Monday, January 31, 2022

Karya Siswa | Kabar dari Rumah | Cerpen Ahmad Yaser Alfalahi

Cerpen Ahmad Yaser Alfalahi



Wing, wing, wing…


Untuk pertama kalinya kami mendengar suara khas bel di pondok ini, yang disebut oleh santri dengan istilah jaros. Bel itu berbunyi saat kami sedang merapikan koper dan tas yang kami bawa. Ya, masing masing dari kami membawa koper, karena kami bukan berasal dari daerah sini. Rumah kami berada jauh di seberang sana, tanah Sumatera. Kami selalu bersama ke mana pun. Ical saudara sepupuku, Ute, Boy, Pajir, dan Muteg adalah teman satu MTs-ku ketika di Batam. Supi adalah adik kandungku yang duduk di kelas satu SMP. Aku sendiri biasa di panggil Aceng. Kami anak extention, sederajat kelas SMA yang SMP atau MTs-nya berasal dari sekolah luar, bukan dari pesantren ini sendiri.


“Tandziful am... tandziful am.... hattâ khomsah, wâhid… itsnâni....”


“Boy, sudah diitungin tuh, ayo keluar,” ucapku pada Boy.


“Ah, cape bersih-bersih tu, maleslah mendingan tidur. Sudah di kamar saja, Ceng, sama aku,” balas Boy.


“Iya sih. Ya sudah tutup pintunya dulu, ambil obat biar dikira sakit,” saranku konyol.


“Oke,” jawab si Boy tanpa pikir panjang.


Begitulah kira-kira kami di masa awal-awal masuk pondok ini, selalu “madol” ketika kegiatan yang tidak kami senangi. Tandzifulam, ilqo mufrodats, dan doa malam adalah contohnya yang tanpa kami sadari telah membuat angkatan kami resah. Namun, dengan berjalannya waktu, kami mulai terbiasa dengan kegiatan dan sunah-sunah di pesantren ini dan perlahan menghilangkan citra buruk yang ada pada kami.


Jumat, Sabtu, dan Ahad adalah hari yang ditunggu-tunggu. Tapi kerap membuat kami sedikit sedih. Mudif adalah hal yang membuat santri di sini begitu senang. Mereka dapat bertemu orang tuanya yang datang berkunjung ke pesantren. Kami, anak-anak Batam, hanya bisa “larjo” dan meminjam HP orang tua santri lain untuk bisa mendengar sepatah dua patah kata berisikan kabar dari orang di rumah. Namun, tak sedikit pun hal itu mengurangi semangat jihad kami demi mewujudkan cita-cita orang tua kami: memiliki anak yang berbakti pada orang tua, bangsa, dan agama.


Ibuku pernah berkata, “Biarlah kita merasakan pahitnya perpisahan dunia ini, Bang, demi mempelajari ilmu Allah, agar kita dapat kembali berkumpul di surga-Nya kelak.”


Itulah petuah yang menjadi penguat hatiku sampai saat ini, saat menulis buku ini di kelas 3 IPS A, di bangku paling belakang. Ya, tak terasa memang, saat ini kami, anak-anak Batam, telah berada di kelas akhir atau yang biasa disebut kelas nihai. Namun, saat ini aku tanpa keberadaan Pajir, sahabatku sejak MTs dulu. Dia memutuskan untuk pindah sekolah ke Batam dengan alasan tertentu. Memang berat berpisah dengannya, meski demikian perpisahan tersebut sama sekali tak memisahkan tali persahabatan kami.


Tak terasa memang, waktu kami untuk berada di pesantren ini sudah kurang dari 8 bulan. Namun momen pembuka kelas akhir kami justru pahit. Ketika jaros istirahat sedikit berteriak, tiba-tiba aku di panggil oleh wali asramaku.


“Ceng, Ical di mana? Dia sudah tahu belum kabar dari rumahnya?”


“Kurang tahu, Taz, memangnya kenapa, Taz?”


“Ya sudah nanti saja. Ustaz mau ngomong langsung ke dia.”


“Ana sepupunya, Taz, memangnya ada kabar apa, Taz? Tolong kasih tahu, Taz, ana jadi khawatir,” rengekku pada Ustaz.


“Sudah, kamu ke kelas saja, sudah mau jaros masuk ini.”


“Na’am, Ustaz. Pamit dulu, Taz, assalâmualaikum.”


Aku pun mengambil buku yang dijajarkan di saung dan menuju kelas dengan hati resah tak menentu. Sesampainya di kelas aku langsung menuju tempat dudukku. Ya, masih sama, tempat duduk paling belakang. Aku menatap kosong ke arah yang tak tentu. Tak lama berlabuh dalam lamunan, suara Utek membuyarkan, “Ceng, di panggil Ustazah.”


“Kenapa memang? Ibuku menelepon?” tanyaku dengan rasa penasaran.


“Sepertinya sih iya, ayolah cepetan.”


“Oke,” dengan langkah cepat aku menyusuri koridor gedung al-Qohiroh 4 menuju tangga turun. Di sana Ustazah sudah menungguku dengan telepon genggam yang masih menyala.


“Assalâmualaikum, Ustazah.”


“Waalaikumussalâm… Yaser bagaimana kabarnya? Sudah tahu beritanya belum?” tanya Ustazah tiba-tiba.


“Alhamdulillâh baik, Ustazah. Kabar apa ya, Ustazah? Ana belum menelepon rumah dari seminggu yang lalu.”


“Oh, ya sudah, ini telepon umimu,” sambil menyodorkan telepon genggam kepadaku.


“Baik, Ustazah.”


Segera aku cari kontak ibuku dengan tangan sedikit gemetar, penasaran, khawatir dan takut. Takut berita yang datang adalah berita yang sering kudengar belakangan ini karena pendemi. Aku masih belum siap bila semua itu menimpaku. Dengan rasa yang berkecamuk dalam dada aku menelepon ibuku.


“Assalâmualaikum, Mi. Ini abang, Umi sehat? Abi bagaimana? Semuanya sehat kan?” tanyaku bertubi-tubi tak memberi celah kepada ibuku untuk menjawab satu per satu.


“Waalaikumussalâm, sehat, Nak. Abi juga alhamdulillâh sehat kok.”


“Alhamdulillâh…” jawabku dengan sangat lega.


“Bang, Om sudah gak ada,” belum lama perasaan lega itu kunikmati, seakan petir tiba-tiba datang menyambarku. Justru sekarang dadaku terasa lebih sakit, perasaan semakin kacau, air mata tak terasa telah membasahi pipiku. Ya, omku meninggal dunia, omku adalah ayahnya Haikal.


“Apa? Habis sakit atau bagaimana, Mi?” tanyaku dengan suara serak.


“Ya begitulah, Bang, dokter memvonis positif Korona. Yang kuat ya, Nak. Tenangkan Ical nanti kalau sudah ketemu sama dia.”


“Iya, Mi.” jawabku singkat. Aku sudah sibuk dengan air mataku sendiri, tak bisa lagi banyak bicara.


“Ya sudah, Mi, Abang matikan ya teleponnya.”


“Iya, Nak, yang sabar ya.”


“Iya, Mi, assalâmualaikum.”


“Waalaikumussalâm…” tutup ibuku.


“Yang kuat, Ceng, yang sabar,” ucap Utek berusaha menenangkanku sambil mengusap-usap punggungku. Aku hanya mengangguk sambil mengusap air mata untuk kesekian kalinya.


“Yang sabar ya, Ceng. Ambil hikmahnya, doakan omnya biar tenang,” imbuh Ustazah turut menenangkanku.


Setelah itu aku berjalan kembali menuju kelas dengan wajah tertunduk lemas, berusaha menyembunyikan wajah sedih ini.


Tok, tok, tok…


“Assalamualâikum,” Utek membuka pintu kelas lalu masuk, aku mengekor dari belakang. Aku berusaha menghilangkan wajah sedih, tapi tak berhasil. Semua pandangan teman sekelas tertuju padaku dengan wajah penasaran.


“Aceng kenapa?”


“Kok menangis?”


“Aceng jangan menangis!”


“Kamu kenapa, Ceng?”


Aku hanya diam menuju tempat dudukku di belakang. Aku tahu semua pertanyaan itu akan dijawab oleh Utek.


***


Hari demi hari kami lalui bersama. Ical sedikit demi sedikit mulai bisa merelakan ayahnya dan beraktivitas seperti biasa. Hari ini hari Jumat, kami libur tidak masuk kelas. Sebentar lagi kami akan jogging, seperti hari Jumat biasanya. Namun, seketika ada seorang teman yang memanggilku.


“Ceng, ditunggu Ustaz di saung depan, disuruh manggil Utek juga.”


“Oke,” jawabku semangat.


Aku pun memanggil Utek dan berjalan berdua menuju saung yang dimaksud.


“Assalâmualaikum, Ustaz,” salam kami serentak.


“Waalaikumussalâm. Sini, Ceng, Tek, duduk dulu. Ini uminya Aceng ingin ngomong ke Utek,” sembari memberikan telepon genggam kepada Utek.


“Baik, Ustaz,” jawab Utek.


Tak lama menunggu sudah terdengar suara ibuku di sana mengucapkan salam kepada Utek. Belum lama obrolan dimulai, Utek tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Air matanya mendadak membasahi seluruh wajahnya. Aku pun terkejut melihat Utek seperti itu. Seseorang yang selalu ceria, heboh, dan membuat orang lain tertawa, kini menangis kencang di hadapanku.


“Tek, kenapa, Tek?” tanyaku segera.


Ustaz langsung memberiku isyarat seolah mengatakan kepadaku jangan ganggu Utek dulu. Aku pun mengangguk paham dan hanya bisa mengusap-usap punggungnya Utek. Seperti yang dilakukan Utek kepadaku dua minggu yang lalu.


“Iya, Bu, waalaikumussalâm,” ucap Utek mengakhiri obrolan di telepon tersebut sembari membereskan wajahnya yang basah.


“Emakku meninggal, Ceng,” ucap Utek mencoba memberi tahuku apa yang sedang terjadi.


“Innâlillâhi wainnâ ilaihi rôjiȗn…” Tanpa kusadari air mata yang kusimpan dua minggu lalu kembali tumpah. Tak lama datang Muteg menghampiri kami karena merasa penasaran melihat kami berdua menangis.


“Ceng, Tek, kenapa kalian?”


“Emaknya Utek meninggal,” aku mencoba menjawab.


“Innâlillâhi wainnâ ilaihi rôjiȗn… Yang kuat, Tek.”


Suasana di saung yang seharusnya ceria menjadi haru. Ustaz sedikit memberi motivasi kepada kami bertiga. Setelah selesai, kami pun mengantar Utek ke kamarnya. Sesampainya di kamar, teman-teman yang lain menghampiri Utek sembari bertanya-tanya yang kemudian semuanya sama-sama memberi semangat kepada Utek. Inilah teman seangkatan kami. Eh bukan, lebih tepatnya inilah keluarga besar kami. Semuanya seakan ikut merasakan sedih yang dirasakan Utek.


Waktu terus berjalan seakan tak kenal istirahat. Tak terasa kami sudah berada di penghujung semester satu. Hari ini hari Sabtu, dan Sabtu depan adalah ujian semester satu. Aku masih berada di bangku paling belakang sedang menulis sebuah cerpen yang deadline-nya tiga hari lagi.


Susah senang kami lalui bersama. Suka duka kami hadapi bersama dengan satu tujuan yang sama sebagai penguat sampai hari ini. Lima bulan lagi kami akan lulus dari pondok pesantren ini. Lima bulan yang tak bisa diceritakan kisahnya, apalagi kisah yang akan ada dalam cerpen ini. Semoga kami dan keluarga besar angkatan kami lulus dengan hasil yang memuaskan.



Penulis

Ahmad Yaser Alfalahi, kelas 3 IPS A, angkatan XI Daar el-Qolam 3, Kampus Dza ‘Izza.






Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com