Puisi Sulaiman Djaya
Di Tepi Agustus
Kata apa lagi-kah yang bisa jadi ibu
Puisi? Dunia telah beralih
Jadi gambar
Di lalulintas gawai dan serbuan iklan.
Bahasa seakan tak lagi
Punya pesona dan tuah
Saatku duduk di tepi Agustus
Yang mendesir bersama lirih
Suara azan dari mushola kecil.
Ketika segala yang menadah matahari
Kedua mataku yang sendiri
Bagai penyair mengharap ilham Ilahi.
(2022)
Lanskap
Jalan lembab dan remang lampu
Juga kenangan ibuku
Barangkali lanskap ajal mautku
Menjelang malam di wajahmu
Seusai gerimis sendu
Maret jadi gugusan rindu
Dan kata, gairah dan kegembiraanku
Bertumpu, kini telah jadi dusta
Senjata dan propaganda
Di berita-berita yang kau baca
(2022)
Mata Kata
Mata kata
Puisi bermula
Adalah cinta
Jadi rumahku
Menenun rindu
Bersama semesta
Yang terbaca
Di indah matamu
(2022)
Lagu Januari
Betapa bahagia ketika aku
Berjumpa denganmu.
Bahasa yang semula berduka
Jadi gembira. Segala yang muram
Jadi tertawa.
Betapa bahagia Ketika aku
Memandang matamu berkata-kata
Memekarkan bunga-bunga pagar
Yang tertidur semalaman
Saat kau tertawa riang
Di baris-baris sajakku.
Serdadu-serdadu perang kehilangan senjata
Para pengungsi Kembali
Ke rumah-rumah mereka
Yang ditinggalkan.
(2022)
Prosa Subuh
Terbangun jelang subuh
Dan yang pertama kuingat
Adalah kamu. Angin dingin
Meresap ke dinding.
Dan segelas kopi.
Kenangan menenun
Sejumlah fragmen
Yang telah lama tak ada.
Betapa menyenangkan
Saat syahdu suaramu
Membaca sejumlah sajak
Membayang terngiang
Bersama desir semilir
Sunyi nasib dan takdir.
(2021)
Amsal Januari
Yang terindah dari Januari
Ketabahannya menanggung rindu
Jadi gerimis.
Disiramnya segala yang terluka
Dengan kepedihannya
Yang setia.
Didendangkannya sebuah lagu
Yang hanya bisa didengar
Oleh mereka
Yang sedang jatuh cinta
Seperti Ketika sepasang matamu
Syahdu berkata-kata.
(2022)
________
Penulis
Sulaiman Djaya lahir di Serang, Banten. Pengurus Majelis Kebudayaan Banten dan Pimpinan Pesantren Insanul Falah.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com