Saturday, November 11, 2023

Cerpen Fatah Malangare | Panggil Saja Sugeng

Cerpen oleh Fatah Malangare



Tidak ada yang tidak mengenal Sugeng. Murid paling bodoh yang namanya dikenal seluruh desa. Usianya yang setua bapak-bapak, wajahnya yang lugu dan lusuh membuat semua orang desa Malengen cepat mengingatnya. 


Sugeng bagi masyarakat Malengen adalah  kebodohan. Nyaris setiap ibu-ibu memberikan nasihat kepada anaknya mengganti kata bodoh dengan Sugeng. Bahkan bapak-bapak kadang menggunakan nama Sugeng untuk mengejek temannya yang bodoh.


”Dasar Sugeng!”  


Sugeng seakan kebodohan yang disulap berbentuk manusia. Wajahnya yang lusuh dan sorot matanya yang menampung kesedihan tak jarang mendapat tatapan iba. Rasa iba pada Sugeng kadang berganti rasa jijik karena tingkah lakunya. 


Tidak jarang orang iba pada nasib Sugeng bercampur rasa benci dengan kebodohannya yang kelewat sangat. Seakan-akan Sugeng menampung semua jenis kebodohan di dunia.


Setiap waktu istirahat sekolah, nama Sugeng selalu menjadi topik hangat di ruang guru.


“Bu, kepalaku sungguh ingin pecah saat ngajar kelas enam,” ucap Bu Sri sambil membolak-balik buku tugas murid-muridnya.


“Ya, sama. Satu jam sebelum masuk kelas, hati saya sudah kalut kalau mau ngajar kelas enam,” ujar Bu Ariani air muka yang tampak menyimpan beban.


“Rata-rata muridnya cerdas si Bu, terutama anak Bu Risma. Maklum dia kan lahir dari keluarga berpendidikan,” perkataan Bu Sri terhenti oleh salam kepala sekolah yang masuk ruangan. Tak lama kemudian ia melanjutkan, “tapi Sugeng itu lho, Bu..! sungguh bikin kepala saya ingin pecah.” 


“Kemarin saja saya mengulang hampir seribu kali hanya untuk mengajarinya cara menulis huruf A yang benar,” suara Bu Arini agak kesal.


“Tadi saya mengenalkan gambar Singa saja sampai berkali-kali juga mengulangnya, Bu.”


“Kenapa juga kepala sekolah menaikkan dia ke kelas enam?”


“Mungkin kasihan kali, Bu,” kata Bu Sri dengan senyum kecut. 


Percakapan mereka terhenti oleh bel tanda waktu istirahat habis. Tanpa aba-aba mereka berdiri menuju kelas masing-masing.


***


Malam-malam Mak Sukina adalah malam kesedihan. Hidup miskin dan anak yang bodoh membuatnya tidak pernah merasa bahagia. Suara binatang malam di pematang sawah, bulan yang tergantung sendu di atas halaman, seakan menjadi hiasan kesedihan jiwa Mak Sukina.


Setiap malam Mak Sukina selalu berdoa. Baginya kebodohan Sugeng bukanlah sesuatu yang membuatnya malu. Ia tidak terlalu ambil pusing dengan cerita kobodohan anaknya di kelas. Yang membuat hatinya bersedih adalah cemoohan orang-orang pada anaknya.


“Semoga kamu kuat menanggung beban ini, Sugeng,” batin Mak Sukina dengan beban kesedihan yang sangat.


“Ibu …,” suara Sugeng memecah keheningan rumah. Ia berlari dengan kedua tangan terentang serupa burung. Dengan tubuh meliuk ke kanan dan ke kiri Sugeng berlari menuju Mak Sukina yang duduk melamun di kursi depan rumah. 


Melihat ulah Sugeng Mak Sukina mengerti, ia rentangkan kedua tangan, siap merangkul Sugeng. Tak lama kemudian adegan pelukan antara ibu dan anak menjadi hiasan kesunyian malam di rumah itu.


Tidak ada kata-kata yang mampu menjelaskan adegan Mak Sukina berpelukan dengan Sugeng di malam itu. Dengan lanskap rumah yang atapnya dari rumbia dan dindingnya dari anyaman bambu menjadi kebahagiaan  dan  kesedihan bersatu. Pemandangan yang bila dilukis di atas kanvas akan menjadi lukisan terpilu di dunia.


“Nak, ingat kata Ibu, ya ...,” suara Mak Sukina pelan, nyaris serupa rintihan.


Sugeng mengamininya dengan anggukan di dalam pelukan Mak Sakina.


“Kamu tidak masalah bodoh sebodoh-bodohnya. Tapi ingat, tetap hormati gurumu dan jangan sekali pun menyimpan benci padanya.”


Sugeng pun mengangguk berkali-kali. Meski tak satu pun perkataan ibunya itu ia mengerti.


“Saya ngaji dulu ya, Mak,” potong Sugeng seperti rengekan anak kecil.


Mak Sukina menyodorkan tangannya. Sugeng pun menciumnya dengan khidmat. Di tatapnya kepergian Sugeng dengan derai air mata yang tak henti membahasi pipi. Jelas terbayang dalam benaknya, beban Sugeng menanggung cemoohan teman-temannya. Selentingan orang-orang di jalan, pasar dan pelabuhan jelas terekam dalam kepala Mak Sukina.


“Semoga kau kuat menanggung beban hidup ini Sugeng,” batin Mak Sukina, bergema dalam jiwanya yang sepi sedih, serupa tangis gua paling purba di dunia. 


***


Wajah marah bercampur bosan terpancar pada setiap orang yang melingkar. Anak-anak yang usianya masih enam sampai tujuh tahun tampak sangat tidak bisa tenang. Dicuilnya teman yang duduk berdekatan. Saling lempar kertas dan sajadah pun tidak bisa dihindari. Satu-satunya hal yang membuat mereka tidak saling kejar adalah Ki Mantri. 


Sudah lebih tiga jam anak-anak itu menunggu. Lelaki setengah baya, yang sebagian anak-anak melihat usianya setua bapak mereka, menjadi pusat kebosanan di tengah lingkaran. Ia duduk nyaris beradu lutut dengan Ki Mantri. Berkali-kali, berulang-ulang setiap malam Ki Mantri menjelaskan tentang bentuk huruf alif. 


Saking seringnya, hampir semua anak yang mengaji di musala Ki Mantri  hafal dengan intonasi, gerak tangan, dan cara Ki Mantri menjelaskan. 


“Alif itu,” kata Ki Mantri yang kemudian diikuti oleh semua anak yang melingkar di sekitarannya, “bentunya tegak, serupa tiang listrik. Yang bila atasnya ada kabel yang panjang dibaca ‘a’ jika di bawah di baca ‘bi’, ingat,” tangan anak-anak tanpa aba-aba menunjuk pada lelaki setengah baya di tengah lingkaran.


“Ingat, Sugeng ...!” kata Ki Mantri dengan suara santun.


Sugeng mengangguk. Azan isya pun berkumandang. Anak-anak yang sedari tadi duduk dengan kebosanan yang sangat lari berhamburan. Dengan teriakan dan wajah gembira mereka saling kejar sekan hendak membayar kebosanannya yang ditampung dari magrib.


Di tengah hiruk-pikut anak-anak saling kejar, Sugeng masih enggan beranjak dari duduknya. Ia menunduk dalam-dalam. Matanya tak sekalipun berani menatap Ki Mantri. Ki Mantri mengelus punggung Sugeng. Dari Matanya jelas kasih sayang terpancar sangat dalam.


“Sugeng, tidak ada kebodohan di dunia ini. Yang ada hanya orang yang malas belajar. Meski usiamu sudah tua, kamu jangan malu, karena tugas mencari ilmu adalah sejak lahir hingga kita dikubur di liang lahat,” kata Ki Mantri sambil terus mengelus pundak Sugeng.


Dengan wajah tertunduk Sugeng mengangguk. Meski jelas dari rona wajahnya ia berusaha mengerti perkataan Ki Mantri.  


***


Pagi masih utuh ketika guru wara-wiri di halaman sekolah. Wajah gelisah dan tegang terpacak pada setiap orang. Sudah tinggal sepuluh menit lagi upacara akan dimulai. Tapi bendera dan petugas upacara belum juga datang. Mereka sangat khawatir upacara pagi ini tidak maksimal. Bukan karena ini upacara 17 Agustus, tapi upacara kali ini akan dihadiri langsung oleh bupati dari kota.


Momen langkah Desa Malengen kehadiran bupati dari kota. Kepala sekolah sudah jauh hari menyiapkan semua rangkaian upacara. Mereka tidak mau mengecewakan bupati. Mereka sangat ingin upacara 17 Agustus tahun ini berkesan di hati bupati. 


Halaman yang sudah bersih masih disuruh bersihkan kembali oleh kepala sekolah. Tanaman yang rapi disuruh dilihat-lihat lagi.  Kelas, jendela dan semua bangunan sekolah disuruh bersihkan lagi.


Para guru berdiri terpaku dengan wajah tegang menunggu bendera dan petugas upacara. Angin pagi itu terasa lebih dingin dari hari biasanya. Awan yang biasa cerah tampak agak kelabu. Kecamuk hati semua orang di sekolah pagi itu sungguh tidak tentu. Ketakutan akan kegagalan upacara menyelimuti hati semua orang.


Tak lama berselang, segerombolan anak-anak berlari dari pintu gerbang sekolah. Dua anak yang paling depan tampak berlari sambil mengibarkan bendera. Kepala sekolah yang sedari tadi berwajah muram tiba-tiba terbit senyum di wajahnya. Alangkah bahagianya ia, karena yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Kepala sekolah seakan ketiban emas segunung.


Menyusul semua murid sekolah di belakang anak-anak petugas upacara. Mereka pun langsung disuruh menempati posisi yang sudah diatur guru. Para anak-anak yang punya tugas mengibarkan bendera, MC, pembaca proklamasi ditempatkan di depan, sedangkan anak-anak yang lain di suruh berbaris sekitar tiga meter dari guru dan petugas upacara. 


Ketika matahari mulai naik sepenggalan upacara pun di mulai. Tak lama kemudian bupati datang. Seremoni upacara terhenti sebentar. Mereka dengan wajah semringah menyambut bupati dengan sorak dan tangan melambai-lambaikan bendera merah putih kecil. Saat suasana anteng kembali, upacara kembali dilanjutkan.


Matahari kian menyengat kulit saat bupati sambutan. Keringat dan dengungan suara bosan menghiasi tiap anak-anak. Setelah bupati membuka dengan salam. Terdengar kernyit gerbang sekolah terbuka. Sontak satpam melongoh diikuti semua orang yang hadir pada upacara pagi itu.


Lelaki setengah baya, dengan napas ngos-ngosan berdiri sambil memegang perutnya. Di keningnya keringat berlarian. Kepala sekolah menatapnya dengan geram. Anak-anak serempak melemparnya dengan tawa. Lelaki setengah baya itu menyambutnya dengan wajah polos tanpa dosa. 


“Sugeng…,” serempat anak-anak itu memanggilnya sambil diselingi tawa.


“Maa … af, ter ... ter ... lambat,” jawab Sugeng terbata-bata.


Bupati tersenyum kecut. Tidak ada yang bisa menebak suasana hati bupati saat itu. Wajahnya masih terlihat anteng, dengan gestur tubuh yang masih sama dengan saat ia sampai di tempat itu. 


Kepala sekolah tampak geram sangat. Giginya gemeletupan dengan kedua tangan terkepal. Kemarahannya ditahan oleh Bu Sri yang berada di sampingnya,”Pak tenang. Nggak enak ada bupati.”


Kepala sekolah membalasnya dengan anggukan kecil.


“Nama kamu siapa?” tanya bupati dengan suara yang menggema lewat pengeras suara. Membuat hati semua anak-anak ciut.


“Sugeng ...,” jawab anak-anak yang hadir saat itu dengan tawa cengengesan.


“Benar?” suara Pak Bupati minta kejelasan.


“Iya, Pak, panggil saya Sugeng,” suara Sugeng serupa rengekan anak kecil.


Kemudian kepala sekolah memanggilnya ke depan.

“Sugeng, kamu tahu siapa yang disebut pahlawan?” tanya Pak Bupati sambil mengelus pundak Sugeng berkeringat.


Sugeng mengangguk berkali-kali dengan senyum dan wajah polos yang terus terpancar di wajahnya.


“Oke..!” kata Bupati, ”anak-anak sebelum saya bertanya pada Sugeng saya mau bertanya kepada kalian dulu. Ayo siapa yang disebut pahlawan ...?”


Mereka menyebutkan sederat nama tokoh pahlawan besar: Soekarno, Tuan Iman Bonjol, Pangeran Diponegoro dan Raden Ajeng Kartini. Bupati pun menanggapinya dengan dua jempol.


“Sekarang saya tanya Sugeng. Siapa itu pahlawan? Jangan menyebutkan nama yang sudah disebut teman-temanmu, ya ..!” kata bupati sambil tersenyum.


Tanpa berpikir panjang Sugeng menjawab,”Ki Mantri ….”


Bupati sontak mengernyitkan dahi. Ia menatap guru seakan minta penjelasan. Guru hanya mengangguk. Ketika bupati menatap anak-anak, mereka hanya meresponsnya dengan tawa. Makin bingung bupati.


“Siapa itu,” tanya Pak Bupati minta penjelasan.


Serempak anak-anak menjawab, “guru ngaji kami, Pak.”

 

Yogyakarta, 2022

  

________

Penulis


Khairul Fatah, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Jurusan Studi Agama-Agama. Aktif di Komunitas Kutub. Sekarang menghabiskan hidup di Forum Taman Anak-anak Yogyakarta (FTAY).


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com