Friday, May 5, 2023

Puisi-Puisi Maya Wulan

Puisi Maya Wulan



Kampungmu, Muara Baru Rinduku


Aku ingin mengenal kampungmu 

seperti aku hafal jejak riwayat 

tiap jalan setapak kampungku.

Aku ingin merindukan kampungmu

seperti aku jadikan kampung halamanku

bahan lamunan rindu perantau 

sebagai menu

tiap lebaran tiba. 

Aku ingin kampungmu memberiku cinta ibumu 

sepekat cinta ibuku di tanah lahirku. Cinta ayahmu 

sekental cinta ayahku menjagaku.

Aku ingin menggali sejarah tanah kampungmu dan menanaminya 

dengan cita-cita kita. 

Aku ingin menangkap deret kenangan lawas

di rumah masa kecilmu. Merekam benak

seluk-beluk jejak tawa mudamu satu persatu, 

seperti aku tahu semua letak 

tahi lalat di tubuhmu. 


Feb 2023



Tahanan Rantau


Bagaimana caraku mencintai kampungmu?

Jika deru kota ini adalah

pakaian sehari-hari kita. Gaduh. Rindu

sunyi kampungmu.

        "Tak berdebu tubuh, 

        takkan kampung sampai dijenguk," katamu.


Sedang tidurku, telah sesak

bayang lika-liku lereng gunung kampungmu.

Samar, mekar gambar riuh pasar yang

tiap Rabu kian kau rindu. Jadi

kisah seru berulang di mulutmu. Mataku telah tak sabar menanti waktu 

bertemu Rabu di kampungmu. Kau

menyebut tahu bunting, lontong pecel, juga 

anak-anak sekolah mencuri waktu ke sana.


Bagaimana caraku membaca sapa ayah ibumu?

Untuk kuterjemah lalu kuceritakan pada 

ayah ibuku di kampungku.


Di rumputan rumah, kau ajak aku rebah.

Kau kenakan langit malam kota

sebagai selimut lelapmu, lelapku. 

Malam-malam kita.

Aku bermimpi

kita adalah bintang, ayah ibu bulannya. Kita

berjauhan tapi saling melihat.

          "Tak luruh cinta orangtua

          di badan jarak yang tercipta," katamu.


Feb 2023



Melawan dengan Benar


Apakah ini kita?

Mental yang terpental pental

Terjungkal di sandungan kaki sendiri


Apakah jiwa kita jiwa pendendam

yang jika terluka

maka semuanya harus ikut merana 

Apakah marah kita marah yang kerap salah arah

berang pada yang satu

namun mengamuk pada segala

Hancurkan!


Otot melawan otot

Teriakan bersambung jeritan

Batu menyusul batu

Sepi menjelma api

Panas hati kita 

begitu sangar membakar

toko toko, rumah rumah

menghanguskan banyak harapan 


Apakah kita kumpulan luka yang lupa 

pada genangan air mata serupa

pada wajah wajah ketakutan

membaca kenangan kehancuran

dari setiap sejarah perlawanan


Otot kita untuk melawan keangkuhan

Teriakan kita menyerang kecurangan

Batu adalah kerasnya keteguhan kita 

memperjuangkan kebenaran

Api adalah tekad di dada

semangat keberanian yang menyala nyala 

dan terus menyala 

sebagai cahaya 

di dalam jiwa

dan juga kepala

di dalam otak kita


Kita harus bertahan

bergenggaman tangan 

bersuara lantang

tanpa harus membakar dan terbakar

yang tak layak tersambar


Melawan dengan benar.

Apakah kita bisa?


2020


_________


Penulis


Maya Wulan, penulis kelahiran Bontang, Kaltim, kini berdomisili di Yogya. Menulis cerpen, novel, dan puisi. Buku tunggalnya novel Swastika (Grasindo 200), Kumcer Membaca Perempuanku (CWI JKT 2003). Karyanya tersebar di media lokal dan nasional, dan berbagai antologi bersama. 


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com