Friday, March 1, 2024

Cerpen Dody Widianto | Tidak Ada Telepon di Surga

Cerpen Dody Widianto



Dua hal memang pernah Malo banggakan pada ibunya. Pertama, fotonya yang imut dan menggemaskan di waktu TK, pernah dipinta tukang cukur di seberang rumahnya. Ditempelnya foto Malo itu berderet dengan foto-foto model lain dalam berbagai gaya potongan rambut. Hal kedua, ia pernah mempersembahkan piala juara makan kerupuk pada ibunya ketika lomba tujuh belasan. Piala kecil dari plastik yang hanya dicat chrome emas itu memang menarik. Namun, kala itu ia lebih senang hadiah uang lima puluh ribu yang terselip di dalam satu hadiah buku tebal.


Sebenarnya, ada hal ketiga yang bisa Malo banggakan pada ibunya. Malo pernah juara ketika lomba jauh-jauhan kencing dengan lima temannya sepulang sekolah. Ia paling jauh mengucurkan air dari kemihnya. Namun, Malo sadar, tampaknya hal ketiga ini tak patut dipamerkan atau ia banggakan pada ibunya. Bisa-bisa disunat lagi ‘burungnya’. Ia yang bakal menanggung rugi. Konyol. Nakal. Jorok. Begitu pasti umpatan yang bakal ia dengar.


Di tepi dermaga, langkah Malo terhenti. Masih teringat di kepalanya, subuh tadi kakeknya menggenggamkan ke tangannya tiga lembar daun worawari. Tak tahu untuk apa. Tiga lembar daun yang dimasukkan dalam bungkus kain mori. Tiga ikatan kainnya berbeda. Satu ikatan, dua ikatan, tiga ikatan. Sejujurnya, ia lebih butuh uang untuk makan dan membayar kapal. Ia mengikuti saja permintaan kakeknya. Memasukkan tiga lembar daun itu ke dalam tasnya.


“Hanya daun ini yang bisa kakek berikan. Daun yang dulu pernah meredakanmu dari demam. Ibumu selalu mengunyahnya lalu menempelkan di pelipismu jika tangismu tak berhenti. Pesanku, pertama buka kantong yang berikat satu itu di tepi dermaga. Sesampainya kakimu berlabuh di tempat yang kamu tuju, buka lagi kantong itu dan ambil ikatan kedua. Setelah tiba di tempat di mana kau ingin bekerja dalam mencari rezeki, buka kantong terakhir. Aku harap itu bermanfaat untukmu.”


Dalam kabut pekat putih nan dingin, setengah jam setelah tabuh subuh menggetarkan lubang telinga, Malo memaksa berangkat jalan kaki menuju terminal Rajabasa. Rencananya, ia akan menumpang truk pengangkut singkong yang menuju arah Pelabuhan Merak. Semangatnya membara, sama seperti saat ia mengikuti lomba makan kerupuk di Hari Kemerdekaan. Piala lomba itu pernah ia hadiahkan pada mendiang ibunya. Sekarang, seolah tak ada hal yang bisa ia banggakan di usianya yang menginjak kepala tiga. Malu. Ia masih menumpang dengan kakeknya yang renta.


“Kamu yakin?”


Malo terdiam. Getar pertanyaan dalam nada serak itu ia jawab cukup lama. Kakeknya ragu. Ia belum pernah merasakan pahit getirnya tanah rantau. Sekarang, tekad itu serasa bulat. Kuat.


“Aku akan berusaha. Kalau Kakek juga ikut, siapa yang akan mengurus makam ibu, siapa yang akan memanen singkong milik ibu. Aku sudah cukup dewasa. Barangkali di tanah orang, Tuhan menakdirkanku memberi rezeki lebih. Untukku, juga untuk Kakek. Aku juga ingin seperti orang-orang. Punya motor yang bisa mengantar Kakek ke mana saja.”


Dua kaki yang perkasa itu akhirnya benar-benar sampai di tepian dermaga. Ia membuka kantong pertama seperti pesan kakeknya. Ia takjub dan sungguh tak percaya ketika kantong itu ia buka, beberapa lembar uang ada di dalamnya. Ia berpikir sejenak. Tadi pagi, ia pastikan bahwa yang dilihatnya benar-benar daun, bukan uang. Sejak kapan kakeknya pandai main sulap. Rasa curiga dan penasaran tetiba melekat erat di dada. Namun, ia abaikan rasa itu. Toh, memang uang untuk naik kendaraan yang ia butuhkan sekarang.


Dua jam berlalu sejak kapal itu bergerak perlahan menjauh ke timur, meninggalkan menara siger yang terlihat angkuh di ujung barat, Malo tetiba rindu kakeknya. Padahal, perjalanan itu baru lima jam lebih dari jalan darat dan air. Ia khawatir jika ada apa-apa. Malo memang sudah menitipkan kakek pada tetangganya. Namun, tetap saja tubuhnya yang renta dan sering gemetar saat berjalan bisa saja sewaktu-waktu hal buruk terjadi. Tekad Malo sebenarnya sudah kuat. Ia ingin memperbaiki nasib di tanah seberang, yang kata orang, di Ibu Kota segalanya akan mudah untuk mendapatkan uang. Malo berusaha menyemangati dirinya sendiri. 


Waktu berjalan lambat ketika kapal telah berlabuh di dermaga Merak. Ini pertama kalinya Malo memberanikan diri berjalan melangkah keluar dari kampungnya demi mencari penghidupan yang layak. Telah tersiar kabar di telinganya, bagaimana orang Padang dan Batak banyak yang sukses di tanah ini. Ia akan berusaha sekuat tenaga menirunya. 


Hal pertama kali yang Malo lakukan di tanah orang adalah membuka kantong kain yang kedua, seperti pesan kakeknya. Perutnya mulai lapar dan ia hendak membeli makan. Ia membuka kantong kedua itu setelah mampir di warung pinggir jalan dan hendak buang air kecil. Alisnya mengerjit, ada lembaran uang lagi di dalamnya. Ia tak lebih terkejut dari yang pertama, tetapi tetap saja, ia berpikir apa kakeknya seorang pesulap? Ia yakin betul jika yang dimasukkannya kemarin ke dalam kantong mori adalah daun worawari.


“Nanti di warung tunggu barang sepuluh atau lima belas menit. Nanti sahabat kakek di sana akan menjemputmu.”


“Kakek tidak punya HP bukan? Bagaimana dia tahu aku akan datang dan ia akan menjemputku. Ini saja baru pertama kali.”


“Kau jadi berangkat tidak? Masa tidak yakin dengan cita-citamu sendiri?”


Malo mengangguk. Ia yakin. Seyakin-yakinnya. Tak ada keraguan dalam hatinya. Entah kenapa begitu. Seolah ada dorongan tak kasat mata yang membuat jiwa raganya segera berangkat cepat-cepat ke Jakarta.


Belum lima menit berlalu dan ia baru saja menghabiskan dua teguk es teh, seorang lelaki seumuran kakeknya datang menghampiri. Semua sekenario seolah sudah dirancang kakeknya. Sungguh aneh. Jam dan waktunya pun begitu tepat. Andai ia masih tinggal di Lampung, sebelum berangkat, ingin sekali ia belajar lebih dulu ke kakeknya komunikasi jarak jauh tanpa ponsel, tanpa telepon. Ia pun ingin sekali saja menelepon ibunya di surga. Sayang, kakeknya bilang di surga tak ada telepon. Ia ingat betul cerita itu saat ia masih sering ngompol dan kesusahan mengeja huruf R.


Tiga tahun berlalu dan ia sudah bekerja bersama kakek yang pertama kali bertemu dengannya di warung. Kini, ia rindu ingin pulang kampung. Malo lupa jika ia pernah diberi tiga bungkus ikatan kain mori. Ia lupa, di tempat ketiga ia berpijak, ia seharusnya membuka kantong yang terakhir. Ketika ia berpamitan pada kakek yang merawatnya di Jakarta, ia tak sengaja membuka lipatan kecil di dalam tas, lalu melihat foto hitam putih di dalamnya. Tak tahu siapa. Bungkusan kain mori yang terselip di bawah sarung kakeknya yang membuatnya lupa. Ia mengutuk dirinya sendiri, bagaimana bisa ia lupa. Padahal, sarung yang menutupi bungkusan itu memang seharusnya bisa mengobati kerinduannya. Tetapi tak bisa. Keinginannya bekerja dan bekerja, membuat di kepalanya hanya berpikir bagaimana bisa mendapat uang banyak dengan cepat.


Ia akhirnya berniat pulang ke rumah kakeknya lagi. Ia akan memberikan ponsel terbaru agar saat ia nanti bekerja di Jakarta, rasa kangennya bisa segera terobati. Di seberang mes yang menjadi tempat tinggal sementara selama ia jadi kuli proyek, kakek baru yang dulu ia temui pertama kali di warung makan memberinya titipan salam. Menangis dan memeluknya erat-erat. Lalu bercerita tentang foto di dalam bungkusan kain mori yang telah dibukanya semalam.


“Itu foto ibumu waktu masih muda. Ibu yang malang. Kamu tak tahu harus ke siapa memanggil bapak ketika itu. Kamu dititipkan ke kakekmu ketika kamu masih merah. Dan demi menghapus rasa malu, ibumu pergi lebih dulu sebelum berhasil melihatmu besar. Jika kamu ingin melihat ibumu sekarang di mana, nanti setelah kamu masuk di gerbang pertama pelabuhan Merak, hitung langkahmu hingga seribu. Nanti kau akan tahu di mana ibumu berada?”


“Ibu sudah mati. Begitu yang kudengar dari kakekku. Aku pun sering datang ke makamnya jika rindu. Kakek tidak sedang mendongeng bukan?”


“Lakukan apa yang kuminta. Semoga keselamatan selalu menyertaimu.”


Malo menurut saja. Ia melangkah dengan gontai ketika bus yang mengantarkannya telah sampai di dermaga Merak. Pelabuhan teramai di ujung barat Jawa. Seperti yang ia dengar dari kakek pengasuhnya di Jakarta, ia pun mulai menghitung langkahnya ketika berjalan di pintu gerbang dermaga. Dan tepat di pinggir pantai, di mulut kapal, hitungannya masih dalam 254 langkah. Masih dibutuhkan 746 langkah lagi. Namun, untuk apa. Ia tak akan bisa melangkah di lautan. Kakek itu pasti sedang mengerjainya.


Ketika kapal telah melepaskan jangkar, ketika dermaga Merak telah ditinggalkan, diam-diam ia melanjutkan langkahnya. Di lantai paling atas, saat cerobong kapal di belakang sedikit mengepulkan asap, ia melangkah pelan sambil merapatkan ikatan tasnya. Tak peduli jika orang-orang melihatnya aneh karena bibirnya komat-kamit seakan merapal mantra. Ia hanya begitu penasaran dengan kakek di Jakarta yang sama anehnya dengan kakek kandungnya di Lampung. 


Namun, logikanya bekerja. Jika ia melangkah di kapal, hitungannya akan bergeser. Kapal begerak dan ia bergerak di atasnya. Hitungan seribu langkah tidak akan pas. Maka, ia pun mengira-ngira. Hal paling logis adalah, hitungan seribu langkah tepat di tengah-tengah laut. Ia menggeleng kepala. Tak mungkin. Kakek itu pembohong. Seandainya ada telepon di surga, Malo akan mencari jawaban sebenarnya.


***


Seorang perempuan berdiri di pagar tepi kapal. Perasaannya diliputi bayang-bayang kecewa, sedih, marah, malu, dan dendam. Namun, ia tak tahu harus berkata pada siapa. Ia terlalu lugu waktu itu lalu menyerahkan tubuh gadisnya demi melunasi utangnya pada bos warung tempat ia bekerja. Dulu, ia mengangggap dunia kejam hanya ada di novel dan cerita-cerita picisan karya para pengarang andal. Sekarang, ia merasakan semuanya. Demi melenyapkan ingatan kelam itu, ia menitipkan bayi merah pada kakeknya. Membuat makam kosong tanpa isi demi memberi jawaban pada anak laki-lakinya jika ia bertanya di mana ibunya, suatu hari nanti.


Lima menit kemudian, suara gedebur air di tepi bawah kapal menjelma teriakan orang-orang. 


______

Penulis


Dody Widianto lahir di Surabaya. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Mojokerto, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Gorontalo Post, Fajar Makassar, Rakyat Sultra, dll. Akun IG: @pa_lurah.


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com