Friday, June 2, 2023

Cerpen Santama | Pesan Celaka

Cerpen Santama



Di pantai, sebelum mendapat pesan celaka yang dikirim seseorang yang nomornya tak ia simpan, tokoh kita tengah duduk santai bersama teman-teman lelakinya, tak pernah bisa menduga bahwa di hari itu ia akan mengalami peristiwa luar biasa yang mengguncang jiwanya.

 

Minggu sore itu adalah kebersamaan penghabisan bagi mereka. Hanya saja, tentu, tak seorang pun dapat menebak atau menangkap firasat. Tokoh kita dan teman-temannya asyik bernyanyi diiringi petikan gitar bermerek Yamaha sambil mengagumi kepak burung camar, meski agak kurang konsentrasi menyanyikan lagu-lagu indie karena kerap saling tunjuk awan, sibuk menebak bentuk apa yang kiranya disusun awan dalam semburat merah itu di cakrawala.

 

Angin berbau ganggang bercampur asap rokok Surya16 selalu berubah agak harum manakala membentur tubuh dan mengibaskan rambut hitam panjang tokoh kita. Sesekali ia mencuri pandang ke arah satu lelaki di antara ketiga temannya itu. Lelaki yang mengenakan kaus bergambar Soe Hok Gie itu, dengan pesonanya, telah membuat tokoh kita diam-diam memendam cinta, entah sejak kapan rasa itu tumbuh liar di hatinya, tokoh kita tak tahu pasti.

 

Seperti seseorang yang sadar dirinya dikuntit, lelaki yang tengah memetik gitar itu lalu tiba-tiba tersenyum saat tokoh kita telat mengalihkan pandang darinya, suatu senyuman sebagai bagian dari sekian pesona lelaki itu yang membuat ombak berdebur seakan-akan seirama dengan dada tokoh kita yang mulai berdebar (penyebab pertama dari peristiwa). Seperti seorang penguntit yang ketahuan, perasaan tokoh kita benar-benar tak karuan, pipinya lantas semerah langit senja, senja terakhir yang bisa ia lihat, potret, dan unggah ke media sosialnya.

 

Merasa tak nyaman (penyebab kedua dari peristiwa), kegugupan itu hendak dilarikannya dengan berbohong ingin mencari toilet, dan toilet di pantai itu berada cukup jauh dari tempat mereka duduk tanpa alas di atas pasir putih. Tokoh kita saat itu benar-benar mencari lalu memasuki toilet padahal tak hendak melakukan apa pun di sana, kecuali hanya demi teman-temannya tak melihatnya salah tingkah lalu menaruh curiga yang akan membuatnya merasa malu. Percayalah, salah tingkah adalah gejala spontan yang runyam, mendekatkan penderitanya ke tindakan-tindakan menggelikan, bahkan kadang jauh lebih buruk dari itu. Kalau saja teman-temannya saat itu tahu bahwa mereka akan kehilangan ia, sudah tentu akan mereka cegah kepergiannya itu, dan seandainya tokoh kita pun tahu bahwa ketidaknyamanannya itu justru mengundang bencana, tentu ia akan lebih memilih menanggung malu, betapa pun menyiksanya.

 

Di dalam toilet, selepas bingung hendak melakukan apa dan pada akhirnya berpikir bahwa ia harus membasuh wajah berharap semu di pipinya itu musnah, entah kenapa tokoh kita merasa ingin memeriksa ponselnya. Selanjutnya ia melihat pesan dari seseorang yang selalu tak ia balas pesan-pesannya (penyebab ketiga dari peristiwa, tapi sesungguhnya yang paling pokok). Itulah pesan celakanya.

 

Seakan-akan kejatuhan rasa penasaran dari langit di balik asbes toilet yang berlubang, saat itu tokoh kita tergerak ingin membuka dan membaca apa kiranya isi pesan yang dikirim empat jam lalu itu, dan tak ada yang bisa menghentikan tokoh kita untuk tak membacanya. Dibukanya pesan terbaru dari nomor yang tak sudi disimpannya itu.

 

Selepas melihat isi pesan itu tokoh kita mengernyitkan dahi dan sebentar memaki-maki, ternyata isinya hanya sederet kalimat atau entah apa dengan kosakata yang entah dari bahasa mana yang sulit diartikan dan bunyinya begitu asing. (Tanpa bermaksud main-main, isi pesannya sengaja tak ditampilkan demi keselamatan para pembaca).

 

Akan tetapi, celakanya, tokoh kita coba melafalkan pesan aneh itu, dan serampung membacanya, yang nanti akan membuatnya sangat menyesal. Tak ada yang dapat menduga sebelumnya, sungguh tak ada yang dapat menduga, ia tak akan pernah dapat lagi menjumpai teman-temannya di pantai itu, juga di mana pun.

 

Teman-temannya lama menunggu, tetapi tokoh kita tak juga kembali sehingga mereka mulai kelimpungan mencari-cari. Mereka tak akan pernah bisa tahu, bahwa sehabis membaca pesan aneh itu tokoh kita tak lagi berada di toilet, bahkan tak lagi berada di pantai, dinding toilet itu (percaya atau tidak) tiba-tiba mengangakan sebuah lubang gelap-gaib yang menarik-narik, menyerap suara-suara, menghisap penuh kekuatan, membuat tubuh tokoh kita dan segala yang ada di toilet sepenuhnya terseret pusarannya.

 

***

 

Tokoh kita perlahan terjaga dan membuka mata, lalu benar-benar terperanjat menyadari dirinya sedang duduk memeluk lutut di ruang tengah entah rumah siapa, ia tak tahu. Selain sekujur tubuh tokoh kita, lantai ruang tengah itu juga basah oleh air yang tumpah, dan di sampingnya ada sebuah gayung berbentuk love dan daun-daun kering. Bagaimana bisa aku tiba-tiba berada di tempat asing dalam keadaan kuyup seperti ini. Tokoh kita akhirnya teringat kepada lubang gelap-gaib yang tiba-tiba muncul di dinding toilet pantai yang menghisap tubuh dan gayung dan daun-daun kering di sekitarnya, termasuk air yang tumpah membikin lantai basah.

 

Tokoh kita meragukan peristiwa aneh yang dialaminya dan bersikeras membuktikan bahwa segalanya tak nyata, tapi gagal tentu saja, lalu jadi panik membayangkan sesuatu yang buruk dan jahat. Ia menghadap tepat ke utara, saat sesuatu tak kasatmata memalingkan secara kasar kepalanya ke arah timur, hingga pada jarak kira-kira sepuluh jengkal kera dewasa tokoh kita dapat melihat: sebuah kamar milik seseorang yang mengiriminya pesan aneh itu, hanya saja tokoh kita tak tahu ia siapa.

 

Di malam-malamnya yang sunyi dan muram, sehabis dibikin patah hati berkali-kali, seseorang itu mengenyahkan kepedihan dengan coba memahami segala, membaca apa saja, baik yang gelap-terang, mulia-terkutuk, baik-buruk, segala yang mistis dan berangsur-angsur dilupakan, naskah-naskah kuno yang ditemukannya di almari tua milik sang kakek yang telah tiada.

 

Seseorang itu kerap terlempar ke absurd imajinasi tak bertepi, terdampar ke suatu perasaan yang entah, kemudian seringkali tersungkur berakhir pada pertanyaan berulang tentang hidup, nasib, dan takdir: tiga serangkai yang menurutnya teramat keparat dan sungguh patut dikutuk itu.

 

Menit berselang, energi aneh sepenuhnya memelintir tubuh tokoh kita, disertai sebuah sentakan yang membuatnya seketika dibikin bangkit dari duduk untuk kemudian diseret masuk. Astaga, ada apa denganku?  Tokoh kita menangis dan makin merasa kacau. Mematung di hadapan muka pintu, tokoh kita berusaha menjerit, sadar bahwa jiwa dan raga sedang dikendalikan oleh semacam kekuatan beraura kematian, tapi mulutnya tak mengeluarkan suara sama sekali. Kengerian perlahan merundungnya. Bibir tokoh kita sebisanya melafalkan ayat kursi yang tak terlalu dihafalnya itu, sementara isi kepala gaduh bertanya-tanya. Kumohon, siapa pun, berhenti melakukan ini.

 

Tatkala mulut mengatup dan teriakan ketakutan tanpa suara itu sebentar mereda, tiba-tiba tanpa diniatkannya tangan halusnya mendorong pintu tanpa kenop yang terdapat poster Joker tengah menyeringai, lalu kaki mulus tokoh kita melangkah masuk meski tak digerakkannya sama sekali, kendati ditahannya agar berhenti, tetapi sia-sia belaka.

 

Setelahnya, dalam ruang temaram oleh cahaya lampu bohlam, tokoh kita melihat ada tirai semerah darah, dinding yang pucat tanpa cat, kasur telanjang tanpa ranjang. Di luar kehendaknya sendiri, pikiran tokoh kita membayangkan Iqbal Ramadhan seandainya berbaring di kasur butut itu dengan ubun-ubun mengarah selatan, dapat dipastikan bahwa letak jendela berada tepat satu uluran tangan di atas sebelah kanan dada Iqbal Ramadhan.

 

Tak tokoh kita lihat benda lain semisal ilustrasi Jack The Ripper sang pembunuh berantai dalam bingkai, majalah yang niscaya membikin bocah SMP sibuk membetulkan kancut apabila melihat gambar-gambar di dalamnya, televisi jadul kembung bikinan orang-orang Asia Timur, patung tujuh kurcaci sedang murung, toples berisi air keruh beraroma anyir ikan, gitar yang senarnya putus dua, remahan rengginang bekas tikus kotor rakus seperti koruptor, bercak tahi cecak, buku-buku penuh debu atau apa pun itu, selain sebuah asbak kayu berbentuk lutung yang menduduki selembar kertas.

 

Tokoh kita memang sudah tak memiliki kuasa atas raganya, sehingga kembali kaki bersepatu itu melangkah sendiri mendekati selembar kertas tersebut, kemudian gemetar tangan kanannya meraih paksa. Sungguh ironi, sekuat apa pun tokoh kita memejamkannya, nyatanya mata sembapnya itu malah memelotot dan, perlahan tanpa ingin, tokoh kita mulai membaca tulisan di kertas itu.

 

[Terima kasih, ya, atas pengabaiannya. Biar tidak mati penasaran, akan kuberi tahu, bahwa pesan yang pasti cuma kamu baca seperti biasanya, yang tak kamu pahami artinya, tapi pasti kamu lafalkan itu, adalah penyebab kamu bisa terseret ke sini dan mengalami semua ini. Siap-siap, ya, sebentar lagi kejutan akan datang!]

 

Seperti tahu bahwa tokoh kita sudah membacanya, kertas itu tiba-tiba terbakar sehingga dilepas oleh tokoh kita, lantas melayang jatuh ke lantai, hangus dan mengasap hitam. Ketakutan tokoh kita makin menjadi-jadi, saat daun jendela di balik tirai merah itu berdentam-dentam, lalu angin menyebabkan tirai itu sontak tersibak dan lampu bohlam pun padam!


________


Penulis

Santama lahir dan besar di Kab. Pandeglang. Pemula kelas berat yang sedang belajar menulis.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com