Friday, March 25, 2022

Cerpen Windy Marthinda Windari | Ronggeng Odiah

Cerpen oleh Windy Marthinda Windari



Namanya Odiah. Walau telah menjalani hidup selama delapan dekade tidak lantas meredupkan binar di matanya. Meski sepasang matanya yang kelabu dibingkai keriput dan indra penglihatannya tak setajam dulu karena diserang katarak, tetapi semua orang tahu tekadnya tak pernah surut hanya dengan sekali pandang. 


Rambut panjangnya telah memutih sempurna. Disanggul rapi di belakang kepala. Odiah selalu memastikan kebayanya terkancing utuh dan lipitan kain batiknya disetrika licin. Jika diperhatikan tidak ada yang salah dengannya. Odiah tampak seperti seorang nenek-nenek ningrat pada umumnya. Namun, jika mengenal lebih dekat, barulah orang akan sadar ada yang tidak beres dengannya.


Dia sering berbicara sendiri dan mengatakan bahwa banyak bayangan yang menyuruhnya untuk terus membuatku menuruti kemauannya. Geliginya nyaris tanggal, menyisakan satu gigi seri di depan sebelah atas. Berwarna emas, bukti nyata dulu dia adalah perempuan kaya. Kekayaan yang dimilikinya bukan dari warisan, tetapi didapatkan dari bekerja keras, menari ronggeng dari panggung ke panggung di banyak perhelatan dan hajatan. 


Pada masanya Odiah adalah primadona ronggeng gunung, berasal dari sebuah sanggar tari di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Tidak hanya menari di seantero Ciamis, dia juga sering dipanggil ke pesisir Pangandaran. Bahkan pada zaman kepemimpinan Ipik Gandamana, Gubernur Jawa Barat ke-6, Odiah sering bertandang ke Kota Bandung untuk menari di hadapan orang-orang penting.


Odiah acapkali bercerita tentang masa kejayaannya. Dia terkadang diundang menari untuk acara resmi, penyambutan tamu gubernur yang datang ke Gedung Pakuan, rumah dinas Gubernur Jawa Barat. Saat itu Banten masih berada dalam bagian Jawa Barat. Banyak juga orang-orang penting dari Tanah Jawara tersebut.


Odiah juga sering membanggakan diri ketika banyak lelaki yang mengejarnya, bahkan sampai ada yang mengirimi ajian pelet agar Odiah terpikat. Odiah pernah bercerita, dia pernah memadu kasih dengan seorang pria kekar asal Banten Girang. Namanya Wahidin. Sayangnya, cinta mereka tak berbuah manis. Odiah ditolak mentah-mentah oleh keluarga sang kekasih karena titelnya yang seorang penari ronggeng.


Jika sedang melakukan kilas balik kisah itu matanya terlihat berkaca-kaca, meski bibirnya tersenyum.


“Nin mah suka pamer," aku terkekeh ketika mendengar cerita itu diulang-ulang. Saat mendengar protes seperti itu wajahnya merengut sehingga keriput-keriput di sana tampak semakin dalam. Namun, sejenak kemudian dia cekikikan, menggambarkan emosi yang berubah-ubah dengan cepat.


“Kalau tidak percaya, tanya sama bapakmu. Sudah punya anak saja, masih ada yang ngajak nikah,” ujarnya diakhiri dengan batuk-batuk kecil.


Aku bangkit mengambil air minum untuk Odiah. Kuletakkan gelas itu dalam genggamannya. Dengan mulut gemetar, wanita baya itu menyeruput air sejuk kesukaannya: air yang disimpan dalam kendi, bukan yang berasal dari dalam botol dari kulkas.


“Sayang kamu tidak mau menari. Padahal kamu punya sima. Kamu adalah titisanku, penari sakti,” suaranya tiba-tiba sendu.


Meski begitu, matanya tetap berkilat-kilat aneh, membuatku hanya bisa menyeringai kikuk. Keinginannya membuatku jadi seorang menari tidak pernah aku amini. Odiah, nenekku sering meracau dan mengatakan hal-hal aneh. Dia mengatakan telah dikutuk karena melahirkan enam anak lelaki. Cucu-cucu yang lahir dari rahim para menantu pun berjenis kelamin laki-laki, kecuali aku. Aku satu-satunya cucu perempuan yang membuatnya histeris bahagia saat terlahir ke dunia.


Harapan Odiah menurunkan keahliannya sangat besar. Aku sebagai cucu perempuan satu-satunya menjadi pewaris tunggal semua atribut menari keramat miliknya yang tersimpan rapi dalam koper tua. Itu yang terus dia katakan.


Bapak pernah mengajaknya memeriksakan diri ke dokter, tetapi Odiah mengamuk dan mengutuk. Dia marah karena Bapak menganggapnya sakit jiwa.


Aing teu gelo, Burhan!” teriakannya masih kuingat jelas meski peristiwa itu sudah belasan tahun berlalu.


Malam itu Ibu menangis tersedu-sedu karena khawatir mertuanya akan hilang kendali. Bapak akhirnya bersimpuh di kaki nenekku sambil memohon ampun. Bapak berjanji tidak akan mengungkit-ungkit permasalahan kelainan emosi yang dialami ibunya.


Kejadian saat aku baru berusia sepuluh tahun itu masih terekam jelas dalam kepala. Sejak itu Bapak tak lagi terlalu sering datang menengok ibunya. Hanya ibuku dan aku yang rutin datang di tiap akhir pekan ke rumah Odiah.


“Nin, Vita tidak punya bakat menari,” lagi-lagi aku mencoba memberikan pemahaman.


Sejenak Odiah menggeleng lalu mengulurkan tangannya ke arahku. Aku menyambut dan menggenggam tangan keriput itu. Jemarinya kurus-kurus, terasa lembut dan rentan saat kuraba.


“Kamu tidak boleh membuat mereka marah, Neng. Ikut aku ke kamar sekarang,” bisiknya seraya menunjuk ke sebuah sudut kosong.


Aku mendesah, sudah menebak apa yang akan dilakukannya nanti. Mereka yang selalu disebut Odiah sama sekali belum pernah aku lihat wujudnya. Bukannya aku tidak percaya hal gaib, tetapi untuk urusan makhluk tak kasat mata, aku tak ingin repot memikirkan mereka.


Akhirnya aku bangkit dan menuntunnya menuju ke salah satu kamar di antara barisan kamar kosong lain. Odiah tinggal seorang diri di rumah berarsitektur zaman kolonial itu. Dia tidak ingin ditemani atau ikut tinggal di rumah salah satu dari enam putranya.


“Raden GanGan beramanat aku tidak boleh pergi kecuali ke liang lahat. Kalau tidak mereka akan membawa bencana.” 


Itu jawabannya, masih membahas "mereka" yang tidak pernah diketahui siapa.


Dia hanya ditemani dua orang pembantu: Bi Iroh dan Mang Tangli, sepasang suami istri tanpa anak yang setia mengabdi. Mereka sudah bekerja sejak puluhan tahun lalu. Mereka dibawa Raden GanGan dari pinggiran Cikelet, salah satu daerah pantai di Garut Selatan.


Raden GanGan adalah kakekku yang sudah wafat dua windu lalu. Aku tak pernah tahu mengapa Odiah selalu memanggil suaminya dengan sebutan "Raden GanGan", bukan dengan panggilan sayang lain. 


“Ambil kopernya,” suara Odiah yang dingin membuatku terkesiap.


Dengan enggan aku membungkuk dan menarik koper besar berbahan kulit yang berat dari kolong ranjang. Mungkin sudah ratusan kali dia menyuruhku mengambil benda itu, tetapi belum pernah berhasil membuatku menuruti keinginannya untuk mencoba atribut menari yang ada di dalamnya.


“Untuk terakhir kalinya aku minta. Tolong kamu coba dulu. Sebelum aku mati dan mereka menyerang keluarga kita,” katanya dengan bola mata yang bergerak-gerak cepat.


“Nin, apaan, sih? Istighfar!” mataku terbelalak.


“Cepat pakai!” jeritannya tertahan dengan wajah ketakutan.


Bahuku merosot. “Iya, Vita pakai. Tapi kalau enggak muat dilepas lagi, ya.”


“Pasti mahi. Kamu adalah aku,” dia mengangguk sambil menyeringai miring.


Dengan terpaksa aku membuka koper. Meski tua, benda itu tetap terlihat bagus. Kunci dan gagang kopernya mengilap tanpa berkarat. Koper itu dapat dengan mudah dibuka. Sejenak aku tertegun melihat isinya: sebuah kebaya hijau tua, kain batik, dan selendang merah seperti menghipnotis mataku. Seperangkat pakaian menari itu begitu indah dan serasi meski mempunyai warna yang berbeda.


Tanpa ragu aku meraih dan menghidu baunya. Samar aku mencium aroma bunga melati dari sana. Di hadapan Odiah, aku menanggalkan baju dan mengenakan semua pakaian menari miliknya. Seperti katanya barusan, pakaian itu pas melekat di tubuhku.


Seumur hidup aku belum pernah mengenakan pakaian tradisional tanpa bantuan orang lain, kecuali baju ini. Dengan cekatan kedua tanganku melilitkan kain batik, mengenakan kebaya, dan menyampirkan selendang di tengkuk. 


Aku bergeser perlahan dan berdiri di depan cermin. Mataku melebar melihat bayangan sosok wanita cantik di dalam cermin. Itu aku? Seperti inikah rupa Odiah saat muda dulu sebelum jiwanya terganggu? Cantik sekali!


Aku tidak pernah mengira apa yang terjadi beberapa saat kemudian. Dengan sendirinya tanganku terangkat ke udara kemudian bergerak melakukan sebuah tarian yang belum pernah kupelajari sebelumnya. Tidak hanya tangan, kedua kaki pun melangkah dan mulai melakukan gerakan-gerakan teratur dan berirama.


Jantungku berdentam-dentam saat melihat bayangan Odiah dari cermin. Wanita itu tersenyum. Ada kilatan aneh dari mata abu-abunya yang membuatku merinding. Gerakan tangan dan kakiku semakin cepat dan sulit dikendalikan. Aku ingin bertanya kepadanya mengapa ini bisa terjadi. Namun, mulutku seolah-olah terkunci. 


Seketika sekelilingku terasa hampa. Tubuhku seperti terisap ke dalam ruang kedap suara. Satu-satunya bunyi yang kudengar hanya iringan musik yang dimainkan kelompok bajidor tak kasat mata.


Aku hanya bisa menjerit dalam hati sambil terus bergerak-gerak tak terkendali.


“Nin, tolooong...!”


_____

Biodata Penulis

Windy Marthinda Windari lahir di Kota Bandung pada 30 April 1985. Ibu tiga anak ini mempunyai hobi membaca dan jalan-jalan. Sebagai seorang pegawai di salah satu rumah sakit swasta di Bandung, ia dapat disapa di akun Facebook Windy Marthinda dan Instagram @lubnagrande, atau surel marth.lucu@gmail.com. Motivasinya menulis adalah untuk memperkaya dunia literasi dengan karya-karya berbobot, baik dari segi kaidah maupun ide dan penyajian.




Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com