Puisi Sulaiman Djaya
Zaman Sekuler
Ke arah pematang dan barisan jati
hidup memang menunggu mati.
Aku harus selalu belajar menulis puisi
dari bahasa yang tertatih.
Bahasa yang dibunuh oleh iklan
dan televisi
yang kau tonton setiap hari.
Kubangun taman-taman khayalan
seolah kau dan aku bercanda
dan berkejaran seperti para piatu
di antara sungai, bunga-bunga,
dan langit yang kugambar
pada kertas.
Menanam kegembiraan
dengan mekar yang bersahaja.
Seperti kata-kata dan bahasa
yang memberi nyanyian dan nada.
Para serangga bersayap ragam warna
membantu rekah jadi buah.
Aku hidup di gegap gempita zaman
para penyembah berhala
yang mencipta tuhan-tuhan
ragam bentuk dan rupa
tanpa lelah
bagai hasrat yang tak pernah
terpuaskan dalam hidup yang gelisah.
Andai kupetik kegembiraanmu
yang tanpa sebab,
pastilah kujalani hidup dengan ikhlas.
Dengan kesahajaan
para penabur doa
di rumah-rumah keriangan kanak-kanak senja.
(2019)
Umur Kata
Aku rindu ricik air
Di batu-batu
Masa kanakku. Kapuk randu
Yang terhambur.
Matahari bermain
Dengan unggas
Ibundaku
Dan para serangga
Beterbangan di lalang
Yang hilang.
Aku rindu masa kecil
Ketika belum kukenal
Bahasa yang
Dijadikan senjata
Oleh mereka
Yang menganggap hidup
Sekedar benda-benda
Untuk dibeli
Dengan kertas bergambar.
Aku rindu pagi
Yang bernyanyi
Di ranting-ranting
Yang disentuh matahari
Setelah gerimis
Subuh hari.
Ketika kubaca dunia
Dari kata-kata doa
Yang didaras ibunda.
(2019)
Lagu Nestapa Zaman
Aku kehilangan bahasa keluguanku
Untuk bicara cinta, Jan.
Kuamsalkan sebagai apa?
Semesta matamu yang indah.
Hidup barangkali
Serupa angin kelana
Bebas mengembara
Ke segala entah.
Mesti kugambar sebagai apa?
Segala tuah dan pesona
Yang kini hilang
Di zaman yang renta.
Zaman yang telah membunuh
Kejujuran kita sebagai manusia
Dan kita, tanpa diminta,
Jadi terlempar oleh usia.
Orang-orang mencipta
Berhala-berhala baru terus-menerus
Setiap waktu
Tapi aku masih setia berdoa
Meski kata-kataku
Adalah kanak-kanak nestapa
Di rimba-rimba keasingan
Deru dan bising mesin-mesin abad.
Aku tak bisa bicara cinta, Jan,
Bila kalimat-kalimat puisiku
Dibunuh keserakahan
Para pemalsu kebijakan.
Juga aku tak bisa berbuat apa-apa
Melihat sejumlah manusia
Memerdagangkan kemiskinan
Dan menjadwalkan perang
Meneriakkan nama-nama Tuhan
Dengan angka-angka
Dan kalkulasi saham
Demi keuntungan.
Menjual ragam senjata
Aneka teknologi pembunuh massal
Dan merekayasa pasar finansial
Demi kerakusan.
Barangkali kita hidup
Dalam kemunafikan nestapa zaman
Hingga agama pun
Dijadikan alat tukar
Layaknya komoditas dagang
Oleh para selebriti
Yang mengenakan kopyah
Dan berjualan firman-firman.
(2021)
Nyanyian Kebahagiaan
Kebahagiaan itu, Jan, kegembiraan kita
Merawat bahasa jadi lagu
Kata-kata adalah perahu
Dengannya kuarungkan rindu
Ke lautan keberadaanmu
Dunia yang sebenarnya kadangkala
Kuhidupi dengan cemas
Mengganas
Dalam diri
Seperti juga perumpamaan takdir
Yang tak kau mengerti.
Kata-kata adalah rumah
Tempatku memanen makna
Bila keriangan
Adalah tubuh yang tak pernah
Ingkar dan dusta.
Kata-kata adalah layarku
Melaju menujumu
Yang kadang tergesa
Atau menggegas
Dan kadangkala ragu.
Betapa kita tak pernah tahu
Kapan umurku-umurmu
Akan berganti nama
Jadi maut. Kata-kata pergi
Dan datang sebagaimana
Cinta yang selalu saja
Kekanak-kanakkan
Bermain-main kemungkinan.
Aku duduk dan merenung:
Mengkhayalkan, berandai-andai
Sebaris teduh lampu-lampu jalan
Di dingin malam
Adalah ketakmengertian manusia
Menerka-nerka Tuhan
Dengan mencipta banyak agama.
Saling menghakimi karena nestapa
Yang mereka ingkari.
(2021)
Di Kedai Kopi
Di sebuah warung kopi
Di kota kecil
Hanya ada orang-orang bosan
Dan cinta datang kemudian
Seperti tulang punggung malam
Diserap lampu-lampu jalan.
Penyair membasuh
Noda kata
Yang dilekatkan zaman.
Manakah yang lebih purba
Dan abadi? Dosa berahi
Ataukah kemunafikan
Para pedagang kitab suci?
Cinta datang kemudian
Bersama perempuan
Yang semula tak memikat
Dan tak juga kukenal.
Sebuah kebetulan yang indah
Dari kesepian lelaki
Yang terluka
Oleh tubuhnya sendiri
Menanggung berahi.
(2021)
Stanza Subuh
Terbangun jelang subuh
Dan yang pertama kuingat
Adalah kamu.
Angin dingin Oktober
Meresap ke dinding
Dan segelas kopi.
Tiba-tiba kenangan menenun
Sejumlah fragmen
Yang telah lama tak ada.
Betapa menyenangkan
Saat syahdu suaramu
Membaca sejumlah sajak
Membayang terngiang
Bersama desir semilir
Sunyi nasib dan takdir.
(2021)
______
Penulis
Sulaiman Djaya saat ini aktif sebagai Ketua Bidang Perfilman Majelis Kebudayaan Banten.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com