Cerpen Santama
Apa yang akan kuceritakan tentang tokoh cerita kita
ini? Tak lain kecuali perihal mimpi muluk-muluk dan hal buruk lain yang melekat
dalam dirinya. Kau bisa menyebut tokoh cerita kita ini dengan sebutan apa saja sesenang
hatimu, dan kusarankan temukanlah sebutan yang seburuk-buruknya. Bila perlu dan
tak kelewat berlebihan, galilah dari pelbagai sejarah. Lalu sama-sama kita berdoa
agar dijauhkan dari tulah, serta terhindarkan dari ocehan orang kurang kerjaan
yang menganggap kita layak dilempar tahi kerbau.
Aku lebih senang menyebutnya "Si Bebal"
karena kelewat kesal dan kecewa kepada tokoh cerita kita ini. Kurasa ia tak
akan berkenan terhadap sebutan yang amat mencemooh itu---sudah tentu, memangnya
adakah yang sudi dan rela dicemooh selama hidupnya selain, misalnya, orang
waras yang melucuti celana sendiri dan santai memamerkan rudalnya di khalayak
ramai?
Asal tahu saja, ia seseorang yang, nyaris tak
meragukan, kelewat bebal dan tak becus untuk melakukan sesuatu agar
harapan-harapan tololnya tak hanya membusuk di kepala. Jika kau sanggup tabah
menyia-nyiakan waktumu untuk melihat kebebalannya itu secara langsung dan
tetap bersikeras padahal kau tahu betul bahwa waktu teramat mahal dan berharga,
datanglah ke Kabupaten Pandeglang.
Ia bisa kautemui di rumahnya kapan pun. Di sekitar
rumahnya yang tampak tak terawat dan nyaris ambruk dan di dalamnya ia tinggal
sebatang kara. Jika tak sedang menunggu momen terjatuhnya seekor tupai demi
menguji kebenaran peribahasa, kemungkinan ia sedang menanti seekor ayam
terpeleset tahinya sendiri demi menguji ketepatan simile yang sempat berkelebat
di benaknya, ketika suatu hari ia tengah melamun sambil mengulum biji salak.
Tak ada hal cukup serius yang bisa dilakukannya, setidaknya sampai cerita ini
dibuat.
Di pagi yang masih terasa begitu menggigilkan ini,
dalam kondisi belum tidur semalam suntuk, Si Bebal tengah duduk di kursi bambu
dan di hadapannya, di atas meja reyot yang dari bambu pula, segelas kopi hitam
tanpa gula menguap panas---simile bagi kepalanya semalam. Ia baru saja melewati
saat-saat yang sulit: sedari Subuh dipegangnya ponselnya yang butut, matanya
menatap lekat deretan huruf pada papan ketik aplikasi catatan dalam layar
retak-retak, raut mukanya amat linglung, seperti bocah ingusan yang menemukan
selembar coretan berbahasa Tagalog dan tak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Aku jelas tahu, ada karangan yang harus
diselesaikannya agar bisa ia kirimkan ke suatu situs sastra, dan inilah mimpi
muluk-muluknya: Ia ingin jadi pengarang, tapi terlampau payah untuk menempuh
kenekatan yang teramat ceroboh dan alangkah bagusnya, demi kewarasan dan
ketenteraman batinnya sendiri, disudahi saja itu.
Si Bebal pernah membayangkan andaikata kelihaian
mengarang dapat diraih dengan semedi tiga setengah bulan atau puasa setahun
penuh misalnya, tentu akan ia tempuh amalan itu agar bisa mendapati dirinya
dengan enteng menghasilkan karangan yang memukau melampaui karya Eka Kurniawan
atau Dea Anugrah, tapi bahkan orang-orang yang gemar mengibul sekalipun sejauh
ini belum ada yang berpikir menganjurkan hal demikian.
Ia tahu dan mutlak percaya, bahwa menjadi pengarang
berarti menjadi makhluk yang dikutuk untuk kerap meragu dan bingung, mesti
berlaku agak kejam terhadap pikiran, dan butuh tekad yang kukuh. Lucunya, tak
jarang upayanya dalam merampungkan karangan harus ditempuh dengan cara seorang
penagih utang menyelesaikan urusannya, yakni dengan perasaan berang dan
memaki-maki. Ia juga lebih kerap mendapati dirinya sebagai pecundang yang kalah
oleh kebuntuan, kata kerap membuatnya putus asa.
Dalam keputusasaan yang mengundang iba itu, ia mudah
berserah diri dikuasai kemalasan, atau akan meratap seraya meringkuk murung
dihantam kepusingan yang seperti akan meledakkan kepalanya. Betapa bebalnya. Ia
hampir melakukan itu saat sebelum matahari terbit. Dalam dua jam ia hanya
menghasilkan lima kalimat pendek-pendek, abaikan dahulu mutunya, dan
berkali-kali menghapus kembali bagian-bagian dari apa yang sudah ia ketik susah
payah, lalu menjambak kasar rambut sendiri sebagai tindakan paling sedap yang
alam peruntukan bagi orang-orang putus asa. Beruntung, setelah dua kali
tonjokan ke dinding bilik, sekali mengunyah puntung rokok, mulutnya melontarkan
anjing dan babi masing-masing empat kali, pada akhirnya Si Bebal berhasil
merampungkan cerpen yang ingin ia buat, meski hasilnya sungguh buruk dan
jeleknya minta ampun.
Berikut cerpen yang ia buat, lengkap dengan judulnya.
Akan Ada yang Menyusul Kematian Kepala Desa
Sejak tengah hari tadi, pada hari Jumat yang gerah,
Kepala Desa yang keparat diyakini telah mati, tapi tak seorang pun menemukan
mayat busuknya atau mendapati bukti absah bahwa ia memang telah digelandang
malaikat ke alam kubur, kecuali seragam dinasnya yang koyak moyak dan
berlumuran darah yang ditemukan di sebuah lembah di selatan desa. Dua hari yang
lalu, pagi hari sekali gerombolan pemburu babi menemukannya tergantung di
ranting pohon di tepi sungai.
Siti Markonah, istri muda Kepala Desa yang sungguh
cantik dan kini kemungkinan dirinya akan menjadi janda kian tak terelakkan,
bercerita pada Rabu siang ketika para tetangga berbondong-bondong ke rumah
besarnya selepas mendengar raungannya yang keras melengking di sela ratap
tangisnya yang pedih, bahwa selagi ketiduran saat menonton sinetron kesayangannya
pada malam Senin yang diguyur hujan, ia bermimpi berak di atas sofa.
Ia bilang ia sempat menceritakan mimpi menggelikan
tersebut kepada Kepala Desa, dan bapak dari dua anaknya itu hanya mengatakan
bahwa mimpi adalah mimpi, bunga tidur, tak usah dicemaskan.
"Malahan, Sayang, Aa pernah bermimpi menelan
granat cuma buat meredakan kesemutan," kata Kepala Desa yang diceritakan
kembali oleh istrinya itu, "dan badan Aa sama sekali gak meledak, tapi
kentut gak henti-henti. Gak usah mencemaskan arti mimpi yang konyol."
Siti Markonah juga menceritakan, ketika merasa
batinnya tak kunjung tenteram dan bayang-bayang tentang mimpi itu tak mau enyah
dari pikirannya, kepada Jalal Pengkeh ia akhirnya meminta pencerahan. Dan Jalal
Pengkeh, sesepuh desa yang rabun dan adalah kakeknya sendiri, berterus terang
perihal takwil dari mimpi itu usai didesak olehnya.
"Kakek Siti bilang dengan wajah kelihatan
gelisah," kata Siti Markonah sambil sesekali menyeka ingus dan air mata,
"kalau harusnya Siti gak menceritakan mimpi Siti itu ke siapa pun karena
pantang, apalagi punya niat mengetahui arti mimpinya."
"Tapi Siti minta kakek Siti buat tetap
menjelaskan, karena Siti yakin kalau orang-orang zaman dahulu percaya kalau
mimpi yang begitu jadi pertanda kalau sesuatu yang buruk bakal terjadi."
Suara Siti Markonah makin sengau.
"Dan akhirnya setelah menghela napas berat, kakek
Siti bilang kalau Siti bakal mengalami musibah." Ia akhirnya tak tahan
untuk tak kembali meratap, beberapa tetangga perempuan kembali menenangkan ia,
dan beberapa lelaki desa yang hadir mungkin tengah mati-matian menahan kehendak
untuk memeluknya.
Kini bagi Siti Markonah segalanya telah terang
benderang, tafsir Jalal Pengkeh benar belaka, dan mimpi tersebut rupanya
mengirim isyarat atas nasib buruk suaminya.
Pada hari Rabu itu, dengan mobil-mobil mewahnya,
orang-orang besar dan penting dari Kecamatan berdatangan ke rumah Kepala Desa.
Sebagian dari mereka mungkin terkejut dan merasa benar-benar berduka, sisanya
mungkin biasa saja dan datang sekadar demi kepantasan, siapa tahu. Para kerabat
hadir lebih cepat. Mereka menghubungi polisi dan tim SAR, mengajak warga desa
untuk menyusuri hutan dan lembah di mana ditemukan sepotong seragam dinas yang
berlumuran darah, berharap bisa menemukan jasad Kepala Desa seandainya suami
Siti Markonah itu memang telah tak bernyawa. Kejadian ini juga diberitakan di
koran lokal dan heboh di media sosial.
***
Gelak tawa, dekut burung hantu, lengking jangkrik,
gemeretak kayu yang dilahap api, juga kentungan yang dipukul secara berkala,
memenuhi kelengangan suatu desa yang seperti mati di tengah malam buta ini. Ketika
orang-orang tengah lelap dan tersesat dalam mimpinya masing-masing, beberapa
lelaki di gardu ini bersikeras melawan kantuk, dan menepis dorongan kuat untuk
terbirit-birit pulang menyongsong hangat ranjang, juga barangkali ketiak istri.
Segala omong kosong, bualan hambar, dan ocehan dari
yang paling sinting hingga yang begitu mesum telah terlontar dari moncong
mereka masing-masing. Selain tak diserang rasa pegal pada rahang karena kelewat
sering tertawa, pikiran tumpul mereka tak kunjung pula membentur kebuntuan,
selalu saja ada yang bisa diperbincangkan.
Kini gelak tawa mereda, tak ada lagi yang berkelakar,
sebab yang diocehkan adalah kembali tentang nasib tragis Kepala Desa. Tak ada
kesenduan sama sekali, tapi kali ini suara mereka dibikin rendah, tak lagi
keras melengking-lengking.
"Seseorang pasti sudah membunuhnya," kata
lelaki tambun berwajah tak sedap dipandang dan alangkah bagusnya dibenamkan ke
comberan ini, kita sebut saja ia Si Kurap Curut. "Mungkin yang datang dari
masa lalunya."
Di samping kanan Si Kurap Curut, dalam selubung sarung
lusuh, duduk bersila lelaki kerempeng berkumis lebat, dan kepala lonjongnya
kelewat pelit untuk menumbuhkan rambut barang sehelai pun. Si Botak ini
menanggapi perkataan Si Kurap Curut dengan pertanyaan yang terkesan lugu, kalau
bukan dungu.
"Apa kalian tahu sama siapa saja Pak Kepala Desa
kita punya salah?" ujarnya.
"Terlalu banyak," kata Si Kurap Curut
terang-terangan, "terlalu banyak."
"Gak ada yang bisa bebas dari kesalahan,
mudah-mudahan almarhum Pak Kepala Desa kita diampuni dosa-dosanya," tukas
Si Gondrong, dan mudah-mudahan makhluk buruk rupa yang rambutnya niscaya penuh
kutu ini dilanda selesma sekurang-kurangnya selama tiga pekan! Enteng sekali
moncongnya itu bicara.
"Mungkin maksud dia bukan kesalahan yang bikin
orang cuma mau meludahi wajah almarhum," celetuk seorang lagi yang
mulutnya niscaya membuatmu akan teringat moncong tikus, "tapi lebih dari
itu, kayak kesalahan yang susah dimaafkan dan akhirnya memunculkan
dendam."
Si Botak dan Si Gondrong dan Si Moncong Tikus serentak
mengangguk-angguk, sementara Si Kurap Curut tampak termenung. Asal tahu saja,
di masa lalu, antara Kepala Desa dengan ia ibarat seorang pemburu dan seekor
anjingnya, dan andaikata anjing itu beroleh kemampuan berbicara, sampai mati kena
racun atau kena tembak pun ia tak akan mengungkap aib umpama tuannya pernah
merampok singkong milik petani.
Maka anjing ini, atau Si Kurap Curut, pun tak
mengungkap kebusukan Kepala Desa, ia hanya mengatakan, "Saya gak tahu.
Kalau benar begitu, pasti masalahnya cukup serius."
"Lebih parahnya," sambung Si Botak,
"pembunuhnya sama sekali gak membiarkan Pak Kepala Desa dikubur secara
layak oleh keluarganya."
"Bahkan keluarga almarhum sudah mendatangkan
seorang dukun buat mencarinya, dan bayangkan," ujar Si Gondrong dengan
mata membelalak, "kita dalam dua hari mencari tetap saja gak ada
hasil!" Si Gondrong lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, pasti kutu-kutu
di rambutnya berjatuhan.
"Pembunuhnya pasti sakti," timpal Si Moncong
Tikus setelah menyulut rokok, "bagaimana pun juga Kepala Desa kita punya
pengalaman luntang-lantung jadi jawara di kota, akrab sama kekerasan, pasti gak
bakal gampang melumpuhkannya."
Si Moncong Tikus benar, ilmu silat Kepala Desa
terhitung tinggi, meski tubuhnya ternyata kosong belaka, tak disokong oleh
azimat apa pun yang sebetulnya mengherankan, sehingga setelah letih melakukan
perlawanan ia pada akhirnya pasrah memperkenankan sebilah golok melakukan apa
pun kepada tubuhnya, sebelum nyawanya benar-benar melayang malam itu.
Keheningan sejenak melingkupi gardu ini, mungkin
pikiran mereka sama-sama tengah mencari-cari ingatan tentang segala kenangan
mereka bersama Kepala Desa, juga mengulik kesalahan apa saja yang telah ia
perbuat dan kini mesti mereka maafkan sepenuhnya. Meski yang lebih banyak
muncul di ingatan mungkin adalah tabiat-tabiat buruk almarhum, bagaimana pun
keadaan memaksa mereka untuk besar hati.
"Heh, daripada diam terus dari tadi," sergah
Si Kurap Curut, "mending panaskan air."
Begitulah, bajingan satu ini amat gemar menyuruh-nyuruh
seolah-olah ia dilahirkan hanya untuk berbuat seperti itu, satu dari sekian
tabiat buruknya. Ia termasuk manusia menyebalkan yang kenapa tak tewas sejak
saat disunat. Ia pantasnya segera lenyap dari tiap mata orang secepat mungkin.
Kabar baiknya, pemilik tempat penggilingan padi ini memang akan segera menyusul
kematian Kepala Desa.
***
Orang-orang bakal kembali dibuat terheran-heran, desa
ini akan kehilangan satu penduduknya lagi. Tak lama lagi, dalam suatu
perjalanan bersama motor bebeknya sepulang dari membeli pakan perkutut
peliharaan, atau apa pun urusannya saat itu, Si Kurap Curut mesti segera mati,
meregang nyawa dengan semenyakitkan mungkin, dalam cara yang persis menimpa
Kepala Desa, setimpal dengan kebengisan mereka di masa lalu.
Di atas motor bebek bersahaja yang penuh karat dan
terbatuk-batuk oleh ketuaan yang menggerogoti mesinnya, saat melaju di suatu
jalan sepi, Si Kurap Curut akan memekik dan terkencing-kencing, sebab dari arah
samping tiba-tiba muncul seseorang yang akan berlari memburunya dengan golok.
Seketika tua bangka ini bakal terperanjat ketakutan. Dalam gerakan yang gesit
dan setengah terbang, seseorang yang hendak mencelakakannya akan mengayunkan
golok ke pergelangan tangan kanan Si Kurap Curut.
Niscaya raung kesakitan akan melengking memecah
kebisuan malam yang lengang. Bisa dibayangkan, keseimbangan berkendara Si Kurap
Curut akan oleng dan, karena tak kuat menahan nyeri, akhirnya babi ternak ini
bakal terpelanting bersama motor bebeknya. Ia kemudian akan merangkak-rangkak
menyedihkan.
Nyaris tak akan ada perlawanan yang berarti dari Si
Kurap Curut saat apabila ia bisa bangkit sempoyongan, selain mungkin hanya
berusaha melayangkan tinju kirinya yang sia-sia. Selepas itu yang sanggup
dilakukannya hanya berlutut dan merengek-rengek meminta belas kasihan, tapi
tentu saja tak ada ampun. Sekali tendangan keras ke perut niscaya membuat ia
kembali terkapar dan terbatuk-batuk.
Si Pembunuh yang akan menutupi wajahnya dengan topeng
yang lazim dikenakan para garong akan buru-buru menyudahi jerit campur ratapan
Si Kurap Curut, mengakhiri hidup bajingan bau tanah ini dengan cara yang akan
menjadi mimpi buruk bagi siapa pun bila menyaksikannya.
Di tanah yang barangkali akan basah oleh air seninya
sendiri, Si Kurap Curut memegangi pergelangan tangannya yang akan nyaris
buntung, erangannya seperti anjing penyakitan, saat sebelum golok yang mungkin
memantulkan sinar bulan bakal segera merusak lehernya. Sesuatu yang mengalir
dalam tubuh Si Kurap Curut akan kencang menyembur, bahkan mungkin sampai
mengenai tubuh pemuda yang puas membantainya, yakni anak dari seorang pemilik
kerbau yang gantung diri setelah semua kerbaunya raib dicuri.
Peristiwa itu telah tiga tahun berlalu, dan oleh suatu
sebab kini sang anak tahu bahwa Kepala Desa dan Si Kurap Curut yang ternyata
bersekongkol dengan para pencuri. Kau tahu, perampokan ternak tak mungkin tak
melibatkan orang setempat. Ingatlah hal ini baik-baik bila bapakmu punya
kandang ternak di tengah hutan seperti mendiang bapakku yang malang.
Sementara itu, tak diketahui oleh satu penduduk pun
kecuali Tuhan dan aku dan Si Kurap Curut sendiri, saat keluarganya akan
kelimpungan mencari keberadaan ia, kejadian sesungguhnya yang akan menimpanya
tentulah pembunuhan, tak boleh lain. Pembunuhan yang akan terjadi saat ia
pulang dari bepergian bakda Isya, atau bila ada kendala cukup serius mungkin
agak lebih larut malam lagi dari waktu tersebut, kupastikan empat hari lagi
dari sekarang. Kelak, bila saat santai menonton televisi atau menghabiskan hari
di media sosial kau mendapat kabar kematian Si Kurap Curut yang pada dasarnya
memang layak dibanting ke kerak neraka ini, bisa kaubayangkan kembali seperti
apa cara matinya.
Apakah aku akan berhasil? Tentu kau pun tahu, manusia
hanya bisa berencana, sedang Tuhan yang menentukan segalanya.
"Heh, selama hidup kamu cuma tahu melamun,
ya?" Si Kurap Curut meneriakiku, "kamu gak dengar saya bilang apa?
Buatkan kami kopi."
Ya, akan kubuatkan kau kopi, bangsat, dan kupastikan
kau tak akan pernah bisa lagi meminumnya.
"Ya, Bosku, tunggu sebentar." Aku berseru
dan cekikikan, mereka menatap bingung ke wajahku. Semuanya tampak sangat tolol.
Sial, aku tak kuat lagi menahan ledakan tawa.
Si Bebal menyelesaikan cerpennya dengan demikian,
merasa tak ada lagi yang perlu ia ubah, tambah, atau pangkas. Disulutnya
sebatang rokok dan kemudian menyeruput kopi. Saatnya tidur, katanya kepada diri
sendiri, sebelum melirik ke satu sudut rumah lalu sadar bahwa ia belum kembali
mengasah bahkan sekadar mencuci bersih golok peninggalan mendiang bapaknya.
_________
Penulis
Santama lahir dan besar di Kab. Pandeglang. Pemula
kelas berat yang sedang belajar menulis.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com