Wednesday, March 12, 2025

Cerpen Lomba | Alya Amany Faradiba | Sisa-sisa Ketamakan

 Cerpen Alya Amany Faradiba


(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Sebagai anak nelayan, sedari kecil aku terbiasa berhadapan dengan hamparan kapal yang tersusun rapi di halaman rumahku. Tidak ada yang spesial dari lingkungan tempat tinggalku, tidak banyak taman hiburan, gedung-gedung setinggi langit yang dibuat entah untuk mencapai apa, apalagi kendaraan-kendaraan super keren yang berlomba-lomba memenuhi jalanan. Hanya satu yang menarik, aku bersahabat dengan Laut.

Laut sangat baik, tentu saja kedua orang tuaku mengizinkan aku berteman dengan dirinya. Kami berbagi banyak hal, dia adalah satu-satunya yang bisa dipercaya untuk kutunjukkan sisi burukku. Dari sedikitnya hal yang kutau di dunia ini, Laut adalah yang tersabar, dia tetap memberikan banyak hal baru yang bermanfaat untukku bahkan ketika aku hanya bisa memberikan sisa-sisa dari yang kupunya. 

Selain itu, dia adalah yang terpopuler di kalangan orang dewasa. Bagaimana tidak, banyak sekali yang bergantung dengan kebaikannya di daerah sini. Orang tuaku juga termasuk salah satu yang sering dibantu oleh dirinya. Semenjak aku berteman baik dengan Laut, Ayahku selalu pulang dengan membawa kabar gembira. Tetapi sepertinya ada yang berbeda dengan hari ini.

Tadi pagi ayahku mendapat panggilan untuk menghadiri acara bersama dengan beberapa nelayan lainnya. Tumben sekali, karena dari yang aku tahu, biasanya acara seperti itu hanya didatangi oleh orang-orang berkuasa yang katanya berpengaruh disini, jarang sekali orang biasa seperti keluarga kami diberi kesempatan untuk ikut serta. Aku harap ini bukan sesuatu yang harus kukhawatirkan. 

Sepulangnya dari sana ayahku berbincang banyak hal dengan ibu. Aku yang tak bisa menampung rasa penasaranku memutuskan untuk mendengar perbincangan mereka diam-diam. Sepertinya ini hal yang serius…Hari semakin sore dan matahari pun akan tenggelam sebentar lagi. Aku berhasil mendengar apa yang diperbincangkan, tetapi tidak yakin dengan apa yang harus aku lakukan. Baiklah, aku akan simpan rasa penasaranku untuk malam ini, besok aku akan bertanya kepada Laut.

*

Aku terbangun keesokan harinya dengan bersemangat dan terburu-buru mengerjakan apa yang harus ku kerjakan agar ibu mengizinkanku bermain di luar. Setelah diizinkan, aku pun berlari sekuat tenaga untuk sampai di tempat tujuanku.

“Haiii, selamat pagi Laut,” sapaku.

“Selamat pagi jugaa, kamu terlihat bersemangat hari ini, apakah ada sesuatu yang terjadi?” 

Aku langsung menjawab pertanyaannya, “Benar, kemarin aku mendengar dari ayahku kalau orang-orang berkuasa di kawasan ini sudah mendengar tentang kebaikanmu selama ini.”

“Wah.. Lalu apa yang mereka katakan? Apakah aku harus senang mendengar kabar ini?” tanya Laut.

“Sebenarnya aku tidak yakin, ayahku berkata kalau orang-orang itu tidak bisa percaya begitu saja dengan apa yang mereka dengar. Apalagi ketika ada yang memberi tahu mereka kalau kamu tidak marah meski orang-orang disini memperlakukanmu seenaknya, mereka takut kamu akan membalas perbuatan buruk kami suatu hari nanti. Sepertinya mereka merencanakan sesuatu.”

Kemudian Laut menjawab dengan lembut, “Kamu tidak perlu khawatir, memangnya apa yang mereka rencanakan?” 

“Orang-orang itu akan membangun pembatas di kawasan ini, sebagai gantinya mereka menjanjikan kemajuan serta kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat di sekitarnya. Apakah kamu tidak keberatan dengan hal ini?”

“Mengapa aku harus keberatan, bukankah ini adalah kabar baik untukmu.”

“Aku tahu itu, tetapi ayahku menyampaikan hal ini dengan wajah khawatir dan kebingungan, sepertinya dia merasa tidak setuju akan hal ini, tetapi dia tidak bisa melakukan apapun untuk menolak. Aku tidak tahu harus melakukan apa,” ujarku.

“Tidak apa, untuk sekarang ini kamu bisa menunggu dengan sabar, suatu saat kamu pasti akan mengerti.”

“Baiklah kalau begitu, terimakasih sudah mendengar ceritaku, aku pulang dulu ya, takut dicari ibu, Sampai jumpa Laut.”

“Tidak perlu berterimakasih, sampai jumpa lagi.”

**

Hari-hari berlalu begitu cepat dan orang-orang itu benar-benar melakukan apa yang telah direncanakan, mereka membangun pagar yang tinggi di sepanjang mata memandang. Setelah ini aku tidak tahu lagi apa yang harus kusampaikan. Karena aku sendiri pun belum bisa merasakan manfaat dari dibangunnya ‘pembatas’ disini. 

Satu hal yang pasti, setelah ada pagar itu,  ayahku dan para nelayan lainnya melewati hari-hari yang lebih berat dari biasanya. Wilayah tangkap mereka seolah dibatasi, terpaksa mereka harus menempuh rute yang lebih jauh untuk mencari ikan. Tentu saja hal ini membuat pengeluaran biaya operasional untuk bahan bakar kapal meningkat.

Jangan tanyakan kepadaku bagaimana kabar Laut. Aku sudah tidak mendengar tentang dirinya lagi semenjak hari itu, karena keluargaku pun terpaksa harus pindah dari daerah situ. Mau tidak mau ayahku harus mencari sumber pendapatan yang lebih layak. 

Tetapi aku masih teringat betul dengan perkataan Laut pada saat itu. Dia benar, karena peristiwa itu, sekarang aku mengerti bahwa manusia hanyalah makhluk yang penuh dengan ketamakan. 

Kami selalu menghalalkan segala cara untuk menguntungkan diri kita sendiri tanpa memperdulikan lingkungan sekitar, bahkan tidak ragu untuk merugikan manusia yang lain.

Hingga kini, Laut adalah bagian dari hidupku yang selalu kurindukan.