Esai Yunita Ainur Rizkiah
Siang ini ada sebuah pesan di Instagram masuk. Pesan itu dari salah seorang siswa saya 10 tahun lalu. “Selamat hari guru, Ibu”, sambil diselipkan gambar seikat bunga serta beberapa kata. Begitu kira-kira isi pesannya. Semua berita, media sosial dan status semua orang mengangkat tema tersebut. Bahagia dan terharu melihat rekan-rekan seperjuangan mendapatkan apresiasi, baik kata-kata maupun tanda mata. Setelah beberapa pekan lalu banyak kasus yang mengkriminalisasi guru. Belum lagi video-video yang menunjukkan siswa tidak menghargai guru ketika mengajar. Perayaan Hari Guru ini seperti menjadi obat atas polemik yang terjadi belakangan. Barangkali tidak menyembuhkan secara keseluruhan, tapi cukup mengurangi kesakitan pada profesi ini.
“Guru Hebat, Indonesia Kuat”, begitu bunyi jargon hari guru tahun ini. Jargon yang cukup berbobot, berat untuk dilaksanakan. Tentunya, tugas dan tanggung jawab atas jargon itu diserahkan sepenuhnya kepada guru. Guru-guru negara Indonesia. Guru-guru yang berhadapan dengan generasi alfa, bersaing dengan influencer dan teknologi AI. Dari jargon tersebut, mengisyaratkan bahwa para guru harus terus belajar untuk menjadi hebat. Hebat dalam arti bisa mengatasi semua permasalahan anak-anak dan remaja negeri ini sehingga negara menjadi kuat dengan sumber daya manusia yang cerdas iptak-nya (ilmu pengetahuan, teknologi, dan ketakwaan), kreatif serta kuat mentalnya.
Berharap guru-guru menjadi hebat merupakan harapan dan doa semua orang. Masalahnya, bagaimana guru menjadi hebat, sementara para guru hampir tidak kuat menjalani profesinya. Sudah banyak beredar bahwa hanya di negeri ini ada kasta dalam profesi guru. Hanya di negeri ini pula profesi guru masuk dalam ekonomi lemah. Hal ini berdampak pada penyimpangan birokrasi tata kelola sekolah. Selain itu, juga memengaruhi loyalitas dalam mengajar. Di negeri ini pula, guru lemah menghadapi hukum, kekuasaan, dan strata sosial. Untuk menjadi guru hebat, ada banyak hal yang harus dikuatkan. Terutama kesejahteraan gurunya.
Awal 2020, saya pindah ke Samarinda, tepatnya di pinggiran kota. Kepindahan ini membuat saya harus keluar dari sekolah dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Saya kira, saya tidak akan menghadapi kasus anak-anak lagi. Namun ternyata, saya mendapati kasus baru. Posisinya saat ini bukan sebagai guru dan siswa, tapi sebagai tetangga.
Setiap kali mendengar para tetangga membicarakan si anak, rasanya saya geram. Alih-alih menolong, malah membicarakan dan menertawakan. Jika melihat kondisi anaknya, wajar saja banyak orang melabeli “bodoh” karena si anak sudah kelas 6. Ia belum bisa membaca dan berhitung. Lantas mengapa dia tidak bisa membaca? Siapa yang salah? Di mana letak kesalahannya?
Kondisi si anak sudah naik ke kelas 6. Setiap hendak kenaikan kelas, si ibu selalu mendatangi ke rumah wali kelas. Memohon untuk menaikkan anaknya dengan banyak derai air mata. Sebagai wali kelas, tentunya guru lemah menghadapi orang tua yang demikian. Belum lagi aturan baru yang melarang tidak naik kelas. Tidak tega melihat orang tua berurai air mata, jadilah guru tetap menaikkan kelas si anak sampai kelas 6. Selain itu, setiap tugas/ PR, yang mengerjakan adalah kakak atau ibunya, atau tempat les. Nah, anak ini dianggap sangat “bodoh” karena sudah dileskan ke mana-mana tetap tidak ada yang bisa membantunya untuk bisa membaca dan berhitung. Guru sekolah dan guru lesnya sudah angkat tangan.
Dalam ilmu pedagogik tidak ada istilah siswa yang “bodoh”, hanya ada siswa yang belum bertemu dengan “guru yang tepat”. Hal yang perlu dipahami, tantangan para guru saat ini cukup banyak. Selain memahami kondisi siswa, guru juga harus memahami kondisi keluarga (latar belakang orang tua), dan lingkungan. Belum lagi guru juga bersaing dengan teknologi; game, media sosial, dan AI. Sebagai contoh kasus yang saya tangani ini, permasalahannya bukan hanya pada si anak, tapi juga pada orang tuanya dan lingkungan.
Si ibu beranggapan anaknya memiliki IQ yang rendah. Hal itu karena kondisi ekonomi keluarga sangat lemah sehingga tidak mampu membeli susu formula. Mendengar cerita si ibu, saya membayangkan sebuah iklan susu dengan animasi yang keren. Efek iklan di televisi memang luar biasa. Iklan mampu mengubah mindset masyarakat tentang kecerdasan. Padahal tidak ada kaitannya antara kecerdasan dengan susu. Sejatinya membentuk kecerdasan tidak bisa dilihat dari satu faktor. Ada banyak faktor yang dapat membentuk dan memengaruhi kecerdasan anak-anak.
Belum lagi para tetangga yang membanggakan kepintaran dan tumbuh kembang anak-anaknya karena ketika kecil diberi susu formula merek A, B, C dll. Dengan cerita para tetangga makin membuat si ibu merasa bersalah, dan membuat anaknya tidak mandiri. Bertukar cerita dengan para tetangga malah menjadikan si ibu makin tertekan, dan si anak semakin menganggap dirinya “bodoh”. Maka untuk menolong si anak, dimulai dari ibunya.
Sebelumnya saya meyakinkan ibunya lebih dulu. Untuk meyakinkannya pun tidak mudah. Jurus terakhir yang saya lakukan adalah memperkenalkan diri saya, menjelaskan latar belakang pendidikan, pekerjaan saya sebelumnya dan pengalaman saya. Barulah si ibu percaya dan mengizinkan anaknya untuk belajar ke rumah saya. Tapi sebelumnya, saya membuat kesepekatan di atas kertas. Pertama, isinya si ibu dan keluarga harus berhenti memanggil istilah “bodoh”, “goblok”, dan kata-kata yang jelek kepada si anak. Kedua, tidak memberikan HP kecuali hari Sabtu dan Minggu.
Hal pertama dilakukan pada si anak adalah membuka blockingan di kepalanya bahwa dia “tidak bodoh”. Dia normal dan punya kemampuan yang sama dengan anak-anak lainnya. Kedua, proses belajar tidak lebih dari 30 menit. Gaya belajarnya pun kembali seperti mengajar anak TK, dari teks bergambar sampai pada teks cerita umum dan buku teks pelajaran. Ketiga, setiap pencapaian yang dia lakukan, selalu diberi apresiasi. Bisa berupa pujian dan hadiah kecil seperti jajanan. Singkat cerita, kurang lebih 9 bulan, si anak akhirnya bisa membaca, menulis, dan berhitung. Terutama menghafal perkalian. Jika dilihat dari prosesnya, anak ini normal, yang menjadi masalah adalah keluarga dan lingkungannya.
Dari peristiwa itu saya menyadari bahwa hidup saya tidak bisa lepas dari dunia pendidikan. Meski saya sudah melepas status profesi guru, tapi saya masih melakukan peran itu. Bahkan menggunakan status guru sebagai privilege untuk beberapa situasi. Kondisi di masyarakat, untuk beberapa hal jika ingin berkontribusi, saya harus menggunakan privilege itu. Hal ini, agar lebih meyakinkan dan didengar dalam memberikan solusi untuk beberapa permasalahan yang ada.
Misalnya, pada kasus lain. Masih tentang tetangga saya. Selain si anak yang dilabeli “bodoh”, ada anak lain yang jadi buah bibir di kalangan para tetangga. Anak ini tidak sekolah, usianya sudah hampir 9 tahun. Usut punya usut, si anak mau sekolah. Namun, orang tua belum mampu menyekolahkan. Kendala utama bukan hanya soal biaya masuk sekolah, tetapi juga berkas kependudukan. Si ibu adalah perantau dari Sulawesi, dengan KTP status menikah. Namun, sudah cerai dengan suami pertama. Hanya saja tidak diurus surat perceraiannya. Sedangkan si bapak, perantau dari Jawa dengan KTP status belum kawin. Orang tua si anak menikah siri, tidak ada surat keterangan apa pun. Karena dari latar belakang pendidikan dan ekonomi keduanya memang dari kalangan terbatas. Jadi, mereka sendiri kesulitan ekonomi dan tidak memahami birokrasi untuk mengurus surat kependudukan. Jika adapun yang mengurus dengan biaya yang cukup mahal.
Dengan kondisi demikian, rasanya tidak adil jika keterbelakangan ekonomi serta pendidikan harus diwariskan kembali pada si anak. Saya semakin kesal dengan para tetangga yang hanya bisa berkomentar tapi tidak menelusuri kebenarannya, tidak juga membantu. Melihat usia si anak yang hampir 9 tahun, jika sudah genap usia 9 tahun, si anak tidak bisa diterima di sekolah negeri maka harus masuk sekolah paket. Selain itu, psikologisnya sebagai anak-anak juga terdampak.
Sebagai orang berlatar belakang pendidikan, melihat hal seperti ini tentunya membuat saya gelisah. Bagaimana pertanggungjawaban atas gelar dan pengetahuan yang saya dapatkan. Jelas di depan mata, ternyata masih ada orang-orang yang melihat pendidikan itu sulit untuk didapat. Jangkauannya cukup rumit untuk beberapa kalangan. Belum lagi perkara zonasi, biaya seragam dan buku yang harus dibeli. Ya, di beberapa wilayah baju dan buku harus dibayar. Dan beberapa kondisi masyarakat tidak mampu membayar, terlebih bagi kalangan buruh harian di perantauan.
Akhirnya, saya bawa si ibu dan anaknya untuk mendaftar ke sekolah dasar terdekat. Sebelumnya, si anak ini sudah sering main ke rumah dan belajar bersama saya. Jadi, ia sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung. Urusan administrasi dan keuangan masih urusan belakangan. Yang terpenting bahwa orang tua si anak sepakat untuk menyekolahkan anaknya.
Proses pendaftaran sekolah sebenarnya sudah ditutup saat itu dan mendaftar harus melalui website. Si anak sempat menangis, ia khawatir tidak bisa sekolah. Sebenarnya bisa saja masuk swasta, namun tidak ada swasta gratis yang terdekat disni. Jarak juga menjadi pertimbangan untuk mereka. Saya coba untuk menghadap kepala sekolah. Benar saja, si ibu tidak berani bicara, ia tidak fasih menggunakan Bahasa Indonesia. Maka, saya yang bernegosiasi dengan kepala sekolah agar si anak bisa diterima di sekolah itu. Seperti pada kasus sebelumnya, dalam negosiasi ini saya harus menggunakan pengalaman saya menjadi guru sebagai privilege, untuk meyakinkan kepala sekolah. Saya jadi penjamin dan penanggung jawab untuk si anak. Yang terpenting anak ini bisa diterima sekolah dulu, untuk berkas kependudukannya menyusul. Setelah satu bulan, si anak punya kartu keluarga (KK) dan akta kelahiran, tapi tanpa ada nama si ibu. Nomor KK inilah yang dibutuhkan si anak untuk mendaftar sekolah dan mengajukan beasiswa agar ia bisa melanjutkan pendidikan sampai menengah. Upaya untuk memutus rantai kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan orang tua.
Kembali pada pembahasan guru, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Memahami jargon itu, saya merefleksi pengalaman 5 tahun ini. Terlepas dari dunia persekolahan dan status guru, saya banyak belajar. Pengalaman ini merupakan pembelajaran yang tidak saya dapatkan di perkuliahan dan ketika menjadi guru di sekolah. Ketika di sekolah, guru fokus pada pembelajaran dan administrasi di lingkup sekolah. Tapi dengan posisi saya di luar sekolah, saya belajar dinamika upaya untuk bisa masuk sekolah.
Guru yang hebat, tentunya bukan hanya memahami siswa. Bukan hanya sekadar mampu mengajar dengan teknologi yang canggih. Bukan pula yang harus jago buat konten media sosial. Melainkan, mampu membangun komunikasi dengan orang tua, memecahkan permasalahan siswa dan memberi kontribusi di masyarakat. Tentunya, hanya melalui pendidikan cara memutus rantai kebodohan dan kemiskinan. Semoga para guru semakin kuat, Indonesia menjadi hebat.
Selamat Hari Guru!
_________
Penulis
Yunita Ainur Rizkiah, mencintai profesi sebagai guru Bahasa Indonesia. Namun, saat sedang fokus menjadi peran ibu rumah tangga. Beberapa karya baru sebatas puisi yang dikoleksi sendiri. Beberapa pernah tergabung dalam antologi Kata Siapa (puisi, 2010) dan Kenduri Air Mata (puisi, 2013).
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com