Friday, June 2, 2023

Puisi-Puisi Anindita Buyung

Puisi Anindita Buyung




Musim


Musim apa hari ini?

Seorang pemuda berjalan dari entah

mendekatkan muka pada kuali yang kosong dan lumrah.

Lengangnya jalur-jalur pedestrian

hanya dihinggapi debu sepanjang pandang.

Mata-mata yang nelangsa.

Di sana ia temui popok dan susu anaknya

serta beberapa harapan guna melunasi gaya.

Di bawah sayapnya terbingkis mantra:

rapi juga manis, layaknya potret para artis.

Sementara beberapa pasang mata

sembunyi di rerumputan; merekam peristiwa-peristiwa.

Apa kabar hari ini?

Seorang lelaki baya meratapi nasib

seluruh barang dagangannya raib

bersulih segepok rupiah yang lebih tebal dari biasa.

Sebab terkadang peluh dan kantung celana

hanya menjelma keluh di raut wajahnya.

Seorang pemuda datang tebar pesona.

Dengan tabir seumpama para malaikat,

dibacakanlah mantra pengenyang perut istri dan anaknya.

Di rumah, sembari merapalkan munajat,

ia tak pernah tahu bahwa esok akan diabai masa,

dan waktu yang dicatat lesap diburai udara.


(Magelang, 2023)



Yang Mengabaikan Waktu


Yang mengabaikan waktu

adalah kopi yang lupa kau seduh.

Aroma yang menyelusup;

pintu yang masih tertutup.

Sudikah kau buka,

sekadar duduk dan berbagi aroma?

Kepada diksi yang membirai mata,

ternyata kata-kata amat lantang.

Bahkan, teramat kencang di telinga.

Henti di sana; urung ke jiwa.

Dikau dan debat semantik di ujung hari,

memantik makna yang terperi arti.

Barangkali nyaris mustahil

membuka hatimu dengan kata-kata.

Hati terasuk oleh rasa,

sedang kata tak jelas inderanya.

Buatmu menanti terlalu lama

adalah kebodohanku selanjutnya.

Yang melalaikan waktu

adalah senja yang lupa kau bingkai.

Nuansa yang menghampar;

jendela yang berpendar

Maukah kau nikmati,

sekadar rebah dan berbagi memori?


(Magelang, 2023)



Di Lorong-Lorong Gelap Kutemui Kau Kembali


Di lorong-lorong kutemui jalan yang gelap.

Lampu-lampu tak pernah kunyalakan.

Begitulah, supaya aku tak pernah lagi menempuhnya.

Karena di sana, di balik kegelapan

banyak pasang mata yang menyayangkan

langkah kakiku yang kembali datang.

Di balik tudung saji pernah bersembunyi kemauan:

rencana yang basi tak sempat dihangatkan.

Sementara meja mulai keropos digigit usia,

meski perbincangan masih terlampau belia.

Pada sepiring nasi dan sesuap harapan.

Di sana pernah ada perbincangan tentang mimpi.

Yang pernah membentur keras hati Bapak.

Yang pernah meleleh basah di pipi Mamak.

Yang bergeming, lalu menepi dari pulang.

Jauh pergi, berkeras merawat mimpi.


(Magelang, 2023)



Tempat Bersemayamnya Ingatan


"Pulanglah dengan membawa cerita

kepada adik-adik serta Bapak-Mamak

tentang jalan menuju pulang

dan kisah-kisah di tualang"

Di belakang sini kepingan kenangan menumpuk.

Kupungut ketika cuaca sedang buruk.

Hanya ada mimpi yang terhenti

dan kehendak Tuhan yang tak menawan.

Sisa-sisa residu nasib dan ampas kopi

seakan terbelenggu jadi tawanan.

Manusia adalah tempat bersemayamnya ingatan

yang urung pulang ke langit

menemui burung-burung yang memeluk luka

di bawah sayapnya.

Bagaimana aku bisa sampai

sementara perjalanan semakin jauh

dan kenangan hidup semakin utuh?


(Magelang, 2023)


________


Penulis 


Anindita Buyung, lahir di Banyumas tinggal di Magelang. Menulis puisi dan cerpen di sela kegiatannya sebagai pengajar di sebuah sekolah mengengah atas. Beberapa cerpen dan puisinya pernah dimuat di beberapa media cetak, daring, serta antologi bersama. Penulis bisa ditemui melalui akun instagram @aninditabuy dan surel aninditabuyung@gmail.com.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com