Tuesday, September 5, 2023

Proses Kreatif | Menulis dan Segala Pergerakannya

 Oleh Encep Abdullah



Belakangan ini saya berdaptasi dengan sesuatu yang baru. Terutama perubahan aktivitas di pagi hari. Saban hari--bahkan Minggu--tak ada waktu leha-leha. Dulu, saya masih bisa tiduran santuy sebelum berangkat kerja. Kali ini susah. Saya harus bersiap-siap mengantar anak ke sekolah. Tentu saja saya wajib siap ganteng setiap pagi. Dan, terus menerus begitu. Hal ini ternyata membuat hidup saya bermakna. Tidur di pagi hari--sesuai pengalaman pribadi--efeknya buruk sekali. Bahkan, dulu pernah seharian selonjoran di kamar. Keluar saat salat. Makan juga kadang dirapel hanya sekali.


Aktivitas terus-menerus macam itu bikin otak saya bego. Kalau tidak diimbangi dengan membaca buku dan menulis, saya bisa makin payah. Benar memang kata ulama, yang bisa bikin hidup berfaedah itu salah satunya kurangi tidur. Terutama di waktu-waktu seperti pagi dan sore. Yang dianjurkan adalah siang hari--sebelum atau selepas salat Zuhur.


Kali ini saya bisa tidur siang lebih luang karena ada jam tidur siang yang diberikan oleh sekolah. Namun, namanya juga kuli tinta, kadang waktu-waktu luang ini digunakan untuk menulis dan urusan penerbitan buku.


Saya yakin ini memang skenario Tuhan agar saya bisa hidup lebih baik. Saya sangat menyadari itu. Tuhan tahu bahwa saya juga harus tetap bekerja dan menghabiskan waktu untuk kemaslahatan umat dalam urusan menulis dan perbukuan.


Sebelumnya saya ditawari teman untuk mengajar (lagi) di sekolahnya, tapi setelah saya pikir-pikir, buat apa. Waktu luang saya tidak mau habis hanya di dalam kelas. Saya punya dua raga: pendidik dan penulis. Justru, saat ini, saya merasa nikmat sekali berada di zona ini. Saya bisa banyak berpikir dan berevaluasi diri, terkait hidup dan kekaryaan.


Saat ini, saya selektif melakukan sesuatu yang dirasa benar-benar berfaedah. Di SMK, saya merasa perlu membenahi cara berpikir anak-anak tentang salat. Saya fokus di situ dulu. Di SMP-SMA (ponpes), saya mulai bergeliat lagi agar anak-anak memulai kembali membaca buku dan menulis--sebelumnya mati suri karena saya sibuk dan sedang mager memotivasi anak-anak. Saya tidak bisa menyamakan dua tempat ini karena akar masalahnya berbeda. Di komunitas menulis, saya sudah serahkan kepada Sul Ikhsan, selaku ketua baru. Tapi, tetap saya pantau perkembangannya.


Di rumah, saya fokus berbenah diri dengan sering-sering bermain dan bercanda dengan anak-istri. Yang paling rumit adalah menghadapi anak-anak. Tidak lain hanya persoalan kesabaran. Melatih sabar ini luar biasa. Seperti halnya harus sabar ketika sedang menulis agar tidak terburu-buru ingin cepat selesai. Maka, salah satu latihannya dengan ibadah salat yang khusyuk. Di sini saya bisa berlatih bagaimana agar tidak ingin lekas-lekas selesai salatnya. Kudu sabar sampai benar-benar tenang. Kalau sudah tenang, baru beranjak dari sajadah.


Di sela-sela itu, saya juga mulai kembali menulis puisi. Saya harus kembali berlatih bersabar agar tidak menulis yang sekadar selesai. Saya menyelami diri. Kata-kata apa yang seharusnya saya lontarkan. Kenapa saya harus menuliskan ini dan itu. Untuk apa semua ini?


Nah, itulah pertanyaan mendasar yang menurut saya hadir dalam setiap sanubari penulis. Ada yang menjawab A, B, C, dan sebagainya. Jawaban-jawabannya bisa tampak idealis dan pragmatis. Namun, tak ada jawaban yang membuat saya tercengang selain dari perjumpaan kemarin. Saya bermain ke tempat saudara saya yang seorang pelukis.


Saat ditanya kenapa dia melukis dan untuk apa semua ini dia kerjakan? Jawaban saudara saya, "sebagai saksi di hadapan Tuhan".


Saya tertegun sejenak. Dia bilang kepada saya bahwa jalan saya dan dia sama. Dia melukis, saya menulis. 


"Karya-karya kita akan menjadi saksi di hadapan Tuhan," ujarnya.


Saya tidak tahu, kenapa kali ini dada saya cukup sesak mendengar itu. Saya becermin lagi, apakah karya-karya yang saya tulis mendekatkan diri saya kepada Dia, atau malah sebaliknya? -- Di sini saya tidak berbicara tema karena tema bisa apa saja, semua punya potensi untuk kebaikan.


Saudara saya itu bukan pelukis beken. Juga tidak menghasilkan banyak uang dari melukis. Dia bilang bahwa dia tidak mencari apa-apa. Dia hanya bergerak sesuai dengan apa kata hatinya. Dia melukis karena dia memang cinta melukis. 


"Yang saya lakukan hanya bergerak. Selagi manusia bergerak, masa iya Tuhan membiarkan manusia hidup dalam kesengsaraan. Tuhan tidak pelit. Saya sedang berlomba dengan guru saya, siapa yang paling banyak 'saksinya' kelak di hadapan Tuhan. Yang bisa saya lakukan adalah melukis maka saya melukis," ujarnya.


Semakin malam obrolan makin berat. Beban di kepala saya juga makin berat. Sepulang dari situ, toh, saya tidak harus juga kan mendadak menjadi Jalaluddin Rumi? Saya tetaplah Encep Abdullah. Saya masih berproses menjadi. Hanya, orientasinya saja berbeda. Sebelumnya, orientasi menulis saya adalah uang, popularitas, dan tetek bengek urusan dunia lainnya, kini ... ya ... masih sama. Haha. 


Dunia tidak bisa saya tinggalkan begitu saja karena ini fasilitas dari Tuhan. Tapi, yang saya perlu benahi adalah membunuh makhluk dalam diri saya, yaitu kesombongan. 


Saat ini, saya kerap menyaksikan banyak orang di sekitar saya, mereka bergerak melakukan perubahan. Sebagian tidak banyak omong, langsung aksi, memberikan contoh dari diri sendiri. Sebagian lagi banyak bicara, tapi nol aksi. Sebagian lagi, uzlah, mengurung diri, menyepi diri. Untuk apa Tuhan menyuguhkan semua ini di hadapan saya bila cuma-cuma. Tuhan menyuruh saya "membaca tanda-tanda".  


Kita telah saksikan seribu tanda-tanda

Biskah kita membaca tanda-tanda?

...


Beri kami kearifan membaca tanda-tanda

Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan

akan meluncur lewat sela-sela jari

Karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas

tapi kini kami mulai merindukanya.


(Puisi Taufik Ismail "Membaca Tanda-Tanda")


Kiara, 5 September 2023


_______


Penulis


Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku proses kreatif terbarunya berjudul Diet Membaca, Ketiban Inspirasi (Maret 2023). 


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com