Saturday, November 27, 2021

Resensi Suci Ayu Latifah | Pelayaran Mengarungi Sejarah NU Ponorogo

 Resensi Suci Ayu Latifah



Judul Buku : Jejak Sejarah NU Ponorogo

Penulis : Krisdianto, dkk.

Penerbit : Lembaga Ta’lif Wan Nasyr Nahdlatul Ulama Ponorogo

Tahun : Maret 2021

Tebal buku : xxx+546 halaman

ISBN : 978-623-96337-0-7



Membaca kitab cokelat bata ini, umpama melakukan perjalanan panjang. Pembaca seolah-olah sedang melakukan pelayaran hebat menuju samudera sejarah kebudayaan Islam. Disusun berbab-bab, pembaca akan melompat, kemudian berpijak dari tahun ke tahun. Kita akan menyantap dinamika sejarah—menemukan perabadan Islam lewat tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya.


Krisdianto dan para penulis buku Jejak Sejarah NU Ponorogo, memulai pelayaran dari masuknya Islam di Nusantara, pada bab I. Mereka bercerita, masuknya Islam di pulau Jawa, sekaligus kiprah Walisongo, serta metode penyebaran ajaran-ajaran Islam di kalangan masyarakat. Buku menuliskan ada 21 wali yang berpengaruh. Seperti dalam buku Panduan Lengkap Ziarah Walisongo yang ditulis Rofi’ie Ariniro (2012). 


Kemudian, masuklah pada bab II, mulai menyoroti pertumbuhan dan perkembangan Islam di Ponorogo. Sejarah berdirinya NU di Ponorogo dimulai bab V. Dituliskan suatu kondisi sebelum dan setelah NU berdiri berdasarkan bidang-bidang tertentu. Pada bab selanjutnya, pemunculan dinamika konflik dan tantangan NU Ponorogo sejak awal kemerdekaan, orde baru hingga reformasi. Pada bab terakhir, yaitu bab X mengulas dinamika NU cabang Ponorogo pascareformasi tahun 1999-2020. 


Bagi masyarakat Ponorogo yang masuk dalam organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama (NU), buku setebal 546 halaman ini, sangatlah ditunggu-tunggu. Pasalnya, sejarah sering sekali dilupa. Lebih-lebih pada tahun digitalisasi budaya lisan semakin menurun. Karenanya, penulisan Jejak Sejarah NU Ponorogo merupakan sarana menyelamatkan sejarah. Buku memindai sejarah Islam ke dalam versi tulisan. 


Mesti dimengerti, sejarah perlu dikenalkan bagi generasi masa kini. Generasi diajak mempelajari untuk merenungkan segala bentuk perjuangan para tokoh dahulu dalam menghadapi dinamika setiap zamannya. Penting diketahui, bilamana organisasi NU di Ponorogo hidup sejak masa kolonial. 


“… NU didirikan sebagai bentuk perlawanan atas rencana penjajah yang akan melakukan proses penyeragaman agama di daerah jajahannya sesuai dengan agama yang dianut di negara asalnya.” (hlm. 167)


Sebuah kerja sama yang baik dari para penulis, pengedit, hingga penerbit buku Jejak Sejarah NU Ponorogo. Hadirnya memotret perjalanan organisasi NU di Kabupaten Ponorogo. Juga, perjalanan panjang kesejarahan di Ponorogo yang belum sempat terekam dalam buku Babad Ponorogo karya Waruk Purwowijoyo (1985). 


Sejarah (budaya) tersebut, salah satunya seperti Tradisi Balon Udara. Masyarakat Ponorogo memiliki kebudayaan menerbangkan balon ke langit. Tradisi ini muncul sekitar tahun 1999--2020 pada bidang sosial. Namun, mengutip Arsip Nasional Republik Indonesia dalam Memori Asisten Ponorogo oleh A.M van der Elst menuliskan, tradisi menerbangkan balon sudah ada sejak masa Belanda.


Pada penyajiannya, Jejak Sejarah NU Ponorogo ditulis berbasis data, dilengkapi dengan bukti-bukti dokumentasi berupa gambar, foto, dan tabel. Peristiwa sejarah oleh para penulis ditulis serupa penulisan berita. Waktu dan tempat merupakan pijakan sebagai penanda suatu peristiwa. Hal itu disusun untuk memudahkan pembacaan sejarah. Siapa, kapan, dan di mana menjadi jalan masuk penceritaan perkembangan dan pertumbuhan sejarah ke-Islaman dan NU di Ponorogo. 


Di sini pembaca diajak mengarungi peradaban Islam dari tahun ke tahun. Menemukan sejarah berdirinya NU di Ponorogo, siapa pendirinya, dan bagaimana kiprah NU di masyarakat. Pembacaan secara baik akan ditemukan data-data berkaitan dengan berdirinya NU, yaitu hari Senin 18 April 1927 atau 16 Syawal 1345 H. NU untuk pertama kalinya diketuai oleh H. Ibrahim dan wakilnya, H. Bisri, serta membersamai K.H. Abu Dawud, K.H. Syamsuddin Affandi, H. Anwar, H. Moh. Irsyad, H. Baedhowi, H. Fadeli, H. Bajuri, dan Kartodinomo sebagai komisaris, orang yang ditunjuk untuk melakukan suatu tugas (hlm. 166).


Di Ponorogo, berdirinya NU diikuti dengan pendirian Masjid NU Ponorogo, sekitar tahun 1927. Berdirinya masjid tersebut menjadi ikon budaya Ponorogo. Saat ini, letak masjid NU berada di Jalan Sultan Agung, Kelurahan Bangunsari. 


Sekali lagi, buku Jejak Sejarah NU Ponorogo, yang saat ini dihadapan pembaca merupakan buku luar biasa. Buku dapat dijadikan referensi kesejarahan NU di Ponorogo. Buku pula dapat dijadikan pelajaran besar generasi kita untuk senantiasa gigih dalam menghadapi persoalan hidup. Kekuatan harus dibangun untuk menguatkan otot-otot fisik dan psikis. 





___

Penulis

Suci Ayu Latifah, asal Ponorogo. Mengajar di STKIP PGRI Ponorogo. Tulisannya termuat di berbagai media cetak maupun online.








Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com