Sunday, May 19, 2024

Novel | Salim Halwa (#9) | Syamiel Dediyev

Novel Syamiel Dediyev 



#9


"Fani, ayo pulang!" ajakku sambil memberi dan menyalakan intercome headset helmku.


Aku hanya bisa tersenyum menatap Fani saat menyalakan mesin motorku. Fani pun membalas tatapanku agak malu-malu meski hal tersebut terjadi sesaat saja. Serasa seperti ingin sekali menekan tombol pause agar semua ini berhenti sejenak, agar aku bisa sedikit menikmati manis wajahnya. Entah, aku sepertinya tertawan oleh pesonanya, senyum manis, dan lesung pipinya. Membuatku larut dalam resah meski perkataan Halwa selalu menghantuiku. 


"Sadarlah, Salim. Cewek manja itu hanya butuh teman bermain bukan teman berbagi rasa!"


Sebuah pilihan rumit antara Halwa yang telah kembali pada si Monster Takabur itu ataukah Fani yang selalu mencoba mengganggu alam pikiranku dengan kehadirannya di dekatku.


"Please Salim, mau kan?" tanya Fani membuatku berada dalam pilihan yang sulit.


"Jangan buat aku kecewa, Salim. Tahu kan betapa berharganya sebuah cinta pertama bagi seorang gadis?" tambah Fani merepotkanku.


"Tapi, ini seminggu lagi mau UN Fani. Apakah nanti tidak akan merepotkan otak kita?" tanyaku pada Fani.


"Maka dari itu, Salim, aku katakan ini sebelum semuanya berlalu. Ada resah yang harus kutenangkan dalam sebuah kepastian. Jika tidak, resah itu akan mengganggu setengah dari akal sehatku," jawab Fani sedikit membuatku melemah sulit untuk menolak.


"Apakah aku kurang menarik bagimu?" tambah tanya Fani perlahan- lahan sekali lagi mencoba menggedor pintu pertahananku.


"Adakah manusia bodoh yang akan menolakmu Fani?" bisikku dalam hati dengan sedikit menoleh ramah ke hadapannya. 


Aku jadi teringat sebuah lagu lama kesenangan Bapakku yang selalu membuat mamahku kesal. Menganggap lagu itu cerita tentang mantan bapakku. Padahal bapakku bilang lagu itu untuk mamahku. Lagu itu berbunyi:



Pria mana yang tak suka senyummu juwita


Bila ada yang tak suka mungkin sedang gobl*k



"Pria mana yang bisa menolakmu Fani?” tanyaku.


"Jadi jawabannya?" tanya balik Fani.


"Ya gak harus dijawabkan? Kamu tentu sudah tahu isi hatiku," jawabku dengan menganggukkan kepalaku sedikit.


"Terima kasih atas jawabanmu. Aku senang sekali," ujar Fani dengan mata berbinar terlihat dari spion kananku, seperti sengaja ia melihat spionku. Aku jelas agak nekat kali ini. 


"Urusan besok gimana, besok ajalah," ujarku dalam hati. 


"Fani tahu gak, aku punya cerita lucu, mau denger gak?" tawarku.


"Mau dong, aku ingin dengar," jawab Fani penasaran. 


"Jadi gini, bapakku cerita kalau dulu waktu SMP ada yang mengirim surat ke bapakku, kalimatnya begini: kata teman-teman, kamu suka sama aku ya?"


"Terus bapakmu jawab apa Salim?" 


"Bapakku jawab nggak mau."  


"Ih jahat banget. Cewek itu pasti sakit hati ya?" 


"Pastinya!" 


"Fani, kamu tahu siapa yang ditolak bapakku pada waktu itu?" 


"Siapa?" 


"Mamahku." 


"Oh, pasti mamahmu kesal terus kalo ingat peristiwa itu." 


"Yah begitulah, hehe."


"Fani, boleh aku minta sesuatu?"


"Boleh."


"Jika ada orang bertanya tentang hubungan kita, jawab saja aku yang nembak duluan." 


"Lah, emang kamu duluan kan yang nembak?" 


"Loh, kok bisa?"


"Siapa yang bilang ke Ery kalau kamu pacar aku?" 


Ya Allah aku benar-benar terjebak oleh kata-kataku sendiri. 


***


16.30 WIB


Menunggu senja di teras rumah, melihat anak-anak pergi mengaji di surau Pak Ustaz yang letaknya tak jauh dari rumahku. Lantunan ayat Al-Qur’an sahut-menyahut dengan suara sopran dan alto yang saling melengkapi. Sesekali Pak Ustaz teriak, "ulangi". 


Nada WA HP-ku berbunyi:


Salim, malam ini kamu ada waktu gak? Ke rumah ya.


Whatsapp dari Halwa yang mengagetkanku. Saya pun balas.


Jelas ada dong, untuk sahabatku apa sih yang gak ada waktu. 


Lepas salat Isya, aku izin kepada Mamah untuk menemui Halwa.


"Selamat malam Awa!" aku menggoda Halwa yang sedang duduk di teras menatap langit. 


"Jangan sok manis!" jawab Halwa sinis. 


"Hei, masihkah kau marah padaku?" tanyaku. 


"Aku tak pernah marah padamu. Aku hanya kesal. Mau kopi gak?" tawar Halwa.


Aku bingung menjawabnya. 


"Tenang, kali ini aku lagi baik, gak bakalan bikin kopi tanpa gula," jawab Halwa membuyarkan kecurigaanku.


"Gimana hubungan kamu sama Fani?" tanya Halwa.


"Ya, begitulah, hehe," jawabku.


"Seneng ya bisa menaklukkan primadona sekolah," tanya Halwa dengan raut sinis.


"Haha, entahlah, aku juga gak tahu. Rasa itu mengalir begitu saja meski kubendung dengan bendungan terkuat di bumi, tetap saja sulit menahannya," jawabku.


"Hati-hati, Salim. Aku gak mau kamu hanya jadi badut cinta," ujar Halwa menasihatiku.


"Sudahlah Awa, apa yang sudah kuputuskan, apa pun risikonya sudah telanjur terjadi."


"Maaf Salim, bukan maksudku mengganggu hubungan kalian. Tapi aku hanya seorang sahabat yang cuma bisa memberi masukan padamu," ujar Halwa sedikit pesimis melihat hubunganku dengan Fani.


"Iya gak apa-apa Awa, wajar bila kamu khawatir. Terima kasih sudah menjadi sahabat terbaikku," jawabku.


"Oh, iya, bagaimana kisahmu dengan si Takabur itu?" tanyaku yang membuat sinisme Halwa meningkat tinggi dan mulai terlihat mulutnya hendak berkomat kamit kepadaku. Dan ....


(Bersambung)