Puisi Ahmad Radhitya Alam
Disptopia Alternatif
Sepanjang larik-larik puitis
yang tersisa hanyalah sajak-sajak arkais
umpatan jauh dari kemengertian
dan hantu metropolitan
seorang penyair berdiri di atas mimbar terbakar
mendeklarasikan kenabiannya
ritus kepura-puraan dalam rentang
pusaran kemelut menara ingatan
setiap kata bisa berubah menjadi bencana
rima terbaik adalah rima yang kedap cuaca
puisi telah mati
dalam ruang 13 inci
sebelum ibu
melahirkanku
Yogyakarta, 2023
Rehat
dalam setiap rehat
kuhitung hisab nikmat
sebab setelah nama-Mu kusebut
Engkau selalu menyambut
Yogyakarta, 2022
Rebah
Tuhanku yang Qudrat
ketika kematian semakin dekat
aku ingin doa-doa makin lekat
dan sanak-kawan makin rekat
tak ada pesan-pesan sebelum ajal
aku tak tahu apa nasib waktu
kepastian semakin menderak berjejal
kematian semakin mendekat menebal
Yogyakarta, 2022
Bermain Ingatan
dia bilang dia sekarat
sebagian dirinya memainkan ingatan
seperti film rumahan
namun di lain bagian
dia berharap lesap
jika ada kesempatan
Yogyakarta, 2023
Selepas Letup Senjata
untuk hari-hari kekerasan
barisan kata-kata menjelma ingatan
yang karam dalam darah berkobaran
mengental di ujung pelupuk mata
sampai anyir di popor tentara
redup negara semenjak lima sila
bersama bimbang yang tumbuh di hati rakyat
“kita telah kehilangan jati diri bangsa”
Yogyakarta, 2023
________
Penulis
Ahmad Radhitya Alam, lahir di Blitar. Tulisannya berupa puisi, fiksi, dan puisi dimuat di beberapa media. Sedang bergiat di Bunker Collective Space dan Teater Terjal. Dapat dijumpai di Instagram: @radhityaalam_, Facebook: Ahmad Radhitya Alam.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com