Friday, April 5, 2024

Cerpen Herdiana Randut | Maria

Cerpen Herdiana Randut



Maria tak banyak bicara. Ia sedang menjahit dua pasang baju di sudut ruangan berukuran tiga kali dua persegi. Setahun yang lalu, ia membangun rumah kecil itu, tepat depan rumah orang tuanya. Tak istimewa; berlantai semen, tembok berwarna putih dan papan bertuliskan “Penjahit Maria” yang ditempel di dinding bagian depan rumah itu. Ya, tempat sehari-hari ia bermain dengan potongan-potongan perca, berlembar-lembar kain, berlomba mengadu kecepatan kaki dan tangan dengan sebuah mesin jahit, menggambar pola, menggunting, kemudian menyulapnya menjadi baju atau celana. 

Maria hidup melawan waktu. Dini hari ia membuka pintu. Petang ia kembali menutup pintu. Ia tak ingin memetang-metangkan waktu. Mengejar target jahitan, membuat ia sering lupa waktu walau sekadar bersenda gurau bersama ayah dan ibunya. Momen itu sulit didapatnya. Baginya waktu adalah roda yang berputar cepat. Tak pernah tebersit dalam benaknya jika usianya sudah cukup untuk menikah. 


“Maria, di usiamu yang sekarang sudah seharusnya kau menikah, ” Ayah Maria mulai membuka percakapan, menengok Maria dari pintu rumah tersebut.  


“Tidak Ayah, aku belum berpikir tentang hal itu. Karena aku masih punya mimpi yang akan aku wujudkan,” Maria membalas pembicaraan ayahnya. Ia tak mengalihkan pandangannya ke wajah ayahnya yang berdiri samping meja tempat ia duduk. 


Maria tak suka mendengar kalimat itu. Berkali-kali ayahnya berbicara demikian, berkali kali pula ia menjawab dengan bunyi yang sama.

“Sampai kapan kau berhenti berkutit dengan mesin jahit itu Maria? Kau tak malu jika teman-temanmu sudah menikah dan kau masih saja seperti ini. ” 


Ayah Maria semakin mempercepat nada bicaranya. Ia tak bisa menahan perkataannya. Kali ini Ayah Maria sungguh menantang Maria. Maria tahu jika ayahnya sedikit sentimental tentang urusan pernikahan.


“Aku sudah mengatakannya padamu. Aku tidak akan menikah jika impianku belum terwujud. Seharusnya Ayah bangga padaku karena aku bisa menjadi satu-satunya penjahit di desa ini,” pungkas Maria ketus.

Maria semakin benci mendengar perkataan ayahnya. Ia melepas jahitannya, bersandar pada kursi rotan tua anyaman ayahnya dan menarik napas yang panjang. Ia mencoba menenangkan diri. 


“Aku benci mendengar jika kau membanding-bandingkan diriku dengan teman-temanku, Ayah. Aku benci jika kau mengulang perkataan yang sama. Sungguh, aku tak suka itu,” Maria mengungkapkan kejujurannya. Sudah lama ia ingin mengutarakan hal itu. Ia memalingkan wajah dari pada ayahnya. Beberapa menit ruang kecil itu sengang. 


“Maria, Ayah tak bermaksud demikian. Ayah hanya ingin kau hidup bahagia. Kau sudah menjadi penjahit yang baik di desa kita. Kau pekerja keras, melayani pelangganmu dengan ramah. Ayah bangga padamu, Nak. Tapi ....” 


Perkataan itu terhenti sejenak. Maria bergegas berdiri, ingin tahu apa yang hendak dikatakan pria paruh baya itu. 


“Tapi, Ayah ingin kau menikah dan hidup bahagia. Jika kau punya suami, kau tak perlu bekerja begini keras.” 


Ayah Maria tahu jika anaknya keras kepala terhadapnya. Jauh dilubuk hatinya, sungguh ia tak ingin putri satu-satunya itu hanya menjadi penjahit desa seumur hidup. Ia tak sanggup jika melihat hal itu terjadi pada Maria.


“Jika aku punya suami, aku tak yakin ia akan mengizinkanku menjahit. Mungkin saja hal itu bisa terjadi. Aku belum punya rencana untuk menikah, Ayah. Aku harus membeli lahan dan membangun rumah tempatku menjahit,” Maria mengungkapkan mimpinya, meyakinkan ayahnya, jika suatu saat impiannya bisa terwujud. 


“Kau tak perlu melakukan itu, Maria. Jika kau ingin bangunan yang lebih besar dari ini, Ayah bisa melakukannya untukmu. Kita bisa merombak ruang kecil ini menjadi besar. ” 


Setelah berkata demikian, Ayah Maria menghampiri Maria, meraih tangan putrinya dan menggenggam erat ke dua tangannya. 


“Maria anakku, Ayah tahu kau satu-satunya penjahit di desa ini. Siapa orang yang tak mengenalmu, Nak? Bukankah mereka sudah mengakuinya itu padamu? Kau tak perlu membeli tanah, tak perlu membangun rumah untuk jahit. Menikahlah, Nak, umurmu sudah cukup untuk kawin.” 


Ayah Maria menatap lekat Maria, untuk beberapa saat, lalu pergi meninggalkan Maria yang berdiri mematung tanpa sepatah kata. Maria sejenak terdiam, tak bersuara sambil melihat bayangan ayahnya menghilang di balik pintu. 


Dua pasang baju sudah Maria selaikan siang itu. Ia beranjak ke dapur dan mengambil nasi campur buatan ibunya. Ia mulai menyentuh nasi campur itu dan memasukkannya ke dalam mulut. Sesendok demi sesendok. Tapi ia tak menelan nasi itu.


“Sungguh aku ingin muntah. Tapi aku harus kuat, ” gumam Maria tanpa memedulikan perhatian ibunya yang sedari tadi memerhatikan dirinya. 


“Mau Ibu suapi?” tanya Ibu Maria sambil melangkah mendekati Maria. Mendengar itu, Maria memeloti ibunya. Maria menduga jika ibunya telah sepakat bersama ayahnya. 


“Apa Ibu setuju dengan perkataan Ayah?” Maria melepas sepiring nasi campur itu dan menatap ibunya.


Sambil tersenyum tipis Ibu Maria menjawab, “Tentu saja Ibu setuju dengan ayahmu, Nak. Ibu tak ingin kau terus-terusan menjahit. Kau butuh pendamping hidup,” ujar Ibu Maria yang terlihat tampak berat mengatakan hal itu kepada Maria. 


“Apa Ibu tak sayang padaku? Aku kira Ibu akan mendukungku,” jawab Maria agak dongkol. 


“Jika Ibu tak sayang padamu, Ibu akan membiarkanmu hidup sendiri selamanya, membiarkanmu berserampangan dengan kain-kain itu, membiarkanmu berkutit sendiri dengan mesin jahitmu itu.” 


“Bukankah menjahit pekerjaan yang bagus, Bu? Bukankah selama ini aku sudah membuat bangga keluarga kita? Lantas mengapa Ayah dan Ibu tak ingin aku meneruskan mimpiku?” Maria gemetar menjawabi ibunya. Seperti tubuhnya yang bergetar tak sanggup menahan timbunan rasa benci terhadap perkataan ayahnya yang ditahan berhari-hari.


“Ibu, aku sudah dewasa. Aku bisa memutuskan mana yang terbaik bagiku. Ayah dan Ibu seharusnya mendukung saja keinginanku.” 


Maria mendelik ke arah ibunya dengan tatapan marah. Ia menyeruput air segelas di hadapannya dan mendiamkannya lagi. 


“Maria, Ibu dan ayahmu semakin tua dan kau belum menikah. Siapa yang akan mengurusi perkawinanmu nanti jika Ayah dan Ibu sudah tak ada? Kau bisa melanjutkan usahamu walau kau bersuami kelak.” 


Maria tak berani mengangkat kepala. Saat mendengar suara ibunya semakin lirih. Ia tak kuat dengan perkataan ibunya. Ia membiarkan ibunya di dapur dan melepas sepiring nasi campur, lalu pergi begitu saja. 


Maria kembali ke ruang kecil itu. Melemparkan tatapannya pada setiap benda, menyentuh satu per satu, lalu berbicara dari hati ke hati dengan benda-benda yang menjadi kegemarannya itu. Ia mengilas balik awal ia membuka usaha menjahit, membangun tempat tersebut dan para pelanggan di desanya bertubi- tubi membawa kain untuk dijahit. Sesaat ia tersenyum simpul. 


Siang belum sepenuhnya beringsut saat dahi ayahnya berkerut-kerut memandangi semeter kain putih tergantung dalam ruang kecil itu. Ia menggaruk-garuk batok kepalanya yang dipenuhi rambut putih. Ia mencari siapakah yang menggantungkan kain itu?  Bumi seperti bergoyang, jantungnya berdenyut kencang, butir-butir keringat muncul pada dahi, lalu ke sekujur tubuhnya. Bibirnya gemetar tak mampu berkata-kata.


__________


Penulis


Herdiana Randut, kelahiran Januari 1994. Pencinta Cerpen dan puisi. Anggota komunitas sastra Saung Karsa. Cerpen "Pilihan Ibu" terbit dalam antologi cerpen komunitas ReaderZen 2024 dan "Puisi pada Rindu yang Pilu" terbit dalam antologi puisi MahirpuisiMedia 2024.