Oleh Kabut
Desember itu sejarah. Yang biasa kita ingat, Desember adalah nama bulan yang terakhir. Ada yang mengartikan Desember adalah duka. Ia mengingat bencana-bencana di Indonesia sering terjadi saat Desember. Namun, yang sedang kita ingat adalah sejarah. Apa yang terjadi di Indonesia masa lalu? Desember ikut dalam lembaran-lembaran sejarah Indonesia.
“Hari ini ternyata tanggal 27 Desember 1949, hari pengakuan kedaulatan kepada Republik Indonesia,” kalimat yang terdapat dalam novel berjudul Senja Itu Langit Merekah gubahan Surtiningsih WT. Buku tipis yang diterbitkan Gaya Favorit Press, 1981. Judulnya tidak mengesankan sejarah tapi yang membaca akan masuk dalam sejarah.
Yang diceritakan adalah gadis cilik bernama Menik. Mengapa ia hadir dalam lembaran sejarah? Menik mengisahkan diri, keluarga, pasukan Belanda, kaum gerilyawan, anjing, dan lain-lain. Maka, cerita-ceritanya mengajak kita hadir dalam sejarah yang berlatar tahun-tahun setelah proklamasi. Menik bercerita, tidak bertugas menjelaskan sejarah. Namun, tokoh yang dibuat Surtiningsih itu menjadi sosok yang menghubungkan penggalan-penggalan cerita menjelang pengakuan kedaulatan Indonesia. Jadi, pembaca dilonggarkan memikirkan dan berimajinasi sejarah Indonesia (1945-1949).
Aneh, penulisan cerita untuk anak mengusung sejarah. Padahal, murid-murid di SD dan SMP sudah bosan dengan pelajaran sejarah. Dulu, ada beberapa penyebutan mata pelajaran yang membawakan sejarah. Yang pernah belajar PMP bakal sampai sejarah. Murid yang pernah dicekoki PSPB pasti kenyang sejarah. Pokoknya, sejarah keseringan diajarkan tapi menjemukan, ditambah pidato kepala sekolah saat upacara.
Apakah novel membuat anak terpanggil belajar sejarah tanpa beban berupa ujian? Di Indonesia, kita jarang menemukan novel untuk anak yang mengusung sejarah memberi kesan-kesan mendalam. Yang terjadi adalah novel-novel kebanyakan pesan dan biasa dijadikan “propaganda” dalam kepentingan penguasa “membentuk” sejarah sekaligus melaksanakan pembangunan nasional.
Surtiningsih tampak kurang gereget dalam membawakan sejarah kepada para pembacanya. Novel itu seperti menjadikan sejarah cuma latar. Yang jelas pengisahannya lancar, tidak membikin anak-anak pusing. Cerita yang mudah membuat terharu tapi kadang menimbulkan kebingungan bila ada usaha mencocokkan dengan materi-materi dalam buku-buku pelajaran.
Warga menyelamatkan diri dari serbuan pasukan Belanda. Pasukan yang membawa persenjataan modern, yang tidak menolak Indonesia merdeka. Belanda berpikiran Indonesia masih miliknya meski sudah ada proklamasi: 17 Agustus 1945. Belanda murka dan angkuh, melanjutkan babak kolonialisme yang terlalu lama.
Pengarang menunjuk peristiwa yang menyedihkan saat pertempuran: “Malam pun turun. Pengungsi-pengungsi meninggalkan kuburan itu melanjutkan perjalanan mencari tempat yang aman untuk berlindung dari keangkaramurkaan musuh. Dan aku, betapa pun berat membawa bungkusan baju-baju, lagi-lagi teringat kepada anjingku, dan khawatir akan nasib tentara muda yang tadi terlihat.” Menik menyadari Indonesia diobrak-abrik Belanda. Mengungsi itu menyelamatkan diri. Perlawanan dilakukan oleh para lelaki yang menjadi kaum gerilyawan. Menik berada dalam hari-hari yang menegangkan. Artinya, ia menjadi saksi sejarah.
Di situasi yang menyedihkan, Menik sempat mendengar perkataan bapaknya setelah pertemuan para pengungsi: “Tadi datang utusan memberitahu bahwa perang ini akan berlangsung lama. Kita harus menyediakan diri, bersiap-siap untuk menderita lama. Belanda sudah menduduki kota kita. Sebaiknya kita kembali ke rumah masing-masing dan mendoakan agar pemuda-pemuda kita dapat mengembalikan tanah air kita kembali kepada bangsa kita. Pemuda-pemuda akan bergerilya.”
Kalimat yang terbaca mudah tapi pembaca menemukan ada yang berlebihan. Apakah kata-kata itu terucap runtut dan rapi oleh orang yang sedang dirundung sedih dan takut? Pengarang sengaja ingin membebani kalimat itu dengan pesan-pesan agar para pembacanya memuliakan tanah air. Pada suatu riset, novel gubahan Surtiningsih bisa menjadi referensi yang memasalahkan (sejarah) Indonesia dalam klise-klise yang lemah dalam argumentasi.
Menik yang masih kecil cepat memiliki kesadaran atas kemerdekaan. Ia tidak ingin Indonesia dijajah lagi. Menik yang didewasakan suasana perang dan mengikuti keinginan pengarang. Anak-anak yang membaca novel akan bangga dan memuji sikap Menik. Kita membayangkan peristiwa yang dialami Menik berlatar 1949: “Dari sebuah truk, seorang tentara melemparkan sekaleng makanan kira-kira dua meter di depanku. Kulirik mukanya yang tersenyum padaku. Tentu saja aku ingin makanan enak. Tapi tidak dari tentara Belanda yang biasa memamerkan kekayaannya dengan melempar-lemparkan rangsum mereka agar dipungut oleh anak-anak dan dapat menimbulkan pikiran bahwa kalau kita diperintah Belanda maka kita dapat makan enak.” Bocah yang terlalu cerdas dan kritis. Yakin saja sikap itu terjadi dalam sejarah.
Menik yang berani bersikap, yang sebenarnya mengerti risikonya. Namun, pengarang ingin menampilkan Menik ambil peran dalam sejarah: “Rasanya dengan begitu aku mau menunjukkan kepada mereka, bahkan anak kecil pun tak sudi menerima penghinaan. Aku berjalan dengan hati puas.” Menik, bukan bocah yang biasa. Ia tidak diceritakan sebagai penakut, selalu meratap dan menyusahkan selama perang.
Perang bukan sekadar air mata, makian, kematian, luka, dan lain-lain. Pengarang tetap menghadirkan jagatnya anak-anak yang sejenak mengelak dari kenyataan perang. Pada suatu hari, Menik tidak terlalu memikirkan perang. Ia berada dalam pengalaman yang wajar. Para pembaca justru mudah menerima peristiwa Menik: “Di sebelah kanan rumahku tinggal Pak Hardjowinoto, seorang kepala sekolah. Rumah yang anggun itu halamannya biasa tertutup. Tak seorang pun anak tetangga yang berani bermain-main di halaman itu. Di sudut halaman tumbuh pokok mangga manalagi. Kadang-kadang buahnya yang masak di pohon jatuh ke luar halaman dan aku biasa berlari-lari untuk memungutnya.” Perang masih memungkinkan adanya halaman anak makan mangga manalagi.
Sejak halaman awal sampai akhir, pengarang memang menceritakan cerita tentang perang. Tokohnya adalah anak. Namun, masalah-masalah yang menguasai cerita terlalu besar dan ruwet bagi anak-anak. Pengarang tetap saja dapat memberikan peristiwa yang menarik saat Menik memasalahkan mangga. Yang menarik itu sedikit.
Kalimat terakhir dalam novel terbaca tidak menarik bila kita ingin menghormati hak-hak anak atas cerita. Pengarang menulis berlatar 27 Desember 1949: “Indonesia benar-benar telah merdeka! Merdeka!” Kalimat memang meninggikan derajat memuliakan Indonesia tapi kurang cocok dalam pengisahan untuk anak-anak, yang memerlukan imajinasi Indonesia tanpa sesak slogan dan pekik.
________
Penulis
Kabut, penulis lepas.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com
