Sunday, March 31, 2024

Novel | Salim Halwa (#5) | Syamiel Dediyev

 Novel Syamiel Dediyev




#5

"Beli satu biji? Pulpen satu biji? Jauh-jauh kemari? Ayolah Fani ini gak funny tahu gak?" ujarku pada Fani dengan sedikit heran.


"Kenapa sih, yang penting kan beli, berapa pun jumlahnya," jawab Fani.


"Tapi, ini bener-bener gak lucu Fani," ujarku.


Akhirnya kuambil satu bundle lostleef yang kutambahkan dalam kantung belanjaan Fani.


"Apa ini?" tanya Fani.


"Buat aku. Lostleefku abis," jawabku.


”Haha,” Fani tertawa.


"Malah ketawa. Hadeh.... Kalau bukan karena wajah kamu yang gak berdosa ini, akan aku...," ujarku dengan gemas.


"Mau diapain? Cubit?" jawab Fani dengan manja.


Benar-benar wajah lucu Fani sangat sulit dihindari. Aku hanya menatapnya sesekali saja. Tak berani aku melihatnya terlalu lama. Wajah yang bersih dan sedikit lesung pipit membuatnya tambah menarik. Detak jantungku seperti diajak berpacu lebih kencang rasanya. Kadang aku hanya bisa tersenyum sendiri memikirkannya. Entah kenapa akhir-akhir ini ia terlihat manja denganku. Beberapa pejuang cinta para fans Fani di sekolah ini merasa pasrah angkat tangan setelah tahu akan kedekatanku dengannya. Tapi bagiku, Fani adalah sebuah kesepakatan yang entah akan berakhir sampai kapan.


"Ya Allah belum juga aku apa-apain. Gimana, udah beres kan belanjanya?" tambahku.


"Yups," jawab Fani.


"Kita pulang aja kan gak ke mana-ke mana lagi?" tanyaku.


"Emang mau ke mana? Aku ikut aja, terserah kamu. Tapi gak usah kali ya... udah agak sore. Kita pulang aja, yuk!" ajak Fani.


"Baiklah," jawabku.


***


Aku dan Fani berhenti di depan halaman rumah.


"Ngomong-ngomong rumahmu yang mana, Fani?"


"Itu yang jelek, Sam."


"Jelek apaan. Gila, rumah gede gini kamu bilang jelek."


"Gak kok. Kecil rumahku, Sam."


"Fan, aku anter sampe depan gerbang aja ya."


"Gak mau. Kan tadi pamit, aku bilang bareng kamu."


"Udah sih, toh orang tuamu belum kenal aku, Fan."


"Makanya itu, kenalan dong, Sam."


"Malu ah."


"Ih, kamu gak boleh gitu, Sam. Buruan, jangan jadi pengecut!"


"Ya udah. Bismillah."


Aku dan Fani masuk ke dalam rumah.


"Eh, kamu udah pulang, Nak," ujar Mamah Fani.


"Udah, Mah. Ini barusan. Tadi mampir ke toko buku dulu, beli pulpen," jawab Fani. "Oh, iya Mah. Ini kenalin Salim yang biasa aku omongin sama Mamah," ujar Fani lagi kepada Mamahnya.


"Perkenalkan, saya Salim Bu. Temannya Fani," sapaku.


"Oh, kamu Salim yang selalu diomongin Fani. Hayuk sini, duduk dulu!" pinta Mamah Fani.


"Bu, boleh izin gak, Salim pulang duluan. Udah agak sore, takut kemalaman," pamitku.


"Ih, kok buru-buru?" tanya Mamah Fani.


"Iya, soalnya nanti setengah tujuh Salim mau jemput aku," Balas Fani menjawab pertanyaan mamahnya.


"Mau ke mana lagi? Tumben kamu malam minggu keluar. Biasanya ngurung diri di kamar," balas Mamah Fani.


"Kata mamah, Fani harus bergaul."


"Fani... maksudnya apa ini? Lanjut malam lagi?" tanyaku kepada Fani kaget.


"Pokoknya jangan lupa jam setengah tujuh harus udah di rumahku ya," ujar Fani.


"Hm... apa lagi ini Fani?" gerutuku.


"Kamu di rumah juga sendirian aja kan? Ngelamun doang gak ngapa-ngapain," ujar Fani.


"Iya aih, tapi kan...," aku tak melanjutkan pernyataan.


"Pokoknya jangan lupa jemput aku nanti malam!" tegas Fani.


***


Pukul 19.00.


Sampailah kami di sebuah resto di daerah Ciceri. Kami pun mencari tempat yang sedikit memanjakan mata dalam sekuel romantisme malam Minggu. Dalam hati aku tertawa, baru kali ini aku bermalam Minggu. Dengan siapa lagi kalau bukan dengan gadis pengganggu hati ini.


"Lagi di mana?" tiba-tiba Halwa meneleponku.


"E... lagi di luar," jawabku.


"Bohong. Coba video call!" pinta Halwa.


"Nih!" jawabku.


"Kamera belakang!" pinta Halwa.


"Lihat nih!" jawabku.


"Hai, Halwa…," sapa Fani menjawab video call.


"Tuh, bener kan, dasar pembohong!" ujar Halwa.


"Maksudmu?" tanyaku pada Halwa.


Halwa mematikan ponsel. Aku bingung harus bagaimana.


"Marah ya dia?" tanya Fani.


"Biasa. Biarin ajalah," jawabku.


"Kamu suka gak sama Halwa? Apa kehadiranku mengganggu kalian?" tanya Fani.


"Sudahlah tak perlu dibahas," jawabku.


"Jangan-jangan aku hanya pelarian dari rasa kesalmu kepada Halwa? Makanya setiap aku ajak kamu, setuju aja," ujar Fani.


"Kesal kenapa?" tanyaku.


"Halwa pergi sama cowok lain," tegas Fani.


"Hahaha...," jawabku dengan tawa sinis.


"Mau sampai kapan aku harus menemanimu?" tanyaku.


"Sampai wisuda," jawab Fani.


"Wisuda? Gila, itu sama saja kamu memenjara kebebasanku," jawabku agak ketus.


"Begitu ya? Merasa terpenjara? Gak suka jalan sama aku ya?" tanya Fani.


"Eeeh bukan, bukan maksudku seperti itu. Aku bercanda," jawabku.


"Serius juga gak apa-apa" tegas Fani dengan sedikit kecewa.


"Apakah kita mau seperti ini terus?" tanyaku.


"Maksudnya?" tanya Fani.


"Kenapa kita hadirkan percikan api saat kita ingin tersenyum dan tertawa bahagia malam ini?" kataku.


"Iya juga ya. Kita bertemu bukan mencari gaduhkan. Tapi, bertemu menjalin rasa," jawab Fani.


"Mencari bahagia," jawabku.


"Bisa jadi. Kamu itu seperti siapa?" tanya Fani.


"Maksudnya?" aku balik tanya.


"Hadirmu membuat jamku berhenti berdetak dan membuat waktu terkesan melambat," jawab Fani.


"Haha. Bahasamu Fani...."


"Kenapa?" tanya Fani.


"Gak apa-apa. Lucu saja," jawabku.


Teet… teeet… teet….


Bawain aku martabak telor assen.


Sebuah pesan WhatsAapp membuatku kaget.


“Siapa yang WA?" tanya Fani.


"Awa minta dibawain martabak telor assen," jawabku sambil kulihatkan WA Halwa. "Sebentar ya, aku bales dulu WA-nya," kataku izin kepada Fani.


Apa gak kemalaman kamu nunggu, balasku kepada Halwa.


Aku akan tunggu jam berapa pun kamu datang, jawab Halwa


Gila, serius amat, tanyaku.


Aku sedang gak mau bermain main. Apalagi pembohong seperti kamu, jawab Halwa


***


Pukul 20.00.


"Pulang, yuk, biar gak terlalu malam," ajakku pada Fani.


"Hayuk" jawab Fani. "Nanti sekalian aja mampir dulu ke assen," kata Fani lagi.


"Kamu gak apa-apa nungguin?" tanyaku.


"Menunggu asal bersamamu tak masalah buatku," jawab Fani romantis.


"Bahasamu itu," ujarku pada Fani yang terlihat hanya tersenyum tertawa tipis.


Akhirnya sampai juga di Martabak Assen Ciruas. Kami pun menunggu pesanan.


"Eh, tapi aku mohon maaf atas kejadian tadi," kataku memulai pembicaraan lagi.


"Gak apa-apa, kok. Wajar, yang penting kita sama-sama cari bahagia kan?" jawab Fani.


"Betul," jawabku.


"Hayuk balik! Kasian Halwa nunggu martabaknya," ujar Fani mengingatkanku.


"Baik, Bos!" jawabku.


***


"Sampai juga akhirnya di istanamu," ujarku.


"Terima kasih ya, udah mau nganter," ujar Fani.


"Gak pamit sama mamahmu?" tanyaku.


"Udah, tinggal lambaikan aja tanganmu ke CCTV itu pasti, mamahku melihat kok," ujar Fani. "Oh, iya Salim, kamu bisa nyetir mobil kan," tanya Fani.


"Bisa, odong-odong," jawabku bercanda.


"Ya, udah, besok aku tunggu jam delapan di rumah," ujar Fani.


"Mau kemana lagi?" tanyaku kaget.


"Ada aja. Pokoknya rahasia," ujar Fani membuatku penasaran.


"Selalu saja rahasia. Apa masih perlu rahasia di antara kita?" tanyaku.


"Karena rahasia akan membuatmu penasaran dan bisa bikin kamu gak bisa tidur," jawab Fani dengan wajah lucunya.

 

(Bersambung)