Friday, October 15, 2021

Cerpen Heru Sang Amurwabumi | Kau Membawaku Tunduk Pada Penguasa

  Cerpen oleh Heru Sang Amurwabumi



Dada pemimpin Kabuyutan Mangir itu berdegup kencang. Masih terlintas dengan jelas dalam ingatannya, bagaimana dia mengusir dua utusan Mataram yang mengirimkan surat kepadanya. Surat dari Panembahan Senopati yang menginginkan agar Mangir menyatakan takluk.

 

Sebagai pemangku kabuyutan yang telah diakui sebagai sebuah tanah sima—bebas pajak dan memiliki hak otonomi—sejak era Demak, Wanabaya merasa berhak menolak keinginan Mataram. Mangir, sejak dipimpin buyutnya, tak pernah diusik oleh penguasa Jawa. Seharusnya, memang begitulah hak sebagai tanah sima.

 

“Kau tak pantas disebut sebagai menantu, Wanabaya!”

 

“Tidak. Aku tidak salah! Apa yang aku lakukan adalah dharma dalam menjunjung kedaulatan Mangir!”

 

Dua sisi batin Wanabaya bertikai. Pemimpin Kabuyutan Mangir itu dihadapkan pada dua pilihan sulit: memenuhi perintah Panembahan Senopati untuk menghadap ke Mataram, atau tetap bersikukuh tinggal di Mangir.

 

Dalam kecamuk badai kebimbangan, Wanabaya melangkahkan kaki menuju sanggar pemujaan.

 

***

 

Setelah naik takhta dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa, Danang Sutawijaya memperluas wilayah kekuasaan Mataram dengan menaklukkan kadipaten, kademangan, dan kabuyutan di Jawa bagian tengah dan timur. Namun, seorang pemimpin kabuyutan yang tak jauh dari pusat kadhaton, Ki Ageng Wanabaya justru menolak menghadap, apalagi menyatakan kabuyutannya tunduk kepada Mataram.

 

Bukan tanpa alasan Wanabaya bersikap demikian. Selain Mangir adalah tanah sima, Wanabaya merasa memiliki kekuatan yang siap diadu dengan Mataram.

 

“Wanabaya memiliki tombak yang tak kalah digdaya dibandingkan Kiai Plered, Anakmas,” ucap Ki Juru Martani.

 

“Benarkah, Paman?”

 

“Benar. Kiai Baru Klinting namanya.”

 

“Apa yang menjadi peluruh kedigdayaan tombak itu?”

 

“Tali Kemben!”

 

Panembahan Senopati tersentak. Namun, kemudian dia manggut-manggut. Ucapan Ki Juru Mertani yang sudah kenyang asam garam peperangan, termasuk mengatur siasat untuk dirinya ketika menghabisi nyawa Adipati Jipang, Arya Penangsang, tak perlu dia ragukan lagi.

 

“Lalu, menurut Paman, apa yang harus kulakukan?”

 

“Wanabaya masih perjaka. Pastilah kelemahan dia terletak pada hati. Kirimlah seorang wanita seusianya untuk membuat pemimpin Mangir itu kasmaran, sekaligus melunturkan kedigdayaan Kiai Baru Klinting dengan tali kemben,” Ki Juru Martani mengangkat sembah.

 

Pertemuan hari itu diakhiri dengan sebuah siasat untuk menaklukkan Mangir.

 

Sehari kemudian, sebuah rombongan kecil bergerak menuju Mangir. Rombongan yang terdiri dari putri Panembahan Senopati sendiri; Retno Pembayun yang berdandan layaknya seorang waranggana; Adipati Martalaya yang menyamar sebagai Ki Dalang Sandiguna; Ki Jayasupanta; Ki Sandisasmita; Ki Suradipa yang ketiganya berpura-pura menjadi penabuh kendang, kempul, dan gender. Ikut pula bersama mereka seorang senopati wanita, Nyai Adirasa.

 

Syahdan, menjelang senja, iring-iringan rombongan itu memasuki Kabuyutan Mangir. Bak gayung bersambut, kabuyutan itu sedang mengadakan sesembahan puja syukur kepada Sang Pencipta dalam wujud Merti Dusun—puja syukur sebagai ungkapan terima kasih atas hasil panen yang berlimpah.

 

Pemangku Kabuyutan Mangir dengan sukacita menerima rombongan Ki Dalang Sandiguna. Mereka diminta menginap sekaligus mementaskan pergelaran wayang kulit di sana.

 

Retno Pembayun melemparkan tatapan liar ke arah Wanabaya. Sekar Kadhaton Mataram itu merasa satu jurus telah berhasil menyasarkan sebuah siasat ayahnya: Panembahan Senopati. Wanabaya menunduk, serta merta dia mengalihkan pandangan mata. Retno Pembayun hanya tersenyum kecil penuh kemenangan. Malam harinya, tarian gemulai dari waranggana jejadian itu benar-benar telah meruntuhkan benteng pertahanan Wanabaya.

 

Keesokan harinya, tanpa menunggu lama, Wanabaya meminang Retno Pembayun.

 

***

 

Setelah membersihkan wajah, kedua tangan, dan kaki, Wanabaya memasuki ruang pemujaan. Dia mendekati prapen yang berada di sudut ruangan, lalu membakar segumpal kemenyan. Seketika asap mengepul disertai aroma wangi dupa.

 

Asap dupa itu menggulung sekujur tubuh Wanabaya. Tiba-tiba dia mengambil posisi duduk siddhasana, lalu kedua tangannya sempurna tertangkup dalam sikap anjali mudra. Segala pikiran dia pusatkan pada satu titik hampa. Seiring embusan napas yang kian datar, jiwa Wanabaya hanyut dalam keheningan alam semesta. Tak ada lagi yang bisa dia lihat, kecuali dirinya sendiri yang kini tak lagi berwujud pemangku Kabuyutan Mangir maupun menantu penguasa Mataram. 

 

Mendadak Wanabaya melihat rambutnya dijambak oleh Panembahan Senopati, lalu membenturkan kepalanya ke singgasana yang terbuat dari batu. Sesaat Wanabaya menggelepar. Darah bercucuran membasahi wajahnya. Disusul gerakan dua senopati Mataram yang dengan cepat menyabetkan tombak ke dadanya. Wanabaya tak sempat menjerit.

 

Sebuah kecupan lembut di kening, membangunkan Wanabaya dari semadi. Ketika membuka mata, sosok pertama yang dia lihat adalah Retno Pambayun.

 

Sekar Kadhaton Mataram itu tersenyum. “Ayo Kangmas, ikuti aku. Kita berangkat. Tak perlu ada yang kau risaukan lagi. Percayalah, kematian adalah jalan kembali yang paling indah.”

 

“Apakah kau akan membawaku tunduk kepada penguasa Mataram?”

 

Retno Pambayun hanya menjawab dengan seuntai senyum.

 

Wanabaya bangkit. Ia mengikuti langkah istrinya. Tiada lain yang bisa ia lihat, kecuali sebuah lorong bercahaya putih. Jalan menuju rumah Sang Mahasuci. (*)

 



Catatan:

Kemben = Bra tradisional Jawa.

Waranggana = Penari, biduan Jawa.

Kempul, gender = Jenis gamelan Jawa.

Prapen = Tungku pembakaran kemenyan.

Siddhasana  = Posisi duduk bersila dengan salah satu tumit diduduki.

Anjali mudra = Posisi tangan dengan mengatupkan kedua belah telapak di depan.





___

Penulis

Heru Sang Amurwabumi, pendiri Komunitas Pegiat Literasi Kabupaten Nganjuk. Tulisan-tulisannya telah dimuat di media massa. Pernah menjadi anggota redaksi Harian Umum BERNAS. Cerpennya Mahapralaya Bubat, mengantarnya terpilih sebagai penulis emerging Indonesia di Ubud Writers & Readers Festival 2019.

 








Kirim karyamu ke

redaksingewiyak@gmail.com