Friday, March 8, 2024

Puisi-Puisi Malkan Junaidi

Puisi Malkan Junaidi



DEMOKRATIA

 

suara                rakyat

       suara tuhan

suara                hantu

 

suara gemerisik

kertas terlipat dibuka

suara jarum ditusukkan

menembus tubuh tipisnya

 

suara darah menetes

di kotak aluminium

suara kelingking dicelup

ke sebotol kental luh

mereka yang tak pernah

diacuhkan rintihnya

 

suara ragu

menggerayangi udara

suara mengutuk

mencemari suasana

suara sendawa

di pesta kemenangan

suara kaca pecah

saat malam meringkus

serombong homo sapiens

 

telah diberikan

     dari pagi hingga siang

telah diproyeksikan

     di sebentang HVS

     seputih tulang

suara sah dan

suara tidak sah

di luar

suara yang tak sudi diseret

ke depan soal pilihan ganda

 

setelah dilayat

dimandikan

dikafani

dan dengan disaksikan

si bisu

si buta

si tuli

suara-suara itu dikirimkan

dalam tabela aluminium

 

kepada yang maha lucu              rakyat

kepada yang maha seru               tuhan

kepada yang maha ragu              hantu

 

(15-02-2024)

 


MALAM DIRTY VOTE

 

Dengan tubuh lunglit,

Kurang lemak dan darah,

Adikku wira-wiri, keluar

Masuk rumah sejak pagi,

Sibuk memainkan peran

Sebagai ketua KPPS heroik,

Penuh rasa tanggung jawab.

 

⸺Tidak ada hari tenang;

Orang terus berkampanye,

Memuji-melaknat surga dan

Nerakanya masing-masing⸺

 

Dua lampu LED mengguyurkan

Cahaya putih dan keemasan

Ke ruang tempatku duduk

Mengunyah anggur dari kulkas

Dan pertanyaan yang belum

Usai dilolohkan kegelapan,

Saat di luar yang remang

Amplop-amplop berpindah

Dari satu ke lain tangan.

 

“Harus kutampikkah?

Kau tahu aku cuma ingin

Berkelit dari mata julid,”

Bisik wanitaku pelan.

 

Kubenamkan mukaku

Ke kaca meja. Mungkin

Di balik ngiau parau

Kucing Thukul itu, ada

Remah suara Tuhan

Bisa kutemukan untuknya.

 

⸺Tidak ada hari tenang;

Orang terus berkampanye,

Memuji-melaknat surga dan

Nerakanya masing-masing⸺

 

“Bimbing dirimu menuju

Obor nuranimu sendiri dan

Bakar habis bimbangmu di sana.

Kita tak memiliki kecuali

Kuil kemiskinan ini. Jangan

Biarkan ia terenggut hingga

Hilang tempat kita bersujud

Memohon ketenangan.”

 

(14-02-2024)

 

 

APATISME

 

Seorang penyair terkemuka

Suatu hari mem-WA-ku:

 

“Disebabkan algoritmakah

Hingga berandaku sunyi

Dari pekik untuk Palestina,

Bangsa yang tengah sibuk

Dihapus dari Google Maps itu,

Ataukah memang jemari

Para sastrawan negeri ini

Telah lumpuh dan kebas,

Tak berdaya menggemakan

Tangis mereka yang ditindas,

Dipaksa untuk tak pernah ada?”

 

Tak kutanggapi pertanyaan ini

Dan penyair itu pun mengirim

Pesan sama di Messenger.

     .

     .

     .

Dia tak benar-benar

Bertanya, kiraku, dan

Aku tak benar-benar

Punya jawaban untuknya

 

Israel dan Palestina

Hanyalah sebuah konon,

Yang tenggalam dan timbul,

Seperti ceracau burung

Pagi hari di kampungku;

 

Seluruh Israel adalah

Bani Nadzir dan Quraidhah

Yang diusir Nabi

Keluar dari Madinah;

Mereka licik dan mematikan

Seperti ular beludak.

Demikian sekali tempo

Juru dakwah berseru.

 

Dan benteng-benteng didirikan

Di atas cakrawala macam ini,

Sekelompok massa fanatik

Dicipta dengan template ini.

Seperti kalau orang diyakinkan

Untuk lebih memilih Pandawa

     Ketimbang Kurawa,

Tanpa pernah didorong

Untuk memahami keberpihakan

                    Drona dan Bisma.

 

Ketik puisi palestina

Di kotak pencarian,

Dan akan kautemukan

Berlimpah tulisan

       Atas nama cinta

       Atau seni merangkai kata.

Periksa daftar pertemanan,

Dan akan kautemukan

Berlimpah foto profil

Bergambar semangka.

 

Namun “Nach Auschwitz

Rin Gedicht zu schreiben

Ist barbarisch,” Kata Adorno.

Namun alangkah ngeri

Menyaksikan para penyair

Mengenakan kalung mewah

Dari air mata korban perang.

 

Namun pernyataan dukungan,

Seperti ungkapan berduka,

Sering jadi basa-basi,

Sejenis membungkuk

Di hadapan orang yang

Tak sungguh kauhormati.

 

Keberadaban semu.

Orang-orang, seperti katamu,

Sebenarnya quite insular

Tak sungguh memedulikan

Kecuali diri mereka sendiri.

 

Dan jika kaunyalangkan pandang

Akan tampak yang bakal abadi:

                          Kutukan

              Ketakberdayaan

Dan orang-orang,

Saat ribuan nasar

Membayangi langit Gaza,

Akan cuma jadi gema lagu Iwan:

 

“Waktu kita asik makan

Waktu kita asik minum

Mereka haus

Mereka lapar

Mereka lapar

Mereka lapar...”

 

(10-02-2024)

 


150 RU

 

Te

    Tes

Keringat

Membasahi jarak

Antara tiga ember

Padi berkecambah

Ke 150 ru hamparan

Daun ijo royo-royo

Meliuk diterpa

Angin selatan yang lembab

 

Ngos

        Ngos

Sengal napas

Antara ayun cangkul

Dan deru Kubota

Menyisir petak sawah

          Ru demi ru

Membolak-balik tanah

Sebelum penghancuran

Oleh 9 mata garu

Masih terdengar jelas

Di kuping ingatan

 

Mangkuk langit

Sebiru kerinduan

Kafilah mendung

Mendesirkan hanya harapan

Tentang suatu hari ketika

Te

    Tes

Keringat

Kembali digulirkan

Dari kening dan pipi

Akrab dengan bahasa matahari

Ketika rumpun demi rumpun

Penuh bulir sintal

                               Dijagal

          Lalu diusung

Ke mesin perontok

Di tepi pematang

 

Dan bila benakku

Berhenti mobat-mabit

Dan kulekatkan pandang

Jauh ke ufuk barat laut

Di mana Gaza meraung

          Tampaklah

Sebuah tangga kristal

Berdiri di lintasan Buraq

Adam di lapis langit pertama

Melambaikan tangan

Senyumnya ditafsirkan pipit

          Di cabang mahoni:

 

Sebelum seba mengko sore

150 ru ini harus sepenuh

Kemesraan kauikhtiari

 

(08-02-2024)

 

 

_______


Penulis


Malkan Junaidi lahir di Blitar, 12 Maret 1981. Merupakan penyair, penerjemah, petani, dan pekerja bangunan. Karyanya yang telah terbit: Lidah Bulan (2011), Di Bawah Cahaya yang Terpancar dari Ingatan terhadapmu (2016), Chelsea Islan Terbang ke Bulan (2018), Rumah Daging dan Pikiran (2023), Terjemah novel Paradise karya Abdulrazak Gurnah (2023), dan Lanskap Freudian (2023).

 


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com