Tuesday, July 4, 2023

Proses Kreatif | Lama Menghilang, Ternyata Sang Penulis Takut Mati

Oleh Encep Abdullah



Kebiasaan saya menulis sepekan sekali mandek lagi dalam jangka waktu yang cukup lama. Bukan karena saya tidak punya waktu untuk menulis, tapi saya terlalu sibuk mencari-cari alasan. Enam bulan terakhir ini--atau malah setahun terakhir-- saya menjauh dari buku-buku sastra. Tidak melakukan pertemuan atau kajian sastra di komunitas. Jiwa pembaca sastra saya redup. Jiwa pujangga saya memudar. 


Menulis, biar bagaimanapun, adalah pekerjaan yang tidak bisa saya tinggalkan. Sekalipun saya tidak menulis bertahun-tahun, saya selalu yakin akan ada masanya menulis lagi. Saya sudah pernah berkali-kali mandek menulis, bahkan sudah berniat tak akan menulis lagi, nyatanya saya menulis lagi. Apakah Anda juga pernah mengalami hal seperti ini?


Dorongan saya mau menulis lagi muncul setelah saya, kemarin, mendadak seharian menulis catatan-catatan nasihat--yang nanti tulisan ini akan saya bukukan dan persembahkan untuk hadiah ulang tahun Hamka, anak ke-2 saya pada usianya yang bulan depan tepat tiga tahun. Saya merasa berdosa, kakaknya, Shaqeel, saya buatkan buku setiap tahun (usia 1--3 tahun). Dia, Hamka, baru satu buku catatan pada tahun pertama ulang tahunnya, itu pun tidak banyak, sekadarnya saja. Tahun lalu, pada ulang tahunnya yang ke-2, sama sekali tidak saya buatkan buku. Energi menulis saya, tepatnya berupa kisah cinta saya dan istri, sudah saya habiskan di buku anak pertama saya. Untuk buku yang akan saya persembahkan kepada ulang tahun Hamka yang ke-3 tahun ini, sudah ada 16 catatan. Bagi saya ini sebuah capaian yang luar biasa bisa menulis dengan sangat lancar--walaupun ya bukan tulisan berat, namun untuk menulis satu judul catatan kolom ini, kenapa saya malah lama, bahkan menghabiskan waktu berjam-jam loh. Hadueh


Selama ini, ternyata saya diam-diam menyimpan banyak amunisi dalam kepala untuk menuliskan sesuatu. Selama saya tidak menulis berbulan-bulan itu, saya banyak mendengar kajian dan membaca buku agama. Maka, yang terekam dalam kepala saya adalah Tuhan, surga, neraka, dosa, mati, dsb. Dalam waktu singkat, semalaman, ternyata saya bisa menulis dengan kecepatan maraton. Isinya adalah persis seperti apa yang saya dengar, saya baca, ditambahi dengan pengalaman, pemahaman, dan renungan saya selama ini. 


Setelah menulis itu, saya berpikir lagi, saya sebenarnya bisa dalam sehari menulis banyak karya, seperti dulu--dengan catatan kembali istikamah bersastra lagi: membaca, mengkaji, menulis, dan mendiskusikannya. Tengoklah misalnya menulis cerpen atau puisi begitu. Saya tebersit ingin kembali seperti dulu. Penulis yang rajin menulis di media, yang setiap pekan menanti karyanya dimuat kayak orang-orang itu loh, yang namanya di-tag di medsos. Diberikan ucapan selamat. Saya bahagia. Dapat honor lagi. Bisa mem-branding diri lagi. Karya saya dibaca orang lagi. Dikenal banyak orang lagi. Lalu dibikin buku, laku, banyak yang beli, dapat duit lagi. Dan, tetap tidak kaya-kaya. Haha. 


Memburu kekayaan dalam dunia menulis bagi saya adalah sesuatu yang absurd, tapi mendapatkan kebahagiaan darinya adalah sesuatu yang nyata. Barusan saya mendengar kajian filsafat tentang bahagia, ternyata kebahagiaan dalam menulis ini juga bisa didapatkan setelah kita memberi "kontribusi" untuk umat, dilakukan dengan sepenuh hati tanpa pamrih, pengabdian yang dilakukan dengan ketulusan dan keikhlasan. Itulah ternyata yang membuat penulis, khususnya saya, merasa bahagia dalam jangka waktu yang panjang.


Sebaliknya, ada kebahagiaan yang saya rasakan sangat pendek, seperti saat tulisan dimuat dan dapat honor. Setelah itu, ya sudah, berlalu begitu saja. Kalau sudah tahu kepuasan dimuat di media dan dapat honor itu jangka pendek, harusnya aktivitas menulis jangan berhenti, terus saja menulis biar saat kepuasaan jangka pendeknya habis, disambung lagi dengan kepuasaan jangka pendek berikutnya. Ya, minimal perhelatan seminggu sekali itu. Kalau berat, ya sebulan sekali.


Napas panjang saya saat ini barangkali masih terselamatkan dengan mengurusi sebuah komunitas menulis, membantu rekan-rekan agar bisa menulis dan membuat buku, atau saat saya menjadi juri lomba atau pembicara dalam kegiatan literasi, atau melayani umat dengan menyediakan media sastra. Saat ini barangkali saya sedang merasakan "kebahagiaan" itu, sekalipun sudah saya katakan bahwa saya hampir sudah setengah tahun tidak berkumpul di komunitas, tak begitu ambisius memperbarui media sastra yang harus begini dan begitu, namun saya merasa diri saya masih hidup dan bernapas panjang. Beda sekali dengan kasus saya yang lama tak menulis, lama tak membaca sastra, lama tak mendalami secara personal, dan fokus bertarung dengan diri saya. Saya merasakan ada kehampaan individual. Merasa tidak meng-upgrade diri. Tidak mengecas diri. Insecure dan merasa ketinggalan jauh dengan kawan penulis lain.


Saya juga tak paham, apa sebenarnya yang ada dalam diri saya sebagai penulis. Bukannya saya hendak menjauh dari dunia sastra. Saya hanya sedang sedikit berjarak darinya. Saya sedang dalam masa transisi menjadi hamba Tuhan yang sangat khawatir akan maut, takut akan dosa-dosa. Di jalan sastra, saya merasa jiwa saya masih kering, bukan karena sastra tak mampu mengetuk pintu hati. Dunia sastra yang saya geluti ini terlalu riuh. Saya-nya baperan dan laperan. Bukannya membuat saya lebih tenang dan nyenyak tidur, malah bikin kepala saya migrain. Maka, saya berbalik arah dulu, mengkaji diri dulu, saya isi ruhani saya dulu dengan agama. Agama dan sastra sejatinya sama-sama berperan untuk melembutkan perasaan. Buya Hamka dalam Kenang-kenangan Hidup mengatakan bahwa Ilmu tidak cukup hanya mengenai agama saja. Ilmu yang umum haruslah dipelajari juga. Bukan saja karangan-karangan kitab fiqih yang telah kaku dan beku, bahkan kesusasteraan yang indah, syair (puisi) dan natsar (prosa) harus dimajukan. Cara mengarang hendaklah diperbaiki dan dirombak karena itu semuanya memperhalus perasaan.


Simpulan saya bahwa saya mendalami agama agar ritual ibadah saya sesuai dengan syariat, kehidupan jadi lebih sehat. Dan, saya harus kembali lagi kepada jalan sastra karena ia adalah seni yang meruang, membuka sayap-sayap pengetahuan, dan medium berkontemplasi diri menuju sang Illahi. Seperti yang disampaikan Kuntowijoyo dalam Maklumat Sastra Profetik bahwa Pengarang yang salat dengan rajin, ... Islamnya tidaklah kaffah kalau pekerjaan sastranya tidak diniatkan sebagai ibadah. 


Tabik!


Tangerang, 4 Juli 2023


_________

Penulis


Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku proses kreatif terbarunya berjudul Diet Membaca, Ketiban Inspirasi (Maret 2023).