Cerpen Akmelia Nurrahmah
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Di Jawa tengah ada sebuah kota kecil Bernama kota Temanggung. Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Kendal, dan di sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Magelang. Kota ini diapit oleh dua gunung yaitu gunung Sindoro dan gunung Sumbing. Di kota Temanggung ini hiduplah seorang kaya raya bernama Pak Lino. Dia mempunyai harta yang banyak sekali, mulai dari perusahaan mebel, pabrik, sepeda motor, dan masih banyak lagi. Karena sifat manusia yang selalu merasa kurang dalam urusan dunia, ibarat minum air laut, semakin banyak minum semakin merasa dahaga, itulah sifat Pak Lino.
Suatu hari Pak Lino bertamasya bersama keluarga ke pantai selatan. Dia berjalan menikmati indahnya ombak, semilirnya angin laut, dan ramainya pantai. Di situ Pak Lino berangan-angan, “Seandainya pantai ini bisa kubeli, maka aku pasti akan membayarnya.” Pak Lino pun mengutarakan angan-angannya itu kepada istrinya yang bernama Bu Raisya.
“Seandainya pantai ini kita beli, kira-kira boleh apa tidak, ya, Buk?” tanya Pak Lino kepada istrinya.
“Ya bisa saja, Pak. Coba Bapak datangi kantor pemerintahan daerah setempat.” jawab ibu Raisya.
Keesokan harinya Pak Lino berkemas-kemas untuk pergi ke kantor pemerintah setempat untuk membeli pantai di laut selatan. Awalnya pejabat yang bersangkutan tidak mau menjual pantai tersebut karena pantai itu milik negara. Tapi karena kepintaran Pak Lino dalam bernegosiasi, akhirnya pantai tersebut bisa dibeli. Kemudian Pak Lino pulang dengan wajah gembira karena negosiasinya berhasil.
Sesampainya di rumah, Pak Lino menemui istrinya dan memberi tahu bahwa pantainya berhasil ia beli dengan harga yang murah. Mendengar kabar tersebut, wajah istrinya berseri-seri, menandakan hatinya gembira.
Pak Lino dan istrinya berdiskusi untuk segera menggarap pantai tersebut dengan cara memagarinya dengan bambu. Pak Lino menyuruh bawahannya untuk mencari bambu yang kualitanya bagus. Asistennya pun dating kemudian diberi arahan oleh Pak Lino.
Tanpa disadari oleh Pak Lino, ternyata kedua anak Pak Lino sengaja mendengarkan percakapan tersebut dan kedua anaknya itu masuk ke ruang tamu. Karena kemunculan kedua anaknya itu, Pak Lino mengakhiri pembicaraan. Kemudian Pak Lino menyuruh bawahannya itu untuk segera melaksanakan tugasnya. Lalu asisten Pak Lino itu pun pamit dan pergi.
Setelah asistennya itu pergi, anaknya pun bertanya kepada ayahnya.
“Tumben Bapak cari bambu, buat apa, Pak?” tanya anak pertamanya.
“Alhamdulillah, bapak mendapatkan bisni baru, yaitu membeli pantai kurang lebih setengah hektar.” jawab Pak Lino.
“Untuk apa, Pak?” tanya anaknya yang kedua.
“Pantai itu nantinya mau bapak pagari, agar bisa diurug dengan tanah untuk dijadikan pabrik.” jawab Pak Lino lagi.
”Apakah pembelian pantai itu resmi?” si anak pertama kembali bertanya.
“Resmi atau tidak, itu bukan urusan kalian. Yang penting bapak sudah membelinya dan ada sertifikatnya.” jawab Pak Lino.
“Pak, kalau tidak resmi, sebaiknya batalkan saja. Karena nanti bisa timbul masalah.” sambung anak kedua.
“Kamu anak kecil tidak usah ikut campur urusan orang tua!” jawab Pak Lino dengan nada tinggi.
“Kami berdua tidak setuju kalau pembelian pantai itu tidak resmi.” ujar kedua anak itu pada ayah mereka.
Pendapat kedua anak itu berseberangan dengan ayah mereka. Di situlah awal mula munculnya ketidakharmonisan antara ayah dan anak. Setiap hari Sang Ayah sering memarahi anak-anakya. Kemarahan tersebut mencapai puncaknya, sampai akhirnya kedua anak itu dihukum tidak boleh kemana-mana.
Sebagai anak yang baik, mereka menjalankan hukuman dari ayah mereka itu dengan baik. Mereka tak berani pergi ke mana-mana. Tapi mereka selalu berdoa kepada Allah SWT agar diberi jalan terbaik untuk mereka dan ayah mereka.
Keesokan harinya Pak Lino mendapatkan telepon dari anak buahnya untuk melihat hasil pemasangan pagar laut yang telah dikerjakan selama dua minggu. Pak Lino segera memanggil sopir pribadinya untuk segera berangkat ke pantai selatan.
Sesampainya di lokasi, Pak Lino merasa gembira melihat hasil pekerjaan anak buahnya yang dikerjakan dengan bagus. Karena puas dengan hasil tersebut, anak buahnya diajak makan di restoran mewah sebagai rasa berterima kasih dan memberinya upah yang cukup besar.
Seiring berjalannya waktu, para penduduk sekitar merasakan dampak yang kurang baik akan keberadaan pagar laut. Para nelayan tidak bisa melaut karena terhalang bambu-bambu itu. Dengan kondisi ini para warga, khususnya nelayan bermusyawarah untuk mengatasi masalah ini. Apakah pembuatan pagar laut itu memang resmi dari pemerintah, atau ilegal.
Setelah mencapai kesepakatan dalam bermusyawarah, warga mengutus kepala desa dan perangkat untuk mendatangi BPN (Badan Pertahanan Nasional) mengenai pagar laut di desa itu. Karena para pengurus tanah sudah mendapatkan uang dari para pembeli pantai, maka para pengurus tersebut memberi penjelasan kepada kepala desa dan perangkatnya bahwa pembelian pantai itu resmi dan bersertifikat.
Setelah mendapatkan jawaban tersebut para perwakilan desa bergegas minta pamit untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, kepala desa dan teman-temannya merasa tidak puas dengan jawaban BPN tersebut dan mereka pun melanjutkan perjalanan ke pemerintahan provinsi untuk menindaklanjuti kasus pagar laut ini.
Sesampainya di pemerintahan provinsi mereka mengutarakan masalah yang terjadi di desa mereka. Pejabat pemerintah provisi berjanji akan menyelidiki kasus itu.
“Terimakasih karena sudah melapor, kami akan mengatasi kasus ini sesegera mungkin.” ungkap salah satu staf di sana.
Mendengar jawaban tersebut, kepala desa dan rombongan segera pulang. Mereka senang karena masalah yang diutarakan sudah ditanggapi dengan baik.
Setelah dua pekan, pejabat pemerintah provinsi datang ke pantai selatan untuk melihat pagar laut serta menemui kepala desa dan memberi kabar bahwa penjualan pantai tersebut tidak ada sertifikatnya. Maka penjualan tersebut ilegal.
Berita tentang tidak resminya jual beli pantai itu akhirnya sampai juga ke telinga Pak Lino. Pak Lino bergegas menemui istrinya untuk menemui kedua anaknya yang selama ini dihukumnya untuk tak boleh kemana-mana.
“Buk, bapak merasa bersalah sama anak-anak. Mereka mencoba memperingatkan kita tapi aku malah berbuat seenaknya.” ucap Pak Lino.
Pak Lino dan istrinya meminta maaf kepada kedua anaknya karena selama ini tidak mendengarkan saran dan pendapat keduanya. Dengan lapang dada, anak-anak Pak Lino memaafkan ayah dan ibu mereka. Akhirnya Pak Lino dan istrinya memberi kebebasan kepada mereka untuk beraktifitas seperti semula.
Pagi harinya Pak Lino mendapatkan telepon dari kepala desa tentang serifikat yang telah diterima itu adalah ilegal. Wilayah perairan yang telah dipagari oleh perusahaan akan diambil oleh pemerintah provinsi untuk dijadikan tempat wisata, dan sebagai jalur para nelayan saat mereka berangkat melaut mencari ikan. Adapun bambu yang telah ditancapkan sebagai pagar laut akan dibongkar oleh pemerintahan provinsi beserta para nelayan.
Setelah kita mengetahui cerita Pak Lino tentang usahanya dalam menjalankan pekerjaan yaitu sebagai usahawan sangatlah penting dalam mengambil keputusan agar tidak merugi di kemudian hari.