Sunday, September 24, 2023

Puisi Sulaiman Djaya

Puisi Sulaiman Djaya




Palagan Karbala


[1] Ali Akbar

Disimaknya dengan khidmat pesan sang ayah,

Penghulu para syuhada itu,

“Putraku, Ali Akbar, ucapkan salam perpisahan

Kepada bibimu, ibumu dan saudara-saudara

Perempuanmu, kemudian pergilah

menuju medan laga.”

Ia yang wajah, gerak tubuh, dan tutur bicaranya

Paling mirip Muhammad Al-Mustafa itu

Segera menghadapi ribuan musuh

Sementara kaum wanita di tenda-tenda

Meratap: “Aduhai kenangan Rasulullah,

Kasihanilah keterasingan dan kehormatan kami,

Kami tak akan mampu hidup tanpamu.”

Disongsongnya bala tentara yang mengibarkan

Bendera kekhalifahan dengan menghalalkan

Jualan agama demi istana-istana megah

Para tiran dan pejabat-pejabat korup.

Dihantamnya barisan musuh

Hingga mereka terhambur dan tersungkur.

“Akulah Ali Akbar bin Husain bin Ali

Dari nasab bangsawan Quraysi

Yang dianugerahi wahyu, nubuwwah,

Dan imamah oleh Tuhan ytang Maha Tinggi.”

Setelah ia obrak-abrik ribuan pasukan musuh

Panah-panah menancap di dada dan perutnya

Dan ia pun gugur menjadi syuhada.


(2018)


[2] Muslim bin Aqil

Aku Muslim bin Aqil utusan dari Madinah

Untuk orang-orang Kufah.

Ketika orang-orang Yaman dan Madinah

Dibantai di Padang Karbala

Oleh anak-anak zina dan para durjana

Yang tumbuh dari syazaratul mal’un.

Akulah syuhada pertama

Sebelum Husain dan kafilahnya

Bermandi darah demi membela risalah

Yang didustakan kaum zalim dan munafik

Berbaju Islam

Dan mengenakan mahkota kekhalifahan.

Setelah aku menjadi syuhada

Dua anakku: Ibrahim dan Muhammad

Dipenggal di waktu fajar selepas sholat subuh

Oleh lelaki paruh baya

Yang mengharapkan hadiah

Dari anak terkutuk bin ayah yang terkutuk.

Ketahuilah, wahai mukmin pengikut sejati

Apa yang kualami

Dan apa yang menimpa

Kafilah Husain bin Ali

Akan senantiasa terulang lagi

Selagi agama dibajak kaum munafik.


(2018)


[3] Aubul Fadhl Abbas

Lelaki perkasa dan rupawan itu bernama Abul Fadhl Abbas

Yang terpangkas lengan tangannya demi sekantong qirbah

Untuk anak-anak dan wanita di tenda-tenda

Keluarga Muhammad Al-Mustafa

Di gurun gersang Nainawa.

Di semak-semak belukar Sungai Eufrat itu

Ia tumbangkan banyak musuh

Meski sendirian

Sebelum akhirnya sekantung qirbah yang ia genggam

Tumpah di tanah bersama tangannya yang jatuh

Karena putus oleh pedang musuh.

Telah berhari-hari kafilah pimpinan kakaknya

Kehausan, dan ia tak sempat meminum air meski seteguk

Dari sungai itu hingga akhirnya

Menjadi martir

Demi menyalakan cahaya iman

Yang dipadamkan kaum munafik dan para tiran

Berbaju Islam. Di hari itu, kaum lelaki

Yang berjuang mempertahankan Risalah Muhammad

Telah menjadi kurban

Terpenggal dalam kemuliaan:

Menyerahkan jasad demi jiwa yang merdeka.


(2018)


[4] Maktam Asyura

Di sebuah majlis, seorang lelaki berkata:

Aku akan bercerita kepada kalian

Tentang pengorbanan agung

Tentang ia yang menggantikan Ismail.

Tentang mereka yang membunuh imannya

Dengan menggunakan baju agama

Di sebuah tempat

Bernama Shati Al-Furat

Beberapa abad silam.

Sebuah jaman ketika agama

Hanya jualan kelaliman belaka

Di tangan tiran dan mereka

Yang menukar kesadaran

Dengan hiasan kemunafikan.

Di panggung sejarah yang kelam itu

Husain pewaris Muhammad

Mengorbankan darahnya

Demi menyelamatkan risalah

Dan pencerahan ummat manusia.

“Tahukah kalian?” Ujar lelaki itu,

Mereka yang mengaku muslim

Dapat menjadi yang paling zalim

Dan memadamkan cahaya iman

Seperti yang mereka lakukan

Di padang tandus Karbala.

Dan kisah yang telah terjadi berabad-abad itu

Akan selalu ada di setiap jaman.

Ketika para pencuri mengenakan jubah

Dan agama tak lebih

Hanya komoditas dagangan belaka.

“Asyura adalah hikmah yang kekal,”

Si lelaki itu memungkas ceramahnya

Bagi mukmin yang mengambil pelajaran

Dan senantiasa membaca.


(2018)


[5] Maqtal Asyura

Darah yang dilemparkan ke langit

Oleh penghulu para syuhada

Yang tak kembali ke bumi

Sebab diterima Tuhan yang Esa

Adalah luka kemanusiaan

Mereka yang ditindas,

Mereka yang diasingkan,

Mereka yang terusir,

Mereka yang hanya memiliki

Doa sebagai senjata pamungkas.

Di padang gersang

Yang teramat menyengat

Permata Zahra

Dan kesayangan Al-Mustafa

Berjuang sendirian

Dalam kehausan

Di medan laga Nainawa

Tempat para durjana,

Para penjual agama,

Anak-anak zinah,

Tiran gila kuasa

Bahu membahu menumpahkan darah

Manusia-manusia merdeka.

Dan di abad ini

Yazid-Yazid baru muncul kembali

Menyerukan jihad palsu

Demi korporasi dan hipokrisi.

Di Suriah, di Libya, di Yaman, para tiran

Berkedok demokrasi

Mengumbar tekhnologi persenjataan

Menjarah nyawa, menyebar senjata kimia

Ternyata memang

Asyura senantiasa ada

Dan Karbala ada di mana saja

Selagi ada penindasan

Selagi ada kezaliman

Selagi ada aniaya

Oleh mereka yang menjual agama

Dan politik kaum munafik

Yang membunuh martabat manusia.


(2018)


________

Penulis

Sulaiman Djaya lahir di Serang, Banten. Menulis esai dan fiksi. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Media Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak, Tabloid Kaibon, Radar Banten, Kabar Banten, Banten Raya, Tangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid Cikal, Tabloid Ruang Rekonstruksi, Harian Siantar, Change Magazine, Banten Pos, dan lain-lain. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung dalam beberapa antologi, yakni Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), antologi puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku Utara Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012)), Kota, Kata, Kita: 44 Karya Para Pemenang Lomba Cipta Cerpen dan Puisi 2019, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Yayasan Hari Puisi, dan lain-lain.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com