Friday, August 12, 2022

Dakwah | Two in One: Antara Tahadduts Binni'mah dan Riya

 Oleh Izzatullah Abduh, M.Pd.I.




Bismillah. Alhamdulillah washsholatu wassalamu 'ala rasulillah.


Manusia secara tabi'atnya senang dengan pujian dan sanjungan. Sehingga kerapkali ia memamerkan kelebihan yang dimilikinya bahkan sesuatu yang lain yang dengannya ia mengaharap pujian dan sanjungan dari orang lain. Ia ingin pamornya naik dan terkesan populer di mata banyak orang.


Sebagian orang mungkin menganggap hal ini sah dan biasa saja. Namun sejatinya hal ini dapat berakibat fatal apabila tidak dikontrol dan diletakkan secara proposional. 


Bolehnya seseorang memamerkan sesuatu yang dimilikinya adalah dalam rangka tahadduts bin ni'mah yaitu mengekspresikan kesyukuran terhadap nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Dan ini dipraktikan dalam koridor kebaikan dan memotivasi orang lain.


{ وَأَمَّا بِنِعۡمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثۡ }


"Dan terhadap nikmat Rabbmu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)." (QS. Ad-Dhuha)


As Sa'di rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan bahwa menyatakan kesyukuran berlaku terhadap nikmat apa pun yang telah Allah berikan. Sebab hal tersebut dapat menumbuhkan perasaan cinta kepada Dzat yang telah memberikan nikmat.


Dan Ibnu 'Asyur rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan bahwa diantara makna "fahaddits" adalah kabarkanlah/ceritakanlah nikmat yang telah Allah berikan kepadamu dengan penuh pengakuan bahwa nikmat itu adalah karunia dari-Nya.


Beliau melanjutkan dengan menukil perkataan Hasan ibn 'Ali radiyallahu 'anhuma,


"Apabila engkau mendapatkan kebaikan (nikmat) atau telah melakukan suatu perbuatan baik, maka kabarkanlah/ceritakanlah kepada yang tsiqah (orang yang engkau percayai)."


Al Fakhru rahimahullah menyatakan uangkapan yang penulis ambil sebagai jalan tengah, beliau berkata,


"Ini (tahadduts bin ni'mah) adalah sesuatu yang bagus apabila tidak terkandung riya (dari yang berkabar/bercerita) dan yang mendengar diyakini akan mengambil teladan/contoh darinya."


Ringkasnya. Mengekspresikan nikmat itu dianjurkan apabila terpenuhi 2 syarat: 1) tidak ada unsur riya, 2) dimaksudkan untuk memberi motivasi dan teladan.


###


Kemudian khusus berbicara tentang riya. Maka hal ini sangat berbahaya sekali. Riya ini identik kaitannya dengan ibadah. Yaitu seseorang melakukan suatu ibadah namun dimaksudkan untuk mendapat pujian dan sanjungan dari orang lain.


Ini adalah perbuatan yang sangat tercela dan membawa pelakunya kepada kesengsaraan. Wal'iyadzu billah.


Sebab, sejatinya ibadah adalah sarana untuk kita mendekat dan menjalin hubungan dengan Allah subhanahu wata'ala, sehingga semata yang kita harapkan dalam beribadah adalah untuk menggapai ridho-Nya.


Kita ikhlaskan memurnikan ibadah hanya untuk Allah subhanahu wata'ala.


{ وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ }


"Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama." (QS Al Bayyinah : 5)


Sedangkan pelaku riya, mereka menjadikan ibadah sebagai kendaraan untuk menggapai popularitas semata, ingin dipuji dan disanjung.


Orang yang seperti ini mendapatkan peringatan dari Allah subhanahu wata'ala secara langsung, sebagaimana dalam hadits qudsi,


 أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ


"Aku adalah Dzat yang paling tidak memerlukan sekutu, barangsiapa melakukan suatu amalan dengan menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan ia dan sekutunya." (HR Muslim)


Bahkan kelak di akhirat pelaku riya termasuk orang-orang yang pertama dilemparkan ke dalam neraka. Wal'iyadzu billah.


Sebagaimana dalam hadits riwayat Muslim tentang 3 orang: syahid, 'alim, dan dermawan. Namun di akhirat terbongkar bahwa niat ketiganya dahulu di dunia hanyalah untuk mencari sanjungan dan pujian. Syahid, supaya disanjung pemberani, 'alim supaya disanjung ahli ilmu, dan dermawan supaya disanjung ahli sedekah.


Allah 'Azza wajalla pun mendustakan amalan mereka,

كذبتَ

"Kamu dusta."


Oleh sebab mereka berbuat riya dan mereka telah mendapatkan apa yang mereka harapkan dari amalannya dahulu di dunia.


Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda,


من سمَّع سمَّع الله به، ومن يرائي يرائي الله به


"Siapa yang memperdengarkan amalannya (ingin diketahui orang lain), maka Allah kabulkan hal itu, dan siapa yang riya ingin dilihat amalannya, maka Allah kabulkan hal itu." (HR Bukhari)


Sungguh, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sangat menghawatirkan hal ini terjadi pada umatnya. Sebagaimana yang dituturkan oleh Abu Sa'id al Khudri radiyallahu 'anhu, "kami (para sahabat) sedang berbincang saling mengingatkan tentang Dajjal, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar menemui kami, lalu bersabda,


أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنْ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ 


"Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang sesuatu yang lebih aku khawatirkan terhadap diri kalian daripada Al Masih Ad Dajjal?"


Para sahabat menjawab, "Tentu."


Beliau shallallahu 'alaihi wasallam melanjutkan sabdanya,


 الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلَاتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ


"Syirik yang tersembunyi (riya), yaitu seseorang mengerjakan salat dan membaguskan salatnya dengan harapan agar ada seseorang yang memperhatikannya." (HR Ibnu Majah, dengan derajat hasan menurut Al Albani)


Seorang ulama yang bernama Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah menuturkan tentang riya bahwa ada beberapa keadaan biasanya riya ini terjadi,


1. Riya terjadi sedari awal hendak melakukan ibadah. Motivasinya melakukan ibadah hanyalah untuk mencari pujian dan sanjungan dari manusia.


Maka orang yang seperti ini ibadahnya batal, tidak mendapatkan pahala apa-apa. 


2. Riya terjadi di tengah-tengah ibadah. Motivasi awal beribadah ikhlas kepada Allah, namun di tengah-tengah ia terpengaruh dengan makhluk. Seperti, karena ada yang memandangnya atau ada yang memperhatikannya, sehingga ia mulai mengindah-indah di dalam ibadahnya untuk menarik perhatian.


Maka yang seperti ini, ibadahnya tetap dianggap sah, namun pahalanya berkurang sesuai kadar riya yang timbul dalam ibadahnya.


3. Tidak ada riya dari awal hingga akhir. Ikhlas beribadah untuk Allah subhanahu wata'ala semata. Namun terkadang kemudian datang pujian dan sanjungan dari pihak lain atas ibadah tersebut. Maka hal yang seperti ini diharapkan insyaallah termasuk tanda kebaikan, bahwa itu adalah bagian daripada kabar gembira dari Allah.


Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah ditanya tentang seseorang yang melakukan amal ibadah ikhlas karena Allah, lalu setelah itu ia dicintai manusia, dipuji dan disanjung oleh mereka. Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,


َ ذَلِكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ


"Itu adalah kabar gembira yang di segerakan untuk seorang mukmin." (HR Ahmad, Ibnu Majah, dengan derajat shahih menurut Al Albani)


Ikhlas dalam beribadah merupakan perkara yang berat, butuh perjuangan dan kesungguhan. Karena penyakit riya selalu membayangi dan menghantui. Sehingga tidak heran jika orang sekaliber Ahmad ibn Hanbal rahimahullah berkata, "Niat itu perkara yang amat berat."


Dan Sufyan ats Tsauri rahimahullah berkata, "Tidak pernah aku melakukan suatu upaya terhadap sesuatu yang sungguh teramat berat selain daripada mengupayakan ikhlas dalam niat."


Namun tentu, bukan berarti ikhlas itu hal yang mustahil. Sebab, ketika Allah perintahkan kita untuk mengamalkan sesuatu, tentunya itu sesuai dengan kadar kemampuan kita. Artinya, ikhlas itu mampu kita upayakan dan hadirkan, tergantung bagaimana kesungguhan dan kejujuran kita untuk mencapainya.


Maka inilah beberapa tips yang semoga diri kita terlatih dan terbiasa menjadi mukhlis (orang yang ikhlas) bukan muro'i (orang yang riya):


1. Banyak berdoa dan meminta tolong kepada Allah subhanahu wata'ala supaya dibimbing kepada keikhlasan dan dijauhkan daripada kesyirikan, termasuk syirik yang tersembunyi yaitu riya.


Abu Musa al 'Asy'ari radiyallahu 'anhu bercerita bahwa suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berkhutbah seraya menyeru,


يا أيها الناس اتقوا هذا الشرك فإنه أخفى من دبيب النمل


"Wahai sekalian manusia, takutlah kalian terhadap kesyirikan ini (riya), karena sesungguhnya ia lebih tersembunyi dari semut yang kecil."


Ada seseorang yang berkata, "Bagaimana kami bisa menjaga diri dari hal tersebut ya Rasulullah?"


Beliau shallallahu 'alaihi wasallam kemudian mengajarkan sebuah doa, "katakanlah


اللهم إنا نعوذ بك من أن نشرك بك شيئا نعلمه ونستغفرك لما لا نعلمه

(Alloohumma innaa na'uudzu bika min an nusyrika bika syai'an na'lamuhu wa nastaghfiruka limaa laa na'lamuhu)


"Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari berbuat syirik menyekutukan-Mu dengan sesuatu yang kami sadari, dan kami memohon ampun kepada-Mu dari dosa yang tidak kami sadari." (HR Ahmad, dengan derajat dha'if menurut Syu'aib al Arna'uth)


2. Melatih diri menyembunyikan amalan-amalan tertentu yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali hanya Allah subhanahu wata'ala.


وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ ما تنفق يمينه


"Dan seseorang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi (merahasia), sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang telah diinfaqkan oleh tangan kanannya." (HR Bukhari)


Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,


من استطاع منكم أن يكون له خبء من عمل صالح فليفعل


"Siapa yang mampu memiliki amalan terahasia dari amalan shalih, maka hendaklah ia melakukannya." (Shahih al Jami')


3. Memperdalam ilmu tauhid, mengenal Allah, sifat-sifat-Nya, nama-nama-Nya, dsb., serta mempelajari dan mengenal tentang bahayanya syirik.


Demikian, semoga bermanfa'at.


Barakallahu fikum.


Akhirnya, semoga Allah subhanahu wata'ala membimbing kita semua menjadi hamba-hamba yang mukhlis, ikhlas dalam beribadah, dan menjauhkan kita daripada segala unsur kesyirikan dalam beribadah.


Dialah Dzat Yang Mahadekat lagi Maha Mengijabah do'a.


_______

Penulis


Ust. Izzatullah Abduh, M.Pd.I., Imam Masjid Andara, Cinere dan Pengisi Kajian Kitab Tauhid Muhammad At Tamimi dan Kumpulan Hadits Qudsi Muhammad al Madani.