Cerpen Diah Ismawati
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Di tepian pantai yang jauh dari keramaian, terdapat seorang ayah yang sedang berbincang dengan anaknya yang bernama raisa ”Ayah janji kan yah bakalan balik lagi?”tanya raisa dengan raut muka khawatir ”Iya nak ayah janji bakalan balik lagi,hanya sebentar nak”balas ayahnya dengan tersenyum.”Tapi ayah janji kan?”jawab raisa.“Iya ayah janji.”balas ayahnya dengan penuh yakin.Dan tiba-tiba neneknya memanggil-manggil dengan khawatir.”Raisa cucuku”.
Panggil neneknya.”Iya nek”jawab raisa.”Kamu tidak usah khawatir ya,ayah pasti bakalan balik lagi buat jengukin kamu, hanya sebentar.”balas neneknya sambil tersenyum.”Beneran kan nek ayah bakalan balik lagi?”jawab raisa dengan raut muka sedih.”Iya,beneran ayah tadi sudah janji kan ke kamu?”Tanya nenek.”Iya nek ayah janji bakalan balik lagI.”jawab raisa.”Nah jadi kamu jangan sedih lagi ya.”Balas neneknya dengan tersenyum.”Iya,makasih ya nek selalu ada buat aku.”jawab raisa sambil memeluk neneknya.”Iya,sama-sama.”
dan nenek pun memeluk raisa erat erat,Raisa merasakan kehangatan pelukan neneknya, yang sedikit mengurangi kekhawatirannya. Namun, rasa rindu kepada ayah tetap ada, menghantui setiap kali dia mengingat kata-kata ayah yang berjanji akan kembali. Dia memandang ke arah lautan, mencoba menenangkan dirinya, sambil berharap ayahnya segera kembali.Sementara itu, di kejauhan, terlihat ayah Raisa sedang bersiap untuk pergi. Dengan langkah tegap, dia berjalan menjauh, menatap laut yang luas, namun hatinya tetap terikat pada keluarga yang menunggunya. Meski harus berpisah sejenak, ia tahu janji yang diucapkan pada Raisa harus ditepati.
Nenek menatap Raisa dengan penuh kasih sayang. "Jangan khawatir, nak. Kadang orang yang kita sayang harus pergi untuk sementara waktu, tapi mereka pasti akan kembali," ujar nenek dengan lembut, seolah mencoba memberi kepercayaan pada cucunya.Raisa mengangguk pelan, meskipun dalam hatinya masih ada sedikit ketakutan. “Aku percaya sama ayah, nek. Ayah pasti akan kembali.”
Malam pun tiba dengan perlahan, dan suara ombak yang menghantam pantai terdengar menenangkan. Raisa dan nenek duduk bersama, menikmati keindahan alam, meski pikirannya masih penuh dengan harapan akan kembali bertemu dengan ayah.setelah beberapa tahun waktu berlalu begitu cepat. Setiap hari, Raisa menunggu dengan sabar, berharap hari itu ayahnya akan kembali, seperti yang dijanjikan. Nenek selalu ada disampingnya, memberikan penghiburan dan menenangkan hatinya, meski rasa rindu Raisa tak kunjung mereda. Mereka sering berjalan bersama di pantai, sambil Raisa bertanya tentang ayahnya. Nenek selalu menjawab dengan sabar, meski matanya kadang terlihat sedikit berkaca-kaca.
Suatu sore yang cerah “Kenapa ayah belum pulang, Nek?” tanya Raisa suatu sore, dengan suara pelan namun penuh harap.nenek hanya tersenyum, meski hatinya terasa begitu berat. “Ayahmu bekerja keras, sayang. Dia pasti akan kembali, seperti yang dia janjikan.”
Raisa menatap laut, mencoba mencari secercah harapan dari ombak yang datang dan pergi. Di dalam hatinya, dia ingin mempercayai setiap kata nenek. Namun, seiring berjalannya waktu, harapan itu mulai memudar, tertelan oleh keheningan yang kian menghimpit.
Hari demi hari berlalu, dan meskipun Raisa tidak pernah mengatakannya, rasa rindu yang mendalam semakin menggerogoti hatinya. Dia sudah tak lagi mendengar kabar dari ayahnya, dan surat-surat yang dulu sering datang, kini tidak pernah lagi menyapa. Nenek tetap setia di sisinya, memberikan kasih sayang tanpa henti, tetapi Raisa tahu, ada sesuatu yang berubah di antara mereka. Nenek pun tampak semakin rapuh, seolah menanggung beban yang lebih berat daripada yang bisa Raisa bayangkan.
Pada suatu pagi yang kelabu, nenek memanggil Raisa dengan suara gemetar. “Sayang, ada yang ingin nenek ceritakan padamu.”raisa menghampiri nenek, duduk di sampingnya. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang penting yang sedang terjadi. Nenek memegang tangannya erat, seolah takut kehilangan kekuatan untuk berbicara.”Ayahmu... dia sudah tidak bisa kembali, Raisa. Nenek minta maaf, sayang,” ujar nenek dengan suara serak, menahan air mata yang hampir tumpah.raisa terdiam, otaknya berputar cepat mencoba mencerna kata-kata nenek. "Apa maksud nenek? Bukankah ayah sedang bekerja jauh di luar pulau? Dia pasti akan kembali, kan? Dia berjanji."
Nenek menghela napas panjang, wajahnya terlihat sangat lelah. “Ayahmu tidak bisa kembali, Raisa. Dia...” Nenek terdiam, mencoba mengumpulkan kekuatan. “Ayahmu... sudah pergi untuk selamanya.”kata-kata itu seperti petir yang menyambar langsung ke hati Raisa. Tubuhnya terasa lemas, dan untuk sesaat, dunia seakan terhenti. Semua harapan yang telah ditanamkan dalam hatinya selama ini, hancur begitu saja. Air mata mulai mengalir deras di pipinya, namun dia tak bisa berkata apa-apa.”Kenapa, Nek? Kenapa ayah tidak menepati janjinya?” tanya Raisa, suaranya tercekat oleh tangis.
Nenek memeluknya erat, mencoba menenangkan, meski hatinya sendiri terasa hancur. “Kadang-kadang, hidup tidak berjalan seperti yang kita harapkan, sayang. Ayahmu sudah berjuang sekuat tenaga, tetapi takdir berkata lain. Dia pergi begitu cepat... tidak ada yang bisa kita lakukan.”raisa tidak bisa lagi menahan tangisannya. Selama ini, dia selalu percaya bahwa ayahnya akan kembali, bahwa semua akan baik-baik saja. Namun kenyataannya, semuanya berbeda. Ayahnya sudah pergi untuk selamanya, meninggalkan janji-janji yang tak pernah bisa ditepati. Rasa rindu yang ia simpan selama ini kini berubah menjadi rasa sakit yang sangat dalam.
Sejak saat itu, suasana rumah menjadi lebih sepi. Setiap hari, Raisa merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Kenangan bersama ayahnya terus menghantuinya saat ayah memeluknya sebelum pergi, saat mereka tertawa bersama di taman, saat ayah berjanji bahwa ia akan selalu ada untuknya. Semua kenangan itu terasa semakin kabur, seperti bayangan yang tak bisa digapai.
Nenek berusaha sekuat tenaga untuk menghiburnya, tetapi ada saat-saat di mana ia sendiri merasa tak berdaya. Di luar, laut tetap berdebur dengan riangnya, seolah tidak peduli dengan kesedihan yang sedang melanda hati mereka. Namun, meski ada begitu banyak kesedihan yang menggelayuti, nenek selalu berusaha mengajarkan Raisa untuk tetap kuat, untuk tidak terlarut dalam kesedihan yang mendalam.
“Raisa, hidup harus terus berjalan,” kata nenek suatu hari. “Kehilangan memang sakit, tapi kita harus terus melangkah, sayang. Kita harus menjaga kenangan indah yang ada, dan berusaha menemukan kebahagiaan di masa depan.”raisa hanya mengangguk, meski hatinya terasa kosong. Dia ingin percaya pada kata-kata nenek, namun rasa kehilangan yang begitu mendalam sulit untuk diatasi.
Hari-hari berlalu, dan Raisa mulai berusaha menerima kenyataan. Meskipun hati kecilnya masih penuh dengan pertanyaan dan kekecewaan, ia tahu bahwa hidupnya harus diteruskan. Setiap kali berjalan di pantai, dia mulai merasakan kedamaian di dalam dirinya. Laut yang dulu terasa begitu asing kini menjadi tempat untuk menenangkan pikirannya, untuk merenung dan mengingat ayahnya dengan cara yang berbeda.
Suatu sore, saat Raisa duduk di pantai sendirian, dia melihat matahari mulai tenggelam dibalik horizon. Langit memerah, dan angin laut berhembus lembut, menyentuh wajahnya. Tanpa sadar, dia mulai berbicara, seolah berbicara langsung kepada ayahnya.”Ayah, aku tahu kau tidak akan pernah kembali, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu. Aku akan berusaha hidup dengan kenangan yang kau tinggalkan. Aku akan kuat, seperti yang nenek ajarkan.”air mata jatuh lagi, tetapi kali ini bukan karena rasa sakit. Ini adalah air mata yang memberi ruang untuk menerima kenyataan, untuk melepaskan dan terus melangkah ke depan. Raisa tahu bahwa meski ayahnya tidak bisa menepati janjinya, dia akan tetap mencintainya, dan kenangan mereka akan selalu hidup dalam hatinya.
Dan di saat itu, Raisa merasa bahwa hidup, meskipun penuh dengan kehilangan, tetap memiliki banyak keindahan untuk dinikmati. Laut, yang dulu menjadi saksi harapan dan penantian, kini menjadi simbol dari kedamaian yang akhirnya bisa dia rasakan.