Sunday, March 10, 2024

Novel | Salim Halwa (#4) | Syamiel Dediyev

Novel Syamiel Dediyev



#4


Sabtu pagi, hujan sejak semalam masih saja awet. Tidak mau beralih posisi sedikit menjauh dari kampungku. Rupanya awan hitam masih betah tinggal lebih lama di langit kampungku. Sepertinya hari ini agak sulit jika harus boncengan. Aku telepon Halwa. 


"Awa udah berangkat? Pagi ini kayaknya kita gak bisa naik motor. Hujan kali ini gak ada capeknya," ujarku.


"Oh, iya lupa. Maaf Sam, aku udah berangkat dari tadi. Hari ini aku diantar naik mobil oleh seseorang," jawab Awa yang terdengar riang sekali. 


"Oh, ya udah kalo gitu. Oke sampai ketemu di sekolah," ujarku.


"Ia hati-hati dijalan," balas Halwa.


Dingin sekali hujan dari semalam. Awet tak memberi kesempatan aku untuk pergi. Sedingin apa pun, sederas apa pun, aku harus tetap berangkat, berharap dengan jas hujan biar dingin tak terlalu menusuk tubuh. Rasa semangatku tak menyurutkanku untuk pergi ke sekolah.


"Masa anak motor takut sama air hujan. Malu dong. Mau ditaro di mana wajah ini?" gumamku.


Sedikit nekat, kuhadapi segala badai meski sesekali harus kena cipratan mobil yang tak kenal sopan santun. Hingga akhirnya sampailah di SMA dengan kecepatan hampir tak bisa lewat lebih dari 40 km/jam. Gila, dingin banget pagi ini, lirihku.


"Selamat pagi Sam," sapa Halwa.


"Eh, Awa sudah nyampe dari tadi?" tanyaku.


"He-eh. Hayuk, buruan, takut telat masuk," ajak Halwa.


"Iya sebentar, celanaku agak basah," ujarku.


"Nanti, istirahat, aku ingin cerita sesuatu," kata Halwa.


"Seneng banget keliatannya kayak orang kasmaran. Gak seperti kemarin, murung. Emang ada apaan sih?" tanya Sam penasaran.


"Pokoknya ada deh, nanti juga kamu tahu," jawab Halwa yang bikin Sam tambah penasaran. 


"Aku gak dapat sarapan nih ceritanya?" tanyaku.


"Astagfirullah, lupa, maaf," jawab Halwa.


"Gak apa-apa. Aku cuma bercanda. Lagian juga sejak kapan orang kasmaran inget temen. Haha," ucapku bercanda.


"Hayuk, masuk, udah bunyi bel!” seru Halwa.


***


Bel istirahat pun berbunyi aku buru-buru ke toilet. Dinginnya hujan ini membuat kantung kemihku tidak mampu menampung urin lebih banyak. Sedikit-sedikit mengajakku ngapelin toilet. Tanpa sadar kulihat Fani sudah menungguku tak jauh dari toilet. Akhirnya kudekati dia yang wajah putihnya seperti mutiara yang tersimpan dengan baik.



"Hei, Salim, boleh minta tolong gak," ujar Fani.


"Tolong apa dulu nih?" aku balik tanya.


"Anter aku ke toko buku Intermedia di Bunderan Cicieri. Ada beberapa alat tulis yang pengen kubeli."


"Emang gak dijemput kayak biasanya?"


"Gak. Udah aku bilang mamah gak usah jemput, biar kamu nanti yang anterin pulang."


"Waduh, gimana ya?"


"Soalnya tadi aku lihat kamu sendirian. Biasanya sama Halwa. Makanya aku pikir minta tolong sama kamu. Please, mau ya! Udah baca suratku kan?"


"Iya, bener sih tadi Awa ada yang nganterin. Ya udah, coba kita lihat aja nanti ya."


"Ok, sip. Udah makan belum? Ini ada roti bakar."


"Ah, ngerepotin terus."


"Gak apa-apa. Aku seneng kok ngasih kamu roti. Apalagi roti kemarin yang kukasih, kamu makan habis."


"Haha, roti itu,” jawabku sambil ketawa karena yang ku tahu kemarin ilham yang menghabiskan roti itu.


"Kenapa gitu?"


"Gak apa-apa Fani. Terima kasih ya rotinya."


Kami pun perlahan saling mengobrol ke sana kemari, ngalor ngidul entah ke mana. Yang kutahu jantung ini tidak bisa tenang sedikit. Derapnya begitu kencang entah tanda apa ini. Fani adalah idola sekolah. Jangan tanya cantiknya. Semua laki-laki dijamin jantungnya tiba-tiba soak kalau dekat dengannya. Kulihat Halwa perlahan mendatangiku.


"Hei, aku cari-cari ternyata kamu di sini Sam. Makan apa?" 


"Ini roti bakar buatan si Fani. Aku laper banget."


"Oh, ya udah aku ke kelas duluan ya Salim. Sampai ketemu nanti," ujar Fani.


"Akrab banget, saya curiga," ujar Halwa memandangku sinis.


"Curiga apaan? Udah sih."


"Oh, iya, aku mau cerita."


"Tahu gak siapa yang mengantarku tadi?


"Gak tahu."


"Ery."


"Ery pacar kamu SMP?"


"Yup, betul sekali."


"Pantes keliatan seneng banget kayaknya."


"Aku kaget, tadi malam tiba-tiba dia telepon. Nanya aku. Ternyata dia lagi liburan semester. Ngobrol banyak hal. Ternyata keren ya kuliah kedokteran, bisa ketemu prof ini prof itu. Bisa tahu sakitnya apa, obatnya apa."


Halwa hari ini lebih semringah penuh tawa bahagia. Rupanya pacar pertamanya yang antar dia berangkat sekolah tadi, seorang calon dokter muda yang sekarang kuliah di FK UMY. Dia masih kakak kelasku juga meski beberapa anak tidak terlalu suka dengan sikapnya yang cenderung arogan.


Aku hanya mendengar cerita Halwa dengan dengan kecut. Dari dulu si Ery memang kakak kelas yang terkenal temperamental. Kalau bicara, selalu besar kepala, ketimbang otaknya yang rumit. Otot mulutnya terlatih untuk berargumen meski kadang sulit diterima akal sehat. Kadang aku berpikir kenapa dulu Halwa mau dengan dia. Aku dan teman-teman hanya bisa geleng-geleng kepala dengan penuh heran. Demikianlah cinta, hal yang mustahil bisa saja terjadi.


"Kayaknya aku ikut kamu deh kuliah di Jogja," ujar Halwa.


"Ikut saya atau ikut dia?" tanyaku balik.


"Dua-duanya. Seneng sekali rasanya. Karena, kalian sangat berarti buat hidupku," ujar Halwa, sedangkan aku bengong. "Hei, kok ngelamun? Kamu tadi nyimak aku gak sih? Sebel deh. Ya udah kalo gak mau ngomong sama aku, sana ngobrol aja sama si Fani gebetan kamu itu," ujar Halwa marah. "Oh, iya Sam, nanti jangan nunggu aku ya kalau mau pulang," ujar Halwa lagi.


"Dijemput lagi?" tanyaku.


"Betul," jawab Halwa.


"Oh, ya udah deh kalo gitu," ujarku.


***


Jam 15.00 WIB.


"Belum balik?” tanyaku.


"Belum, masih nunggu jemputan.”


"Hai, Halwa, belum pulang?" tanya Fani.


"Masih nunggu jemputan katanya," jawabku.


"Ini helmmu," ujarku ke Fani sambil kuberikan helmku yang biasanya dipakai Halwa.


"Iya, makasih, ini ada earphone-nya?"


"Iya, itu intercom headset biar bisa ngobrol sambil jalan."


"Oh, asyik dong gak bete di jalan."


"Loh, kalian berdua?"


"Kenapa gitu? Katanya tadi aku disuruh sama Fani aja?"


"Ga kayak gini juga. Berarti kemarin sore kamu bohongin aku dong?"


"Gak bohong. Cuma Fani minta tolong diantar ke toko buku di Bundaran Ciceri. Karena jok belakangku kosong, jadi sekalian aja aku anterin. Toh, kamu juga udah ada yang jemput, kan?"


"Ya, tapi, kan?"


"Udah ah, kami jalan duluan ya Awa, takut keburu hujan. Have a nice day. Selamat bermalam minggu," pamitku ke Halwa.


"Duluan ya Halwa," ujar Fani.



(Bersambung)