Tuesday, March 14, 2023

Proses Kreatif | Menulis Cerita Anak

 Oleh Encep Abdullah



Saya sebetulnya tidak suka baca buku cerita anak. Saat saya melihat penulis idola saya, Niduparas Erlang, baca buku fantasi Neil Gaiman berjudul Untunglah, Susunya, saya kok tertarik beli. Nidu membacakan cerita itu kepada anaknya. Namanya penulis idola, apa yang dia kerjakan, pasti saya ikuti. Lalu, dapatlah saya buku itu, saya baca sampai selesai. Wah, anjir, keren sekali ceritanya. Jujur, baru kali ini saya baca buku cerita (novel) anak sampai habis. Biasanya hanya potongan kisah yang ada dalam buku pelajaran anak sekolah.


Setelah saya menikah dan punya anak, saya kepikiran membelikan anak saya buku. Padahal usianya masih dibilang bayi. Saya baru tahu kalau buku anak-anak (bayi, balita) bisa setebal itu. Maklum, zaman remaja saya gaulnya hanya dengan buku-buku dewasa. Sebelumnya saya pernah lihat, pegang, dan baca buku cerita anak milik Aisyah waktu saya masih betah di kampus. Dan, itu cikal bakal saya sampai saat ini.


Maksud saya, cikal bakal itu terjadi saat saya punya anak pertama. Saya beranikan beli beberapa buku di Bazar Buku Terbesar di AEON BSD. Belinya sih tidak banyak, paling cuma 20 biji. Setelah itu jarang beli lagi. Kalau bukan bazar, saya agak sumeh beli, karena buku anak itu muahaaal. Haha. Ya wajar, bukunya tuebel.


Sore tadi saya bercanda sama istri sambil gladi ngabuburit puasa naik motor. Saya bertanya kepada dia,


"Tahu nggak kenapa buku anak itu tebal?" 


"Kenapa?" 


"Biar kalau ibunya lagi kesel, bukunya nggak mudah rusak kalau digigitin ibunya."


"Kok, ibunya?"


"Lah, anak bayi mana bisa baca. Dia (buku) dibikin buat emaknya, bukan cuma anaknya. Emaknya yang baca. Bukan bayinya yang bacain buat emaknya," ujar saya.


Istri saya tertawa.


Kebanyakan, kita menganggap bahwa membeli buku anak berarti hanya untuk anak. Padahal bukan. Itu buku buat dibaca emak-bapaknya. Makanya tebal. Jadi, kalau kesel sama anak, buku tidak mudah disobek. Dibanting juga tidak mudah rusak. Atau bisa multifungsi buat nimpuk kambing yang masuk pekarangan rumah Anda. Haha.


Intinya saja ya. Setelah saya membacakan anak saya buku, hampir setiap malam, saya jadi tahu tahapan bikin cerita anak, ya walau tidak tahu-tahu amat. Gampang kayaknya. Tapi, susah juga kayaknya. 


Suatu hari, tepat sekali ada info lomba menulis cerita anak saat itu, kalau tidak salah tahun 2019. Saya iseng daftar. Saya mencari rekan untuk membuat ilustrasi gambarnya karena wajib bergambar. Saya kontek salah satu teman saya, Pak Muhalisofi kalau tidak salah. Dia mau. Dengan kesepakatan bagi 2 hadiahnya kalau menang. Hadiahnya 7 juta. 


Saya sih mikirnya begini, menulis cerita anak usia pra-membaca, itu pendek sekali. Satu halaman kalau tidak salah maksimal 3 kata. Kalau tidak salah juga ditulis kisaran 12--14 hlm. Saya bikin cerita itu hanya 5 menit. Ya, wong sudah terlatih membacakan cerita buat anak saya walaupun ya bukunya itu-itu saja, bahkan saya hafal di luar kepala. 


Menulis ceritanya cepat, ilustrasinya berminggu-minggu. Dan, tak disangka saat pengumuman, saya masuk sebagai pemenang I. Wah, saya bangga dong walau juga merasa aneh. 


"Seorang Encep menang lomba cerita anak? Kok, bisa ya?"


Saya menggerutu sendiri. Tapi, ya, begitu. Lama-lama saya sadar juga. Oh, iya saya menang. Saya dapat uang. Haha. Dibagi 2. Kadang ada rasa tidak adil dalam diri ini. Saya menulis sebentar, sedangkan teman saya bikin ilustrasi butuh banyak waktu, gorengan, dan kopi. Tapi, ini sebuah kesepakatan. Keputusan harus ditegakkan. Saya tetap bagi hasil setengah-setengah dari total hadiah itu.


Empat tahun berlalu. Kantor Bahasa Banten mengadakan lomba serupa, menulis cerita anak. Bedanya kali ini temanya mengangkat kebudayaan yang ada di Banten dan ditulis menggunakan dwibahasa (Indo-Sunda/Indo-Jaseng). 


Wah, saya berpikir, siapa yang menulis cerita anak macam itu di Banten. Pasti jumlahnya tidak banyak. Naskah yang dicari yaitu 42 biji. Masa iya, saya tidak masuk dari jumlah sebanyak itu. Namun, saya selalu bertanya, siapa 42 orang di Banten yang mau menulis dwibahasa. Lomba menulis satu bahasa saja sedikit yang berminat. Ini dwibahasa. Cerita anak pula. Karena bagi saya, menulis cerita anak buat mereka yang tidak terbiasa membaca buku cerita anak, akan sangat rumit mengikuti kaidah, keberterimaan, dan tetek bengek lainnya menyoal anak-anak.


Saya saja yang rajin menulis, rajin membaca, masih gakgok menulis. Lalu, bagaimana dengan mereka yang langsung begitu saja menulis cerita anak? Dikira gampang. Setelah saya baca naskah teman-teman di komunitas, saya paksa biar mereka ikut lomba ini dan masih banyak juga kesalahan teknis. Mereka menulis layaknya pembacanya adalah orang yang sudah jenggotan. Kalimatnya panjang-panjang. Sudah jelas dalam lomba ini aturannya diperuntukkan buat anak usia B2 (7-9 tahun). Tapi, bahasa mereka tingkat tinggi. Tokohnya memakai bahasa yang negatif. Judulnya terlalu nyastra. Isinya perdebatan yang tak lazim. Sebagian dari mereka merevisi, sebagian lagi cuek. Sesuai prediksi saya, siapa saja nama yang bakal masuk, ternyata benar. Nama Sul Ikhsan masuk, sesuai dengan analisis saya. 


Saya bukan dukun apalagi juri. Tapi, saya pembaca. Saya punya anak. Saya tahu anak usia 7-9 tahun itu bagaimana. Saya tahu ukuran keterbacaan naskah itu sebagus apa, walaupun bagus belum tentu menang ya. Tapi, naskah Sul Ikhsan layak. Benar-benar dia revisi total setelah saya kasih saran. Dan benar. Saya bilang di grup WA: "Jangan sepelekan arahan dari seorang guru!" 


Mereka manut. Lalu, siapa guru saya? Tentu saja guru saya adalah pengetahuan dan pengalaman saya membaca buku-buku anak, persinggungan dengan anak-anak, dan bikin anak. Haha.


Selain Sul Ikhsan, puji syukur saya juga masuk. Betapa malu saya kalau saya yang memberi arahan kepada Sul Ikhsan, lalu dia masuk, sedangkan saya tidak. Tuhan Maha Baik. Tuhan Maha Adil. Plis, kepada Anda jangan sepelekan keberadaan guru menulis Anda. Kalau tidak punya guru, plis jangan sepelekan bacaan Anda, pengalaman hidup Anda, dan pergulatan yang terjadi dalam pikiran dan jiwa Anda. Barangkali, itu cikal bakal kemudahan jalan menulismu di masa mendatang.


Tidak ada sesuatu yang datang tiba-tiba tanpa proses. Setiap akibat pasti ada sebab. Bila sebab ada, akibat tidak sesuai yang diharapkan, itu sudah bukan ranahmu, itu ranah Tuhan. Tugasmu hanya bersabar dan menerima segala ketentuan-Nya.


Masyaallah. Kenapa saya jadi kiai begini.


Teruslah menulis. Jangan menganggap menulis sebagai pekerjaan yang sia-sia. Kelak, bisa jadi ia sebagai wasilah jalan keberuntunganmu di dunia dan wasilah jalan keselamatanmu di akhirat. 


Tabik.  


Kiara, 14 Maret 2022


_________


Penulis


Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku proses kreatif terbarunya berjudul Diet Membaca, Ketiban Inspirasi (Maret 2023). Bisa dipesan via WA penulis, 087771480255.