Wednesday, March 12, 2025

Cerpen Lomba | Dwi Ardika | Negeri 1001 Keunikan

 Cerpen Dwi Ardika


(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)



Matahari mulai menampakkan dirinya, embus angin menyapa pagi, langit membentang biru nya laut. Bapak bergegas mengemas barang-barang untuk mencari ikan. Bapak adalah seorang nelayan, keluarga kami menggantungkan hidup pada lautan tempat bapak mencari ikan untuk sehari-hari, makan maupun untuk dijual lagi ke pasar. Terdengar suara langkah bapak untuk segera berlayar dan aku segera terbangun dari tidur melihat kapal kecil milik bapak yang mulai menjauh, biasanya bapak akan pulang saat menjelang siang dan saat yang paling ku tunggu adalah saat bapak membawa hasil tangkapan lalu di masak dengan bumbu spesial oleh ibu hmm.. rasanya ikan masakan restoran pun kalah rasanya. 


Panas mentari mulai menyengat, jam sudah memasuki siang hari namun tak kunjung juga ku dapati kapal bapak terlihat pulang untuk membawa hasil tangkapan nya, “hmm.. pasti hari ini bapak dapat banyak ikan, makanya pulang lebih lama” kataku dalam hati. Jam menunjukkan tepat pukul 14.00 namun bapak tak kunjung pulang juga, ini melebihi jam biasanya bapak pulang. Pukul 17.00 baru lah terdengar kapal kecil milik bapak datang dan segera di tambatkan. Gembira saat bapak tiba sebelum aku sadar dan heran kenapa bapak tidak membawa satupun hasil tangkapannya sore itu. “Loh piye to pak, tumben sampai sore tapi gak bawa apa?” tanya ibu ku keheranan, “laut nya sudah di pagari buk” sahut bapak. “Hah ? di pagari ? sejak kapan laut bisa di pagari?” tanya ku dalam hati. Aku tak banyak bertanya pada bapak, wajah nya nampak lesu sepulang dari melaut, mungkin bapak perlu banyak istirahat.


Keesokan pagi nya aku mendengar langkah bapak tergesa untuk keluar rumah dan berpamitan dengan ibu, kupikir ingin pergi untuk mencari ikan namun bapak tak pergi ke laut sama sekali. ‘Bapak kemana bu?” tanyaku pada ibu, “kantor desa katanya” jawab ibu. Untuk apa bapak ke kantor desa? biasanya bapak kesana jika ada urusan penting saja, apa kali ini urusan nya penting juga?. Bapak pulang pada sore hari, tepat pada pukul 18.00 sore, dan pada makan malam aku memberani diri untuk bertanya keadaan nya pada bapak. Malam itu bapak bercerita tentang bagaimana kondisi lautan sekarang dan apa itu pagar laut. Bapak menjelaskan jika sekarang lautan tempat bapak mencari ikan sudah di pagari dengan bambu dengan panjang 6 meter tiap bambu. Bambu itu di pasang membentuk pagar sejauh 30,16 kilometer jauh nya, dua kali lipat dari panjang tol Ngurah Rai di Bali. Bapak juga menambahkan bahwa ia ke kantor desa untuk melapor hal tersebut namun salah satu teman bapak yang juga seorang nelayan berkata bahwa warga sebelum nya juga sempat melapor namun tak ada tanggapan dari kepala desa. Ah hal seperti ini nampak seperti biasa, suara kecil macam kita mana pernah di dengar.


Hari demi hari berlalu, masalah tak kunjung diatasi nampak semakin pelik dan acuh nya para petinggi membiarkan masalah itu terjadi. Sesekali warga terus coba melapor namun selalu nihil. Warga yang bermata pencaharian sebagai nelayan merasa jengkel dengan hal itu, beberapa peralatan mereka rusak akibat terkena bambu-bambu yang tertancap, bahan bakar yang mereka gunakan juga meningkat dua kali lipat yang biasanya 10 liter solar bisa menjadi 20 liter. Hingga akhirnya masalah ini tercium ke masyarakat luas, “ bau bangkai pasti tercium” mungkin kata itu lah yang tepat menggambarkan kondisi nya. Masyarakat mulai mengetahui hal tersebut hingga media berbondong-bondong meliput problematika itu. Liputan demi liputan dilakukan di lokasi, mobil-mobil dari siaran tv mondar-mandir macam tank penjajahan Belanda pada masa perang. Mungkin para petinggi itu merasa jengkel, melihat pemberitaan yang menyoroti dengan sigap langsung mengambil langkah aman untuk mempertahankan reputasi mereka. Pagar itu di bongkar, butuh waktu yang cukup lama untuk mencabut itu semua, berita menjadi tak lagi disorot, masalah kerugian para nelayan? peduli apa mereka, yang terpenting tugas mereka tlah selesai, yaitu memperbaiki reputasi nya. Mereka melakukan itu setelah terlalu banyak media mengulik tentang hal ini, berita tersebar luas, situasi menjadi panas, perdebatan yang makin memuncak hingga dikecam beberapa pihak


Situasi mereda, kini tak ada lagi pembatas untuk para nelayan untuk mencari nafkah bagi keluarga mereka. Namun, ini menjadi bukti bahwa bobrok nya pengelolaan mereka dalam sumber daya laut yang katanya banyak tersimpan kekayaan alam. Dan hingga saat ini, siapa dalang nya tak diketahui, kata mereka anak kecil tak perlu ikut campur.