Barangkali kita senang berimajinasi tentang masa depan. Tentang kehidupan yang menarik, dinamis, dan berat untuk ditinggalkan. Dari hal ini, kita mulai bergerak dengan penuh percaya diri bahwa ide kehidupan itu akan sampai. Kendati pada akhirnya hal itu tidak pernah benar-benar dimiliki dan menyisakkan humor yang mengundang gelak tawa.
Seperti yang dikatakan Søren Kierkegaard bahwa kondisi yang paling menyakitkan adalah mengingat masa depan, terutama masa depan yang tak pernah Anda miliki. “The most painful state of being is remembering the future, particularly the one you’ll never have.” (Søren Kierkegaard).
Memproduksi pikiran tentang masa depan tentu bukanlah hal buruk. Seperti kala kita masih anak-anak yang berimajinasi menjadi apa pun di masa depan—tentara, polisi, super hero, mekanik, nelayan, juru masak di kapal pesiar, bahkan tidak sedikit yang berkeinginan menjadi pemuka agama. Dari imajinasi inilah tubuh kita senantiasa bergerak, berharap tiba pada telos—tujuan.
Memperjuangkan masa depan berarti bersiap menikmati kesemuanya. Menerima setiap perjumpaan dan perpisahan. Meresapi setiap perjalanan yang membentur batu-batu cadas, mengarungi kelokan yang deras, menghadapi gulungan gelombang, bertahan dari badai yang pekat, bahkan berdesakan mengantre jatah Jumat berkah. Tentu ini adalah bagian kehidupan yang asoy-geboy untuk dinikmati, sembari menerka-nerka wujud apalagi yang yang harus dihadapi. Pada sisi ini, saya merasa bersyukur dilahirkan menjadi manusia.
Kehidupan manusia tentu tidak sesederhana yang dituturkan di muka. Pada kasus lain, alih-alih menikmati proses, tidak sedikit dari kita yang terjerembab pada pikiran masa depan, namun tidak pernah benar-benar hadir pada kehidupan yang tengah dijalani. Menyuntuki masa depan yang tak kunjung tiba dan lagi-lagi berujung pada komedi yang lembab—agak kering.
Pada bagian ini saya mulai mempertanyakan kemanusiaan saya. Apakah saya memang benar-benar hadir di dunia ini. Barangkali ada saatnya saya perlu memberi ruang untuk bernapas dan melepaskan semuanya—bahkan mimpi itu sendiri. Seperti yang pernah dikatakan Encep, “Hidup tuh Bro, butuh tuma'ninah—jeda—ketenangan. Bukan cuma salat yang harus tuma'ninah. Hidup juga!”
Jangan-jangan perjalanan hidup saya selama ini keliru. Jalan lurus yang mengantarkan jiwa ini pada hakikat hidup berada jauh di seberang sana. Saya teramat lugu bersandar pada keyakinan dan harapan tanpa pernah mau mengeja dan membaca diri saya berada di mana. Saya mengira perjalanan ini menuju keberhasilan dan kegemilangan, padahal saya hanya berputar-putar di tempat yang sama, seperti halnya seorang perawan yang asyik skrol TikTok di kasur empuk sembari merangkul guling kesayangannya dan mulai membayangkan dirinya menjadi apa yang ia lihat atau perjaka yang mengingat kemenangan dari putaran rolet yang ia taruhi, padahal itu tak pernah terjadi.
Entah bulan sabit ke berapa yang menggantung di langit Ibu Kota ini. Langit yang menaungi kisah-kisah manusia yang kompleks. Percintaan, kenestapaan, olok-olok, semua ada di sini. Di kota yang serba bergerak cepat ini, sulit rasanya menemukan ruang sunyi. Ruang untuk becakap-cakap dengan diri sendiri. Rasanya tubuh saya dipaksa terus bergerak dan dejavu setiap pagi. Sampai-sampai nyaring alarm terasa menyebalkan—sekaligus menakutkan. Sungguh aku merindukan cara menikmati srengenge subuh lan damar bulan sing keanginan.
Menembus jalanan kota yang basah dan penuh sesak kendaraan adalah rutinitas menjengkelkan yang tidak bisa saya hindari. Di antara pengendara itu tak sedikit yang grasak-grusuk—buru-buru seolah sedang dikejar-kejar fans akut. Nyatanya dengan grasak-grusuk pun kita semua tak pernah benar-benar sampai.
Esok pagi kita akan dipertemukan lagi pada kemacetan identik yang menguras emosi, waktu, dan nyawa yang perlahan-lahan dikeruk tanpa suara. Dan kita senantiasa yakin jika ada kesusksesan, keberhasilan setelah melewati kemacetan ini. Kita tak henti-hentinya grasak-grusuk, menerobos jalan busway dan lampu merah, menikung tajam bagai Valentino Rossi, menyumpah serapah sembarangan, kendati hati kecil kita sadar jika tujuan itu hanya maya.
Tempurung kepala kita sudah sangat penuh sesak. Namun, kita harus terus menerima segala motivasi dan harapan baru setiap hari yang berujung pada kebingungan. Dunia sudah banyak berubah. Kekaisaran Romawi sudah tak lagi berjaya. Keraton Surosowan hanya menyisakan reruntuhan. VOC tenggelam oleh zaman. Dunia yang kita diami adalah dunia teknologi digital yang kesaktiannya melebihi ilmu teluh atau ilmu telepati para moyang. Para influencer lahir setiap pagi. Memproduksi motivasi yang membikin semakin sakit tempurung kepala.
Timothy Ronald, influencer muda yang gencar mempromosikan investasi uang digital ini konten-kontennya selalu viral. Ia senantiasa menunjukan kesuksesan, keberhasilan, kegemilangannya dalam dunia bisnis. Ia tidak jarang memberi saran—mengajari kita untuk mengubah mindset untuk menjadi orang kaya. Niat tulusnya tentu tidak bisa kita hakimi.
Beberapa rekan saya mengaku “tercerahkan” untuk mengubah pola pikirnya yang selama ini dirasa “kolot”. Berbekal menonton konten Timothy berulang-ulang dan pengetahuan seadanya, ia memberanikan diri untuk berinvestasi di uang digital. Saya tidak tahu apa yang ada di tempurung kepalanya. Yang saya tahu ia selalu memotivasi saya untuk ikut investasi. Mengajari saya untuk mengubah mindset. Selebihnya ia hanya menyuntuki fluktuatif uang digital tanpa pernah benar-benar mempelajarinya. Ia telah menjadi orang kaya di kapalnya.
Pada kasus yang lain. Beberapa teman saya sering kali meminjam—lebih tepatnya meminta uang untuk deposit judol. Dia selalu mengeluarkan kata-kata keramatnya, "Mau jakpot ni, Bos!". Keyakinan itu memang patut saya apresiasi, kendati perkataan itu telah terlontar sekurang-kurangnya seribu tiga puluh dua kali. Motor, laptop, gawai tak jelas juntrungannya, dan ia masih bisa mengatakan mau JP. Gendeng!
Beberapa teman lain yang biasa saya temui di sela-sela istirahat kerja, setiap hari membahas bisnis, tetapi bisnisnya tak pernah nyata. Jujur jika saya mendengar tutur katanya bagaikan pebisnis besar dengan harta kekayaan membentang dari Selat Malaka sampai Semenanjung Sinai.
Sepertinya manusia di zaman ini sangat sibuk membangun dunianya dalam khayalan. Tentu itu tidak salah, semuanya adalah pilihan. Barangkali memang itulah yang teman-teman saya ingini. Kendati keriuhan ini agaknya memaksa saya untuk menepi dan sendiri.
Suatu malam di hari yang berbeda di tahun yang sama nada lagu Donna Donna —Joan Baez—terdengar mengisi ruang dalam kafe ini. Seorang pelayan yang sedari tadi gesit ke sana kemari tiba mengantarkan secangkir latte ke meja bulat yang saya diami. Setelah menaruh cangkir, ia melontarkan pertanyaan basa-basi.
“Saya perhatikan Abang selalu sendirian, pasti jomlo, hehe becanda Bang,” ujar pelayan dengan raut wajah cengengesan.
Awalnya saya enggan menjawab. Namun, karena ia tak juga lekas beranjak, saya pikir tak ada salahnya memberi sedikit jawaban atas rasa penasaran seseorang.
“Ibu saya empat.”
Angin malam berembus membelai wajah saya dengan halus. Langit tampak cerah dengan cahaya rembulannya yang memerah. Derit kursi sesekali terdengar. Cekakak-cekikik ABG yang tengah kongkow di sudut jauh menguap mengisi seisi kafe ini. Sesekali saya teguk latte ini banyak-banyak
Pertanyaan pelayan kafe yang lucu itu ternyata menghentikan waktu. Jawabannya menjelma pengakuan yang saya butuhkan. Saya memang sendiri tetapi tidak sendirian dan kesepian. Meja yang membulat, bulir air yang menggantung di dinding gelas, gumpalan awan yang jarang, rembulan yang menyala merah jambu, beserta angin malam yang berembus-embus, juga daun dan ranting-ranting kering ada di sini. Ia hadir untuk menjaga saya dari kesepian dan kesendirian. Dari ketakutan, dari kesedihan, dari kenestapaan, dari harapan semu yang membius.
Barangkali, kebahagiaan sejati bukanlah terletak pada masa depan yang harus diraih dengan grasak-grusuk, melainkan pada tuma'ninah (jeda yang tenang) untuk menyadari bahwa alam dan kehadiran yang sunyi telah menjadi pelindung. Bahwa manusia, pada akhirnya, hanya perlu berhenti berlari untuk menemukan telos yang sesungguhnya. Sebuah penerimaan sederhana atas apa yang ada saat ini. Seperti dalam puisinya Gunawan Muhammad:
Dingin Tak Tercatat Termometer
Dingin tak tercatat
Pada termometer
Kota hanya basah
Angin sepanjang sungai
Mengusir, tetapi kita tetap
di sana. Seakan-akan
gerimis raib
dan cahaya berenang-renang
mempermainkan warna
Tuhan, kenapa kita bisa
bahagia?
Jakarta, Oktober 2025
______
Penulis
Ma’rifat Bayhaki, lahir di Serang-Banten. Sempat bercita-cita menjadi juru masak di kapal pesiar.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com
