Puisi Irfan Limbong
Gunung Jae
Mesin puisi berkemas membajak pagi
Semalam suntuk tubuhku berwarna sejuk
Pemandangan langit berwarna jeruk neon jatuh
Saat jari-jari embun terapung di tengah sungai
Huruf-huruf bermakna gegabah
Satu, dua, tiga duri di atas mawar yang tak pernah layu,
Hasilnya selalu menyuarakan nyanyian kabut
Telah berapa sajak kau berselimut?
Lobar, 10-12-22
Numba
Suara-suara rebah di atap sandal
Gemuruh kota merajam kuba masjid tua
Kubur Ayah terperangkap labirin
Kata-kata berkemas ke bukit
Memahat tawa kampung yang luntur
Rumah tua tak pikun memikul tahun
Di kaki langit kerinduan pecah jadi seribu
Sungai jernih sudah berdarah
Pekikan sapi rindang tak bersisa
Sedalam sajakku yang remuk
Lidah, kubumbui sesendok karang
Bersama parade yang tak pernah utuh
Ende, 15-6-23
Nua
Hari terus bergelut
Menyerah tak pernah tumbuh
Namun kalah kerap menyiksa
Waktu mengalir menusuk tubuh
Darah menguning, nafas gugur tak teratur
Tentu paham cara pasrah
Meski hati kelam terbenam
Mengibarkan lengan
Jauh dari dalam tanah
Makian serasa pelukan
Muram tanpa belas kasih
Menyisakan borok berdenting
Beserta segenap pedih, kekalahan bukan etape terakhir
Kupu-kupu yang akan mengitari langitmu tak lahir dari pujian
Ende, 15-6-23
_______
Penulis
Irfan Limbong, penulis menetap sementara waktu di Mataram, kadang suka ini kadang suka itu. Nomaden.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com