Tuesday, November 2, 2021

Proses Kreatif | Penulis Penggembira

  Oleh Encep Abdullah




Status Facebook Ade Ubaidil kemarin (30 Okt 2021) bikin saya iri. Serius. Saya kepengin sekali bertemu dengan Kiai Edi Mulyono. Entah apa yang melatarbelakanginya. Bisa jadi karena saya membaca karyanya. Baca statusnya di FB dan IG-nya. Kekerenannya mendirikan KAFE basabasi, KAFE mainmain, KAFE lehaleha, dan sekaligus bos penerbit buku DIVA Press, mungkin itu yang membuat saya tiba-tiba kagum. Kok, bisa ya beliau jadi orang sekeren dan sehensem itu. Saleh, kaya, pinter nulis, tawadu, dan lembut. 



Karena status Ade yang bisa berkesempatan menginap di kediaman sang Kiai itu, saya sampai bermimpi bertemu beliau. Tentu, bertemu dengan guru menulis macam Kiai Edi Mulyono pasti sangat beruntung. Di sana, Ade Ubaidil bilang bahwa ia bersilaturahim ke sana sembari menyelesaikan mimpinya yang dulu, ingin bersemadi bikin novel. Saya sangat terharu dengan perjalanan Ade yang sangat mistikus itu. Bayangkan dua Minggu di Jogja, ngapain aja coba kalau bukan berzikir kepada Allah.


Selepas baca status Ade Ubaidil, saya tak sengaja baca status Nanda Fauzan, cerpennya dimuat di Tempo. Aih, anak muda Banten ini keren beud walau memang sudah sering dimuat di koran itu. Saya kepoin lagi status Nanda Fauzan yang lain.



Senang sekali. Naskah saya terpilih sebagai salah satu juara dalam Lomba Resensi Seri Monolog di Tepi Sejarah.



Saya lihat hadiahnya lima belas juta. Gila. Dia juara satu dalam lomba tingkat mahasiswa itu. Saya lihat juri-jurinya: Bre Redana, Linda Christanty, Felix Nesi, Putu Fajar Arcana, Lily Yulianti. Usianya yang sepuluh tahun lebih muda dari saya itu, benar-benar pemuda edan dan teranjay versi ngewiyak.com. Statusnya sebagai mahasiswa, prestasinya nggak nanggung-nanggung. Pasti pacarnya langsung minta kawin itu. Rezeki nomplok. Saya berucap selamat dan kasih eplos buatnya.


Melihat jurinya Felix Nesi, saya sekilas kembali pada ingatan. Beberapa tahun lalu, saya berfoto bersamanya di TIM, ikut menghadiri pengumuman pemenang Sayembara Novel DKJ 2018. Padahal saya tidak jadi peserta dan bukan siapa-siapa, hanya debu jalanan. Selepas menang atas novelnya Orang-Orang Oetimu itu, kariernya langsung melejit. Dulu, delapan tahun lalu, saya pertama kali bertemu dengannya dalam sebuah acara sastra. Ia menyodorkan, kalau tidak salah sebuah majalah atau buku begitu kepada saya, kumpulan karya rekan-rekan komunitasnya. Saya tak habis pikir, kini ia bisa sampai sejauh ini kekondangannya. Pun panitia bernama Willy Fahmi Agista, yang saat itu masih terseyok-seyok jadi sastrawan, tahun lalu bukunya menjadi Buku Puisi Terbaik Hari Puisi Indonesia 2019. Dia dapat fulus lima puluh juta, sedangkan Felix di DKJ itu kalau tidak salah dapat fulus dua puluh juta.


Uang-uang hasil buah tulisan mereka itu sangat menggiurkan. Dompet penuh, karier naik. Selepas itu, nama mereka sangat diperhitungkan di jagat dunia sastra.


Selain mereka, sosok muda yang tiba-tiba datang dan bikin saya mabuk kepayang adalah Faisal Oddang. Ia dapat penghargaan Pemenang Cerpen Pilihan Kompas 2014 saat masih berkuliah. Saat itu saya sok kenal dan meng-inbox dia. 



Aku sangat terharu membaca berita-berita tentangmu, perjuanganmu, kawan. Apalagi kau akan diberikan beasiswa S-2, dan sebagainya. Masa depanmu amat mencerahkan. Selamat ya kawan. Terima kasih, secara tak langsung mengajari saya akan kegigihan dan kerendahan hati seorang penulis.

(26 Juni 2015 Pukul 16.36)



Dia membalas dan tak banyak percakapan. Kami sudahi percakapan singkat itu. Setelah itu, kariernya makin melambung naik. 


Selain nama yang saya sebutkan di atas, ada satu sosok lagi bernama Panji Pratama, rekan saya waktu acara di Bali 2016. Namanya pun makin melangit. Kemarin ia juara dua menulis novel di kwikku. Hadiahnya kalau tidak salah lima puluh juta. Gile Bro. Saya kira dirimu itu bukan sastrawan. Saya kira kau sosok motivator kayak Mario Teguh, ternyata bukan.  Gayamu memang seperti orang yang nggak suka nyastra, tapi ternyata kebalikannya. Saya berucap selamat dan eplos.


Lalu, bagaimana dengan saya? Penulis yang hanya fokus mengamati rekan sesama penulis. Tapi, karya yang dihasilkan masih teramat jauh untuk melampaui mereka. Saya merasa minder kalau melihat karya mereka yang bisa sampai sejauh itu. Saya selalu bertanya, apa yang ada di kepala mereka itu ya? Apa sih kira-kira capaian yang ingin mereka raih itu? 


Mungkin pikiran saya sama seperti Bayhaki yang selalu iri melihat kesuksesan orang lain dalam menulis. Semalam dia sampai WA begini selepas baca cerpen rekannya yang dimuat di koran nasional.



Sekarang saya cuma butiran korong [upil], kalau baca tulisan si endas klutuk itu [sebuah ejekan kekesalan sekaligus kekaguman].



Baginya harga dirinya terasa sangat rendah. Ibarat langit dan bumi bila membandingkan karyanya dengan rekannya itu. 


Saya pun merasakan hal sama seperti apa yang disampaikan Bayhaki. Kami hanya menjadi penggembira atas kehebatan orang lain. Padahal Bayhaki juga kemarin habis menang lomba esai. Sebelumnya juga cerpennya pernah dimuat di koran nasional. Kenapa masih iri juga dengan capaian orang lain?


Ada penulis yang akhirnya gigih belajar menulis lagi setelah melihat rekan-rekannya sukses. Ada pula yang tetap diam di tempat sebagai penggembira karena memang tidak mampu atau malas bergerak (seperti sosok Naimin Ka, penyair berbakat tapi tak mau menunjukkan taringnya dipublik, juga Sul Ikhsan yang sedang tertatih-tatih menjadi sastrawan internasional). Ah, penulis penggembira, kalian jangan sampai mati ya. Kalau mati, dunia ucapan "selamat" di media sosial akan sepi. 


Kata-kata "selamat" itu saya cari juga di beranda media sosial saya. Loh, banyak juga yang mengucap "selamat" kepada saya. Ternyata saya juga bagian dari penulis yang sering diserbu ucapan itu. 



Banyak sekali capaian-capaianmu. Memang sudah layaklah kau jadi pembicara dalam seminar/diskusi kesusastraan ataupun bahasa. Jika ada waktu luang, aku ada acara bulan depan, kiranya kau berkenan untuk menelaah dan menginterupsi para pembicara.

(Mahdiduri, 9 Juni 2018)



Ngeri sekali ini komentar di atas itu. Saya jadi pengin ngemil cilok.



Selamat. Prestasinya masih ada, yang waktu nyinggung Radit seniman dulu, menurut saya, di situ kamu makin ngetop, Mas.

(Maulidan Rahman Siregar, 4 Jan 2017)



Wah, saya jadi teringat si Radit itu. Pokoke, aku padamu Radit.



Barangkali hanya itu yang berkesan yang saya temukan dari ratusan ucapan "selamat" yang ada selain ucapan ulang tahun.


Saya cek pesan di WA. Beberapa hari yang lalu, ternyata ada juga rekan saya seorang Pegawai Negeri Sipil, Fatiroh, mengomentari status WA saya.



Selamat ya. Bangga dengan kiprahmu dalam dunia menulis dan menjuri, serta dengan keahlian kamu yang lain, sukses ya.



Saya malah mereka-reka keahlian saya yang lain itu. Apakah maksudnya keahlian saya itu dalam hal "memikat hati wanita" atau dalam hal "jago silat"?


Kerjaan saya sekarang malah bukan sibuk mencari prestasi. Bukan sebagai penulis lomba, melainkan tukang ngasih info lomba. Bukan menjadi sosok inspiratif, melainkan pemburu sosok inspiratif. 


Tapi, kalau dipikir-pikir iya juga sih apa yang dikatakan teman saya itu. Saya ini Pendiri Komunitas Menulis Pontang-Tirtayasa. Dewan Redaksi ngewiyak.com. Beberapa kali jadi juri lomba tingkat RT dan pembicara pelatihan menulis tingkat kelurahan. Buku sudah banyak. Menang lomba dan ikut even kepenulisan juga sering. Lalu, kenapa saya masih merasa iri dan kurang puas dengan capaian-capaian itu?


Saya tidak tahu. Kalau urusan rezeki, memang perlu disyukuri dan harus qanaah. Tapi, kalau urusan karya, karena pikiran manusia itu berproses, berkreatif, maka apa pun yang berkaitan dengan karya, selalu ingin menghasilkan kualitas yang lebih, dan lebih jauh lagi. 


Mungkin orang lain merasa bahwa kreativitas saya sudah lebih dari cukup. Tapi, bagi saya kepuasan itu tidak ada. Prinsip saya bahwa tulisan saya hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin, tulisan hari esok harus lebih baik daripada hari ini.


Tapi Bray, kau harus ingat dan tahu diri. Kalau perutmu hanya mampu menampung sepiring nasi, kau tidak bisa memaksa lebih dari itu. Kalau kau hanya mampu punya satu istri, jangan memaksa lebih dari itu. Eh!


Kiara, 1 November 2021




___

Penulis


Encep Abdullah, penulis yang maksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Tak menutup kemungkinan, ia juga menerima curhatan penulis yang batinnya tersiksa untuk dimuat di kolom ini.







Kirim naskahmu ke

redaksingewiyak@gmail.com