengan sejumlah ingatan, menelusup ke pelbagai sisi metafisika, mengambil petuah, mendedahkan luka juga anomali. Pun ia hadir dalam wujud yang lain, mencari saripati kata juga menyingkap segala tabir dari sejumlah kitab suci. Sejumlah puisi yang hadir terasa absurd, namun setelah dibaca berulang kali membuka pelbagai sisi ruang yang lain.


Dengan pergulatannya terhadap sejumlah metafora, ia menciptakan kelindan yang baru. Memberikan sejumlah “ruang” dan menciptakan dunia lain yang berbeda—barangkali agak asing, kesepian, namun menawarkan sketsa yang baru terhadap bingkai peristiwa itu sendiri.  Buku ini merupakan kumpulan puisi dengan titimangsa 2008-2013, terdiri dari lima bagian: Sesudah Tahun-Tahun, susi dari Siang dan Malam, Susi dari Puisi, Susi dari Rumah Gadang dan Atau Apa pun Itu. 


Sebagaimana yang pernah diungkapkan penyair Gwen Dolyn Brooks, jika puisi adalah kehidupan yang disuling. Setidaknya, di tangan Gus tf, puisi memang menghasilkan nektar kata yang murni, ia terbaca sebagai jejak kata yang karib lebih bertenaga dan menghasilkan citra dengan penuh kejernihan. 


Bagaimana dirinya membedah mitologi dalam puisi “Susi dari Cashinava”: 


Apa yang dulu nyata, kini menjadi dongeng kuno,

apa yang dulu dongeng kuno, kini menjadi mitologi


Si pemegang kunci yang mengenalkan diri sebagai Damis, tak pernah kautemui di Nineveh. Nineveh yang dulu kaukenal sebagai kota, pun kini cuma tinggal sebuah sumur tua. Tak ada timba. Ada seekor ular menjaga; ular yang setiap kaubutuh air dan berhasil menimba, setiap kali itu pula akan berganti kulitnya: dari putih ke hijau, hijau ke biru, biru ke jingga. Dan setiap kembali ke putih, kau segera tahu wujud aslinya: Heracles.  (hlm. 30)


Atau bagaimana Gus tf membaca sebuah riwayat dalam puisi “Susi dari Shandiar” yang turut mengambil kisah dari Al-Qur’an surat 37 ayat 21:


Kaudengar, pahat itu lengking, nyaring pilu batu. Rayng-sedan, hari pemisahan. Dua juta tahunku—empat puluh lima ribu tahunmu, mengerut surut di Baradostian. Sesrat mengendap, dedaging bertahan, ruang-waktu pudur di Barda Balka. “Wahai, tangga spiral berputar itu, yang dulu kaubawa dari Sumeria, pernahkah sudah sampai ke Inca?” (hal. 40)



Labirin Puisi


Mulanya terlihat sebagai ruang yang sempit, namun ia banyak membuka ruang lainnya menjadi semakin lebar dan luas. Meskipun kita berhadapan dengan banyak pintu yang lain, semacam usaha untuk mencari jalan keluar. Sebagaimana yang pernah diungkapkan Joko Pinurbo, jika membaca puisi ibarat memasuki rimba dan di tangan pembacalah bagaimana bisa memilah terhadap hal ihwal yang ditemui di dalam rimba tersebut. 


Membaca puisi-puisi Gus tf, seperti masuk ke “rimba” semacam itu, seperti hinggap di labirin puisi. Kita seperti diajak untuk mencari segala ilmu pengetahuan yang jarang terkuak dengan turut memadukan semua pengetahuan yang dimiliki.. Namun dengan mengkhidmati setiap bauran kata yang dihadirkan, seperti menemukan pintu dari jalan tersebut. 


Dan, Gus tf, telah tanak menuliskan puisinya, ia memegang teguh jika puisi memang sebuah sulingan dari dunia itu sendiri. Ia tak cadas mengisahkan kebingaran dunia dan seisinya, ia mendedahkan sebuah dunia baru di mata pembaca. Setidaknya, bagi saya, Gus tf telah berhasil menyuguhkan puisi-puisi yang mencerahkan. Ia menawarkan puisi dari sisi lain, dengan tetap menjaga kekhasan dari gaya ucap.


Bagaimana ia menghidupkan segala musabab yang telah lama menghilang di kehidupan:


karena tak cukup kata-kata dalam dirimu bisa mengerti

kata-kataku, bisu mengamuk pada bibirmu. Bisu milikku.

karena setiap kau memanggil hanya tebal dinding yang

menyahut, lengang memekik di dadamu. Lengang milikku.

karena semua apapun telah pulang kecuali Susi yang kau

rindu. ah, kekal menunggu sampai bungkuk. Kekal milikku.

(Puisi “Susi, Karena”, hal. 75)


Dan semua puisi dalam buku ini mengambil nama :Susi. Susi yang bisa bermetamorfosa ke pelbagai hal, peristiwa, kisah, keadaan—ataupun dalam segala macam benda. Susi yang acap mengembara dan menyuguhkan bentangan lanskap yang lain. Untuk hal ini saya teringat Goenawan Mohamad dalam tulisannya, akhirnya, pada gilirannya kita mengikuti bahasa—bukan bahasa yang mengikuti kita. Saya hadir bukan sebagai subyek. Pun dalam puisi, penyair tak lagi sepenuhnya menentukan aliran diksi-diksinya akan ke mana sepenuhnya bermuara. Kata-kata bebas dengan sendirinya. 


Kata-katanya sebagaimana dalam puisi “Susi Gema” menjelma jadi gema yang panjang dan tak jarang kerap bersahutan. Puisinya meninggalkan rongga dengan sjeumlah pertanyaan yang tak pernah tuntas untuk dijawab:


Dari sebuah gua, kau teriakkan sebuah nama.

namamukah? Dinding bukit memantulkan,

menjadikannya dua-tiga suara; memisah,

sat uke masa lalu, satu lagi ke masa depanku.

“Jangan biarkan ia terpisah,” katamu. Apa peduliku? (hlm. 47)



______

Penulis


Alexander Robert Nainggolan (Alex R. Nainggolan) lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Adm. Jakarta Barat. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di media cetak dan online. Bukunya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, Nulis Buku, 2012), Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, Nulis Buku, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, Penerbit basabasi, 2016), Dua Pekan Kesunyian (kumpulan puisi, Penerbit JBS, 2023), Fragmen-fragmen bagi Sayyidina Muhammad (kumpulan puisi, Penerbit Diva Press, 2024).

Facebook: alexr.nainggolan@yahoo.co.id- Alex R.  Nainggolan

Email: alexr.nainggolan@gmail.com / alexr.nainggolan@yahoo.co.id

Instagram: alexrnainggolan

Kini berdomisili di Taman Royal 3 Cluster Edelweiss 10 No. 16 Kel. Poris Plawad Kec. Cipondoh Kota Tangerang Banten.



Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com