Saturday, December 20, 2025

Resensi Kabut | Lupus dan Masa Lalu

Oleh Kabut



Orang-orang yang hidup pada masa Orde Baru mendapat hiburan yang bermutu bila membaca majalah Hai. Majalah terbitan Gramedia itu memberi beragam hiburan. Para pembaca terhibur gara-gara musik, film, cerita, dan lain-lain. Maka, ingatan penting hiburan tercipta dalam majalah Hai adalah cerita yang bertokoh Lupus. Cerita itu ditulis oleh Hilman. 


Yang membuat orang gandrung dan fanatik Hai mungkin pemuatan Lupus. Di situ, para pembaca boleh tertawa sambil terbahak-bahak atau berguling-guling. Pembaca yang ganas mungkin maki-makin mendapatkan lucu yang kurang ajar. Kaum remaja atau muda masa lalu menjadi jamaah Lupus. Jamaah yang ramai cerita. Di hadapan cerita, mereka memiliki dunia. Hidup mereka tidak sepi dan menjenuhkan. Artinya, Lupus adalah berkah untuk Indonesia. Yang membaca terhindar dari frustrasi memikirkan Indonesia yang dikuasai oleh Soeharto.


Apakah cerita dapat mengubah nasib? Cerita melindungi pembaca dari keburukan-keburukan politik? Kita mungkin berlebihan menganggap Lupus terlalu penting untuk Indonesia. Ingatlah, cerita itu memang digemari ribuan orang tapi tidak boleh mengalahkan GBHN dan teks-teks pidato Soeharto. Kita berharap ada yang membahas Lupus dan Orde Baru. Maksudnya, kita ingin mengenang masa lalu dengan ceria, bukan kecewa dan menyesal. 


Lupus masih terkenang sampai sekarang. Kolektor buku-buku Lupus masih bisa dijumpai di seantero Indonesia. Dulu, yang membaca masih remaja. Kini, mereka sudah tua. Yang pasti, mereka tetap memiliki Indonesia gara-gara Lupus. 


Apakah Lupus cuma untuk kaum remaja? Berbahagialah anak-anak yang ikut terhibur oleh Lupus. Pada masa Orde Baru, masa yang penuh kebusukan, anak-anak diajak menikmati cerita Lupus saat masih kecil. Maka, terbitlah buku-buku Lupus kecil walau tak setenar Lupus yang mula-mula bertumbuh dalam majalah Hai.


Bagaimana dampak Lupus bagi anak-anak yang sedang mendapat doktrin-doktrin rezim Orde Baru? Mereka kadang nakal, guyonan, ngawur, bijak, dan konyol. Anggap saja Lupus pernah menjadi panutan anak-anak yang tidak mau bercita-cita menjadi presiden, menteri, gubernur, dan bupati. Anak-anak yang ingin gembira saja tanpa harus pamer impian terbesar Indonesia. Mereka tidak butuh gelar, piagam penghargaan, atau kelak menghuni taman makam pahlawan. Lupus yang membuat mereka masih betah hidup saat Indonesia penuh dusta dan berantakan.


Sekarang, yang masih bisa terbaca adalah buku berjudul Lupus Kecil: Khitanan Masal garapan Hilman dan Boim. Buku kecil diterbitkan oleh Gramedia, 1992. Gambar di sampul sudah lucu. Bocah yang mengenakan sarung. Di tangannya, ada sapu. Ia tampak berjalan tidak normal. Para pembaca paham bocah itu sedang dalam proses penyembuhan gara-gara khitan. Konon, khitan menandakan ia berani dan beranjak menjadi remaja. Judul buku pun mengingatkan lantunan Iwan Fals: “sunatan masal”. Hiburan yang mujarab. Satu buku berisi sepuluh cerita. Lupus yang membuat tertawa menunda kiamat.


Cerita untuk anak tapi mengandung kritik kepada para ibu. Dua pengarang memang mbeling. Kita menyimak pantun yang diucapkan saat ibu-ibu berkumpul dan merayakan gosip: Kalau ibu pergi ke Pasar Minggu/ jangan lupa kirimi saya pepaya/ Ibu-ibu tak usah ragu/ kalau saya ini manis bila bergaya. Ada ibu yang membalas: Jalan-jalan ke Kebun Raya/ Beli karcis satu buat berdua/ Saya ini tak perlu bergaya/ sudah banyak orang yang suka. Pantun itu jenaka. Padahal, yang diceritakan adalah para ibu, yang mengaku memberi pengasuhan terbaik kepada anak-anak. Ibu-ibu yang ingin gembira, tidak mau kalah dengan anak-anak. Yang lucu tidak hanya Lupus. Kaum ibu pun lucu.


Ibu-ibu tidak hanya tertawa. Mereka baik dan bijak. Perkumpulan itu ingin mewujudkan rencana indah: “Mereka merencanakan akan mengadakan sunatan masal. Rencana para ibu, semua anak kompleks dan kampung sekitar kompleks, khususnya tak mampu dan belum disunat, harus ikut. Bagi anak-anak yang sudah sunat, tapi hasil sunatannya kurang artistik, alias lewat dukun yang kurang ahli, boleh ikut lagi.” Kita membayangkan para pembaca tertawa selama sepuluh menit. Selanjutnya, minta segelas air agar tidak batuk-batuk. 


Gagasan dan perbuatan yang baik diganggu oleh Lupus. Ia berusaha merusak bakti sosial. Apakah ia memiliki alasan yang kuat berkaitan sunatan masal. Dua pengarang yang sengaja mengajak para pembaca main-main dalam mengartikan ibu, anak, dan bapak. Para pembaca diajak memahami anak yang bengal. Situasi masyarakat pun dipaparkan. Artinya, buku yang seru dan lucu dapat menjadi rujukan bagi anak-anak mengerti individu, keluarga, dan masyarakat. Namun, anak-anak pada masa Orde Baru mendapatkan semua itu melalui buku pelajaran dan Penataran P-4.


Acara yang baik terselenggara: “Dan kira-kira jam sepuluh lewat banyak, acara sunatan masal itu selesai. Ngerinya cuma sebentar. Anak-anak yang telah disunat nggak ada lagi yang sedih, termasuk Lupus. Semuanya ceria. Paling tidak, saat itu mereka masih ceria. Mereka duduk berbaris, seraya memeluk bingkisan masing-masing. Kemudian difoto bersama. Kalau Lupus sibuk memegangi sarungnya tinggi-tinggi agar tak jatuh ke bekas sunatnya.”


Kita mengutip sedikit saja dari buku yang ditulis Hilman dan Boim. Ingatan kita tentang buku (anak) dan Orde Baru memang sering bias. Dulu, pemerintah gencar mengadakan bacaan anak melalui Inpres. Namun, buku-buku yang mereka adakan sering tidak bermutu. Yang membaca cerita-cerita Lupus menemukan dunia yang menyenangkan sambil belajar pelbagai hal. Yang membuat kita bingung, buku-buku Lupus sangat sulit selaras dengan pamrih-pamrih pemerintah. Maka, beruntunglah orang-orang yang pernah membaca Lupus. Mereka tidak terlalu mendapat dikte pemerintah, masih mungkin membuat perlawanan dan pembebasan dengan tawa.


________


Penulis


Kabut, penulis lepas.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


This Is The Newest Post