Cerpen Ahmad Nur Miftahul Arif
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Suatu pagi di laut pantai Tangerang seekor ikan Dorang sedang berenang-renang dengan tenang. Dorang adalah ikan yang sangat gembira. Pagi itu Si Dorang sedang berenang menuju ke rumah temannya.
Setelah Dorang sampai di rumah temannya, Kepiting, dia mengajak Kepiting bermain. Mereka bermain di tumpukan karang yang sering mereka kunjungi. Mereka bermain kejar-kejaran. Setelah itu mereka beristirahat karena kelelahan. Setelah beristirahat cukup lama, mereka lanjut bermain hingga siang hari. Setelah itu mereka pulang untuk makan siang di rumah masing-masing. Setelah makan siang, Dorang disuruh tidur siang oleh ibunya. Setelah itu Dorang pun bangun bangun dari tidurnya.
“Sekarang masih sore atau sudah malam, Bu?” tanya Dorang.
“Ini masih sore. Kamu mau kemana, Dorang?” tanya Ibu Dorang.
“Aku hanya ingin bermian sebentar Bersama Kepiting, Bu. Boleh?” tanya Dorang.
“Iya, boleh, tapi jangan sampai malam, ya, Dorang.” kata Ibu Dorang.
“Iya, Bu. Aku tidak adakan main sampai malam.” kata Dorang. “Ya sudah, Bu, aku mau main dulu, ya.” lanjutnya.
“Iya, hati-hati, ya, Dorang.” kata Ibu Dorang.
Dorang pun pergi bermain ke rumah Kepiting. Sesampainya Dorang di rumah Kepiting, Dorang pun memanggil sahabatnya itu. “Kepiting, Kepiting, main yuk!” panggil.
Kepiting pun keluar dari rumahnya. “Iya, Dorang, tunggu sebentar, ya!” kata Kepiting.
“Iya, aku tunggu.” kata Si Dorang.
Kepiting pun keluar dan bilang, “Ayo, kita main.” kata Kepiting.
“Tapi kita mau main di mana?” tanya Si Dorang.
“Mungkin kita main rumah-rumahan aja, gimana?” tanya Kepiting.
“Ya sudah. Ayo, kita main.”
Mereka main hingga matahari hampir terbenam. Dorang pun bilang, “Aku disuruh ibu untuk pulang sebelum malam.” kata Dorang.
“Ya sudah. Ayo kita pulang.” kata Kepiting.
Sesampainya di rumah, Dorang pun disuruh ibunya untuk makan, lalu tidur. Dorang pun bilang, “Oke!” ucapnya. “Iya, Bu. Aku memang mau tidur, soalnya aku capek bermain hari ini.” lanjutnya. Lalu Dorang pun tidur.
Di pagi hari, Dorang pun terbangun dari tidurnya. “Selamat pagi, hari..” sapa Dorang untuk hari ini dengan gembira sembari bangun dari tidurnya.
“Kamu sudah bangun? Sini, mari kita makan.” ucap Ibu Dorang.
“Iya, Bu.” jawab Dorang. Dorang pun makan.
“Setelah ini, ibu mau pergi. Kamu jaga rumah, ya.” ucap Ibu Dorang.
“Iya, Bu.” kata Dorang sambil makan.
Setelah itu ibu Dorang pergi dari rumah. Dorang pun bermain di rumah sendirian sambil bernyanyi,”La… la… la… Aku senang bernyanyi.. Dorang.. Ikan…” itulah nyanyian yang sering Dorang nyanyikan.
“Aku sangat senang setelah menyanyikan lagu itu.” kata Dorang. Setelah itu ibu Dorang pun pulang.
Tok, tok, tok. Ibu Dorang mengetuk pintu. “Dorang, ibu sudah pulang!” kata ibu Dorang.
“Iya, Bu..” jawab Dorang. “Wah, ternyata ibu sudah pulang!” lanjutnya kegirangan. Dorang pun membuka pintu.
“Bu, aku mau pergi bermain, boleh?” tanya Si Dorang.
“Iya, boleh.” jawab Ibu Dorang. Lalu Dorang pun pergi bermain.
Di perjalanan, Dorang merasa ada yang aneh. Lalu dia pun bergegas melanjutkan perjalanannya ke rumah Kepiting. Sepanjang perjalanan dia berenang, banyak sekali ikan lari dari arah yang berlawanan. Dorang semakin penasaran dan ingin melihat keadaan Kepiting.
Begitu Dorang sampai, betapa ia kaget ketika ia melihat pagar bambu yang berada di sepanjang laut itu. Ibu Kepiting bergegas menemui Dorang.
“Dorang!” teriak Ibu Kepiting dengan nafas ternegah-engah. “Kepiting sudah tiada,” lanjutnya dengan penuh kesedihan.
Dorang pun menangis dan berkata, “Sahabatku, kenapa engkau pergi meninggalkanku secepat ini?”
Ibu Kepiting sangat memahami perasaan Dorang. “Yang sabar, ya, Nak. Kita banyak kehilangan hari ini. Tapi, mereka akan tetap hidup dalam hati kita selama kita tak melupakan hal-hal indah bersama mereka.” ungkapnya.
…
Malam itu, Dorang berbaring diam di kamarnya. Pandangannya kosong, sementara hatinya masih berat kehilangan sahabat terbaiknya. Setiap sudut laut seakan mengingatkan pada sahabatnya, Kepiting, karang tempat mereka bermain, pasir tempat mereka berkejaran, bahkan gelembung-gelembung kecil yang naik ke permukaan mengingatkannya pada tawa riang Si Kepiting.
"Kepiting, kenapa kamu pergi begitu cepat?" bisik Dorang pelan.
Ibunya duduk di sampingnya, mengusap sirip kecil Dorang dengan lembut. "Yang sabar, Nak. Kepiting memang sudah pergi, tapi kenangan kalian akan selalu hidup di dalam hati."
Dorang mengangguk, walau kesedihan di matanya belum benar-benar hilang. Malam semakin larut, dan akhirnya rasa lelah mengalahkan kesedihannya. Dorang tertidur dengan air mata yang masih membasahi pipi.
Di dalam mimpinya, Dorang melihat seekor makhluk laut seumurannya dengan banyak kaki.
"Halo, Dorang," sapa makhluk itu dengan suara yang lembut, seakan langsung menyentuh hatinya.
"Siapa kamu?" tanya Dorang dengan bingung, tapi rasa takut tak muncul sama sekali. Justru ada rasa tenang yang membuatnya nyaman. Makhluk kecil itu hanya tersenyum lalu pergi begitu saja.
Dorang terbangun dengan napas terengah-engah. Cahaya pagi yang masuk melalui celah-celah rumahnya menyambutnya dengan lembut. Tiba-tiba Dorang teringat kembali dengan sahabatnya, Kepiting.
“Ibu, aku mau keluar sebentar.” ucap Dorang.
“Hati-hati, ya. Jangan terlalu lama," pesan ibunya.
Dorang mengangguk dan berenang cepat menuju karang tempat ia biasa bermain dengan Kepiting. Laut terasa lebih sunyi hari ini, seolah ikut merasakan kesedihan yang masih ada di hati Dorang.
Sesampainya di sana, Dorang memandangi karang biru besar yang dulu sering mereka gunakan untuk bermain petak umpet. Tiba-tiba, dari balik karang itu, muncul kilauan cahaya yang sangat familiar. Dorang menahan napas.
"Cumi?" panggil Dorang dengan suara pelan.
Makhluk kecil berwarna bening keputihan itu muncul perlahan, mengibaskan tentakel-tentakelnya yang indah di bawah sinar matahari yang menembus air laut.
"Kamu benar-benar ada!" seru Dorang dengan mata berbinar. "Aku kira... aku cuma bermimpi."
"Kadang-kadang, mimpi adalah jalan menuju pertemuan yang nyata," kata Cumi sambil berenang mendekat. "Aku tahu kamu masih sedih, tapi aku ingin menjadi sahabat barumu, Dorang. Kita bisa bermain bersama, dan aku yakin Kepiting pasti senang melihatmu tidak lagi sendirian."
Air mata Dorang menetes perlahan, tapi kali ini bukan karena kesedihan. Ada kehangatan yang memenuhi hatinya. "Terima kasih, Cumi. Aku... aku ingin berteman denganmu."
Mereka pun mulai berenang bersama, bermain kejar-kejaran di antara karang-karang dan menyusuri lorong-lorong kecil di dasar laut. Setiap tawa Dorang terasa lebih ringan, seakan perlahan-lahan luka di hatinya mulai sembuh.
Hari itu, langit di atas laut tampak lebih cerah dari biasanya. Dorang tahu, meskipun Kepiting sudah tiada, kenangan indah bersama sahabat lamanya akan tetap hidup di hatinya. Dan kini, bersama Cumi, ia siap menciptakan kenangan baru yang tak kalah indahnya.
Di sudut laut yang tenang, sebuah persahabatan baru pun dimulai—dengan harapan, tawa, dan kenangan yang akan terus hidup, selama Dorang berani membuka hatinya untuk terus berenang ke depan.