Friday, April 7, 2023

Cerpen Santama | Riwayat Kotoran

Cerpen Santama



Dari kaca yang tampak kusam, bisa kulihat di luar langit barat telah memerah. Sebentar lagi Magrib. Pikiranku suram. Angin yang bergemuruh ganjil dan meliukkan dahan-dahan pohon dan apa saja yang bisa diterjangnya terdengar seperti nyanyian kepedihan di telingaku, hawa dinginnya yang menusuk menyelusup masuk ke ruang tamu di mana aku tengah bersila seraya merokok di lantai keramiknya. Aku datang ke rumah itu beberapa saat sebelum nantinya berakhir bersila seraya merokok di lantai keramik ruang tamunya, dan disambut seorang wanita paruh baya berwajah muram, kesedihan menghuni sepasang matanya yang sayu. Aku segera bisa menduga siapa wanita paruh baya berwajah muram yang menyambut kedatanganku itu. Ia pastilah ibuku.


"Nyari siapa?" Ia bertanya dengan suara yang hambar setelah membukakan pintu.


Sebenarnya aku ingin menjawab, "Aku anakmu, Bu, peluk eratlah aku." Tapi kuurungkan sebab itu kalimat yang kelewat gegabah dan berisiko, lagi pula aku tak ingin terburu-buru. 


"Saya Karna, Bu. Ada keperluan yang ingin saya bicarakan." Aku berbohong dan tersenyum kepadanya, ia tak menangkap omong kosong dalam ucapanku itu sehingga ia tak bertanya lebih menyusahkan dan aku merasa lega dibuatnya.


Sejenak ia tampak bergeming dan menatapku dengan tatapan yang hampa, tak ada sedikit pun cahaya di matanya---kalau bisa disebut begitu, sebelum akhirnya mengajakku masuk dengan isyarat tangannya yang putih pucat. 


Ibuku itu lalu mempersilakanku duduk di kursi bambu di ruang tamu, sementara ia menyalakan lampu dan kemudian berjalan lesu ke ruang paling belakang---barangkali ke dapur tempat Ibu berkutat dengan bumbu-bumbu, mengabdikan diri sebagai juru masak setia bagi keluarganya. 


Pandanganku mengikuti langkahnya, sebelum kuedarkan ke seluruh sudut rumah kecil itu. Entah kenapa aku merasa di rumah ibuku itu tak ada kehangatan, hari-hari yang kelam dan penuh pertengkaran seperti membekas dan mengapung di langit-langitnya yang nyaris ambruk. Aku bukannya sok tahu dan tak sedikit pun mampu menujum, hanya seperti bisa merasakannya. Entahlah.

 

Rumah ibuku itu sederhana saja. Dindingnya yang mulai mengelupas dan meretak dicat hijau. Di dinding ruang tamu yang catnya mulai pupus dan penuh bercak itu, mataku tak mendapati apa-apa, kecuali sebuah foto berbingkai. Foto keluarga. Aku yang penasaran kemudian bangkit dari duduk, berniat melihatnya dari dekat.

 

Di foto itu kutemukan Ibu dan senyumnya yang membuatku cukup terkejut, sosok lelaki tua berwajah tak bahagia, dan seorang remaja laki-laki yang, setelah kuamati, wajahnya begitu mirip dengan wajahku, hanya saja ia tampak jangkung dan tak berkumis dan wajahnya lebih bersih. Bisa jadi ia adikku atau mungkin ialah yang lebih tua, aku tak tahu dan tak mau ambil pusing.


Saat tengah serius mengamati foto itu dengan sedikit kemarahan dan bahkan sempat berniat membanting lalu meremukannya diam-diam, telingaku mendengar suara gesekan langkah kaki pada lantai keramik, dengan tergesa aku segera kembali ke kursi. Saat kembali duduk sempat aku membetulkan letak sebuah benda yang kuselipkan di pinggang. Ia, sebagaimana sebangsanya yang memiliki ketenangan khas benda mati itu, menemani perjalananku. Pengetahuan umum yang omong kosong tentang benda mati: mereka tak memiliki emosi, tak pernah akan murka saat ia kaucemooh, tak pernah akan murung saat ia kauperlakukan dengan buruk, dan misalnya sebuah helm rusak kaubuang ke comberan, setelahnya kau tak perlu sungguh-sungguh cemas benda tersebut akan mengalami evolusi tak masuk akal menjadi sepotong kepala makhluk bertaring yang dapat terbang dan melahapmu saat terlelap tidur.


Seseorang yang tampak lebih renta dari Ibu berjalan menyeret tubuhnya untuk menemuiku. Ia lelaki tua di foto itu. Aku mendapati ada kegugupan dalam diriku saat menyambut kemunculannya, khawatir ada kecanggungan di antara kami dan segalanya akan berjalan tak wajar. Ia hanya mengenakan kolor dan bertelanjang dada, memperlihatkan luka seperti bekas tikaman di perut, aroma yang menusuk hidung menguar dari ketiaknya yang berbulu lebat, sementara bajunya yang lusuh disampirkan ke pundaknya yang masih tampak tegap meski di usia senja. Wajahnya garang dan kaku, kumis yang lebat hampir menenggelamkan bibirnya, sehingga di antara lebatnya kumis tersebut, bibir yang legam itu seperti sepasang lintah yang meringkuk di semak-semak. Tiba-tiba aku merasa ingin tertawa saat itu, tapi aku tahan tentunya, karena apa yang akan terjadi denganmu bila seorang asing tiba-tiba mentertawakanmu? Kau yang merasa dicemooh tentu akan geram dan merasa setidaknya ingin meremas mulut orang itu.


Lekas bisa kuduga, lelaki berpenampilan menyedihkan itu pastilah bapak kandungku. Sambil asyik mengembuskan asap keretek dengan gaya seolah-olah ia mafia kartel atau gembong narkoba di film-film, bapakku itu memandangku dengan tatapan yang sangat tak mengenakkan, seperti menatap mengejikan seorang polisi besar yang hendak meringkusnya, tapi aku tersenyum kepadanya. 


Aku mengeluarkan sebungkus rokok dari saku, lalu merokok bersamanya. Ia dan aku tak bicara, entah kenapa tak ada sepatah kata pun yang bisa aku ucapkan dan tak ada sepatah kata pun yang ia ucapkan. Meski canggung setengah mati, aku berusaha tampak santai saja.


Berbekal informasi dari satu mulut ke mulut lain, berbulan-bulan aku berusaha mencari keberadaan mereka yang kerap berpindah-pindah tempat tinggal, dan bekas tempat tinggal mereka yang pertama kali kudatangi ternyata cukup besar, beda jauh dengan rumah yang akhirnya mempertemukan kami. Segalanya bermula di suatu malam ketika kudengar sebuah kenyataan menyakitkan dari mulut Majek. Saat itu ia tengah murka karena aku pulang dari mengamen tanpa membawa duit sepeser pun.


***


"Aku dikeroyok dan dirampok bajingan pasar," jelasku.


Majek mendengus seperti anjing lalu berkata dengan sengit dan mulutnya menembakkan bulir-bulir liur ke wajahku, "Tolol! Kenapa tak kaulawan?"


"Aku sudah berusaha. Jelas aku kalah jumlah. Mereka nyaris membuatku sekarat. Aku hanya berhasil mempertahankan gitarku."


"Payah! Seharusnya aku tak menyelamatkanmu saja waktu itu, anak setan," hardiknya, "biar kau habis dilahap anjing lapar. Tak ada gunanya kau hidup!"


Di pikiranku, perkataan Majek itu lebih dari sekadar makian seorang pemberang.


***


Semula kupikir Majek itu benar-benar bapakku, sekalipun perangainya amat bangsat dan gemar menghajar, dan meski Majek tak pernah menyinggung soal siapa ibuku, sampai saat itu aku pikir ibuku mungkin seorang pelacur yang ia tiduri dan kemudian mereka menikah hanya untuk membina rumah tangga yang hancur-hancuran, lalu keduanya berpisah setelah letih dan bosan bertikai. Sejak mendapati ada sesuatu yang kukira disembunyikan Majek dalam kata-katanya itu, seketika pikiranku menjadi sangat berantakan, atau tepatnya kian berantakan.


Apa selain Adam, mungkinkah ada lagi manusia yang lahir tanpa ibu dan bapak? Siapa tahu aku ini dijatuhkan Allah langsung dari langit dan sesungguhnya merupakan anak dari bidadari? Tiba-tiba saat itu aku tertawa, merasa benar-benar tolol, meski tak sedang menenggak ciu.


Majek yang tak sanggup lagi beristri itu membuatku tumbuh tanpa sentuhan lembut seorang perempuan. Sewaktu masih bocah yang sering kena selesma, kau tahu, aku sering dihajar Majek, nyaris sesering matahari menyinari bumi, terutama tiap pulang dari mengemis di pinggir jalan dan ia mendapati kalengku kosong, dunia celaka tak memberiku recehan sekeping pun. 


Sebagaimana yang tentu kaupahami dan ketahui, anak bagaimana pun tak boleh membela diri dan melawan orang tua karena konon bakal durhaka. Durhaka: satu kata yang memberimu sekian bayangan mengerikan, salah satunya di akhirat kelak kau akan disate berulang-ulang. Begitulah yang juga aku dengar dan yakini. Maka sepanjang hidup bersamanya aku pun tak pernah melawan Majek karena masih mengira ia benar-benar bapakku. Aku hanya bisa diam dan menahan diri dari kecengengan yang amat kubenci.


Sadar bahwa waktu dan nasib buruk telah membuat aku beranjak remaja, Majek tak lagi pernah menghajarku, mungkin ia pun sadar dirinya mulai ringkih dan khawatir kalau-kalau tindakannya itu mencelakakan dirinya sendiri, ia hanya akan menghajarku dengan sumpah serapah dan, kau tahu, itu tak ada bedanya.


"Payah! Seharusnya aku tak menyelamatkanmu saja waktu itu, anak setan, biar kau habis dilahap anjing lapar. Tak ada gunanya kau hidup!" Perkataannya ini telak menusuk hati.


"Apa maksudmu?" Aku bertanya kepada Majek dan sejak saat itu sudah tak lagi peduli tentang durhaka. Dilahap anjing ia bilang? Tua bangka itu pikir aku ini apa? Bangkai tikus? Aku mati-matian menahan kehendak untuk memecahkan kepalanya dengan gitar. 


Majek bergeming. Raut mukanya melunak seperti pelamun yang baru saja sembuh dari kesurupan. Ia memijit kening lebarnya. Mungkin ia baru sadar bahwa perkataannya berlebihan. Ia lalu menjatuhkan pantatnya ke kursi plastik dan menyulut rokoknya yang tinggal sebatang. Asap dari mulutnya bergulung di atas kepala, lalu melingkar-lingkar di sekeliling lampu bohlam. Ruang sempit yang sebelumnya riuh oleh anjing dan babi yang keluar dari mulut Majek serta suara barang-barang yang ditinju dan dilempar olehnya menjadi hening seketika. Aku dan ia sama-sama bungkam dalam sejenak. 


"Heh, berhenti menatapku seperti itu," serunya, "saat sedang marah orang bisa meracaukan apa saja. Lupakan kata-kataku barusan. Aku hanya muak kau tak bisa membelikanku sebungkus rokok malam ini."


Aku tak percaya dengan mulut busuk Majek, hingga di satu malam yang lain aku mendesaknya. Sepulang dari mengamen aku bergegas ke dapur, mengambil sesuatu, kemudian kutunggu Majek terlelap dalam mimpinya. Saat akhirnya Majek telah mendengkur dalam posisi telungkup, saat itulah aku diam-diam menyergapnya, seperti pemburu meringkus babi, dan Majek memang babi. Aku menduduki tubuhnya, ia terperanjat dan sempat berontak, tapi lekas aku dongakkan kepala Majek dengan menjambak rambutnya dan aku ancam lehernya dengan sebilah pisau karat.


"Kurang ajar! Kau mau jadi anak durhaka, bangsat? Apa-apaan ini, hah?" Ia berteriak. 


"Aku sudah tak tahan dengan perlakuanmu," kataku dengan geram, "kalaupun harus mendekam di neraka, tak apa-apa, tetap bakal kurobek lehermu ini, dan di neraka kita bisa berduel. Sekarang katakan yang sesungguhnya tentang diriku, atau harus kuakhiri hidupmu dan mayat terkutukmu ini aku buang ke dasar kali."


Aku sedikit menekan dan menggerakkan pisau yang kutempelkan ke lehernya. Ia merintih. Rupanya Majek masih belum sudi untuk gentayangan di sepanjang kali, maka malam itu ia ceritakan juga tentang jati diriku yang sebenarnya. Di bawah ancaman sebilah pisau karat, ia akhirnya mau bercerita panjang tentang diriku yang malang di masa silam. Dengan perasaan murung, aku mendengarkannya secara saksama dalam tempo yang cukup lama karena Majek kelewat bertele-tele dalam bercerita. Aku lalu tak menyangka bahwa aku bernasib lebih nahas dari yang bisa kubayangkan. Kini dan sampai kapan pun aku akan selalu berang tiap kali ingatanku mengenang cerita itu, kenangan akan nasib keparat yang pasti menghantuiku sampai tua atau sampai dipulangkan ke alam baka.


"Saat itu aku sempat membuntuti mereka sampai keduanya memasuki rumah dengan buru-buru. Aku memutuskan memungutmu. Suatu hari, aku mendatangi mereka dan membongkar perbuatan keji keduanya. Orang tuamu itu lalu memberiku uang sogok dan minta segalanya dirahasiakan." Demikian Majek menutup ceritanya malam itu. Air mataku jatuh dan membasahi punggungnya dan aku benci hal itu dan berjanji itu akan jadi kecengengan penghabisan.


***


Sambil asyik mengembuskan asap keretek dengan gaya seolah-olah ia mafia kartel atau gembong narkoba di film-film, bapakku itu memandangku dengan tatapan yang sangat tak mengenakkan, seperti menatap mengejikan seorang polisi besar yang hendak meringkusnya, tapi aku tersenyum kepada ia.


Saat akhirnya ia menekan bara puntung keretek ke asbak, ibuku muncul dari arah dapur sambil membawa dua gelas kopi. Ia lalu duduk di samping Bapak yang baru saja usai merokok dan yang masih saja membisu seperti tunggul itu.


"Diminum," kata Ibu, menyodorkan segelas kopi kepadaku.


"Siapa kau, hah? Apa yang mau kaulakukan di rumahku?" Bapakku tiba-tiba bertanya saat baru saja aku akan meraih gelas, ragu-ragu kutarik kembali tanganku. Laki-laki berwajah garang itu akhirnya mau bersuara, meski perkataannya sengit sekali. Aku jadi menyeringai dibuatnya.


"Heh, beruk sinting," kata Ibu kepada bapakku, "bersopan santunlah kau sedikit."


Bapakku kemudian terbahak dan aku jadi tak tahan untuk tak turut cekikikan, gembira dan mulai menikmati keributan kecil dan kehangatan aneh yang kualami. Berengseknya, kesialan harus menyambangi kami ketika itu. Di saat-saat yang mungkin akan berlangsung dengan sangat menarik dan aku memang sangat mengharapkan saat-saat seperti itu terjadi di antara kami, tiba-tiba cerita Majek berdengung kembali di kepalaku, mungkin dibisikkan iblis dari kegelapan.


Tanpa sempat mengatakan apa pun, aku merasa ada sesuatu yang tak kasatmata menerjang tubuhku, sungguh aku tak bohong, tiba-tiba pandanganku mengabur dan akhirnya menjadi sangat gelap, degup jantung menghebat, dadaku memanas seperti terbakar. Saat itulah aku tak mengingat apa-apa lagi, mungkin tubuhku saat itu bangkit dari kursi dan tangan kanan merogoh sesuatu di pinggangku. 


***


Entah dari mana datangnya perasaan ini, tapi apakah kau juga akan merasa jijik kepada dirimu sendiri, sehabis membayangkan tubuh mungilmu dibuang begitu saja di antara sampah-sampah? Katakanlah hal menyakitkan itu benar-benar menimpamu juga, akan sempatkah kau merasa bahwa dirimu diperlakukan layaknya kotoran? 


Kotoran? Tiba-tiba aku merasa ingin tertawa sampai mati memikirkan kata ini. Aku lalu segera berdoa semoga Bapak, Ibu, dan Majek selamat sampai surga.


Di luar, kulihat langit yang, sebelumnya memerah, telah sempurna kelam.


________


Penulis

Santama lahir dan besar di Kab. Pandeglang. Pemula kelas berat yang sedang belajar menulis.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com