Friday, April 19, 2024

Cerpen Kiki Sulistyo | Seperti Fiksi

Cerpen Kiki Sulistyo




Pada suatu hari ada selembar bulu burung melayang-layang di beranda. Tak ada siapa-siapa di beranda itu. Burung yang selembar bulunya terlepas itu juga tak terlihat.


Di beranda lain ada seorang anak sedang menatap matahari. Mukanya dihadapkan lurus-lurus ke arah matahari pukul sembilan pagi. Beranda menghadap timur sehingga siapa saja yang ada di sana pukul sembilan pagi akan langsung terpapar sinar matahari. Akan tetapi, mata anak itu terbuka dan terus terbuka seakan tak sedikit pun merasa silau. Ia memang tidak merasa silau, sebab di bagian atas wajahnya, di mana mestinya terletak sepasang mata, hanya ada sepasang rongga.

     
Karena tak bermata ia tak bisa melihat burung. Meski begitu telinganya baik-baik saja sehingga ia bisa mendengar kehadiran burung. Burung adalah binatang suara. Anak itu menoleh ke arah suara seakan tindakan itu ada gunanya. Sesaat kemudian ia mencium bau kebebasan. Bau itu membuat kedua tangannya mendapat tenaga, dan tanpa sepenuhnya disadari tangannya mulai berkepak-kepak. Interval awal: satu kepak per setengah menit, lantas makin lama interval makin sempit, sampai tiga kepak per detik. Anak itu membayangkan badannya terangkat dari kursi, dan ia pun melesat ke arah matahari. Di udara terbuka kakinya diluruskan, tangannya terentang, tubuhnya melayang-layang.

    
Dari beranda rumah lain seseorang melihat sesuatu melayang di angkasa. Orang ini sangat tua. Ia sedang berjemur, membiarkan sinar matahari meresap ke dalam tulang-tulangnya. Melihat sesuatu melayang ia segera memicingkan mata, memajukan tubuhnya untuk bisa melihat dengan lebih jelas. Mengertilah ia bahwa yang melayang-layang di kejauhan itu bukan burung, bukan pula layang-layang. Itu adalah pesawat pengintai tanpa awak. Segera orang tua itu berdiri dengan susah payah, lantas berjalan terhuyung-huyung masuk rumah untuk mengambil senapan.

    
Sambil melangkah di jalan permukiman ia mengamat-amati pesawat pengintai. Ia melewati gang, rumah-rumah, dan tangsi yang sedang penuh prajurit. Tiba di lapangan ia merasa jarak tembaknya sudah cukup. Maka ia mulai membidik.

    
Seorang perempuan yang sedang duduk di beranda rumah dekat lapangan berseru kepadanya: “Apa yang akan kau tembak, Bapa Tua?”

    
Bapa Tua batal menembak. “Itu pesawat pengintai. Musuh sedang mengamat-amati kita. Jadi aku harus menembaknya.”

    
“Kenapa Bapa Tua tak melapor ke tangsi saja?”

    
“Aku takut pesawat itu keburu hilang. Karena tujuan pesawat itu adalah untuk mengintai, pasti pesawat itu akan sebentar saja berada di sana.”       

    
“Oh, begitu. Bapa Tua pasti sudah rabun, apa yakin dapat menembak pesawat itu dengan tepat?”

    
“Sekali prajurit tetap prajurit. Aku penembak jitu di masa perang.”

    
Perempuan itu bangkit dari kursi, mendekati Bapa Tua. Ia meletakkan sebelah telapak tangannya di atas mata untuk melindungi pandangannya dari sinar matahari. Ia tak melihat apa-apa.

    
“Aku tak melihat apa-apa, Bapa Tua.”

    
“Itulah bedanya orang biasa dengan prajurit,” jawab Bapa Tua sambil kembali membidik.

    
Dzlep!

    
Bunyi letusan senapan. Beberapa orang yang sedang berada di dekat lapangan menoleh ke sumber bunyi. Namun, cuma sesaat. Setelah itu mereka melanjutkan kehidupan mereka.

    
Selembar bulu burung melayang-layang. Bapa Tua dan perempuan itu memperhatikan. Bulu burung didorong angin ke arah beranda. Di beranda, bulu burung melayang-layang seperti tak memahami hukum gravitasi. Bapa Tua dan perempuan itu masih memperhatikan bulu burung dan tak menyadari di dekat mereka sudah berdiri seorang anak.

    
“Kenapa Opa menembak saya?” tanya anak itu. Bapa Tua terkinjat.

    
“Aku tidak menembakmu. Aku menembak pesawat pengintai. Bagaimana mungkin kau ada di atas sana?”

    
Melihat anak itu, si perempuan menunduk, menyentuh kepala anak tak bermata itu dengan telapak tangan kirinya. Kepala itu tak punya rambut. “Oh, anak yang sengsara. Bagaimana kalau Ibu buatkan makanan untukmu?”

    
Anak tak bermata menggeleng. Bapa Tua terus menatap bulu burung yang masih melayang-layang di beranda. Ia mengokang lagi senapannya, lantas kembali mengamat-amati angkasa. “Pesawat pengintai itu sudah jatuh. Aku berhasil menembaknya!” seru Bapa Tua. Saat itu dari jauh terdengar seruan-seruan. Pasti seruan-seruan itu berasal dari tangsi prajurit.

    
“Berarti tadi Bapa Tua menembak bulu burung itu,” ucap perempuan.

    
“Aku tidak menembak burung. Aku menembak pesawat pengintai!”

    
“Aku tak mengatakan Bapa Tua menembak burung. Aku bilang Bapa Tua menembak bulu burung.”

    
“Bukan. Opa menembak saya,” bantah anak tak bermata.

    
“Bicara apa kalian. Apa yang aku tembak adalah pesawat pengintai. Bagaimana mungkin kalian tidak percaya?” kata Bapa Tua.

    
Tiba-tiba anak tak bermata berjalan ke beranda. Langkahnya lurus. Tak sedikit pun kakinya tersandung. Baginya segala benda tersusun dari suara. Semesta adalah planet suara, karenanya seluruh geraknya cukup mengikuti tempo suara agar ia tak keluar tempo yang akan menyebabkan ia bisa tersandung dan jatuh. Hanya orang yang tak paham suara yang bisa tersandung dan jatuh.

    
Di beranda, anak tak bermata berdiri menghadap Bapa Tua dan si perempuan. Persis di atasnya bulu burung melayang-layang.

     
“Opa. Tembaklah saya.” Tiba-tiba anak tak bermata berkata setelah enam koma enam menit berlalu dalam tabla yang bisu. Tatapannya lurus ke arah Bapa Tua, sebagaimana ia menatap matahari, seakan Bapa Tua dan matahari adalah benda yang sama.

    
Bapa Tua ragu-ragu. Ia menoleh ke si perempuan seperti mencari persetujuan. Sementara, matahari bagai laba-laba perak merangkak ke barat. Jaring-jaring sinarnya merebahkan bayangan benda-benda.

    
“Kau tahu anak itu siapa?” tanya Bapa Tua.

    
“Aku tidak tahu.”

    
“Apakah aku harus menuruti permintaannya?”   

    
“Kalau aku jadi Bapa Tua, aku akan menuruti permintaannya.”

    
“Tapi ini bukan eksekusi mati. “

    
“Memang betul ini bukan eksekusi mati. Tapi Bapa Tua, tidakkah Bapa merasa kejadian hari ini berbeda dengan hari-hari biasa?”

    
Bapa Tua berpikir-pikir sejenak. Ia mencoba mengingat apa yang dikerjakannya sebelum ia duduk di beranda dan melihat pesawat pengintai. Namun, ia sudah lupa. Ia mencoba merentang ingatannya ke hari kemarin, tapi ia tetap tak bisa mengingat apa-apa. Bapa Tua mengangguk-angguk.

    
“Betul juga. Aku lupa apa yang aku lakukan tadi. Aku juga tidak ingat apa yang aku lakukan kemarin,” kata Bapa Tua.

    
“Apakah Bapa Tua ingat siapa nama Bapa Tua?”

    
Bapa Tua kembali berpikir-pikir. “Aku tidak ingat. Apakah kau ingat?”

    
Si perempuan menggeleng. “Aku juga tidak ingat.”

    
“Kenapa bisa begitu?” tanya Bapa Tua. “Kenapa kau bisa berpikir soal itu sementara aku tidak? Lagi pula aku baru sadar, aku juga tidak mengenalmu!” seru Bapa Tua.

    
Si perempuan menatap Bapa Tua. Matanya berbinar-binar. Di mata itu terpantul jaring laba-laba.

    
“Ayo. Tembaklah saya!” kembali anak tak bermata berseru, mengembalikan pikiran Bapa Tua. Saat itu terdengar bunyi tambur bertalu-talu. Itu pasti bunyi dari arah tangsi.

    
Sekonyong-konyong Bapa Tua menodongkan senapan ke arah si perempuan.

    
“Kenapa kau bisa berpikir soal itu sementara aku tidak?” Bapa Tua mengulang pertanyaannya, ditambah kalimat: “Kau yang akan kutembak!”

    
Si perempuan bergerak mundur sambil menjawab: “Sebab aku mengetahui, Bapa Tua!”

    
“Mengetahui apa?”

    
“Bahwa jauh dari sini ada seseorang tengah duduk menghadap meja kerjanya dan merancang semua kejadian ini?”

    
“Aku tidak mengerti maksudmu.”

    
“Bapa Tua, orang itu sudah merancang agar Bapa Tua tak menembak anak itu. Maka dari itu aku meminta Bapa Tua menembaknya seakan Bapa Tua adalah prajurit yang sedang melaksanakan eksekusi mati. Tindakan itu berada di luar rancangan dan karena itu akan mengacaukan rancangannya. Setelah itu kita bisa bebas. Tidak maukah Bapa Tua bebas? Tidak maukah Bapa Tua mengetahui siapa sebetulnya diri Bapa Tua, bagaimana masa lalu dan semua peristiwa yang sudah Bapa Tua alami?”

    
“Maksudmu sekarang ini kita ada dalam kendali orang lain? Seperti di dalam fiksi?”

    
“Betul, Bapa Tua. Saat ini orang itu sudah mulai masuk ke bagian akhir. Jadi, ayo tembak anak itu sekarang, supaya rancangannya berantakan. Kita perlu bebas, Bapa Tua. Kita perlu merdeka!”

    
Bapa Tua ragu-ragu. Ia mendongak dan mengamat-amati angkasa. “Apakah orang itu melihat kita dari atas sana?” tanya Bapa Tua.

    
“Ah, Bapa Tua. Ayo, waktu kita tidak banyak. Tembak anak itu!”

    
Bapa Tua merasa tertekan. Tak ada yang bisa dilakukannya lagi. Ia mengarahkan moncong senapan ke anak tak bermata, dan mulai membidik.

    
Dzlep!

    
Dari moncong senapan meluncur seekor burung. Burung itu melesat cepat ke arah anak tak bermata. Akan tetapi bidikan Bapa Tua meleset. Burung meluncur ke atas kepala anak tak bermata dan mengenai bulu burung yang masih melayang-layang.

    
Burung dan bulu burung bergulung-gulung, menyatu, membentuk gumpalan.

    
Seperti fiksi.

______

Penulis 

Kiki Sulistyo lahir di Ampenan, Lombok. Ia telah meraih beberapa penghargaan: Kusala Sastra Khatulistiwa (kategori puisi) 2017; Tokoh Seni TEMPO (Sastra-Puisi) 2018 dan 2021; serta Penghargaan Sastra Kemendikbudristek (kategori puisi) 2023. Kumpulan cerpennya yang terbaru berjudul Musik Akhir Zaman (Indonesia Tera, 2024).


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com 

 


1 comments