Thursday, December 22, 2022

Esai Bandung Mawardi | Bingung Tak Rampung Proses

 Esai Bandung Mawardi




Pada 1972, Remy Sylado menulis puisi berjudul “Seorang Penyair Lapar Mengirim Puisinya Kepada Sebuah Suratkabar Pagi Lantas Dimuat Setelah Enam Bulan Menunggu Honornya Selama Tiga Bulan Pas untuk Beli Tahu Sumedang Dua Keranjang dan Setelah Memakannya Semua Ia Teurab Sebisanya.” Isi puisi: Aaaa! 

Judul lebih panjang ketimbang isi. Kita menggunakan istilah puisi sebelum masuk ke kebingungan mengacu masa lalu.


Remy Sylado memberi sebutan tulisan itu puisi. Orang menulis puisi disebut penyair. Remy Sylado tak sedang mengajukan tulisan berupa esai membahas masalah istilah-istilah dalam sastra Indonesia, dari masa ke masa. Di hadapan kita itu puisi, bukan syair. Di situ, ada sebutan penyair, tapi bukan menulis syair. Si tokoh itu menulis puisi.


Pada 1999, Remy Sylado menulis “Sajak Sandjak”. Ia tak menjuduli dengan puisi, tapi saja, orang-orang diharapkan mengerti sajak itu puisi atau puisi itu sajak. Sajak berbeda dengan sanjak. Puisi berbeda dengan sanjak. Kita mengutip: berpolitik ibarat menarik tambang/ siapa hadir ia lolos dari timbang/ khalayak memujinya dengan tembang/ lantas menghujatnya waktu tumbang. Pada bait lain, Remy Sylado menulis: bermenung dengan menunjuk jari/ menyatu bumbu bagai lezat kari/ dalam sutardji mantra aku cari/ dalam rendra keras ajakan lari/ dalam taufiq aku dapatkan sari/ di duka sapardi tergambar pari/ pada ceria hati kupanggil mari/ kita bareng mainkan irama tari/ dengan puisi yang merajut hari/ di emoh mengerti datangku dari. Remy Sylado sedang mengajak pembaca dalam keselarasan dan kemerduan sandjak. Ia berhak bergantian menggunakan istilah sajak dan puisi.


Kita belum ingin berpusing dengan tulisan-tulisan Remy Sylado, warisan bakal berpengaruh dalam kesusastraan di Indonesia. Ia berhasil memicu perhatian agar umat sastra turut memberi perhatian untuk tulisan-tulisan pernah mendapat julukan mbeling, nakal, atau humor.


Kita bergerak mundur melalui penjelasan Sapardi Djoko Damono dalam buku berjudul Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan: Sebuah Catatan Awal (2004). Kita mendapat penjelasan merangsang untuk ragu atau pasti. Ia mengajukan keterangan setelah melakukan pengamatan: “Syair, dalam pengertian terdahulu, merupakan nama jenis seperti halnya puisi. Dalam kaitannya dengan berbagai pembicaraan mengenai puisi di awal perkembangannya, kita menggunakan istilah syair, baru sesudah majalah Poedjangga Baroe terbit di tahun 1933, penggunaan kata puisi makin meluas. Ini tentu saja merupakan pengaruh dari Barat yang mula-mula bahkan menggunakan istilah poesi untuk segala jenis sastra dan drama.”


Pada suatu masa, orang-orang menulis syair. Penulis itu disebut penyair. Pada masa berbeda, orang-orang memberi sebutan untuk tulisan puisi, tapi tak ada penamaan puisiwan. Konon, sebutan syair berasal dari bahasa Arab. Sejarah sastra kita menjadi rumit gara-gara sekian kata atau istilah memang berasal dari beragam bahasa.


Kita menengok masa 1950-an. Kita masih berurusan dengan penggunaan istilah atau sebutan. Pada 1953, Iwan Simatupang sodorkan esai berjudul “Kearahan bagi Puisi Kita”. Di situ, ada kritik: “Jang djelas ialah bukanlah seharusnja puisi berpangkal pada kelesuan ataupun keisengan. Pun kita tak jakin bahwa semua jang disodorkan kepada kita lewat madjalah dan surat kabar jang tak terbilang djumlahnja itu ditulis oleh orang-orang jang karena iseng menjadi penjair.” Kita membaca kelumrahan tentang penamaan tulisan itu puisi. Sebutan bagi penulis sebagai penyair pun dipastikan mudah dimengerti publik masa 1950-an.


Iwan Simatupang turut memberi sebutan penyair, tak ada usulan sebutan puisiawan atau penyajak. Ia melanjutkan penilaian: “Tetapi, semua ini pun tak dapat membatalkan adanja dugaan bahwa setidak-tidaknja penjair-penjair kita ada mengalami kepajahan dalam pergulatan melepaskan diri dari pitingan kelesuan dan keisengan kini.” Pada masa 1950-an, orang tekun menulis puisi “sah” disebut penyair. Ia tak lagi menulis syair dalam pengertian jenis puisi lama.


Keterangan-keterangan dari masa 1930-an dan 1950-an “memastikan” bahwa syair itu “lama” atau “masa lalu” dan puisi itu “baru” atau “kini”. Masa demi masa, kita terbiasa menamakan puisi. Syair masih kata lestari sampai sekarang, tapi mengangkut dan mengurusi kesilaman.


Pada 2011, terbit buku berjudul Puisi dan Antipuisi. Buku memuat esai-esai garapan Goenawan Mohamad. Judul itu mengajak kita berpikiran lagi tentang puisi melalui sosok bernama Sutan Takdir Alisjahbana. Di tulisan, Goenawan Mohamad sering menulis sajak ketimbang puisi meski tulisan dijuduli dengan puisi. Ia membaca dan menilai puisi-puisi gubahan Sutan Takdir Alisjahbana digenapi menguak pemikiran-pemikiran mengiringi kemunculan gerakan sastra masa 1930-an.


Goenawan Mohamad menilai: “Salah satu fenomen penting dalam sejarah sastra Indonesia: ‘puisi baru’ yang dirayakan Takdir ternyata ditinggalkan para penyair Indonesia setelah berkembang hanya dalam waktu sekitar 10 tahun. Dan itu terjadi di sebuah kondisi pascakolonial yang meneruskan semangat modernitas tahun 1930-an.” Goenawan Mohamad lincah dan fasih menuliskan masalah-masalah dengan sajak ketimbang puisi. Ia menulis puisi bila bersinggungan dengan Sutan Takdir Alisjahbana diakui getol menerangkan puisi lama dan puisi baru.


Pada 1932, Sutan Takdir Alisjahbana mengumumkan esai berjudul “Menoedjoe Kesoesasteraan Baroe” dimuat di majalah Pandji Poestaka. Ia mulai menggunakan penamaan syair dan puisi, mengajak pembaca bisa membedakan corak lama dan baru. Ia pun bergantian menggunakan sebutan pujangga dan penyair. Kita mengutip: “Pastilah roebrik ‘Memadjoekan Kesoesasteraan’ ini boekan sadja goenanja memoeatkan boeah tangan poedjangga kita. Sekali-kali ada djoega faedahnja kalau dikemoekakan beberapa pikiran atau timbangan jang berfaedah oentoek memadjoekan kesoesastraan.” Di situ, kita membaca sebutan pujangga.


Pada paragraf lain, Sutan Takdir Alisjahbana menjelaskan: “Dalam dada tiap-tiap manoesia berdebar darah penjair.” Ia tak lagi menulis pujangga, tapi penyair. Kita berlanjut diajak bertemu dengan syair, puisi, dan sajak. Sutan Takdir Alisjahbana memberi kritik: “Bangsa kita kebanjakan memboeat sjair dengan otaknja, padahal sjair itoe haroes mendesak-memantjar dari soekma. Setinggi-tingginja otak hanja boleh mengatoer dan menjoesoen, mengerem dan mengempelas.” Ia berperan sebagai pemberi tafsir dan penilaian atas perkembangan sastra di Indonesia masa 1930-an.    


Definisi diberikan Sutan Takdir Alisjahbana (1932): “Telah kami katakan bahwa poeisi itoe ialah pendjelaman perasaan dan perkataan.” Dulu, kalimat itu dianggap ampuh. Sutan Takdir Alisjahbana berani bila muncul polemik atau perdebatan. Pengamatan dilakukan atas situasi sastra masa 1930-an menghasilkan keterangan: “Beberapa kumpulan sjair dan sadjak telah terbit, soerat kabar dan madjalah moelai memoeatkan sjair jang menjanjikan lagoe baroe.”


Kita sudah mengunjungi sekian tulisan dari masa-masa berbeda. Kita mengaku bingung, tapi sadar penjelasan-penjelasan disampaikan memang belum rampung. Tulisan-tulisan mereka belum memadai meski kita masih malas membuat lacakan dengan membuka kamus-kamus lama dan baru. Begitu. 



____


Penulis


Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi. Penulis buku Silih Berganti (2021), Titik Membara (2021), Tulisan dan Kehormatan (2021), Bersekutu: Film, Majalah, Buku (2021), Dahulu: Mereka dan Puisi (2020), Pengutip(an) (2020), Terbit dan Telat (2020), Pengisah dan Pengasih (2019).




Kirim naskah ke 

redaksingewiyak@gmail.com