Wednesday, March 12, 2025

Cerpen Lomba | Muhammad Alif Akmal | Si Lobster yang Malang

 Cerpen Muhammad Alif Akmal



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)

“Ayo, siapa yang bisa berenang paling cepat sampai karang itu?”

"Aku pasti menang! Lihat saja ekorku yang licin ini!”

“Eh, tunggu dulu! Kalau aku ikut, kalian pasti cuma lihat bayanganku di belakang!”

Di dasar laut yang jernih di pesisir Tangerang, hiduplah tiga sahabat kecil yang tak terpisahkan: Si Lobster dengan capitnya yang selalu siap menolong, Si Ikan Dorang yang gemar bercerita kisah-kisah seru, dan Si Ikan Pari yang suka berputar-putar seperti layang-layang di langit biru. Setiap hari, mereka berenang bersama, menjelajah gua-gua karang yang berkilau seperti permata, atau berlomba melawan ombak kecil yang nakal. Laut bagi mereka adalah taman bermain yang luas, penuh rahasia seru yang menunggu untuk ditemukan. Mereka percaya, selama berenang bersama, tak ada satu pun sudut laut yang terlalu gelap atau terlalu jauh untuk dijelajahi..

“Gimana, kita balapan renang lagi?” tantang Si Dorang.

“Hari ini kita jalan-jalan aja gimana?” kata Si Lobster.

“Ayok!” jawab Si Pari.

Tiga anak hewan penghuni laut ini terkenal sangat pemberani. Meski masih anak-anak, mereka sering pergi menjelajah bersama ke tempat-tempat yang berbahaya. Mereka tidak pernah takut karena orang tua mereka membuatkan jalur berenang di sepanjang laut pantai. Jadi jika mereka pergi terlalu jauh, merekca cukup mengikuti jalur itu untuk bisa kembali pulang.

Hari ini mereka menjelajah cukup jauh. Namun mereka tetap santai karena ada jalur berenang yang bisa mereka andalkan. Tapi..

“Hai teman-teman, ayo kita pulang! Kita sudah terlalu jauh dari rumah kita..” kata Si Anak Ikan Pari.

“Eh, iya. Ayo pulang, teman-teman.” jawab Si Anak Lobster. Dan akhirnya mereka pun pulang.

Cukup lama mereka berenang, namun tak kunjung sampai. Si Anak Ikan Dorang pun mulai merasa cemas.

“Kok kita nggak nyampe-nyampe rumah, ya? Padahal kita sudah berenang cukup jauh, loh.” kata Si Anak Ikan Dorang.

“Ya iyalah! Kita tadi jalan-jalannya kan kejauhan!” jawab Si Anak Ikan Pari.

“Ayo semangat, teman-teman!” ucap Si Lobster.

Akhirnya mereka pun sampai juga. Namun sesampainya di rumah mereka masing-masing, ada sesuatu yang membuat mereka terkejut.

“Hah? Apa ini?” tanya Si Lobster, terbelalak melihat bambu-bambu berjajar menghalangi pintu masuk rumahnya. “Gimana masuknya nih?” lanjutnya, panik.

Si Lobster berjalan kesana-kemari mencari celah untuk bisa masuk ke rumahnya. “Aha! Akhirnya ketemu juga. Untung rumahku ada jendelanya.” Si Lobster pun bergegas masuk ke rumahnya melalui celah itu.

“Ayah! Ibu! Kenapa kalian bisa santai begitu, apa kalian tidak tahu, di luar ada apa?!” ucap Si Lobster

“Memangnya ada apa, Nak?” tanya Ibu Lobster, penasaran.

“Di depan rumah kita banyak bambu-bambu yang menancap, Bu! Sehingga menghalangi pintu masuk rumah kita!” ucap Si Lobster.

“Hah? Apa??” ucap Ayah Lobster. Lalu mereka pun keluar untuk melihat apa yang terjadi.

“Wah, iya. Kenapa ini?” tanya Ibu Lobster.

“Aku juga tidak tahu, Bu. Aku baru pulang, tau-tau sudah ada bambu-bambu ini.” jawab Si Lobster. “Teman-teman gimana, ya, nasibnya?” tanya Si Lobster, cemas. “Ayo, Nak. Kita cek bersama.” ucap Ayah Lobster. Sesampainya di depan rumah Si Ikan Pari..

“Hah! Apa yang terjadi pada rumahmu, Pari??” tanya Si Lobster, terkejut melihat rumah Si Pari roboh.

“Iya nih, aku juga nggak tau. Tadi pas kita pulang jalan-jalan, tau-tau rumahku sudah roboh.” ucap Si Pari, sedih. “Rumahmu gimana, Lobster?” tanya Si Pari.

“Yang sabar, ya, Pari. Pintu rumahku tertutup pagar bambu, Pari. Aku jadi kesulitan masuk rumah.” jawab Si Lobster.

“Apa? Pagar bambu?” tanya Si Pari.

“Iya, pagar bambu.” jawab Si Lobster. “Aku tidak tahu kapan bambu-bambu itu menancap di sana, tapi sepulang kita jalan-jalan tadi, tiba-tiba bambu-bambu itu sudah menutupi pintu rumahku. Sepertinya ada hubungannya sama robohnya rumahmu.” ungkapnya.

“Aku jadi penasaran. Ayo ke rumahmu, aku mau lihat.” kata Si Pari.

Dan begitu mereka tiba di rumah Si Lobster..

“Wah, iya! Banyak sekali bambunya. Mau buat apa sih ini? Ngerusak tempat tinggal kita aja!” gerutu Si Pari, marah. Si Lobster pun hanya bisa menggelengkan kepala.

Beberapa hari berlalu, dan keadaan di pesisir laut semakin memburuk. Bambu-bambu makin banyak, menjulur ke segala arah, seolah-olah tak membiarkan cahaya matahari menembus ke dasar laut. Rumah-rumah hewan laut yang lain mulai rusak, dan suasana menjadi mencekam.

Suatu pagi, Ibu Lobster memandangi air laut yang kini terlihat lebih keruh dari biasanya. “Ada sesuatu yang tidak beres, Ayah,” bisiknya penuh kekhawatiran.

Ayah Lobster mengangguk, “Ini bukan alam yang melakukannya. Ini… manusia.”

Sementara itu, Si Lobster, Si Anak Ikan Pari, dan Si Anak Ikan Dorang kembali berkumpul, mencoba mencari tahu penyebab semua kekacauan ini.

“Aku dengar dari Ayah, katanya manusia sedang membangun sesuatu di dekat pantai,” ucap Si Ikan Dorang dengan nada sedikit ketakutan.

“Bangunan?” tanya Si Lobster, bingung. “Untuk apa?”

“Mungkin mereka tidak sadar, mereka sudah merusak rumah kita,” sahut Si Pari.

Hari demi hari berlalu, dan tumpukan bambu makin banyak. Suatu hari, ketika ketiganya bermain di dekat jalur berenang, terdengar suara gemuruh dari atas permukaan laut. Ombak besar datang tiba-tiba, membawa lumpur dan sampah yang menutup semua jalan pulang.

“Jalurnya… jalurnya tertutup!” seru Si Ikan Dorang, panik.

Mereka berusaha berenang sekuat tenaga, tapi arus semakin kuat. Dalam kekacauan itu, Si Lobster melihat sesuatu yang mengerikan: sebuah alat besar milik manusia sedang mengeruk dasar laut, menghancurkan terumbu karang yang menjadi rumah bagi banyak makhluk.

“Aku harus membantu mereka!” teriak Si Lobster. Ia mendorong teman-temannya menjauh dari arus yang semakin kencang. 

“Lobster, ayo ikut!” seru Si Pari.

Namun, Si Lobster menggeleng pelan. “Kalian harus pulang. Kalau aku ikut, kita semua bisa terjebak.”

Arus makin kuat, dan dengan segenap tenaga, Si Lobster mendorong Si Pari dan Si Dorang ke jalur yang lebih aman. 

“Terima kasih, Lobster!” seru Si Dorang sambil meneteskan air mata. Mereka berdua berhasil keluar dari pusaran air itu.

Tapi Si Lobster? Ia tidak seberuntung teman-temannya.

Beberapa Hari Kemudian...

Air laut di pesisir mulai tenang, tapi suasana di dasar laut tetap sunyi dan hampa. Rumah-rumah hewan laut banyak yang rusak, dan jalur berenang yang dulu aman kini tertutup lumpur.

Si Ikan Pari dan Si Ikan Dorang terus mencari sahabat mereka, berharap Si Lobster berhasil selamat.

Sampai suatu hari, di balik batu karang yang retak, mereka menemukan sebuah capit kecil yang terjebak di antara reruntuhan bambu.

“Ini… Lobster?” bisik Si Pari, matanya berkaca-kaca.

Mereka membawa capit itu pulang dan membangun sebuah monumen kecil dari batu karang di tempat mereka biasa bermain. Setiap sore, mereka berenang ke sana, mengenang keberanian sahabat mereka yang rela berkorban demi menyelamatkan teman-temannya.

“Kamu tidak akan pernah dilupakan, Lobster. Kamu pahlawan sejati.”