Friday, October 31, 2025

Dakwah | Bahaya Sihir, Perdukunan, dan Ramalan dalam Menjaga Keimanan

Ust. Drs. Abu Bakar



Dalam kehidupan seorang muslim, iman adalah fondasi paling berharga. Ia bukan sekadar pengakuan di lisan, tetapi cahaya yang hidup di hati dan diwujudkan dalam amal perbuatan. Karena itu, menjaga keimanan merupakan tugas seumur hidup yang menuntut kewaspadaan dan keteguhan.


Dalam ilmu tauhid dikenal istilah Nawaaqidlul Iimaan (نواقض الإيمان), yaitu hal-hal yang dapat membatalkan iman seseorang setelah ia memasukinya. Para ulama mendefinisikan istilah ini dengan kalimat:


مَا يُذْهِبُهُ بَعْدَ الدُّخُوْلِ فِيْهِ

Mā yudzhibuhu ba‘dad-dukhuuli fīhi

“Sesuatu yang dapat menghilangkan keimanan setelah seseorang memasukinya.”


Artinya, iman bisa hilang apabila seseorang terjerumus dalam perkara-perkara yang membatalkannya. Karena itu, seorang mukmin harus berhati-hati agar keyakinan dan keteguhan imannya tidak ternodai oleh hal-hal yang merusak, baik melalui pikiran, keyakinan, maupun perbuatan. Wal‘iyādzu billāh — semoga Allah melindungi kita dari kebinasaan iman.


Dalam pembahasan mengenai pembatal keimanan, para ulama menjelaskan beberapa hal besar yang termasuk di dalamnya, seperti mengingkari rububiyah Allah, sombong enggan beribadah, berbuat syirik, menentang ketetapan Allah, mendustakan Rasul, serta meyakini bahwa petunjuk Rasulullah ﷺ tidak sempurna. Termasuk pula: tidak mengkafirkan orang musyrik yang nyata kekafirannya, memperolok agama, membantu musuh Islam, berpaling dari ajaran Allah, serta membenci sesuatu yang dibawa Rasul meskipun masih mengamalkannya.


Namun, di antara semua itu, ada satu hal yang tak kalah berbahaya: sihir (السحر). Sihir merupakan dosa besar yang dapat menghapus keimanan, sebagaimana dijelaskan dalam Muqorror Tauhid karya Syaikh Shalih bin Fauzan. Sihir bukan sekadar tipu daya, tetapi bentuk kerja sama dengan setan dan penentangan terhadap kekuasaan Allah. Ia tidak hanya merusak akidah pelakunya, tetapi juga dapat menghancurkan kehidupan orang lain dan tatanan masyarakat.


Dalam praktiknya, sihir sering muncul dalam berbagai bentuk: ash-shorfu (mengubah keadaan seseorang), al-‘athfu (menimbulkan simpati atau cinta secara tidak wajar), dan ar-ridha (menimbulkan rasa senang secara batil). Semua bentuk tersebut merupakan tipu daya yang menyalahi fitrah dan mengandung unsur kekufuran.


Allah Ta‘ala berfirman:


وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَـٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ...


“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. Padahal Sulaiman tidak kafir, hanya setan-setan itulah yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia…”

(QS. Al-Baqarah: 102)


Ayat ini turun untuk membantah tuduhan kaum Yahudi yang menuduh Nabi Sulaiman sebagai tukang sihir. Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa dua malaikat, Harut dan Marut, sebenarnya diutus untuk menguji manusia. Setiap kali seseorang datang untuk belajar sihir, keduanya memperingatkan: “Innamā naḥnu fitnah, falā takfur”: Sesungguhnya kami hanyalah cobaan bagimu, maka janganlah kamu kafir.”


Imam Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir menegaskan bahwa peringatan tersebut merupakan larangan keras agar manusia menjauhi sihir, sebab mempelajarinya termasuk perbuatan kufur. Dengan demikian, mempelajari atau mempraktikkan sihir, sekalipun dengan alasan “menguji” atau “membela diri”, tetap termasuk kekufuran karena berpaling dari tawakal kepada Allah dan menempuh jalan setan.


Dalam kelanjutan pembahasan para ulama, termasuk Muqorror Tauhid dan Syarah Kitabut Tauhid, dijelaskan pula bahwa bentuk kekufuran serupa juga terdapat dalam kahanah (perdukunan) dan ‘arafah (ramalan). Para dukun dan peramal sering kali menampilkan diri sebagai “orang pintar” atau “penyembuh spiritual”. Mereka meminta hewan sembelihan sebagai persembahan bukan karena Allah, melainkan untuk jin atau setan tertentu. Mereka juga menulis ṭalāsim syirkiyyah, azimat, rajah, atau jimat yang diyakini dapat memberi perlindungan, padahal itu semua adalah bentuk kesyirikan.


Sebagian lainnya mengaku mampu mengetahui perkara gaib — menunjukkan barang hilang, membaca pikiran, atau menebak nasib seseorang. Padahal mereka hanya mendapat sebagian kabar dari setan yang mencuri dengar berita langit, lalu mencampurnya dengan kebohongan. Bahkan ada yang menipu dengan menunjukkan atraksi ekstrem seperti kebal senjata atau tidak terbakar api, padahal itu hanyalah tipu daya setan yang disebut oleh para ulama sebagai umūrun takhayyuliyyatun — hal-hal khayalan yang menipu pandangan manusia, sebagaimana tukang sihir Fir‘aun memperdaya mata orang-orang dahulu.


Larangan terhadap sihir, perdukunan, dan ramalan ditegaskan dalam banyak dalil. Rasulullah ﷺ bersabda:


اِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ

“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan.” 

Para sahabat bertanya, “Apakah itu wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “(Yaitu) mempersekutukan Allah dan melakukan sihir…”

(HR. Bukhari dan Muslim)


Hadis ini menunjukkan bahwa sihir sejajar dengan syirik, sebab keduanya sama-sama menghancurkan fondasi iman.


Allah juga berfirman dalam Surah Asy-Syu‘arā’ (221–223):


هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَىٰ مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ ۝ تَنَزَّلُ عَلَىٰ كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ ۝ يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ


“Apakah akan Aku beritakan kepadamu kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada setiap pendusta lagi banyak dosa. Mereka menyampaikan sebagian yang mereka dengar, padahal kebanyakan mereka adalah pendusta.”


Ayat ini menjelaskan bahwa setan hanya menurunkan bisikan kepada pendusta, yaitu para dukun dan tukang ramal yang mengaku mengetahui hal gaib.


Rasulullah ﷺ juga bersabda:


مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ ﷺ


“Barang siapa mendatangi dukun lalu membenarkan apa yang dikatakannya, maka sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad ﷺ.”

(HR. Ahmad dan Al-Hakim, disahihkan menurut syarat Bukhari dan Muslim)


Hadis ini menjadi peringatan keras bahwa percaya kepada dukun berarti mengingkari Al-Qur’an dan Sunnah, sebab hanya Allah yang mengetahui perkara gaib. Keyakinan bahwa manusia bisa mengetahui hal gaib tanpa wahyu merupakan bentuk pengingkaran terhadap rububiyah Allah. Oleh karena itu, setiap muslim wajib menutup sekecil apa pun pintu menuju syirik — termasuk mendatangi, mempercayai, atau sekadar menguji tukang sihir dan peramal. Semua itu adalah jebakan setan yang dapat mengikis iman.


Sihir, perdukunan, dan ramalan adalah penyakit akidah yang harus diberantas. Ia tidak hanya menyesatkan pelakunya, tetapi juga merusak keyakinan masyarakat. Maka, memperdalam ilmu tauhid dan memperbarui iman menjadi benteng paling kokoh bagi seorang mukmin.


يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.”


Semoga Allah menjaga iman kita dari segala hal yang membatalkannya, mengokohkan hati dalam ketaatan, dan menjauhkan kita dari godaan syirik, sihir, serta segala bentuk kekufuran.


Referensi:

1. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Tim Depag RI, hal. 28.

2. Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, hal. 208 dst.

3. Tafsir Fathul Qadir, Jilid I, hal. 242.

4. Asbābun Nuzūl, KH. Qomaruddin Shaleh dkk., hal. 34–35, dan lain-lain.

5. Muqorror Tauhid, Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan, Jilid II, hal. 19.

6. Muqorror Tauhid, Jilid III, hal. 52.

7. Tauhidul ‘Ibadah, hal. 176 dst.

8. Syarah Kitabut Tauhid (Fathul Majid), hal. 293 dst.

9. Al-Jadid: Syarah Kitabut Tauhid, hal. 166 dst.