Friday, May 31, 2024

Cerpen Muhammad S | Sambal Api

Cerpen Muhammad S



Bapak selalu marah. Tubuhnya seperti terbuat dari sebagian besar api, dan sebagian lainnya hanya setumpuk daging kering dibalut bulu-bulu tipis. Percikan api kecil bisa langsung membakar tubuh Bapak, tidak dalam artian yang sebenarnya, tetapi Bapak memang sering terbakar dan api di dalam tubuhnya meluap-luap. Entah bagaimana Ibu, selalu mempunyai cara untuk memadamkan api dalam tubuh Bapak. 


Ibu memiliki resep rahasia yang bisa memadamkan api, yaitu dengan api yang lebih panas lagi. Api yang lebih panas akan melahap habis api dalam tubuh Bapak.


Api buatan Ibu bisa dinikmati, bisa dimakan sebagai pendamping makanan atau dimakan langsung. Api ini tidak membakar, tetapi membuat siapa saja yang memiliki api di dalam tubuhnya, akan langsung padam karena api buatan Ibu. Api buatan Ibu memiliki sensasi gerah, pedas, dan membuat siapa saja ketagihan. Api ini disebut sebagai sambal api.


Kedua tangan ibu sangat terampil meracik sambal api. Menurutnya, sambal api tak bisa dibuat oleh sembarang orang. Sambal api hanya bisa dibuat oleh perempuan yang menyimpan amarah di dadanya. Amarah itu adalah bumbu rahasia membuat sambal api. Jika tidak diulek dengan amarah, sambal api hanyalah sambal biasa. 


“Ibu selalu punya stok amarah yang cukup banyak dalam diri Ibu untuk membuat sambal api setiap hari,” kata Ibu suatu hari menjelaskan kepadaku resep rahasia membuat sambal api.


Penyebab Bapak selalu marah tak pernah sama. Tetapi, yang aku ketahui Bapak selalu marah oleh hal-hal kecil sekalipun. Seperti, Ibu pergi ke warung Bu Ida membeli gula, karena gula sudah habis di dapur, dan Bapak pernah melarang Ibu untuk membeli apa pun di warung Bu Ida.


“Aku sudah pergi ke warung Paimin dan Bu Tejo, stok gula mereka habis semua, Mas,” jelas Ibu kepada Bapak samar-samar kudengar dari dalam kamar.


“Aku sudah pernah bilang sama kamu! Tuli! Jangan pernah beli apa pun di warung Ida itu, Ida itu pakai pesugihan, goblok!” bentak Bapak kepada Ibu yang sesenggukan mengelus pipinya. Pipi yang telah kian merah merona setelah tamparan mendarat dengan sempurna. Jelas Ibu tak berani berkata apa-apa lagi, meskipun dia tahu, bahwa Bu Ida tak pernah pakai pesugihan. Menurutku, Bapak selalu iri kepada Ida yang warungnya selalu ramai.


Warung Bu Ida tak jauh dari rumahku, hanya berjarak empat rumah saja. Sedangkan warung Paimin dan Bu Tejo harus menyeberang jalan dan melewati dua gang. Jauh. Tetapi, di rumah ini, tak ada yang berani membantah Bapak. Jika Bapak sudah berkata bahwa jangan pernah membeli apa pun di warung Bu Ida, maka seluruh isi warung Bu Ida haram bagi Bapak.


Atau, seperti segelas tes di hari Minggu pagi, Bapak tak berangkat kerja. Sudah tiga hari  Bapak tak kerja, tak mendapat panggilan membersihkan ladang dan pekarangan milik Pak Kades atau tetangga. Alhasil, Bapak hanya berdiam diri di rumah, dan sesekali ke teras untuk menaikkan burung perkutut dan menurunkannya di sore hari.


Setelah menaikkan burung perkutut miliknya, Bapak duduk di kursi di teras rumah. Ibu datang membawakan segelas teh panas. 


“Teh macam apa ini!” teriak Bapak. “Kau kasih aku air bekas cucian?” kata Bapak lagi.


Belum sempat berkata apa pun, segelas teh panas telah mendarat di kaki Ibu. Tak peduli sedang kesakitan terkena siraman air panas, Bapak terus memarahinya. Aku sempat berpikir, bagaimana bisa Ibu bertahan dengan api bertubuh manusia itu. Apa tidak lebih baik ibu meninggalkannya dan mencari lelaki lain yang lebih penyayang dan pengertian. Tetapi saat itu aku hanya anak kecil yang tidak tahu apa-apa soal pernikahan dan rumah tangga. Aku hanya menyaksikan ibu dipukul, ditampar, ditendang, bahkan dibiarkan terkena siraman teh panas.


“Bapak tak mungkin bisa berhenti marah kalau Ibu tak buatkan sambal ini untuknya,” kata Ibu kepadaku setelah mendekat dan memeluk kakinya dari belakang, “Ayo, bantu Ibu menyiapkan piring.”


Meskipun menahan sakit, Ibu tetap menyajikan sambal api kesukaan Bapak di meja makan. Bapak akan masuk dengan membanting pintu, duduk setelah menarik kursi dengan sangat keras, mengambil piring, nasi, sayur, lauk, dan tak lupa sambal api. Semuanya tak bersisa. Bapak akan menjulur-julurkan lidahnya seperti seekor anjing ketika sambal api masuk ke dalam mulutnya. Persis seperti anjing. Mata kecilku hampir tak bisa membedakan yang sedang duduk di meja makan dan menyantap sambal api buatan ibu adalah api, anjing, atau Bapak.


Setelah semua yang disajikan telah habis, Bapak akan pergi dari rumah. Entah ke mana, Ibu tak pernah tahu. Menurut Ibu, setelah makan sambal buatannya, Bapak akan pergi dan kembali dalam keadaan yang dingin.


“Bapak akan melupakan semua hal tentang kemarahannya,” terang Ibu kepadaku melihat bapak keluar membanting pintu.


Ibu selalu menunggu Bapak pulang. Duduk di kursi ruang tamu yang langsung menghadap ke pintu. Ibu tak akan tidur sebelum Bapak pulang meskipun hingga lewat tengah malam. 


Aku sering menemani Ibu menunggu Bapak pulang, tetapi aku selalu tidur duluan. Dan saat aku telah bangun, aku telah berada di kamarku. 


Aku bergegas ruang tamu, ke kursi tempat biasa Ibu duduk menunggu Bapak. Rupanya Ibu masih duduk di sana, membaca sebuah majalah yang telah ditamatkannya lebih dari tiga kali, atau sesekali membuka Alkitab. 


“Ibu tak tidur?” tanyaku polos. Waktu  menunjukkan pukul tiga pagi. 


“Bapakmu belum pulang,” jawab Ibu singkat.


Aku memandang bekas luka di kaki Ibu, luka yang bekasnya tak akan hilang. Kulitnya melepuh dan harus dikelupas oleh Pak Mantri. Luka Ibu masih dibalut oleh perban sebagian, dan sebagian lainnya dibiarkan terbuka. Di kaki Ibu juga masih ada bekas lebam. Saat ditanya Pak Mantri, Ibu mengatakan kalau kakinya tak sengaja tersandung dan terbentur kaki meja. Jelas Ibu berbohong saat itu. Aku tahu bahwa kaki Ibu tidak terbentur kaki meja, melainkan sebuah sarung parang berkali-kali menghantam kaki Ibu. Meski tak menangis, aku tahu bahwa Ibu merasakan sakit saat Bapak terus memukulinya.


“Goblok! Perempuan tak berguna! Mati saja kau dan biar dimakan anjing-anjing tubuhmu. Sudah kukatakan, jangan pernah memindahkan parang milikku dari tempatnya berada, goblok! Biarkan parang ini di sana! Dasar perempuan tolol!” pekik Bapak terus memukuli Ibu.


Sama seperti hari-hari sebelumnya, Ibu akan pergi ke dapur dengan terpincang-pincang, mengangkat cobek, meracik cabai rawit merah, bawang putih, lalu bawang merah ke dalam cobek. Ibu akan menguleknya, menabur garam dan gula. Lalu, menyiramnya dengan minyak panas. Tetapi lebih dari itu, ada bumbu rahasia yang diam-diam Ibu masukkan saat menghaluskan cabai dan bawang sebelum menyiramnya dengan minyak panas, yaitu amarah. Amarah itu mengalir dari dada Ibu, ke lengannya yang  kuat menghaluskan cabai, dan menetes pelan-pelan masuk ke dalam sambal. Lalu, Ibu akan menyajikannya di meja makan, dan Bapak akan menyantapnya, menjulur-julurkan lidahnya seperti seekor anjing, lalu pergi setelah membanting pintu.


Menjelang subuh, Bapak pulang dengan tak ada kemarahan. Ibu mencium tangannya, dan mereka berjalan ke kamar seperti tidak terjadi apa-apa. Aku kembali ke kamarku dan melanjutkan tidur. Keesokan harinya, semua berjalan seperti biasa, meski bekas luka di kaki Ibu tak pernah hilang, tetapi Ibu tetap begitu mencintai Bapak.


Sempat kutanyakan kepada Ibu soal sambal api buatannya, mengenai muasal resep sambal yang sangat ampuh untuk memadamkan api. 


“Ibu mendapatkan resep ini dari nenekmu. Dahulu nenekmu mendapat resep sambal ini dari ibunya. Kata nenekmu, dahulu ibunya adalah pemilik warung makan terkenal. Banyak orang menyukai masakannya. Salah satu yang menjadi primadona adalah sambal buatannya. Sambal buatan ibunya bikin orang ketagihan, rasanya menggigit, pedas dan  membikin gerah. Namun, semakin ramai orang berdatangan untuk mencoba sambal buatannya, semakin tak suka suami dari ibu nenekmu. Suami dari ibu nenekmu beranggapan bahwa lelaki yang datang ke warung makannya bukan hanya untuk menikmati sambal, melainkan untuk menggoda pembuatnya. Tentulah, tubuh pembuat sambal sepedas sambal buatannya, begitulah kata nenekmu,” jelas Ibu kepadaku yang dengan khusyuk mendengarkan.


Lalu, Ibu melanjutkan, “Suami dari ibu nenekmu menuduh bahwa ibu nenekmu telah berselingkuh dengan salah seorang pelanggan lelaki. Sementara suami dari ibu nenekmu pergi bekerja, lelaki itu akan datang, pura-pura memesan sambal, padahal ingin bercinta dengan pembuatnya. Tuduhan itu tak benar adanya, ibu nenekmu melayani setiap pelanggan hanya dengan sambal buatannya, bukan dengan tubuhnya. Tetapi suami dari ibu nenekmu tak pernah mau mendengarkan. Dia adalah lelaki keras kepala yang setiap perkataannya harus dibenarkan, terutama oleh istrinya. Dan saat itu juga, suami dari ibu nenekmu memukuli ibu nenekmu. Warung makan tak pernah kembali buka, banyak pelanggan yang kecewa. Ibu nenekmu tak pernah lagi membuat sambal, kecuali untuk suaminya. Dan setiap hari, saat sambal buatannya kurang pedas, atau kurang garam, ibu nenekmu akan menerima pukulan demi pukulan. Kejadian semacam itu tak pernah berhenti, meski suami dari ibu nenekmu tahu bahwa istrinya sedang mengandung nenekmu. Pun setelah nenekmu dilahirkan. Suami dari ibu nenekmu terus memukulinya. Ibu nenekmu kemudian mengajari nenekmu membuat sambal api, dengan resep rahasia. Nenekmu menerima pukulan dari ibunya, ibunya terus-menerus mengatakan jika perempuan tak boleh menjadi lemah terhadap rasa sakit. Melalui sambal api ini, penderitaan dan amarah harus disalurkan untuk menciptakan sambal yang pedas, gerah, dan bikin ketagihan. Lalu nenekmu dijodohkan oleh seorang lelaki untuk melunasi hutang-hutang bapaknya. Dan kepada lelaki itu, nenekmu selalu membuatkan sambal api. Nenekmu tak pernah bahagia dalam pernikahannya. Lelaki yang menjadi suaminya, seperti cerminan dari bapaknya. Keras kepala dan ringan tangan. Setelah Ibu dilahirkan, sejak kecil, nenekmu selalu mengajari cara membuat sambal api. Dan benar, seorang istri memang harus bisa membuat sambal api.”


Aku berdiam, memandang ke arah Ibu.


“Apakah Ibu akan mengajariku bagaimana cara membuat sambal api, selain hanya mengatakan bahwa membuat sambal api harus begini atau begitu?” tanyaku kemudian.


Keesokan harinya, Ibu mengajariku membuat sambal api. Ibu mempraktikkan bagaimana menghaluskan cabai dan bawang dengan cobek yang benar. Berapa kali  memutar anak batu ke kanan dan kembali ke kiri. Hitungannya tak sama, dan aku harus mengingatnya, kemudian menumbuknya dengan beberapa tumbukan, lalu memutar anak batu untuk menghaluskannya ke kanan dan ke kiri. Hitungannya harus pas.


Setelah memberikan instruksi, aku membuat sambal api milikku sendiri. Ibu mengatakan bahwa ketika membuat sambal api, aku harus mengingat semua kenangan saat Bapak memukuli Ibu. Mengingat semua kata-kata yang keluar dari mulutnya. Mengingat wajah Bapak. Aku kemudian meracik cabai rawit merah, bawang putih lalu bawang merah. Kemudian aku mulai menghaluskannya, memutar anak batu ke kanan tiga belas kali putaran, lalu ke kiri dengan jumlah putaran yang tak sama. Aku menumbuknya, lalu menghaluskannya dengan anak batu beberapa putaran ke kanan lalu ke kiri. Selanjutnya, aku menuangkan minyak panas setelah garam dan gula tercampur merata.


Bapak datang lalu mengajak Ibu pergi sebelum sempat mencicipi sambal api buatanku. Jarang sekali aku melihat bapak mengajak Ibu pergi, kalau tak ke pasar, pastilah jalan-jalan ke suatu tempat. Aku menjadi sangat kesal dan marah karena tak mengajakku ikut bersama mereka.


Menjelang malam, Ibu kembali ke rumah seorang diri, setelah masuk lalu pergi ke dapur, “Mana sambal api buatanmu?” tanya Ibu.


“Aku sudah memakannya. Siapa suruh pergi  jalan-jalan tanpa mengajak aku!” jawabku kesal.


________


Penulis 


Muhammad S kelahiran OKU Timur, 14 Juni. Bergiat di Komunitas Penulis Muda Lampung dan guru di salah satu sekolah swasta Lampung Selatan. Beberapa tulisan termuat di media online, koran, dan majalah.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com