Cerpen Latatu Nandemar
Sejak kecil, kedua orang tuaku sangat senang menyiksaku dengan pertengkaran-pertengkaran yang melahirkan bentakan-bentakan yang membuat jantungku berdegup sangat cepat melebihi kemampuannya untuk memompa darah, dan itu membuat kepalaku sering merasa sakit dan juga pusing.
Hingga akhirnya aku selalu berdoa setiap sore menjelang asar di mana pada waktu tersebut biasanya mereka pulang dari pekerjaan mereka, (ibuku sebagai pembantu dan ayahku sebagai pengangguran paruh waktu) semoga salah satu dari mereka mati di jalan dengan cara apa saja sehingga tidak pernah pulang. Itu akan membuat mereka tidak akan bertengkar lagi selama-lamanya.
Tetapi ternyata Tuhan tidak mau mengabulkan permintaan bocah sepertiku. Mereka berdua tetap pulang ke rumah dan melanjutkan pertengkaran-pertengkaran sialan itu. Dan akhirnya aku mengganti doaku, aku tak lagi meminta agar orang tuaku mati, tapi aku meminta agar aku sendiri yang segera mati.
Maka, rutinitasku setiap akan tidur selalu berharap aku tak bangun lagi. Permintaan yang satu ini pun sama, tak kunjung terkabul hingga akhirnya aku memilih menjemput sendiri kematianku.
Sebanyak dua kali aku mencoba mengakhiri hidupku. Pertama aku mencoba terjun pada sebuah sumur pembuangan air yang belum ditutup dan cukup dalam di sebuah masjid di daerahku yang sedang direnovasi. Itu terjadi ketika aku masih SMP kelas dua.
Aku pikir, jika aku mati bunuh diri di lingkungan masjid, aku tidak akan mati membawa dosa dan langsung masuk surga. Tapi nyaliku ciut seperti seekor tikus yang bertemu kucing lapar ketika aku melihat ke bawah. Dari sejak itu, aku sadar ternyata aku takut terhadap ketinggian.
Percobaan bunuh diriku yang kedua adalah ketika aku baru memasuki kelas satu SMA. Kedua orang tuaku semakin menjadi, begitu juga dengan rasa takutku dalam menghadapi kehidupan. Aku mencoba mengakhiri hidupku dengan seutas tali yang kudapatkan dari sisa pengerjaan bangunan.
Untuk membeli tali dengan sengaja aku tak pernah memiliki uangnya. Tapi, entah nahas entah beruntung? Rupanya tali yang panjangnya hanya dua meter itu sudah terlalu lapuk dan putus ketika menampung beban tubuh cekingku yang kurang makan.
Ketika akan kucoba lagi, tali itu sudah memendek sehingga tak ideal lagi untuk digunakan mengakhiri hidup. Sejak percobaan bunuh diri yang kedua yang gagal itu hingga kini, aku tak pernah lagi mencoba melakukannya.
Kini aku lulus sekolah, aku mulai merasakan sedikit nikmat hidup dengan cara pergi dari neraka kecil yang biasa kusebut rumah itu. Aku mencari pekerjaan.
“Kamu bisa komputer?” seorang HRD Tua berambut putih tipis itu bertanya padaku. Aku menjawab disertai anggukan. “Saya juga bisa mengetik dengan cepat,” tambahku ketika aku melamar pekerjaan di sebuah pabrik yang memproduksi pakan ternak.
HRD Tua itu sedikit berdehem, kemudian mencondongkan sedikit badannya ke depan, aku bisa mencium bau tembakau dari mulutnya begitu kuat menyengat lubang hidungku. Setengah pelan setengah keras dia berbicara, suaranya lebih mirip suara kucing yang sedang kumur-kumur, sangat tak jelas. Tetapi aku masih bisa menangkap maksud kalimatnya. “Hanya saja posisi staf sekarang sudah penuh, dan yang sekarang kami cari adalah posisi office boy, bagaimana?”
Aku menganggap pertanyaan itu adalah sebuah tawaran. Maka aku jawab, “Saya siap, Pak! pekerjaan apa saja saya siap!” suaraku terdengar terlalu keras dari seharusnya, dan itu membuat sosok tua di hadapanku sedikit terkaget sambil memegang dada bagian kiri. Aku sempat khawatir, jangan-jangan HRD tua itu terkena serangan jantung dan aku khawatir batal untuk bisa kerja di tempat ini.
Aku bekerja dengan penuh semangat. Bulan pertama, bulan kedua, dan bulan seterusnya aku masih terpakai sebagai pekerja di sini. Untuk menghemat pengeluaran, aku diizinkan menempati sebuah bangunan kecil bekas pos satpam yang sudah tidak terpakai. Hingga akhirnya pada saat mendekati hampir satu tahun...
“... Kita tidak akan pernah kaya dengan menjadi pekerja, percayalah!” Seorang pria yang baru satu jam kukenal di sebuah warteg ketika aku sedang menunggu belasan nasi bungkus pesanan para staf kantor berbicara dengan nada penuh gelora setelah sebelumnya kami melakukan basa-basi perkenalan awal. Penampilannya seperti memaksakan rapi dengan kemeja putih, celana bahan, dan dasi lecek melingkar di lehernya.
“Anda mau selamanya membelikan nasi bungkus untuk mereka yang jadi bos Anda?” Aku terdiam. Sedikit tersinggung, tetapi hatiku membenarkan kata-katanya. “Ada sebuah cara supaya kita bisa kaya, tetapi kita tetap bisa bekerja, setelah finansial kita matang, kita bisa tinggalkan pekerjaan kita dan hidup santai dengan tanpa kerja.” Aku tak paham apa itu finansial, tetapi aku sangat tertarik dengan kata-kata hidup santai tanpa kerja.
“Bagaimana caranya?” Aku bertanya dengan kombinasi wajah bodoh dan antusias. “Dengan investasi.” Orang tersebut berkata. Selanjutnya menjelaskan dengan panjang lebar dengan mengokang kembali mulutnya untuk memengaruhiku dengan kata-kata motivasi dan diselingi penyudutan terhadap kaum pekerja.
“Sudah bukan saatnya kerja keras, tetapi waktunya kita kerja cerdas.” Di ujung percakapan itu dia mengatakan kalimat tersebut. Aku akhirnya mendaftarkan diri untuk menjadi mangsanya. Aku percaya karena dia memperlihatkan video dan foto-foto kesuksesan investor sebelumnya yang begitu meyakinkan.
Esoknya, setelah kami melakukan perjanjian terlebih dahulu, aku serahkan seluruh uang tabunganku kepadanya. Hasil kerja keras bodohku itu akan menjadi investasi kerja cerdas. Begitu yang aku tangkap dari kata-katanya. Uang sepuluh juta rupiah hasil aku berhemat selama satu tahun itu aku serahkan. Dan dengan bangga kini aku menyandang predikat investor dari orang tersebut. Investor usaha budidaya lobster.
Tidak selesai di tabunganku saja, lelaki sialan itu membuai anganku hingga melambung ke langit dengan membeberkan keuntungan berlipat jika aku menginvestasikan lebih dari ini. Dan dia menyarankan mengambil pinjaman yang cepat cair, alias meminjam ke rentenir. Dan aku mengangguk.
Aku melihat dia tersenyum puas, dan senyum puasku menyusul kemudian karena aku mengira senyum miliknya tadi adalah sebuah gerbang kesuksesan untukku. Ternyata itu adalah senyum puas karena berhasil menjadikan aku mangsa.
Dan setelah itu dia menghilang. Nomornya tak dapat dihubungi lagi. Alamatnya aku tak tahu. Dalam detik-detik berikutnya aku sadar, aku telah kehilangan uang yang sudah susah payah aku tabung. Tapi kesadaranku sangat terlambat. Ditambah pinjaman dengan bunga tinggi yang harus kulunasi. Terasa pahit. Benar-benar pahit dan sakit.
Habis-habisan aku mengutuki nasib. Menyalahkan takdir. Dan derita nelangsa itu menjalari darahku seperti racun. Menebarkan kebencian pada diriku sendiri. Hingga akhirnya keinginan untuk mati seperti tahun-tahun yang telah berlalu itu kembali menghampiri lagi.
Malam ini, akan kembali aku lakukan dan tak boleh kembali gagal.
Aku teringat pada dompetku yang masih menyisakan dua lembar uang lima puluh ribu, dan aku putuskan untuk melakukan kebaikan dengan uang itu terlebih dahulu sebelum pergi selamanya.
Aku berkeliling jalan kaki setelah membeli dua kotak nasi dengan dua botol air mineral. Mencari seorang yang terlihat membutuhkan makan, di wilayah dengan tekanan persaingan berat ini, sangat tidak sulit untuk mendapatkannya.
Seorang lelaki di sebuah ruang terbuka hijau, yang sama sekali tidak hijau, dengan wajah penuh sengkarut penuh beban pikiran kudekati. Kuberikan apa yang kubawa, aku mengajaknya berbicara seakan dia adalah teman lama. Lelaki itu tak menolak, hanya saja tak banyak bicara. Namun, wajah yang semula kusut itu berubah cerah secara perlahan.
“Terima kasih, pemberian Anda ini sangat berarti buat saya,” lelaki itu berkata.
“Terima kasih juga dari saya, penerimaan Anda juga sangat berarti buat saya,” jawabku.
Entah karena menu makanan yang aku konsumsi atau entah karena apa, tiba-tiba aku ingin ke toilet. Aku ijin sesaat, orang itu mengiyakan. Tapi, ketika aku kembali untuk menemui lelaki tadi, dia sudah pergi. Hanya ada secarik kertas ditindih dengan seonggok batu. Aku membacanya.
“Dua puluh lima menit sebelum Anda menghampiri, berbicara dengan saya sambil menikmati apa yang Anda beri, saya sudah bertekad untuk mengakhiri hidup saya tadi. Saya merasa dunia sama sekali tidak memberi tempat untuk saya. Tetapi, kehadiran Anda telah mengubah pandangan saya. Saya pergi dulu untuk melanjutkan hidup.
Terima kasih, orang baik.
Aku termenung. Ternyata lelaki tadi memiliki niatan yang sama denganku. Perbuatan baik yang telah aku lakukan tadi telah mengubah pendirian orang yang akan mengakhiri hidupnya.
Hanya saja, ingatan akan beban hutang yang harus kulunasi, serta kesulitan-kesulitan yang akan aku hadapi, kembali terpahat tegas.
Membuat rasa pesimis untuk menghadapi kehidupan ini kembali melurubi isi kepalaku. Seolah catatan yang ditinggalkan orang tadi tidak mengubah apa pun.
_______
Penulis
Latatu Nandemar, pengajar di sebuah sekolah yang lebih suka mengolah kata daripada mengolah data.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com