Resensi Kabut
Yang terlihat awal adalah gambar di sampul buku. Pada masa lalu, terbitan buku-buku di Indonesia belum terlalu mementingkan dan sanggup menampilkan gambar-gambar apik dan berwarna di sampul depan. Konon, Indonesia masih kekurangan ahli dan mesin cetak yang tersedia belum memadai.
Pada masa 1970-an, beberapa penerbit mulai serius dalam garapan sampul. Gambar-gambar disajikan meski belum memiliki banyak warna. Penerbit yang terbukti serius menampilkan ilustrasi di sampul depan adalah Pustaka Jaya. Ajip Rosidi yang mendirikan penerbit memiliki jalinan erat dengan para pelukis. Maka, tampilan sampul buku-buku terbitan Pustaka Jaya masa lalu memikat.
Gramedia pun melakukan peningkatan mutu sampul buku anak dan remaja. Namun, dominasi buku terjemahan belum memberi kekhasan dalam garapan ilustrasi Indonesia. Di beberapa buku yang ditulis oleh para pengarang Indonesia, ilustrasi atau gambar yang disuguhkan mulai mendapat pujian.
BPK Gunung Mulia ikut mematangkan industri bukunya melalui garapan-garapan sampul. Peran ilustrator atau pelukis ikut menentukan mutu buku. Yang terpenting adalah buku yang sampulnya menarik memicu keterjualan. Apakah ada catatan nama-nama penting yang membuat ilustrasi dalam perbukuan anak dan remaja masa 1970-an dan 1980-an? Kita sebenarnya mengetahui beberapa garapan yang khas tapi memerlukan mengetahui banyak nama dan selera yang dikehendaki para penerbit.
Kita melihat gambar perempuan berambut panjang. Ia mengenakan baju bewarna merah. Kakinya cekeran, tidak menggunakan sandal atau sepatu. Perempuan yang berwajah dewasa tapi perawakannya seperti masih anak atau remaja. Di belakangnya, tampak dua kuda yang sedang berlari. Latar kehadiran gadis dan kuda seperti padang.
Gambar terlihat dalam buku berjudul Pengembaraan Si Mimi (1985) gubahan Surtiningsih WT. Perhatikan judul buku dan gambar. Apakah si gadis merah itu pengembara? Gadis mengembara dengan menunggangi kuda? Gambar itu mengesankan padang yang luas. Bagaimana si pengembara melintasi padang? Bagaimana kuda-kuda itu berlari?
Imajinasi kita sudah bergerak jauh. Imajinasi yang bisa benar atau salah. Yang berimajinasi terpengaruh oleh judul dan gambar yang mengarah ke cerita pengembaraan. Cerita yang mungkin merujuk pada cerita-cerita klasik atau dongeng di Nusantara, yang biasa menyajikan pengembaraan. Namun, kita sedikit memiliki pegangan waktu bahwa gadis itu mengenakan model baju modern. Artinya, cerita yang dibuat Surtiningsih bukan berlatar kerajaan. Gambar yang sepintas tampak apik tapi membingungkan sekaligus meragukan. Gambar itu dibuat oleh Bambang Prasodjo.
Yang sudah membaca beberapa halaman, mulai mengenali tokoh. Perempuan berbaju merah itu namanya Mimi. Ia berusia lima tahun. Apakah yang kita lihat benar-benar memunculkan anggapan bahwa gambar di sampul baru berusia 5 tahun? Di hitungan detik, kita menilai gambar itu salah atau ilustrator gagal paham dengan isi cerita. Dua kuda di belakang Mimi itu memiliki nama: Nino dan Lanang.
Kita berpikiran mendingan ilustrasi buku yang terpenting ditaruh di sampul belakang saja. Pembaca menikmati halaman-halaman cerita selanjutnya mencocokkan dengan gambar yang berada di sampul belakang. Jadi, sampul depan boleh berisi judul saja atau gambar yang bukan primer. Usulan yang tidak menarik!
Buktinya, ilustrasi di sampul buku berjudul Pengembaraan Si Mimi dapat menyesatkan pembaca. Yang tidak terlalu peduli ilustrasi dan cerita boleh membiarkan saja. Yang penting cerita yang ditulis Surtiningsih cukup menarik tapi ada beberapa yang sulit masuk akal. Ingat, tokohnya adalah anak perempuan berusia 5 tahun.
Di desa, Mimi tinggal bersama kakek dan nenek. Mimi tidak lagi memiliki bapak. Ibunya bekerja di kota. Pembaca tidak perlu menanti lama untuk bersedih. Mimi, tokoh yang membuat terenyuh. Rasa itu makin menguat dengan situasi desa.
Pengarang bercerita: “Nenek sudah selesai menutup kembali pintu. Mimi naik ke atas balai-balainya dan rumah pun berada dalam kegelapan karena lampu minyak dipadamkan. Di luar, terdengar hujan turun satu-satu menitik, mula-mula perlahan, kemudian makin berat memukul-mukul genteng rumah. Ketika hujan mulai menderas, Mimi sudah nyenyak terbuai mimpi yang indah.”
Pembaca ikut berada di rumah yang sepi dan gelap. Rumah di desa yang jauh dari makmur. Pilihan bercerita anak tak lagi berbapak, desa, dan rumah tanpa listrik itu kesengajaan agar sedih terus membesar, sejak halaman-halaman awal.
Kakek dan nenek yang mengasihi Mimi. Mereka berusaha mufakat agar Mimi bahagia dengan cara bermain bersama teman-teman. Kakek dan nenek tak usah membuat banyak pembatasan dan larangan. Mereka berpikir nasib anak yang usianya 5 tahun.
Kakek yang bijak: “Itulah sebabnya, kau tak usah melarang-larang Mimi bermain. Biarkan ia main sepuas-puasnya supaya tak ada waktu baginya untuk mengenang bapaknya.” Pembaca ikut memikirkan Mimi. Apakah ia memang sedih tanpa asuhan ibu dan bapak? Bagaimana bermain menjadi jawaban bahagia dan cara tidak terjebak kenangan? Pembaca harap bersabar dengan cerita yang cukup rumit dibuat oleh Surtiningsih.
Kejutan-kejutan pelbagai keadilan diberikan sejak awal. Mimi memang suka bermain bareng teman-teman. Mereka bermain di pelbagai tempat asal senang. Pembaca ikut mengerti bermainnya anak-anak di desa. Akhirnya, mereka pergi sampai pasar untuk menonton lengger. Yang bermain bersama adalah anak-anak SD dan Mimi yang masih 5 tahun. Bagaimana mereka berusaha kompak dan saling mengerti dalam bermain? Pokoknya pembaca tidak perlu banyak tanya.
Yang diminta masuk akal. Pada saat menonton lengger, Mimi kagum pada para pemerannya. Pentas selesai, rombongan itu bergerak ke stasiun. Mimi mengikutinya. Sendirian. Mimi tanpa sadar ikut naik gerbong. Maka, ia meninggalkan desanya. Ia baru sadar saat kereta api melaju. Ia tidak bersama teman-temannya. Kejadian yang mengejutkan yang mengubah nasib Mimi.
Kejadian itu mengawali “pengembaraan” Mimi. Tersesat di tempat yang asing. Yang diceritakan adalah nasib yang masih untung. Di kota, Mimi “ditemukan” oleh sais delman. Anak itu diberi makan dan diajak pulang. Mimi tinggal bersama suami-istri yang tidak mempunyai anak. Kehadiran Mimi seperti berkat. Maka, mereka merawat seperti anaknya sendiri. Mimi sempat bersedih tapi lekas memiliki kebetahan tinggal di keluarga baru. Nasibnya juga ditentukan oleh usaha menanyakan alamat kakek dan nenek Mimi kepada banyak orang.
Pembaca yang ingin kasihan kepada Mimi sebaiknya membatalkan atau menunda. Di keluarga barunya, Mimi yang 5 tahun itu bahagia. Anak yang tangguh. Anak yang masih bisa bahagia meski tersesat jauh dari desa.
Yang membuatnya bahagia adalah kuda. Sais delman memiliki beberapa kuda. Mimi menjadi mereka sebagai “teman”. Pengembaraan Mimi memberi hikmah-hikmah yang membuat pembaca pilih menganggukkan kepala. Jalinan erat Mimi dan kuda-kuda menjadi bukti. Sekarang, pembaca agak mengerti gambar di sampul buku: Mimi dan dua kuda. Jadi, Mimi bukan pengembara di padang rumput atau perbukitan. Kuda-kuda itu bekerja menarik delman.
Mimi ikut merawat kuda. Yang diceritakan: “Mimi mengambil setumpuk rumput baru dari tempat rumput di luar kandang. Tetapi, Nino tetap tak mau bangkit. Matanya melirik tak bersemangat pada orang-orang di sekelilingnya. Mimi iba melihatnya.”
Cerita yang ingin indah dan mengharukan. Selema beberapa hari di rumah barunya, Mimi cepat akrab dengan kuda-kuda. Perhatian dan kasih diberikan pada kuda-kuda. Mimi pun bahagia.
Selanjutnya, cerita dibuat makin rumit oleh Surtiningsih. Pembaca tidak lagi terlalu memasalahkan Mimi dan kuda-kuda. Artinya, cerita bergerak ke pelbagai arah. Pembaca boleh lelah tanpa harus mengabaikan bab-bab cerita yang dibuat pengarang.
Kini, masalah sudah agak terjawab mengenai gambar di sampul, judul, dan cerita. Kita tidak berlanjut membahas rumit-rumit cerita yang dibuat di separuh isi buku.
________
Penulis
Kabut, penulis lepas.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com