Friday, March 29, 2024

Cerpen Erna Surya | Kucing Kecil di Bawah Mayat Rukmini

Cerpen Erna Surya





Seekor kucing berdiri di bawah mayat tuannya yang baru saja mati bunuh diri. Ia terus mengeong, menangisi manusia yang lebih memilih untuk mengakhiri kehidupan ketimbang terus berperang. 

Rukmini namanya. Seseorang yang namanya akan dibawa dalam cerita ini.


Lima tahun sebelumnya, Rukmini datang ke rumah ini dengan membawa beberapa potong pakaian lusuh dan ijazah SMP. Ia diperistri Kuncoro, rentenir kejam yang usianya hampir menyentuh kepala empat. Pernikahannya berwali hakim. Riasannya tipis. Tak ada pesta setelah akad nikah dari KUA. Namun Kuncoro memberinya mahar yang sangat banyak. Rukmini menyimpannya sebagai tabungan. 

Belum genap enam belas tahun ketika Rukmini menikah. Sebenarnya belum cukup umur. Namun Kuncoro menyuap pegawai KUA. Senang benar ia beristri perempuan muda yang cantik. 

Namun neraka Rukmini baru saja dimulai. Rukmini salah berpikir. Ternyata, uang banyak tak memberinya napas untuk berbahagia bersama semesta.

Angin malam berembus. Tubuh Rukmini masih tergantung. Tubuhnya kurus. Sebelumnya, ia memang telah sakit selama beberapa hari. Banyak obat telah masuk, tak ada yang mampu menyembuhkan. Rukmini merasa tak ada gairah hidup lagi. Penyakit itu semakin menggerogotinya. Tidak hanya tubuhnya yang sakit, hatinya pun juga.

Sampai tengah malam, suaminya belum pulang. Tak ada tetangga atau pembantu yang berani datang di waktu selarut ini. Biasanya, seorang tetangga datang di pagi hari untuk mengerjakan tugas rumah tangga. Ia akan pulang bila semua telah selesai. Seorang tukang kebun datang sepekan dua kali. Rumahnya tak jauh. Tak mungkin pula baginya untuk datang di tengah malam seperti ini.

Beberapa jam sebelumnya, Rukmini, mengambil tali di gudang belakang rumah tempat ia dan suaminya biasa menyimpan barang-barang tak terpakai. Perempuan itu merasa sudah sangat putus asa. Ketika memegang tali itu, Rukmini merasakan sebuah gelombang. Mulai dari tangan, lalu menyebar ke seluruh tubuhnya. Gelombang itu membuat tubuhnya bergetar. Rukmini tak mampu melawan suara yang muncul di kepalanya. 

Mati saja kamu! Suara itu menyerang pikiran Rukmini berkali-kali.

Ia terpejam. Suara itu semakin kuat. 
Tangan Rukmini gemetar ketika memasang tali itu ke lehernya. Ia ucapkan maaf beberapa kali kucingnya, satu-satunya teman yang dimilikinya. Rukmini memejamkan mata. Ketika kursi kecil ia tendang, rasa sakit itu muncul dari ujung kakinya.

Rukmini merasakan pandangan matanya berangsur-angsur kabur. Ia masih mendengar suara kucingnya yang mengeong. Binatang kecil itu berdiri di bawah tubuhnya. Kucing kecil milik Rukmini mengeong terus menerus.

Beberapa menit, kucing kecil itu memandangi tubuh majikannya. Ia mengeong, Suaranya kecil, tak akan mampu mengundang seseorang di luar rumah untuk datang dan menyelamatkan majikannya yang perlahan-lahan mati. 

Pagi tadi, Rukmini memberinya kepala ikan yang diiringi dengan elusan kepala. Kucing itu sangat paham bahwa Rukmini sangat menyayanginya. Setiap pagi, ia yang naik ke ranjang Rukmini sembari mengeong. Namun pagi tadi, tidak. Rukmini bangun lebih awal. Si kucing melihat perempuan itu duduk termenung di pinggir kolam. Ketika mengeong di sampingnya, Rukmini hanya mengelus kepalanya sebentar lalu pergi. Kucing itu terus mengikuti. 

***

Beberapa pemuda melewati jalan depan rumah Kuncoro sembari bersenda gurau. Rumah gelap. Tak ada penerangan dari teras, samping rumah, maupun pintu gerbang. Para pemuda itu lewat begitu saja. Meskipun keadaan rumah gelap, mereka tak peduli. 

Pukul dua dini hari, suasana sudah benar-benar sepi. Tak ada lagi orang lewat. Seluruh warga tengah menikmati istirahat malam. Ada sofa besar milik Kuncoro yang diletakkan di tengah ruang tamu. Rumah Kuncoro sungguh megah. Ruang tamunya berisi sebuah sofa besar berbahan kulit warna hitam dengan karpet permadani di bawahnya. Satu sisi dinding terdapat lemari kayu jati kualitas tinggi dengan penutup kaca di bagian depannya. Di sana, Kuncoro meletakkan banyak porselen bentuk binatang dan beberapa benda antik lainnya. Satu saja koleksinya hilang, Kuncoro bisa naik pitam. Rukmini pun tak berani menyentuhnya.

Kuncoro tak pulang malam ini. Ia pasti lebih memilih tidur di tempat kerjanya yang sering ia sebut ‘kantor’, tempat di mana ia banyak menghabiskan waktu untuk mencatat utang orang-orang kepadanya, dan berapa banyak bunga yang akan ia terima dari mereka. 

Dulu, Rukmini merasa beruntung, suaminya kaya. Namun akhir-akhir ini, Kuncoro sering pergi. Tak hanya untuk urusan pekerjaan, tapi juga untuk urusan bersenang-senang. Kuncoro punya banyak uang untuk sekadar plesiran sampai berbulan-bulan tanpa harus khawatir uangnya habis setelah bersenang-senang. Lelaki itu selalu punya alasan untuk meninggalkan istrinya sendiri di rumah. Uang yang ditinggalkan pun tak banyak. Hanya sebatas uang yang cukup untuk makan Rukmini makan beberapa hari ke depan.

Kucing kecil itu setia menemani Rukmini sampai pagi. Ketika melihat matahari sudah mulai terbit, ia segera berlari ke kamar tempat Rukmini biasa tidur. Sudah jadi kebiasaannya setiap pagi. Sesampainya di kamar, kucing itu mencakar-cakar kasur Rukmini sembari mengeong. Ia terus mengeong sembari mencakar semua bagian. 

Kucing itu melihat kembali apa yang pernah ia saksikan sebelumnya. Semua ia saksikan dari bawah meja, tentang apa yang Kuncoro lakukan terhadap Rukmini. 

Dengan melewati pintu yang sedikit terbuka, kucing itu berhasil masuk dan bersembunyi di bawah meja rias Rukmini yang letaknya cukup jauh dari ranjang karena memang kamar itu cukup besar dan memberi banyak ruang untuk beberapa furnitur. Daun telinga kucing itu cukup untuk menangkap suara tangis Rukmini yang lirih ketika Kuncoro menjatuhkan beberapa pukulan. Rukmini diam. Ia tak mampu melawan. Setelah semua selesai, Kuncoro pergi. Rukmini harus membersihkan diri dari luka-luka yang ditinggalkan lelaki itu.
Setelah merusak kasur dengan kukunya yang kecil, kucing itu melompat keluar lewat jendela. Ia menghilang. Kucing itu telah meninggalkan Rukmini sendiri. Ia terus berlari melewati halaman, lalu ke jalan. 

Orang-orang berlalu lalang. Kucing itu terus mengeong. Ia ingin menyampaikan bahwa majikannya telah mati. Namun orang-orang itu justru tersenyum dan mengelus kepalanya sembari berkata, “kucing yang lucu.”

Kucing itu lelah. Ia berdiri di pinggir jalan sembari memandang rumah Kuncoro. Tiba-tiba ia merasa tak ingin pergi. Dua bola matanya dipenuhi bayangan tentang Rukmini. Kucing itu diam sejenak, lalu memutuskan untuk kembali. Langkah kakinya cepat sekali. Namun sebelum sampai ke ujung jalan satunya, sebuah mobil melintas. Rem tak sempat diinjak. 

Kucing itu merasakan kesakitan. Tubuhnya mengenai ban mobil. Kucing itu melihat Rukmini di depannya, mengelus kepala, lalu pergi. 

Dan semuanya berubah gelap.


_______

Penulis 

Erna Surya, seorang guru Bahasa Inggris di SMK N 1 Juwiring, Klaten. Aktif di Komunitas Metafora, Solo. Juga ikut bergabung di Komunitas Kamar Kata, Karanganyar. tinggal di Dukuh, Keputran, Kemalang, Klaten. RT20/RW05. Akun Medsos: Facebook Erna Surya, IG @ernasurya7370.


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com