Tuesday, January 18, 2022

Proses Kreatif | Penulis yang Cuma Tahu Buku, Tapi Tidak Tahu Mana Kemiri dan Ketumbar

 Oleh Encep Abdullah



"Buat apa banyak berkata-kata, pintar menulis, kalau cucian piring dan baju numpuk, rumah berantakan," ujar istri saya.


Dia membalas begitu karena sebelumnya saya bilang kepadanya bahwa ada anak cewek, anak sekolah pandai sekali berkata-kata di status WA-nya. Tak usah saya sebutkan namanya. Intinya dia masih sekolah. Lalu, spontan istri saya menjawab begitu. Dia tidak terima karena dia memang merasa tak pandai berkata-kata walaupun sebenarnya sudah punya tiga buku, duet bersama saya. Itu pun saya paksa. Tidak menulis, tidak dapat jatah uang dapur dan jalan-jalan. Untungnya, istri tidak bilang "Kalau maksa nyuruh aku nulis, aku nggak akan kasih jatah malam Jumat dan malam Minggu" Haha.


Lalu, apa yang sedang dipermasalahkan di sini sebenarnya? Saya juga tidak tahu. Karena sejak pagi saya kebingungan mau menulis apa, mendadak percakapan dengan istri ini menjadi inspirasi untuk menulis.


Menurut Saudara, apa hubungannya cucian piring yang numpuk, cucian baju yang numpuk, rumah yang berantakan dengan urusan pandai berkata-kata dan menulis?


Saya ulangi lagi perkataan istri saya, "Buat apa banyak berkata-kata, pintar menulis, kalau cucian piring dan baju numpuk, rumah berantakan".


Saya mau menafsirkan, barangkali maksudnya begini. Kecerdasanmu dalam menulis (juga membaca) rasanya tak berfaedah kalau urusan sepele di sekitarmu, seremeh itu, diabaikan.


Mungkin begini. Banyak orang yang merasa pintar berkata-kata, menulis buku, tapi saat melihat sampah bungkus permen di sampingnya saja abai. Ada hal yang seharusnya kau beresi dan benahi, tidak segera kau selesaikan. Lebih jauh lagi, ada kemudaratan di sekitarmu kau malah tak peduli. Kau hanya peduli pada dirimu, tidak pada lingkunganmu.


Menyandang status sebagai penulis dan penggila buku, saya merasa sangat gagah, tampak aura-aura manusia serbabisa, multitalenta. Seperti yang pernah disampaikan Mbak Helvy Tiana Rosa waktu di Bali bahwa ia disuruh begini dan begitu oleh masyarakat karena menyandang sebagai penulis ngetop. Orang-orang menganggapnya bisa melakukan apa pun. Mbak Helvy tertawa. Katanya bahwa banyak orang yang menganggap semua penulis itu serbabisa, serbatahu, jadi apa saja bisa, padahal tidak begitu.


Itu pun saya alami. Kalau anak saya sakit, atau katakan saya sendiri sakit, saya tidak tahu obat apa yang harus saya beli ke apotek. Istri saya ngomel "tahunya buku doang sih!" atau apa pun terkait hal lain selain urusan buku, saya sering tidak tahu. Apalagi kalau suruh beli bumbu-bumbu dapur. Kepala saya ngebul. Bahkan kalau boleh cerita, saya tidak tahu mana bedanya kencur laos, lengkoas, dan apalah lagi namanya itu. Pusing sekali membedakan mana kemiri dan ketumbar. Wis pokoke, sayamah tahu matengnya. 


"Makanya contoh tuh si anu, cowok juga paham bumbu dapur, merek obat-obatan," ujar istri saya.


Saya terngiang kata-kata itu. Akhirnya saya punya kesimpulan sendiri, "Buat apa banyak berkata-kata, pintar menulis, kalau tidak tahu nama bumbu dapur, tidak tahu merek obat-obatan".


Sebenarnya batin saya tidak terima dikatakan begitu. Saya tidak tahu nama-nama itu bukan berarti saya bodoh. Kapasitas dan waktu luang saya tidak terfokuskan ke situ. Toh, saya tetap merasa tampan saat berhasil memasang perangkat tabung gas sampai bisa menyala. Dan ingat, hal itu pun tidak semua laki-laki bisa. Saya dianugerahi Allah dengan bakat itu. Istri saya sering lari terbirit-birit kalau disuruh ngurusi per-LPG-an. Kalau saya, malah saya main-mainin gasnya, dia malah teriak-teriak.


Seorang penulis yang hidup dalam lingkungan yang semraut, dengan cucian yang numpuk, bekas kopi dan puntung rokok yang aduhai berserakan, belum tentu pikirannya juga semrawut. Bisa jadi pikirannya terstruktur, cuma dia bukan tipe orang yang rajin beberes rumah atau lingkungan di sekitarnya. Siapa tahu, diamnya penulis adalah pergerakan untuk membuat orang lain diam (mengutip Danar). Atau jangan-jangan sebaliknya, orang yang tubuhnya sering bergerak dan merasa perfeksionis dan paling sebagainya itu sebenarnya dia mati. Mati tak punya ide, tak punya gagasan, tak punya karya, tak punya kata-kata untuk disumbangkan kepada dunia dan seisinya. Mampus dikoyak-koyak kesibukan dan keriuahannya sendiri. Bukan begitu?


Saya tutup saja tulisan ini dengan larik pertama puisi W.S. Rendra "Hai, Ma!"


Ma, bukan maut yang menggetarkan hatiku, 

tetapi hidup yang tidak hidup ...


Kiara, 18 Jan 2022



____

Penulis

Encep Abdullah, penulis yang maksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Tak menutup kemungkinan, ia juga menerima curhatan penulis yang batinnya tersiksa untuk dimuat di NGEWIYAK.