Lidah yang Lupa Siang yang Terkulai
Di bawah terik yang menguji sabar
debu menari di sela hawa
langit berbisik dengan lirihnya
Adakah kau teguh, wahai insan
Namun di sudut jalan yang resah
asap mengular dari tungku basah
periuk berdendang tanpa malu
menanak hening di rongga waktu
Tirai tergeser, nafsu terbuka
dinar berjatuhan di genggam lemah
Sajian terhampar di atas dusta
wangi rempah menggoda lidah
Sedang masjid menangis dalam sujud
puasa bersedih dalam sunyi
siang berduka di pangkuan waktu
iman terkatup di sela ragu
Duhai tangan yang menakar dunia
bukankah fajar telah bersumpah
Rezeki tak lekang oleh haus
namun tergadai oleh tergesa
Adakah perut lebih berharga
dari janji yang digurat langit
Atau ini sekadar fana
yang memudarkan segala akhir
Tangan yang Enggan Menanam
Di fajar muda yang berkah terbuka
ia berdiri di lorong tanpa jejak
Kakinya tak menyentuh ladang
tangannya tak menganyam nafkah
Hari-hari berkelana di bayang belas
menadah rezeki dari mulut iba
Ia bisikkan keluh pada angin
padahal lengannya sekuat baja
Tangan lain menakar peluh
membelah siang, menjemput rezeki
Sedang ia, memetik hampa
mengemis pagi, meratap senja
Di hadapannya bumi terbuka
tapi ia enggan menanam benih
Menunggu langit menjatuhkan emas
namun hujan tak mengerti pinta malas
Duhai insan, di mana harga?
Jika tanganmu tak hendak berjuang
Bukankah rezeki butuh digali
bukan sekadar diratap sunyi?