Monday, October 11, 2021

Karya Siswa | Senja Terakhir | Cerpen Ukhail Almanjani Hafiludin

 Cerpen Ukhail Almanjani Hafiludin




Laki-laki itu datang saat matahari terbenam, langit menggelap dengan semburat di ufuk barat. Dia duduk di samping jendela, di bawah sinar lampu yang remang-remang. Mencoba memandang langit yang gelap, dan hanya ada rembulan yang memantulkan sedikit cahaya dari matahari. Tak ada bintang yang terlihat, semuanya bersembunyi di balik awan yang gelap. Awan bergerak perlahan, memberikan seni tersendiri di kegelapan malam. Ah, ternyata ada satu bintang di balik awan, dan setitik cahaya pun bisa memberikan keindahan yang luar biasa di antara luasnya langit.



Bersama Almero, Sofia merasa menjadi perempuan yang paling bahagia di dunia. Almero adalah sosok pria yang dingin dan terlihat cuek, namun selalu melindungi Sofia. Tapi kebahagiaan Sofia dirampas dalam hitungan beberapa detik saja. Saat Almero kembali setelah mengantarkan pulang Sofia, Almero yang dikabarkan meninggal, langsung dibawa pergi ke rumah sakit oleh keluarganya. Dengan tangis, ayah Almero mengatakan bahwa ia menemukan putranya yang sudah bercucuran darah di bawah tangga.

      

Sejak saat itu, Sofia membenci senja. Karena senja adalah saat terakhir mereka bersama. Padahal saat itu mereka berjanji tidak akan berpisah, sebelum maut memisahkan. Namun, itu hanya janji belaka dan takdir berkata lain.


Pagi itu tak disengaja Devan bertemu Sofia.


“Sofia, apakah kamu belum bisa merelakan Almero pergi?”  


“Belum, dan aku pun tidak yakin apakah aku bisa melupakan Almero dengan mudah.” 


“Apakah kamu menjadi orang yang cuek setelah kepergian Almero? Apakah kamu masih merasa kehilangan?” 


“Tentu saja, aku sangat merasa kehilangan, saat itu Almero yang menjadi sahabat terdekatku setelah keluargaku.” 


“Bolehkah aku memberi saran, menurutku lebih baik kamu segera melupakan Almero, Almero juga pasti tidak ingin melihat kamu yang terus bersedih, aku yakin dia juga ingin kamu menjadi orang yang baik setelah dia meninggalkanmu.” 


“Aku tau, tapi apa yang sudah kubilang, itu tidak akan mudah bagiku.” 


“Biarkan aku membantumu Sofia, izinkan aku masuk dalam kehidupanmu.” 


“Aku mengerti, perjalanan hidup yang kini kau lalui. Aku berharap, meski berat kau tak merasa sendiri. Kau telah berjuang menaklukan hari-harimu yang tak mudah, biar kumenemanimu membasuh lelahmu,” terang Devan dengan lagu Melukis Senja.


"Siapa kamu mengatur-ngatur hidupku?" ujar Sofia dengan nada yang sedikit marah dan tersinggung. Lalu, pergi meninggalkan Devan dengan mulut terbuka yang hendak menjawab pernyataan Sofia. Padahal kalimat terakhir itu hanya pernyataan.


***


Setelah sampai rumah, ucapan Devan masih terngiang-ngiang di kepala Sofia. 


“Apakah bisa Devan masuk ke dalam kehidupanku?” ucap Sofia di dalam hati. 


Itu artinya, Sofia harus siap membuka lagi hatinya untuk Devan setelah Almero pergi meninggalkannya. Tapi, Sofia pernah berjanji bahwa ia akan menutup hatinya hanya untuk Almero. Semalaman Sofia memikirkan perkataan Devan, membuatnya tidak bisa tertidur dengan pulas, mereka-reka apakah dirinya sudah siap untuk melepaskan Almero yang ada di hatinya? Apakah ini saatnya ia membuka hati yang baru untuk seseorang?

"Devan orangnya memang baik, konyol, nyeleneh, suka akan kebebasan. Tapi, apakah dia bisa? Apakah mungkin? Apakah ini yang diinginkan Almero?" tanya menggebu dalam hati Sofia.

    

Malam begitu cepat berlalu, Sofia melihat jam menunjukkan pukul enam, itu artinya, Sofia hanya tertidur dua jam saja. Sofia ingin tetap berada di kasurnya yang sangat empuk, tapi ini saatnya ia untuk bergegas. Ia pergi ke kampus tepat pukul delapan.

      

Setibanya di kampus, ia bertemu lagi dengan Devan. Sofia agak gugup bertemu dengan Devan, setelah pertemuan terakhirnya. 


“Kamu udah sarapan?” tanya Devan yang duduk di sampingnya.


“Gak liat ya, aku pegang apa?" Dengan roti yang siap masuk ke mulut kecilnya Sofia dan dengan muka yang sedikit ketus.


“Jutek amat sih, Non,” ucap Devan sembari mengacak-ngacak rambut Sofia.


"Kita ke kelas yuk!" lanjut Devan dengan senyumnya yang bikin orang kesal. 


Dengan entengnya Sofia meninggalkan Devan yang masih duduk dengan senyuman. Di sela-sela jam mata kuliah berlangsung, Sofia meminta izin untuk ke toilet. Ia memilih kembali ke kelas melewati lorong dan terdiam sejenak mengingat banyak hal yang dilewati di lorong ini dengan Almero. Teringat kata-kata Devan yang pernah diucapkan kepadanya. Dan dalam hatinya, ia berkata kenapa ada Devan dalam pikiranku, sambil memukul pelan kepalanya dan pergi menuju kelasnya.


***

      

Setelah pulang dari kampus, Devan mengajak Sofia jalan-jalan.


Setelah hampir setengah jam mereka berputar-putar di jalan, mencari tempat yang tidak terlalu ramai, akhirnya mereka menemukan sebuah cafe sederhana dan sepi. Saat mereka mulai memasuki cafe, tercium aroma cokelat yang wangi. Sofia teringat kenangan saat bersama Almero. Cokelat adalah makanan kesukaan Almero. Mereka pun segera memesan makanan dan duduk di tempat yang menurut mereka strategis, dekat dengan jendela dan terpisah cukup jauh dari meja lain.


“Devan,” ucap Sofia mengawali.


“Ada apa?” 


“Tolong bantu aku,” Sofia memohon.


“Bantu kenapa? Apakah kamu ada masalah?” tanya Devan dengan nada yang heran.


“Bantu aku mengubur semua masa lalu bersama Almero dan kenangannya,” ucap Sofia sembari menangis.


***

  

Satu bulan berlalu, sejak Sofia meminta Devan membantunya untuk mengubur semua masa lalunya bersama Almero, mereka menjadi sangat dekat dan sangat terikat satu sama lain, dan juga masih sering mengunjungi atap di mana itu adalah tempat favorit Almero. Namun, masih ada yang mengganjal di hati Sofia setelah kepergian Almero itu. Ada yang tidak bisa lepas dan hilang begitu saja.

      

Sampai suatu saat Devan menemui Sofia dengan wajah yang tidak bisa diartikan. Membuat Sofia cemas juga bertanya-tanya.


“Ada apa, Van?” 


“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu Sofia.” 


“Soal apa Van?” 


“Ayo, sekarang kamu ikut aku,” ucap Devan sambal menarik tangan Sofia.

      

Devan mengajak ke atap rumah, tempat yang biasanya mereka menunggu senja. Tidak ada yang bersuara baik Sofia maupun Devan. Karena tidak tahan, akhirnya Sofia membuka pembicaraan.


“Devan, ada apa?” tanya Sofia yang bingung.


“Aku yang menyebabkan Almero pergi,” ucap Devan sambil menangis merasa bersalah.

     

Ucapan Devan bagai anak panah yang pas menusuk sasaran. Pikiran Sofia kacau seketika. Devan yang selama ini membantunya bangkit ternyata penyebab dari terpuruknya Sofia. Sofia tidak bisa berpikir jernih lagi.


“KAU PEMBUNUH!” ucap Sofia sambil berteriak dan menangis.


“Sofia, aku minta maaf atas semua yang terjadi. Saat itu kami sedang bertengkar, aku tidak bisa menahan emosiku lagi, itu semua di bawah kesadaranku,” ujar Devan tampak menyesal.


“Apa pun alasan kamu, tetap saja kamu yang sudah membuat Almero pergi. Kamu bertindak seolah-olah kamu yang membuatku bangkit, tapi apa kenyataannya. Kamu juga yang membuat aku terpuruk, Devan," Sofia marah sambil tersedu sedu.


“Sofia, aku minta maaf atas segala kesalahanku,”  Devan memohon.


“Cukup Devan! Aku tidak ingin lagi mendengar semua yang kamu ucapkan lagi. Sekarang kamu pergi dari sini!" tangis Sofia pecah.


“Sofia...,” ucap Devan lagi-lagi memohon.


“Pergi!” bentak Sofia dengan nada tinggi. 

      

Devan meninggalkan Sofia. Rasa bersalah pun semakin menyelimutinya.


***

      

Berhari hari Sofia mengurung diri di kamar, berhari hari juga Devan mencoba untuk menemui Sofia. Namun berhari-hari juga Sofia menolak untuk bertemu dengan Devan. Sofia ingin mencoba untuk menenangkan diri. Mencoba untuk mencerna semua yang diucapkan Devan. Hidup Sofia sekarang seperti serpihan puzzle dan sekarang pun Sofia mulai bisa menyatukan lagi potongan potongan hati tersebut.

      

Sofia pun memutuskan untuk berlibur, melupakan sejenak apa yang telah terjadi antara dirinya dengan Devan. Sofia melajukan mobilnya dengan cepat, dan dia tidak melihat bahwa di arah berlawanan ada mobil yang melaju cepat dengan ugal-ugalan. Tabrakan tak bisa dihindari, kedua mobil pun saling beradu. Pengendara yang berada di sekitar pun langsung membawa Sofia ke rumah sakit terdekat. Dan teriakan tolong para warga adalah kalimat terakhir yang terdengar yang Sofia ingat sebelum ia tak sadarkan diri.


Sudah tiga hari Sofia tak sadarkan diri. Namun, Devan tidak mengetahui kejadian yang menimpa Sofia tersebut. Sejak kejadian itu, Devan tidak pernah bertemu dengan Sofia lagi. Sebagai gantinya, ia pun mengirimkan sepucuk surat setiap hari. Dan Sofia pun tidak pernah membaca satu surat pun. Namun, setelah sadar Sofia pun menanyakan apakah Devan mengirimkan surat lagi. Mamahnya Sofia pun memberikan satu surat baru yang baru datang pagi tadi.



Untuk Sofia


Aku tahu kamu tidak pernah membaca satu pun surat yang aku berikan.


Ini adalah surat terakhir yang akan aku kirimkan untukmu, jadi aku harap kamu membacanya.


Aku dan Almero adalah saudara, orang tua kami kakak-beradik.


Suatu hari aku sedang pergi dari rumah dan pergi ke rumah Almero.


Kupikir orang tuaku akan menghubungi Almero dan membujukku agar aku pulang kembali ke rumah.


Aku rasa itu adalah alasan ia pulang cepat. Tapi, dengan emosiku yang tak terkendalikan.


Almero yang menyuruhku agar pulang ke rumah, aku dorong ke bawah tangga dan kupukul kepalanya.


Dengan gelas yang kupegang, aku tidak sengaja melakukannya. Entah setan apa yang saat itu merasuki pikiranku sehingga semua itu terjadi. 


Kepala Almero yang sebelumnya aku pukul lalu terbentur ke ujung tangga yang tajam dan menyebabkan kepalanya mengeluarkan banyak darah.


Aku tahu kamu sangat kehilangan Almero. Tapi, kumohon jangan menghindariku, aku bisa menebus semua kesalahanku. 


(Dari Devan) 



Sofia pun menangis membaca surat itu. merasakan penyesalan yang menyelimuti Devan, dan memutuskan untuk memaafkannya. Sofia menulis sepucuk surat sebagai balasan.


“Ma, boleh aku minta tolong?” ujar Sofia ke ibunya.


“Tentu saja Sayang, ada apa?” 


“Aku ingin mengirimkan surat ini untuk Devan sekarang juga.” 


“Baiklah. Mama akan meminta kakakmu untuk mengantarkannya,” ucap mamanya.


“Terima kasih, Mah.”


“Mama akan pergi keluar sebentar, Mama ingin membelikan makanan untukmu, tunggu sebentar ya." 


“Maaa….” 


"Sof? Sofia? Sofiaaa… bangun Nak! Kamu kenapa? Dokter tolong...!” teriak mamanya sambil menangis.


***

      

Sorenya, Kakak Sofia menemui Devan di atap. Ia memberikan surat yang ditulis oleh Sofia.


“Devan, aku membawa surat untukmu, dari Sofia,” ucap Sagara, kakaknya Sofia.


“Benarkah? Apakah dia sudah tidak marah lagi kepadaku?” tanya Devan senang, "Tapi kenapa? Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat sedih?” ucap Devan keheranan.


“Sofia meningal tadi pagi. Ia kecelakaan."


***


Untuk Devan


Aku sangat marah padamu, aku benci padamu, aku merasa ingin membunuhmu.


Tapi untuk apa? Apa pun yang aku lakukan padamu, itu tidak akan bisa mengembalikan Almero kepadaku.


Aku memang tidak membaca semua surat yang kamu berikan. Tapi aku membaca surat yang terakhir kau berikan. Aku ingin meminta maaf karena telah berbuat kasar kepadamu.


Seharusnya aku tidak sekasar itu. Kamu memang salah, tapi bukan hakku untuk menghakimimu.


Tiga bulan lebih kita bersama, tapi jujur aku belum bisa melepaskan Almero sedikit pun.


Hatiku masih untuk Almero. Aku berterima kasih karena kamu sudah membuatku bangkit, aku sangat menghargai itu.


Maaf karena kamu hanya mendapat diriku, tapi tidak hatiku.


Temui aku di rumahku. 


(Dari Sofia)



Setelah membaca surat itu, Devan tersenyum tipis sambil mengeluarkan air mata.





___

Penulis


Ukhail Almanjani Hafiludin, siswa kelas IX SMP Islam Boarding School Nurul Fikri Serang.






Kirim naskahmu ke

redaksingewiyak@gmail.com