Sunday, April 21, 2024

Novel | Salim Halwa (#6) | Syamiel Dediyev

Novel Syamiel Dediyev 




#6

Pukul 20.00 WIB


Gerimis datang saat kupamit pulang ke Fani. Wajahnya terlihat bahagia. Heran juga, lama-lama sebuah rasa perlahan akan naik tingkat. Dari hanya meminta ditemani, berubah menjadi kawan diskusi setiap hari yang terbumbui oleh rasa yang ada di hati. Namun, harap itu hanya sebuah imajinasi karena realitalah yang membawaku kembali ke titik awal. Hanya bersepakat untuk saling mengisi. Tidak lebih, tidak boleh kurang. Berharap pada sebuah fatamorgana asa. Fani adalah sesuatu yang tinggi dan sulit untuk dimiliki perlu kerja keras dan mendaki.


Kutancap motorku dengan perasaan senang berkalut resah. Resah karena sebentar lagi bertemu wanita yang mungkin sekarang berubah menjadi macan yang galak menunggu mangsa. Di sisi lain Halwa adalah sahabat yang membuka jalanku mengerti tentang arti persahabatan.


"Met malam Awa," sapaku sambil perlahan mendekati dan menyalami kedua orang tua Halwa yang sedang di teras rumah menikmati udara malam.


"Malam amat, jam berapa ini?!" sewot Halwa. Aku sudah menduganya. Wajah manis itu akan berubah menjadi macan.


"Katanya tadi mau menunggu aku jam berapa pun? Ini martabaknya."


"Tapi gak semalam ini dong," jawab Halwa.


"Halwa, buatin kopi buat Salim," surug Umi Halwa akrab.


"Iya Bu sebentar," balas Halwa sambil berdiri perlahan masuk ke rumahnya.


"Nak Salim, kata ayahmu, kamu mau kuliah di Jogja ya?" tanya Umi Halwa.


"Iya, Bu. Insyaallah," jawabku.


"Oh, Halwa juga mau kami kuliahin di Jogja. Pumpung ada kamu, jadi minta sekalian dijagain ya. Umi juga udah bilang ke bapakmu," tambah Umi.


"Tapi awas ya Salim, kalo ada apa-apa kamu tanggung jawab," ujar Abi Halwa dengan serius.


"Ini kopinya, jangan sampai nggak dihabisin," ujar halwa.


"Tumben, baik banget kamu," jawabku dengan perlahan menyeruput kopi buatan halwa.


Agak kaget sepertinya, bada yang aneh dengan kopi ini. Kulihat Halwa sedikit menahan tawa, tapi tetap kuhargai kopi buatannya ketimbang aku mengatakan yang jujur, nanti Umi halwa marah lagi. Pikiranku pun berisi dugaan, "Jangan-jangan dia lupa kasih gula kopi ini. Atau memang sengaja lupa usil juga anak ini, ampun."


"Gimana Dek Salim, kopi buatan Halwa? Soalnya baru pertama kali dia buat."


"Masyaallah enak Bu," sambil kesal kulihat halwa yang menahan tawa.


"Oh, iya, Nak Salim dari mana pulang malam?" tanya Umi Halwa.


"Pacaran... pacaran…," jawab Halwa memotong.


"Enggak Bu. Cuma maen aja, pengen liat Kota Serang malam hari," jawabku.


"Pembohong," potong Halwa dengan kesal.


"Halwa, nggak boleh gitu, Nak," ujar Umi Halwa. ”Tapi, bukannya kalian selama ini...," tanya Umi Halwa lagi.


"Umi, udah mending kita masuk yuk. Bairin aja mereka dulu," ajak Abi Halwa kepada Umi untuk masuk ke dalam rumah.


"Pembohong pasti akan berbohong dan berbohong lagi," ujar Halwa.


"Kamu kenapa? Dari kemarin bilang pembohong-pembohong terus. Coba katakan, maumu apa?" tanyaku kesal.


"Ya pembohong. Katanya cuma jalan biasa, ternyata...," balas Halwa dengan menantang.


"Halwa, jika begini terus, aku akan malas bertemu denganmu," ujarku.


"Ya, wajarlah. Udah ada yang baru, buat apa ya lama, iya kan?" jawab Halwa yang semakin meningkatkan tensi darahku.


"Jadi ini kamu sengaja membuat kopi tanpa gula sama sekali?” tanyaku.


"Ya, karena kamu jahat!" jawab Halwa.


Ya, Tuhan, kenapa dengan kamu ini, Halwa. Dari kemarin selalu ngajak ribut terus. Whats wrong with you?" aku makin kesal ketika di setiap percakapan yang kudengar hanya kata "pembohong” dan ”pembohong”. Aku paling benci jika dituduh pembohong begini. Aku cukup geram.


"Halwa, maumu apa? Aku dan Fani hanya sebatas teman. Toh, kamu juga kemarin jalan dengan Ery aku biasa aja," ujarku.


"Cemburu ya?" tanya Halwa.


"Ya nggaklah. Buat apa aku cemburu. Emang aku ini siapa," jawabku.


"Aku nggak yakin kalau kamu nggak punya hubungan dengan Fani. Sebatas teman? Nggak mungkin," ujar Halwa seperti mendesakku.


"Awa, kamu boleh percaya aku atau tidak, terserah!" jawabku kesal.


"Tapi, kamu suka sama dia kan?" tanya Halwa.


"Kalau aku suka sama Fani kenapa?" jawabku tanpa sadar aku sudah mengeluarkan kalimat yang fatal. Waduh berabe ini urusan, bisikku dalam hati.


"Akhirnya, benar kan firasatku, kamu pembohong!" jawab Halwa kesal dan langsung masuk ke dalam rumah sembari membanting pintu.


"Awa denger aku dong, kamu jangan salah paham," ujarku.


Tak sedikit pun kata jawab terdengar dari mulutnya. Macan itu akhirnya benar-benar marah. Tiba-tiba, dia keluar dengan kesal hanya karena ingin mengambil martabak yang masih berada di teras rumah sambil berkata "Ribut sama kamu bikin lapar". Sekali lagi dia masuk ke rumah tak mau menoleh.


Malam ini sepertinya malam kelabu. Entah kenapa mulut ini tidal bisa dijaga sedikit. Akhirnya, sebuah kalimat terlontar tanpa aku berpikir panjang. Pasti hari-hari berikutnya menjadi hari yang kelam penuh konflik.


"Halwa ada apa denganmu?" bisik hatiku dengan pilu.


Aku pamit dan berucap di depan pintu, entah ada atau tidak ada manusia di belakangnya.


"Apakah ini akhir dari persabatan kita?"

 

(Bersambung)