Friday, August 12, 2022

Puisi-Puisi Diego Alpadani

Puisi Diego Alpadani




Aku, Ia, dan Meri


Saatnya sudah ke pangkuan kembali, muka ditampakkan

walau masih Meri berbenah gelang, anting, dan kalung

dari akar dari jerami. Kembali pada kau bimbing, petang

sudah memanjang dan jendela rumah harus lekas di benah.


Jangan kau panggil Meri dari halaman, raung ayam cukup

sudah menebas lima limau keriput dalam perut. Kan kubuat

seribu siang untuk memagar pandan di belakang. Angkat,

angkat,

angkat

kembali punggung sebelum pergi. Sebelum panjang raung


menuju memar dinding kamar Meri. Sudah kali ketiga

aku siram halaman dengan tujuh air berbeda.


Padang, 2022



Ia, Aku, dan Meri II


Meri, tak perlu kau gali liku ranji

sebab di depan mata ada ludah. Dan aku

mengerti, harus mengkaji kembali dua belas

sayatan peninggalan. Kau tak harus lagi lemah


sebab usai sudah apa yang berkecoak di pangkal lidah

termuntah menjadi amarah. Lepas saja jika aku salah,


tikam saja jika ia masih berulah.


Saban hari tubuh penurut tetap akan ikut. Meski tinggi hari

tak kudapat, malam pekat bisa kau buat ia memanjat.


Padang, 2022



Ia, Aku, dan Meri III


Dari mana saja aku bisa datang jika kau panggil, timur

ataupun barat, selatan ataupun utara. Mata arah angin kan kubuat

lusuh, Meri. Dan cahaya merah itu aku yang tak perlu lagi kau jamu,

sudah sampai amukku sudah puncak amarahmu, masih juga ia

menempel seribu surat dalam air, seribu tulang dalam tanah.


Datangi ia, pandan lebat sudah di belakang rumah. Meri,

padamu titah akan kujaga, 


Ia aduk setetes darah demi meraba apa yang salah, lambat-

laun akan terbaca olehmu yang masih bertanya, aku ini

apa?


Darah itu menggumpal menjadi nanah, menjadi-jadi ia

tertawa di balik asap malam kelam. Meri, aku ada di arah

mana saja. Jika benar yang kau pinta adalah hitam ayam

tentu disegerakan ia balik ke peraduan.


Padang, 2022



Ia, Aku, dan Meri IV


Ada yang akan membawamu pulang menuju

jalan, menggantungkan rambut di langit-langit

rumah. Aku masih setia dengan ikat yang dibuat

biar gagap ia ucap perapalan menjalanimu.


Meri,


jarak apa yang datang adalah dekat ke bintik jantungmu.

Meski kau suguhkan seribu tawar di satu malam, tak bisa

kau tepuk ia dengan itu. Aku ada untuk tepat dan tempat

janji pengikat, diembus saja cukup. Ia akan kalang kabut.


Cepat-lekas ia titikkan kening dengan ampu

agar datang pula kebesaran si empu. Namun aku

sudah lebih dulu menepuk liang untuk ia pulang.


Meri. Jangan tanya lagi, aku ini apa.


Padang, 2022



Ia, Aku, dan Meri V


Aku putuskan buhul untuknya, Meri.

Dari pucuk betung lepas juga ujung ubun.

Karena erat darimu belum terucap, sanggah hatimu

masih tetap kuat.


Aku runtuh dalam bimbangmu

aku luruh di gamang tanyamu.


Ia akan datang  dengan cara panggilan

untuk mengetuk cahaya menjadikan kelam

yang bersarang di tukak jiwamu, Meri.


Karena arah mana saja yang kupunya

perlu kau panggil sebagaimana mestinya.


Padang, 2022



______

Penulis


Diego Alpadani saat ini memiliki hobi duduk di Lepau Wo Wat sambil menikmati teh telur dan ota lapau. Ia sangat berharap dapat duduk bersama Pevita Pearce di Lepau Wo Wat.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com