Friday, May 5, 2023

Cerpen Santama | Mimpi Muluk-Muluk dan Hal Buruk Lainnya

 Cerpen Santama



Apa yang akan kuceritakan tentang tokoh cerita kita ini? Tak lain kecuali perihal mimpi muluk-muluk dan hal buruk lain yang melekat dalam dirinya. Kau bisa menyebut tokoh cerita kita ini dengan sebutan apa saja sesenang hatimu, dan kusarankan temukanlah sebutan yang seburuk-buruknya. Bila perlu dan tak kelewat berlebihan, galilah dari pelbagai sejarah. Lalu sama-sama kita berdoa agar dijauhkan dari tulah, serta terhindarkan dari ocehan orang kurang kerjaan yang menganggap kita layak dilempar tahi kerbau.


Aku lebih senang menyebutnya "Si Bebal" karena kelewat kesal dan kecewa kepada tokoh cerita kita ini. Kurasa ia tak akan berkenan terhadap sebutan yang amat mencemooh itu---sudah tentu, memangnya adakah yang sudi dan rela dicemooh selama hidupnya selain, misalnya, orang waras yang melucuti celana sendiri dan santai memamerkan rudalnya di khalayak ramai?


Asal tahu saja, ia seseorang yang, nyaris tak meragukan, kelewat bebal dan tak becus untuk melakukan sesuatu agar harapan-harapan tololnya tak hanya membusuk di kepala. Jika kau sanggup tabah menyia-nyiakan waktumu untuk melihat kebebalannya itu secara langsung dan tetap bersikeras padahal kau tahu betul bahwa waktu teramat mahal dan berharga, datanglah ke Kabupaten Pandeglang.


Ia bisa kautemui di rumahnya kapan pun. Di sekitar rumahnya yang tampak tak terawat dan nyaris ambruk dan di dalamnya ia tinggal sebatang kara. Jika tak sedang menunggu momen terjatuhnya seekor tupai demi menguji kebenaran peribahasa, kemungkinan ia sedang menanti seekor ayam terpeleset tahinya sendiri demi menguji ketepatan simile yang sempat berkelebat di benaknya, ketika suatu hari ia tengah melamun sambil mengulum biji salak. Tak ada hal cukup serius yang bisa dilakukannya, setidaknya sampai cerita ini dibuat.


Di pagi yang masih terasa begitu menggigilkan ini, dalam kondisi belum tidur semalam suntuk, Si Bebal tengah duduk di kursi bambu dan di hadapannya, di atas meja reyot yang dari bambu pula, segelas kopi hitam tanpa gula menguap panas---simile bagi kepalanya semalam. Ia baru saja melewati saat-saat yang sulit: sedari Subuh dipegangnya ponselnya yang butut, matanya menatap lekat deretan huruf pada papan ketik aplikasi catatan dalam layar retak-retak, raut mukanya amat linglung, seperti bocah ingusan yang menemukan selembar coretan berbahasa Tagalog dan tak tahu apa yang harus diperbuatnya.


Aku jelas tahu, ada karangan yang harus diselesaikannya agar bisa ia kirimkan ke suatu situs sastra, dan inilah mimpi muluk-muluknya: Ia ingin jadi pengarang, tapi terlampau payah untuk menempuh kenekatan yang teramat ceroboh dan alangkah bagusnya, demi kewarasan dan ketenteraman batinnya sendiri, disudahi saja itu.


Si Bebal pernah membayangkan andaikata kelihaian mengarang dapat diraih dengan semedi tiga setengah bulan atau puasa setahun penuh misalnya, tentu akan ia tempuh amalan itu agar bisa mendapati dirinya dengan enteng menghasilkan karangan yang memukau melampaui karya Eka Kurniawan atau Dea Anugrah, tapi bahkan orang-orang yang gemar mengibul sekalipun sejauh ini belum ada yang berpikir menganjurkan hal demikian.


Ia tahu dan mutlak percaya, bahwa menjadi pengarang berarti menjadi makhluk yang dikutuk untuk kerap meragu dan bingung, mesti berlaku agak kejam terhadap pikiran, dan butuh tekad yang kukuh. Lucunya, tak jarang upayanya dalam merampungkan karangan harus ditempuh dengan cara seorang penagih utang menyelesaikan urusannya, yakni dengan perasaan berang dan memaki-maki. Ia juga lebih kerap mendapati dirinya sebagai pecundang yang kalah oleh kebuntuan, kata kerap membuatnya putus asa.


Dalam keputusasaan yang mengundang iba itu, ia mudah berserah diri dikuasai kemalasan, atau akan meratap seraya meringkuk murung dihantam kepusingan yang seperti akan meledakkan kepalanya. Betapa bebalnya. Ia hampir melakukan itu saat sebelum matahari terbit. Dalam dua jam ia hanya menghasilkan lima kalimat pendek-pendek, abaikan dahulu mutunya, dan berkali-kali menghapus kembali bagian-bagian dari apa yang sudah ia ketik susah payah, lalu menjambak kasar rambut sendiri sebagai tindakan paling sedap yang alam peruntukan bagi orang-orang putus asa. Beruntung, setelah dua kali tonjokan ke dinding bilik, sekali mengunyah puntung rokok, mulutnya melontarkan anjing dan babi masing-masing empat kali, pada akhirnya Si Bebal berhasil merampungkan cerpen yang ingin ia buat, meski hasilnya sungguh buruk dan jeleknya minta ampun.


Berikut cerpen yang ia buat, lengkap dengan judulnya.

 

Akan Ada yang Menyusul Kematian Kepala Desa

 


Sejak tengah hari tadi, pada hari Jumat yang gerah, Kepala Desa yang keparat diyakini telah mati, tapi tak seorang pun menemukan mayat busuknya atau mendapati bukti absah bahwa ia memang telah digelandang malaikat ke alam kubur, kecuali seragam dinasnya yang koyak moyak dan berlumuran darah yang ditemukan di sebuah lembah di selatan desa. Dua hari yang lalu, pagi hari sekali gerombolan pemburu babi menemukannya tergantung di ranting pohon di tepi sungai.


Siti Markonah, istri muda Kepala Desa yang sungguh cantik dan kini kemungkinan dirinya akan menjadi janda kian tak terelakkan, bercerita pada Rabu siang ketika para tetangga berbondong-bondong ke rumah besarnya selepas mendengar raungannya yang keras melengking di sela ratap tangisnya yang pedih, bahwa selagi ketiduran saat menonton sinetron kesayangannya pada malam Senin yang diguyur hujan, ia bermimpi berak di atas sofa.


Ia bilang ia sempat menceritakan mimpi menggelikan tersebut kepada Kepala Desa, dan bapak dari dua anaknya itu hanya mengatakan bahwa mimpi adalah mimpi, bunga tidur, tak usah dicemaskan.


"Malahan, Sayang, Aa pernah bermimpi menelan granat cuma buat meredakan kesemutan," kata Kepala Desa yang diceritakan kembali oleh istrinya itu, "dan badan Aa sama sekali gak meledak, tapi kentut gak henti-henti. Gak usah mencemaskan arti mimpi yang konyol."


Siti Markonah juga menceritakan, ketika merasa batinnya tak kunjung tenteram dan bayang-bayang tentang mimpi itu tak mau enyah dari pikirannya, kepada Jalal Pengkeh ia akhirnya meminta pencerahan. Dan Jalal Pengkeh, sesepuh desa yang rabun dan adalah kakeknya sendiri, berterus terang perihal takwil dari mimpi itu usai didesak olehnya.


"Kakek Siti bilang dengan wajah kelihatan gelisah," kata Siti Markonah sambil sesekali menyeka ingus dan air mata, "kalau harusnya Siti gak menceritakan mimpi Siti itu ke siapa pun karena pantang, apalagi punya niat mengetahui arti mimpinya."


"Tapi Siti minta kakek Siti buat tetap menjelaskan, karena Siti yakin kalau orang-orang zaman dahulu percaya kalau mimpi yang begitu jadi pertanda kalau sesuatu yang buruk bakal terjadi." Suara Siti Markonah makin sengau.


"Dan akhirnya setelah menghela napas berat, kakek Siti bilang kalau Siti bakal mengalami musibah." Ia akhirnya tak tahan untuk tak kembali meratap, beberapa tetangga perempuan kembali menenangkan ia, dan beberapa lelaki desa yang hadir mungkin tengah mati-matian menahan kehendak untuk memeluknya.


Kini bagi Siti Markonah segalanya telah terang benderang, tafsir Jalal Pengkeh benar belaka, dan mimpi tersebut rupanya mengirim isyarat atas nasib buruk suaminya.


Pada hari Rabu itu, dengan mobil-mobil mewahnya, orang-orang besar dan penting dari Kecamatan berdatangan ke rumah Kepala Desa. Sebagian dari mereka mungkin terkejut dan merasa benar-benar berduka, sisanya mungkin biasa saja dan datang sekadar demi kepantasan, siapa tahu. Para kerabat hadir lebih cepat. Mereka menghubungi polisi dan tim SAR, mengajak warga desa untuk menyusuri hutan dan lembah di mana ditemukan sepotong seragam dinas yang berlumuran darah, berharap bisa menemukan jasad Kepala Desa seandainya suami Siti Markonah itu memang telah tak bernyawa. Kejadian ini juga diberitakan di koran lokal dan heboh di media sosial.


***


Gelak tawa, dekut burung hantu, lengking jangkrik, gemeretak kayu yang dilahap api, juga kentungan yang dipukul secara berkala, memenuhi kelengangan suatu desa yang seperti mati di tengah malam buta ini. Ketika orang-orang tengah lelap dan tersesat dalam mimpinya masing-masing, beberapa lelaki di gardu ini bersikeras melawan kantuk, dan menepis dorongan kuat untuk terbirit-birit pulang menyongsong hangat ranjang, juga barangkali ketiak istri.


Segala omong kosong, bualan hambar, dan ocehan dari yang paling sinting hingga yang begitu mesum telah terlontar dari moncong mereka masing-masing. Selain tak diserang rasa pegal pada rahang karena kelewat sering tertawa, pikiran tumpul mereka tak kunjung pula membentur kebuntuan, selalu saja ada yang bisa diperbincangkan.


Kini gelak tawa mereda, tak ada lagi yang berkelakar, sebab yang diocehkan adalah kembali tentang nasib tragis Kepala Desa. Tak ada kesenduan sama sekali, tapi kali ini suara mereka dibikin rendah, tak lagi keras melengking-lengking.


"Seseorang pasti sudah membunuhnya," kata lelaki tambun berwajah tak sedap dipandang dan alangkah bagusnya dibenamkan ke comberan ini, kita sebut saja ia Si Kurap Curut. "Mungkin yang datang dari masa lalunya."


Di samping kanan Si Kurap Curut, dalam selubung sarung lusuh, duduk bersila lelaki kerempeng berkumis lebat, dan kepala lonjongnya kelewat pelit untuk menumbuhkan rambut barang sehelai pun. Si Botak ini menanggapi perkataan Si Kurap Curut dengan pertanyaan yang terkesan lugu, kalau bukan dungu.


"Apa kalian tahu sama siapa saja Pak Kepala Desa kita punya salah?" ujarnya.


"Terlalu banyak," kata Si Kurap Curut terang-terangan, "terlalu banyak."


"Gak ada yang bisa bebas dari kesalahan, mudah-mudahan almarhum Pak Kepala Desa kita diampuni dosa-dosanya," tukas Si Gondrong, dan mudah-mudahan makhluk buruk rupa yang rambutnya niscaya penuh kutu ini dilanda selesma sekurang-kurangnya selama tiga pekan! Enteng sekali moncongnya itu bicara.


"Mungkin maksud dia bukan kesalahan yang bikin orang cuma mau meludahi wajah almarhum," celetuk seorang lagi yang mulutnya niscaya membuatmu akan teringat moncong tikus, "tapi lebih dari itu, kayak kesalahan yang susah dimaafkan dan akhirnya memunculkan dendam."


Si Botak dan Si Gondrong dan Si Moncong Tikus serentak mengangguk-angguk, sementara Si Kurap Curut tampak termenung. Asal tahu saja, di masa lalu, antara Kepala Desa dengan ia ibarat seorang pemburu dan seekor anjingnya, dan andaikata anjing itu beroleh kemampuan berbicara, sampai mati kena racun atau kena tembak pun ia tak akan mengungkap aib umpama tuannya pernah merampok singkong milik petani.


Maka anjing ini, atau Si Kurap Curut, pun tak mengungkap kebusukan Kepala Desa, ia hanya mengatakan, "Saya gak tahu. Kalau benar begitu, pasti masalahnya cukup serius."


"Lebih parahnya," sambung Si Botak, "pembunuhnya sama sekali gak membiarkan Pak Kepala Desa dikubur secara layak oleh keluarganya."


"Bahkan keluarga almarhum sudah mendatangkan seorang dukun buat mencarinya, dan bayangkan," ujar Si Gondrong dengan mata membelalak, "kita dalam dua hari mencari tetap saja gak ada hasil!" Si Gondrong lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, pasti kutu-kutu di rambutnya berjatuhan.


"Pembunuhnya pasti sakti," timpal Si Moncong Tikus setelah menyulut rokok, "bagaimana pun juga Kepala Desa kita punya pengalaman luntang-lantung jadi jawara di kota, akrab sama kekerasan, pasti gak bakal gampang melumpuhkannya."


Si Moncong Tikus benar, ilmu silat Kepala Desa terhitung tinggi, meski tubuhnya ternyata kosong belaka, tak disokong oleh azimat apa pun yang sebetulnya mengherankan, sehingga setelah letih melakukan perlawanan ia pada akhirnya pasrah memperkenankan sebilah golok melakukan apa pun kepada tubuhnya, sebelum nyawanya benar-benar melayang malam itu.


Keheningan sejenak melingkupi gardu ini, mungkin pikiran mereka sama-sama tengah mencari-cari ingatan tentang segala kenangan mereka bersama Kepala Desa, juga mengulik kesalahan apa saja yang telah ia perbuat dan kini mesti mereka maafkan sepenuhnya. Meski yang lebih banyak muncul di ingatan mungkin adalah tabiat-tabiat buruk almarhum, bagaimana pun keadaan memaksa mereka untuk besar hati.


"Heh, daripada diam terus dari tadi," sergah Si Kurap Curut, "mending panaskan air."


Begitulah, bajingan satu ini amat gemar menyuruh-nyuruh seolah-olah ia dilahirkan hanya untuk berbuat seperti itu, satu dari sekian tabiat buruknya. Ia termasuk manusia menyebalkan yang kenapa tak tewas sejak saat disunat. Ia pantasnya segera lenyap dari tiap mata orang secepat mungkin. Kabar baiknya, pemilik tempat penggilingan padi ini memang akan segera menyusul kematian Kepala Desa.


***


Orang-orang bakal kembali dibuat terheran-heran, desa ini akan kehilangan satu penduduknya lagi. Tak lama lagi, dalam suatu perjalanan bersama motor bebeknya sepulang dari membeli pakan perkutut peliharaan, atau apa pun urusannya saat itu, Si Kurap Curut mesti segera mati, meregang nyawa dengan semenyakitkan mungkin, dalam cara yang persis menimpa Kepala Desa, setimpal dengan kebengisan mereka di masa lalu.


Di atas motor bebek bersahaja yang penuh karat dan terbatuk-batuk oleh ketuaan yang menggerogoti mesinnya, saat melaju di suatu jalan sepi, Si Kurap Curut akan memekik dan terkencing-kencing, sebab dari arah samping tiba-tiba muncul seseorang yang akan berlari memburunya dengan golok. Seketika tua bangka ini bakal terperanjat ketakutan. Dalam gerakan yang gesit dan setengah terbang, seseorang yang hendak mencelakakannya akan mengayunkan golok ke pergelangan tangan kanan Si Kurap Curut.


Niscaya raung kesakitan akan melengking memecah kebisuan malam yang lengang. Bisa dibayangkan, keseimbangan berkendara Si Kurap Curut akan oleng dan, karena tak kuat menahan nyeri, akhirnya babi ternak ini bakal terpelanting bersama motor bebeknya. Ia kemudian akan merangkak-rangkak menyedihkan.       


Nyaris tak akan ada perlawanan yang berarti dari Si Kurap Curut saat apabila ia bisa bangkit sempoyongan, selain mungkin hanya berusaha melayangkan tinju kirinya yang sia-sia. Selepas itu yang sanggup dilakukannya hanya berlutut dan merengek-rengek meminta belas kasihan, tapi tentu saja tak ada ampun. Sekali tendangan keras ke perut niscaya membuat ia kembali terkapar dan terbatuk-batuk.   


Si Pembunuh yang akan menutupi wajahnya dengan topeng yang lazim dikenakan para garong akan buru-buru menyudahi jerit campur ratapan Si Kurap Curut, mengakhiri hidup bajingan bau tanah ini dengan cara yang akan menjadi mimpi buruk bagi siapa pun bila menyaksikannya.        


Di tanah yang barangkali akan basah oleh air seninya sendiri, Si Kurap Curut memegangi pergelangan tangannya yang akan nyaris buntung, erangannya seperti anjing penyakitan, saat sebelum golok yang mungkin memantulkan sinar bulan bakal segera merusak lehernya. Sesuatu yang mengalir dalam tubuh Si Kurap Curut akan kencang menyembur, bahkan mungkin sampai mengenai tubuh pemuda yang puas membantainya, yakni anak dari seorang pemilik kerbau yang gantung diri setelah semua kerbaunya raib dicuri.


Peristiwa itu telah tiga tahun berlalu, dan oleh suatu sebab kini sang anak tahu bahwa Kepala Desa dan Si Kurap Curut yang ternyata bersekongkol dengan para pencuri. Kau tahu, perampokan ternak tak mungkin tak melibatkan orang setempat. Ingatlah hal ini baik-baik bila bapakmu punya kandang ternak di tengah hutan seperti mendiang bapakku yang malang.


Sementara itu, tak diketahui oleh satu penduduk pun kecuali Tuhan dan aku dan Si Kurap Curut sendiri, saat keluarganya akan kelimpungan mencari keberadaan ia, kejadian sesungguhnya yang akan menimpanya tentulah pembunuhan, tak boleh lain. Pembunuhan yang akan terjadi saat ia pulang dari bepergian bakda Isya, atau bila ada kendala cukup serius mungkin agak lebih larut malam lagi dari waktu tersebut, kupastikan empat hari lagi dari sekarang. Kelak, bila saat santai menonton televisi atau menghabiskan hari di media sosial kau mendapat kabar kematian Si Kurap Curut yang pada dasarnya memang layak dibanting ke kerak neraka ini, bisa kaubayangkan kembali seperti apa cara matinya.


Apakah aku akan berhasil? Tentu kau pun tahu, manusia hanya bisa berencana, sedang Tuhan yang menentukan segalanya.


"Heh, selama hidup kamu cuma tahu melamun, ya?" Si Kurap Curut meneriakiku, "kamu gak dengar saya bilang apa? Buatkan kami kopi."


Ya, akan kubuatkan kau kopi, bangsat, dan kupastikan kau tak akan pernah bisa lagi meminumnya.


"Ya, Bosku, tunggu sebentar." Aku berseru dan cekikikan, mereka menatap bingung ke wajahku. Semuanya tampak sangat tolol. Sial, aku tak kuat lagi menahan ledakan tawa.

 


Si Bebal menyelesaikan cerpennya dengan demikian, merasa tak ada lagi yang perlu ia ubah, tambah, atau pangkas. Disulutnya sebatang rokok dan kemudian menyeruput kopi. Saatnya tidur, katanya kepada diri sendiri, sebelum melirik ke satu sudut rumah lalu sadar bahwa ia belum kembali mengasah bahkan sekadar mencuci bersih golok peninggalan mendiang bapaknya.


_________


Penulis


Santama lahir dan besar di Kab. Pandeglang. Pemula kelas berat yang sedang belajar menulis.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com